Jumat, 21 April 2017

Kartini di Era Modern (Tugas penulisan kreatif jurnalistik)



10 tahun lalu saya pindah rumah, saya bertemu dengan orang-orang baru. Mulai dari satpam, tukang becak, hingga asisten rumah tangga. Ya, karena tumbuh besar bersama orang-orang tersebut. Melihat mereka bekerja, menikah, hingga punya anak itu seperti melihat diri sendiri dari masa depan melalui lubang pintu, kita akan berjuang untuk apa yang pantas diperjuangkan, berusaha untuk mencapai hidup yang lebih baik, dan menganggap bahwa hidup ini terlalu singkat jika dihabiskan dengan mengurusi orang lain yang ujung-ujungnya tidak ada gunanya.

Salah satunya saya mengenal Mbak Tien, ia adalah sosok penjual es batu igloo di rumah sebelah saya, saya mengenal nya saat saya bermain layangan dengan satpam komplek, Mbak Tien bekerja siang sampai malam untuk menghidupi anaknya. Hingga waktu berjalan, perusahaan esnya pun “meleleh” dan menjadi debu, ia tak bekerja hingga 2 tahun. Lalu Mbak Tien sempat ‘hilang’ dari kawasan sekitar rumah, mungkin ia lagi mencari angin segar di desanya, jauh dari keramaian kota yang penuh dengan intrik-intrik palsu, lika liku yang menjerumuskan orang keganasan persaingan, dan udara panas yang membuat orang cepat naik darah.

Lalu dua tahun lalu, Ibu saya membutuhkan asisten rumah tangga, karena pekerjaan rumah tangga tidak bisa dikerjakan dengan mudah, Ibu saya selalu kewalahan. Kami mencari asisten rumah tangga tapi harganya sudah melambung tinggi, sekitar 2 juta per bulan. Lalu tukang becak yang biasa saya pakai jasanya menawarkan asisten rumah tangga harian. Jadi, bisa tidak dipakai kalau tidak butuh, lalu dipanggil lah ibu saya. Ternyata yang datang adalah Mbak Tien, mantan pegawai di perusahaan es igloo.

Mbak Tien adalah anak tunggal dari salah satu orang tua yang mengadopsinya, namanya pun diambil dari kata “tin” dari kata yatim (yang diplesetkan menjadi tin”. Mbak Tien menikah pada umur 20 tahun, dari perjodohan orang tua angkatnya, setahun setelah menikah ia dikaruniai satu anak bernama Sintia, ia sekarang sudah bekerja di kantoran yang alhamdulillah penghasilannya juga mencukupi kebutuhan sehari-harinya sendiri. Sungguh beruntung mbak Tien dikaruniai anak seperti Sintia, yang kelak akan membantu dirinya dan keluarganya dari keterpurukan dunia ini. Sintia adalah sosok yang penurut terhadap orang tuanya, pernah ia disuruh cuti hanya karena mengantar adiknya ke sekolah, karena suami mbak Tien jatuh sakit.

Suaminya sendiri bekerja serabutan, ia bekerja di es igloo bagian engineerin dan driver, ia yang mengurusi berjalannya es-es di hampir seluruh restauran di Surabaya, gajinya tak seberapa, tapi perjuangannya setengah hidup, Pak Nuri namanya. Awal mula Mbak Tien menikah dengan Pak Nuri juga karena mereka sama-sama bekerja di satu tempat yang sama saatu berumur 19 tahun, setelah setahun berkenalan, mereka pun menikah secara kecil-kecilan dengan mengundang keluarga dekat dan tetangga di kampung tempat Mbak Tien tinggal, berjuang bersama-sama dari nol, hingga kini mereka menjadi keluarga yang bercukupan.

Kerjanya yang sregep, tutur katanya sopan seperti kebanyakan orang jawa kuno. Selalu tersenyum setiap hari, kecuali kalau sedang tidur. Tak heran Mbak Tien diizinkan Tuhan untuk hidup berkecukupan karena perjuangannya yang tidak mudah. Singkat cerita ia sudah 5 bulan bersama kami, ia pamit untuk bekerja di tempat yang bisa memberikan ia gaji yang pasti, tidak harian. Kami pun kehilangan sosok “penunjang hidup”, karena setiap hari rumah selalu tidak teratur.

Lalu nenek mencetuskan ide, mengerjakan mbak Tien dengan biaya bulanan, dan nenek mau menguruni gaji bulanannya dari uang pensiun bulanan beliau, tentunya di-uruni sama uang dari mama juga. Mbak Tien pun mau, ia digaji bulanan dan bekerja dari senin sampai sabtu. Tapi semua tak seperti yang diharapkan, nenek jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit. Hingga nenek tak bisa jalan dan harus dirawat di kasur. Nenek pun menghabiskan setengah dari pensiun bulanannya untuk memberi jasa mbak Tien, yang sudah setiap hari merawatnya. Mbak Tien yang aslinya dibekerjakan untuk bekerja membantu rumah tangga, kini ia pun melakukan baby-sitting pada nenek. Setiap hari harus menyiapkan makan, men-seka, dan mengganti popoknya.

Keluarga kami sungguh beruntung memiliki seseorang yang loyal seperti mbak Tien, ia seperti anugerah dari Tuhan yang tiba-tiba diturunkan untuk keluarga kami saat kami kerepotan, ia pun tak pernah mengeluh, kecuali saat ia sakit, itupun jarang sekali. Baginya, keluarganya adalah prioritas utama, prioritas keduanya adalah keluarga kami karena ia tahu kami membutuhkan batuannya, ia ada di setiap saat keluarga kami membutuhkannya terutama saat nenek butuh penjaga sewaktu kami sekeluarga pergi ke luar kota seharian. Menurut kami ia bukan sekedar asisten rumah tangga, tapi ia sudah bagian dari keluarga kami yang tak terpisahkan.

Tidak hanya Mbak Tien, ada juga Kartini tegar yang tidak kalah dengan Mbak Tien, ia adalah Ibu Saya, walaupun berumur 58 tahun, sekarang ia masih segar dan kokoh layaknya umur pertengahan 20. Ia yang setiap hari menyiapkan makanan untuk saya sebelum saya beraktifitas, dan sebelum mbak Tien datang ke rumah, ia yang setiap hari memberi semangat ke anak dan suaminya secara batin, bagi saya kecantikannya tak habis termakan usia, ia masih semangat beraktifitas seperti arisan, berkebun, hingga jalan-jalan. Bagi saya ia setara dengan ayah saya, jika ayah saya menyupport saya dari hasil kerjanya, Ibu saya menyupport saya dari belas kasih sayangnya.

Kelak, saya akan mencari wanita seperti Ibu saya yang penyabar, sayang kepada suami dan anak, sabar, dan tawaqal. Kadan saya iri dengan ayah saya yang bisa mendapatkan wanita seperti ibu saya, saya seperti manusia paling beruntung di dunia karena saya dilahirkan pun ditakdirkan menjadi anak dari ibu saya.

Bagi saya, pada dasarnya kartini modern bukan hanya wanita yang anggun dan lemah gemulai, tapi wanita yang perkasa dan setia tiada akhir seperti Mbak Tien juga bagian dari kartini modern. Ia berjasa bagi banyak orang, ia pantang menyerah, dan ia menorehkan banyak jasa bagi orang di sekitarnya. Ia berguna bagi orang yang membutuhkannya. Menempatkan dirinya setara dengan laki-laki, tak kalah dengan kaum adam. Karena anggapan kartini yang terlihat anggun dan hanya duduk manis di tempat itu sudah kuno, wanita sekarang harus berjuang, pantang menyerah dan menempatkan diri layaknya setara dengan laki-laki. Karena wanita bukan diciptakan sebagai kaum yang menemani lelaki, bukan untuk melengkapi lelaki.

Sampai di sini tulisan panjang saya, intinya saya melihat Mbak Tien dan Ibu saya, adalah kartini di era modern seperti sekarang ini. Kartini era dulu memperjuangkan hak-hak wanita, kartini era sekarang harus menempatkan wanita di tahta wanita yang setara laki-laki.