Jumat, 31 Juli 2015

CERPEN: Storm of Dreams



Sekejap mata, duniaku runtuh diterpa badai kehilangan. Lalu pagi datang bertengger di ingatan, memikul sejumlah kata-kata dan percakapan seolah ia lupa ia pernah menjadi badai yang kejam. Ini masih kurang pagi untuk berpikir bahwa kita harus bertindak sebagai orang normal, kan? Maksudku, lulus kuliah, bekerja, dan menikah? Oh ayolah, lepaskan benda plastik ini dari mulut dan hidungku. Hei, lihat, tanganku mulus sekali, seperti tangan perempuan. Apakah aku memang perempuan? Oh iya, aku memang seorang perempuan. Tapi, tinggi sekali badanku.

Bunga disamping tampak layu, mungkin ia lelah harus tetap terlihat cantik untuk semua orang. Berapa jam aku tidur? Mimpiku indah sekali, sangking indahnya aku terlalu lelah untuk bangun. Jam dinding menunjukan pukul 7, aku masih di kamarku yang lebar dan kasurku yang berinfus. Yang paling ingin aku tanyakan adalah, di mana aku?

Sesaat ragaku kuangkut menggunakan kedua kaki jenjangku keluar. Melihat papan besar dengan bertuliskan angka romawi Paviliun VI. Bukankah paviliun itu ada hubungannya dengan rumah sakit? Siapa yang sakit? Apakah ini semacam di mimpi atau...

“Mbak Jesika!” seseorang asing memanggil dengan suara basahnya. Ia lari ke arahku, memakai semacam seragam suster dan sekitar 25cm lebih pendek dariku. “Mbak sudah sadar?” ia bertanya kepadaku? Jadi namaku Jesika?

“Anda siapa?” tanyaku penasaran, aku memperhatikan mukanya yang putih pucat.

“Saya Mbok Par, Mbak. Mbok Parinah. Yang ngerawat Mbak dari kecil, masa Mbak lupa? Baru seminggu di rumah sakit sudah lupa.” Ia menepuk-nepuk pundakku.

Seminggu di rumah sakit? Kepalaku terus bergeleng sendiri dan mataku memicingkan kelopaknya seakan tak tahu apa yang terjadi kepadaku sendiri melihat perempuan ini. Aku merasa ngga enak kalau bilang aku tak mengenalnya, tapi ya memang tak mengenalnya.

Ia mengeluarkan telepon genggam kecil dari sakunya, memencetnya dengan satu jari seolah ia awam menggunakan benda itu. Oh, ia menelpon seseorang.
“Halo, pak? Niki, Mbak Jesika sampun wungu, oh inggih, disukani HPne? Injih pak, sami-sami.” Ia menutup HP flipnya, lalu memberikan HP Samsung putih dari tasnya kepadaku, ia berkata “Ini HPnya, Mbak.. disuruh sama Bapak buka satu-satu katanya.”

Kuterima HP itu yang katanya adalah HPku itu, buka satu-satu? Apanya?
Aku masuk ke kamar yang seperti kamar rumah sakit ini, mengaktifkan HP bersistem Android tersebut, ber-display name Jessica Khaliffah, 9 Juni 2014, terpajang foto seorang wanita muda yang sangat cantik, matanya lebar dengan alis yang tebal, lipstik merahnya mengcover bibir tebal kecilnya, ia membawa kucing putih.
Siapa, ya ini?
Kubuka folder Camera, terdapat foto-foto orang-orang pada malam hari. Foto itu dijepret 3 Juni jam 1 dini hari. Banyak sekali foto orang berpakaian ketat yang meminum minuman beralkohol dan saling berciuman di kolam renang, salah satunya seorang wanita yang menjadi wallpaper HP ini. Loh? Ini kan HP milikku? Berarti...
Kubuka Camera, mengalihkannya menjadi kamera depan. Mataku berelak jasmaniah saat mengetahui mukaku itu adalah muka wanita yang di wallpaper HP ini.
Berita bagusnya, aku cantik sekali. Berita buruknya, mengapa aku tak sadar sebelumnya? Maksudku, baru mengetahui bahwa diriku secantik ini rasanya seperti mengetahui ternyata teman baikku selama ini adalah Taylor Swift. Dan lagi, apa yang kulakukan seminggu lalu? Pesta di kolam renang?

Decitan sepatu datang dari arah luar kamar, sepertinya ia sangat tergesa-gesa. Ia membuka pintu layaknya seseorang yang menang lotre, sebatang hidung yang mancung muncul dari pintu kayu yang rapuh, setinggi diriku, memakai kemeja kotak-kotak, lengannya di linting membawa seikat bunga. Menawan ditambah rambut yang klimis. Tampan sekali dokter ini, aku harus bersikap dingin bagai jalang yang kesepian.

“Jessica.” Panggilnya “Kamu sudah baikan?” meringis-meringis melihatku. Ia menaruh bunganya di pot dan menggantikannya dari yang lama

Aroganku tak menjawab, aku hanya mengangguk-anggukkan kepala di depan dokter dengan brewok tipis ini. Memasukkan HPku ke bawah bantal, seakan aku akan siap sedia diperiksa. Sebenarnya aku juga masih terus mengira tampan sekali dokter ini.

“Setelah kejadian itu kamu ngga sadarin diri selama seminggu.” Kejadian apa? Pikirku. Ia memeriksa tanganku, jemarinya seperti orang yang bekerja kantoran. Terus memeriksa tanganku padahal yang diperban adalah kepalaku. Baiklah, ini canggung, dokter ini tak berhenti-berhentinya memegang sampai-sampai aku hampir basah karena tangan kananku terus didekap dokter ini. “Ngomong-ngomong, aku di kasih tahu sama Mbok Par, katanya kamu ngga tahu siapa dia.” Ia mengecup keningku. Perlukah dokter mengecup pasiennya? “Tapi kamu tahu dong aku siapa?” tanyanya.

“Iya lah, anda dokter saya, kan?”

Seketika ia mengubah mimik wajahnya yang sumringah menjadi kelabu “hah?”kebingungan. “Ini aku, Jes. Dimas!” jelasnya geram. Ia berbisik “selama kamu sama Nathan kita sering jalan bareng, kan, Jes.” Nathan siapa lagi, sih? Bibirnya mendekat perlahan ke arahku. Reflek otomatis dariku, tanpa sungkan kutampar pipi yang akan mendarat ke wajahku itu. Semua kekonyolan ini terus menyeruputi setiap informasi dari otakku. Seminggu lalu aku minum Jack Daniels? Lalu aku sering keluar bersama lelaki yang bahkan aku tak mengenalnya?

Ia masih menutupi pipinya, kesakitan. “Kamu kenapa sih, Jes?!” matanya menipis meratapiku

“Aku kenapa?! Kamu yang siapa, anjing!” seutuh tenaga kubuat ia jatuh terkapar, aku lari,  keluar dari kamar rumah sakit itu, ia berusaha mengejar tapi aku lari sekencang mungkin, meja front office bertuliskan Rumah Sakit William Booth. Tak asing, aku kenal rumah sakit ini, atau mungkin lebih tepatnya aku sering menjenguk orang di sini. Tapi siapa.

Entah ke mana yang ku tuju, tapi seseorang dari depan melihatku, berkemeja hitam polos serta rambut khas abri, ia terus melihatku. Malah, ia ingin menghalangi jalanku. Hampir dekat “Jes?” panggilnya, ia mengerat pinggangku. Tak bisa berkutik, aku hanya tersandar di tubuhnya. “Ini Papa, Jes. Kamu aman sekarang, nak.”

“Papa?” aku benar-benar seperti orang tolol. Aku bisa mengingat tuhanku, bahasaku, dan semua yang sudah lama. Tapi aku tak mengenal siapa orang-orang dan apa yang baru terjadi. “Apa yang terjadi?” sambil kupeluk orang berbadan lebar ini. Rasa aneh itu terjadi disaat aku memeluk dengan nyaman orang yang bahkan aku belum tahu siapa namanya.

“Insiden, Jes. Seminggu lalu kamu koma sudah ngga sadarin diri. Papa seneng kamu masih ada di sini.” Semakin erat ia memelukku “kita kembali ke kamarmu, ambil barang-barangmu ya. Kita pulang sekarang.”

Berada di dekat orang yang mengaku sebagai ayahku sangatlah nyaman, sepertinya aku pernah merasakan yang seperti ini. Atau... memang aku pernah merasakannya? Hangat. Manis. Seperti aku bisa melakukan dosa sekaligus aku bisa mengetuk surga dan meminta izin untuk masuk. Ayah bilang besok lusa adalah wisudaku, ia mengutusku untuk istirahat.. dengan.. tenang.





Lampu-lampu putih terang terbias lebar di kornea mata. Mereka seperti alang-alang yang siap untuk diterkam burung. Diterkam lebar oleh kenyataan. Mimpi yang sangat buruk sekali tadi. Sampai-sampai aku tak bisa mengenal wajahku dan namaku sendiri. Untunglah aku masih ingat segalanya.

“Jo?” seseorang memanggilku, aku ingin mendengarnya lagi “Wagnerr?!” ia mengeraskan suaranya, mengenakan kaos merah muda, rambut panjang merahnya melambai dan kulit putih pucatnya yang kering. Ia Novac, temanku dari Serbia. “What happen with you?” aksennya asing Rusia.
“You had a nightmare? Get out from my bloody bed, Jo. You sleep in there almost one hour.”

Aku di rumah sakit, aku baru keluar dari rumah sakit William Booth kemarin, 2 hari lagi aku wisuda di Sekolah Internasional Surabaya, seminggu yang lalu aku kecelakaan bersama Novac, dan aku hanya mengalami patah jari kelingking. Aku ingat, aku ingat semuanya, ini tampak begitu nyata.

“Joe? You don’t answer me? You had a nightmare?” tanya Novac lagi

“Yes. But actually, i don’t remember that. Where have you been?” nada bicaraku gugup. Seolah tak mengerti apa maksud mimpiku tadi.

“I browse an airplane ticket for next week. Thanks for your laptop.” Ia menutup laptop Alienware-ku yang berada di samping.

“You got it?

“Not yet. Still find the cheapest one.” Ia duduk di sebelahku, tangannya masih di infus tapi ia bisa berjalan seperti orang normal. Kami berdiaman sejenak

“You know, you look pretty when you wear T-Shirt and panties like this.” Aku iseng menggodanya.

“Shut your mouth, Jo. Our friend, Jessica still can’t remember anything.”

Jessica? Seperti nama orang yang ada di mimpiku. “Who is Jessica?” tanyaku.

“That’s not funny, Jo. You drive us like crazy last week. Do not be like another Jessica.”

Aku tak paham maksud omongannya. Bahkan aku tak tahu siapa itu Jessica yang dimaksud. Letak memoriku terombang-ambing antara ada dan tiada. Memang di mimpiku aku adalah seorang perempuan yang bernama Jessica. Tapi aku tak paham apa dia yang dimaksud oleh Novac.

“She’s so much prettier than me, and she once said to me that she proud have a boyfriend like you.” Lanjutnya. “and she said you’re the only man who taller than her in the school. She’s about 5 feet and 11 inches and you?”

“6 feet and 1 inches. But who the hell is Jessica? I don’t understand what you’re talking about.” Aku geram karena terus diceritakan Jessica olehnya.

“You don’t say, Jo.” Dahinya mengkerut, tangannya meraih kepalaku “are you sick?”

“For God sake, Novac. Who is she?”

“You’re so funny. She’s our bestfriend, Jowy! And, she’s your girlfriend. Seriously you don’t remember her? Almost 3 years we’re on our way. We play together like brother and sisterhood. A week ago we’re drunk and you drive the car. Look your phone, you both took a lot of photos.”

“Yea, yea, I remember that.” Potongku “First, Novac, in these case I thought that was just us in the car. And then, my phone is gone since that day. I bought the new one and i don’t even remember we’re with another person.”

“Look, Jow. I’m NOT blame you about that, because that was our mistake. We fool. We pay it together. But you can’t just forget her. We’re still together, right?”

It’s okay, mungkin aku terlalu terlelap dalam kejadian itu. Aku hampir lupa bahwa aku melibatkan satu orang lagi dalam kejadian itu tapi mengapa aku tak mengenalnya. Dan, kepalaku butuh semacam es untuk mendinginkan dari apa yang dikatakan Novac. Kulangkahkan kakiku ke pintu berniat keluar.

“Where are you going, Jo? Can you get me some morphine? I got little bit whiplash.” pinta Novac

Tercengang mendengar permintaannya “It could make you high, you know.” ceplosku

“We’re not in party?” candanya.

Jam 5 sore. Rumah sakit ini sudah mulai sepi pekerja dan pengunjung. Hanya kursi roda bekas pasien yang baru pulang. Di bagian farmasi kulihat ada penjaga, atau satu-satunya orang. Tak bersandang seperti layaknya pekerja rumah sakit, tapi mengenakan nametag rumah sakit RKZ Surabaya. Menghadap laptop. Bermain Get Rich.
“Pak, permisi pak.”

Ia pura-pura tak mendengar suaraku yang sudah kuanggap kencang.

“Pak?!” kutambah volume suaraku

Ia menoleh, merenggutkan dahinya “You call me, kids? Speak English.” Aksennya Inggris

Bodoh, aku lupa aku berada di sesi ruang WNA. “Uh yeah, sir, can you give me some morphine? My friend kinda need that at room 12.”

“Times up, kid. I’m done.” Katanya, nadanya menyebalkan.

Kugedor-gedor mejanya “But she need it sir! Can you at least give me some?”

“Go fuck yourself kiddo.” Ia terus memainkan dadu virtualnya

Sial, dokter muda ini menyebalkan sekali, hampir aku ingin melempar pulpen yang berada di mejanya tepat ke telinganya. Setelah kembali dengan tangan kosong, kulihat Novac sudah mendengkur menghadap tembok. Kulebarkan selimutnya menutupi tubuhnya. Tak ingin mengganggu, sepertinya ia sudah pulas, sepertinya juga aku harus kembali dan menyewa jas untuk lusa.

Malam memudarkan semuanya, menyerap memori-memori yang sudah berkarat. Aku harus melihat ke depan, mencatat yang terkatakan, dan menyimpan yang tak akan pernah dikatakan. Ya Allah, lelah sekali aku hari ini.
Suara burung gemercikan mengontrol otakku untuk bangun. Sudah jam 8 pagi. Ayah dan Ibu sudah berangkat mencari biayaku kuliah. Tak memaksa tapi selalu membuatkku patuh, itulah orang tuaku. Sebagai anak tunggal aku adalah harapan mereka kelak untuk masa tuanya.
Tapi sayang, seminggu lalu aku mengecewakannya. Memang mereka tak marah, tapi hal itulah yang justru membuatku sungkan .

Lampu LED telepon genggamku menyala, kulihat itu Whatsapp dari Novac yang baru kudapatkan nomornya kemarin sore setelah HP lamaku hilang.
“Hey boys, this is the last picture of her” tulisnya. Ditambah attachment gambar seorang wanita muda berambut panjang, matanya lebar, alisnya tebal, dan ia memakai, maaf, bra untuk renang. Yang lebih mengejutkan... ia sedang merangkulku di sampingnya.
Ini sungguh lucu, bahkan aku tak ingat aku pernah berfoto dengan seseorang yang kata Novac adalah kekasihku.
“You remember her now?” tambah chat Novac.

“Nope” balasku. Seseorang munkin telah mencuci otakku. Tapi hanya memori tentang wanita itu. Bagaimana tidak? Aku seperti baru melihatnya pertama kali di foto ini. Sungguh, badanku terasa seperti dirambati jutaan semut. Merinding.
Sudahlah, aku harus mencari persewaan jas untuk besok, wisudaku. Tapi sayang, tanpa teman baikku, Novac, karena tulang punggungnya masih mengalami traumatic.




Tolong jangan melihatku seperti itu. Aku hanyalah perempuan yang terjebak di antara mimpi dan realita. Tubuhku sudah dewasa tapi aku merasa seperti anak kecil yang baru lahir. Rasanya mimpiku indah sekali, aku bisa mengenal orang-orang sekitarku. Tak seperti kenyataan, di mana aku harus bertanya “Itu siapa?” kepada Ayah yang baru aku kenal 2 hari lalu. Seperti aku harus menari di atas tangisanku sendiri.

Oh, aku masih ada di kamar mewah bertemakan pink. Hari itu telah tiba. Hari di mana aku merasa paling asing sendiri. Ya, wisudaku sendiri. Aku mungkin tak mengenal siapapun di sana.
“Jessica, siap-siap mandi sayang.” Perintah Ayah.
Ya Tuhan, beri aku alasan kau mencabut semua memoriku. Atau setidaknya kembalikan memoriku yang dulu untuk wisuda kali ini saja.

Selesai mandi, makan, dan berdandan. Aku mengenakan longdress yang ayahku sudah siapkan sebulan lalu, kata beliau. Aku siap ke pesta topeng itu. Aku kenakan sepatu high heel yang..
“Kamu lebih suka pakai flatshoes, kan, Jessica?” kata Ayah

“Oh, ya, Yah?” aku kebingungan mendengar statmen Ayah

“Iya. Kamu sadar ngga kamu sudah tinggi? Kamu juga pernah bilang ke Ayah kalau kamu paling tinggi di kelas.” Jelas Ayah, nada bicaranya halus.

“Oh, baiklah.” Kataku, sok paham.

Menunggangi Vellfire milik Ayahku, beliau yang menyetir, aku yang menemaninya di jok depan. Kupandangi padatnya Surabaya. Aku juga mengenalnya dengan cepat. Mungkin di memoriku sebelumnya, ia memang Ayahku.
“Yah, boleh aku tanya?”

“Kamu sudah tanya, kan Jes?” candanya

“Maksudku, lebih detil. Ayah bisa jelasin ciri-ciri Ibu?”

“Hmm.. dia cantik sepertimu, tinggi, baik, pemaaf. Dia idaman semua lelaki, Jes. Akulah yang beruntung diantara semua laki itu. Ditambah, ia sangat sayang sama kamu.” Jelasnya

“Apa aku pernah ketemu?”

“Dia sayang sama kamu, Jes. Bagaimana mungkin dia bisa sayang kamu kalau dia belum ketemu kamu?”

Agak kaget karena baru mengetahui Ibuku menyayangiku selama ia masih hidup, aku terdiam.

“Nanti, Jes.. kalau kamu juara sekolah,” lanjut Ayah “terus dikirim ke Inggris, atau Australia, jangan tinggi hati sama teman-temanmu, ya. Kamu harus tetap jadi anak Ayah sama Ibu”

Aku merasakan sensasi yang sepertinya pernah kualami, seperti dasar perutku mendidih. Menggigit lidah untuk membalas ceramah Ayah. Seperti sudah kuantisipasi Ayah seakan aku akan menjadi juara sekolah.

“Iya yah, aku janji. Seperti kata Ayah, semua ini hanya titipan, kan.” ucapku.

Ayah menatap setir kendaraannya kosong, sementara menunggu lampu jalan menjadi hijau. Ia seakan menyusun pikirannya “Sebelum pikiranmu hilang, Jes, kamu adalah orang yang ngga sombong. Mungkin aku bisa bilang dari lahir kamu dijadiin wanita yang baik.

Bidang-bidang langit biru cerah mulai bermunculan di atas tingginya gedung Marriot. Mungkin ini aku terakhir kalinya melihat awan yang robek di langit Surabaya, sebelum aku pindah ke London. Aku pamit Ayah, kucium tangannya.

“Ayah kerja dulu, Jessica. Ayah jemput kamu jam 12.” Katanya.

“Iya, Yah.”

Longdress biruku tertereng di atas mata kaki, menorehkan keanggunannya. Ayah paham sekali cara memikat lelaki. Seluruh kaum Adam di sekitarku kutangkap matanya memahat imaji tubuhku.
Brak! Suara itu terdengar ketika aku menaiki tangga, kutabrak seseorang memakai jas hitam. Bodoh, aku melihat sekelilingku sampai-sampai tidak melihat ke depan. Lelaki kurus nan jakung itu bangkit dari jatuhnya.
“Maaf!” ia memegang dagunya yang kusundul.

“Maaf!” kataku juga, berbarengan.

“Engga aku yang salah” katanya “aku ngga pernah lihat kamu sebelumnya? Apa aku salah?” ia memercingkan matanya.

“Ya, aku juga ngga pernah lihat kamu sebelumnya.” Aku malah tak pernah melihat siapapun di sini, sebenarnya. Hahaha.

Ia tersenyum manis menatapku “See you on top?” tanyanya

“Yeah.” Ia merapikan jasnya, lari ke atas.

Nampak terburu-buru sekali, sementara orang-orang masih di belakang berjalan santai “Jessica.” Panggil seseorang, ia tampak girly memakai blouse merah, rambutnya sepundak, getsurnya jauh lebih pendek dariku. Dan seperti biasanya, aku tak tahu siapa dia.

“Hei” balasku, sok kenal

Ia lari ke arahku, berjalan bersamaku “kamu sudah sembuh?” tanyanya

“Ya alhamdulillah, sekitar 2 hari lalu.”

“Mereka bilang kamu ngga kenal siapapun, kalau gitu aku mau ngenalin diri sama kamu, Fera, temanmu sebangku selama 3 tahun.” Ia menjabatkan tagnannya

“Mereka?” kujabat tangannya yang menungguku itu.

“Dokter kalian. Aku yang bawa kalian bertiga ke rumah sakit William Booth. Dan kata dokter cuma kamu yang kena reset memori, karena kamu duduk di belakang dan ngga pakai sabuk pengaman.”

“Aku kecelakaan ngga sendiri?” kenapa Ayah ngga bilang ke aku kalau aku kecelakaan sama yang lain? Pikirku. Ini semakin aneh. Kami menaiki elevator.

“Kamu, Nathan, Novac. Dan untungnya malam itu aku di belakang kalian. Jadi aku bawa kalian ke rumah sakit. Malah, rumah sakit Novac beda sendiri, karena William Booth sudah penuh, jadi aku bawa dia ke RKZ.” jelasnya

Nathan? Bukannya itu nama yang disebut cowo aneh yang mau cium aku di rumah sakit? Aku masih terdiam tak mengerti apapun.
Kami tiba di atas, acara wisuda ini penuh. “aku duluan ya, Jessie. Aku panitia di acara ini.” kubalas pamitnya dengan senyum.

Ayah bilang aku berada di kelas Science B nomer absensi 10. Oh, ya, aku melihat palang Science B. Untung saja mudah mencarinya mengingat kelas di sini hanya sampai E. Sekitar 25 bangku di sini, aku berada di seat ke 2 pojok. Sebelah bangku bernomor 10 itu ditempati lelaki yang mengenalku dengan canggung di tangga tadi.

“Permisi.” Kataku

Ia yang masih bercanda dengan teman di sebelahnya, menatapku. “Hei, ada yang bisa di bantu?” tanyanya ramah, ia melempar senyumnya.

“Ngga aku cuma mau duduk di sini” aku duduk de sebelahnya “kamu di kelas ini juga?” tanyaku.

“Seharusnya aku yang tanya gitu ke kamu, kamu di kelas ini? Aku ngga pernah lihat kamu sebelumnya loh, serius. Aku Jonathan, kamu?” ia sok asik mengajak salaman gaul.

“Jessica.” Kujabat erat salaman gaulnya. Genggamannya kuat sekali. Ia tiba-tiba mengubah raut wajahnya heran, kemudian bicara dalam hati sendiri ‘Jessica’

“You guys are sweet. And funny. Such a perfect couple.” cemooh teman orang asing Jonathan di sampingnya.

Kami berdua melihatnya seakan kami akan berkata ‘Huh?’ dan saat itu juga wajah teman Jonathan menjadi ungu “What?” tanyanya. Apa maksudnya ‘perfect couple’?

“Wh..What do you mean, Fisk?” tanya Jonathan kebingungan.

“You guys still in relationship right? Am i right? Or you guys don’t remember each other after that accident? Nathan?” tanya teman Jonathan canggung dengan aksen Meksikonya.

Nathan? Apa orang ini yang dimaksudkan mereka mengalami kejadian itu bersamaku? Kenapa aku tidak sadar Nathan adalah kepanjangan dari Jonathan? Ini penuh tanya “Aksiden?” tanyaku ke Jonathan “aksiden seminggu lalu? Kamu juga ngalamin itu, Jonathan?”

“I..iya” jawab Jonathan kebingungan “Jadi kamu Jessica yang diceritain orang-orang kalau kamu ikut dalam kecelakaan itu?”

Teman Jonathan, yang dipanggilnya Fish melihat kami bagai orang dungu seperti tak mengerti apa yang kami bicarakan.

“Maaf, Jessica. Kamu satu-satunya orang yang aku ngga inget di sini.” Kata Jonathan

“Aku... ngga paham.”

“Ya, begitu juga aku. Kamu sering muncul di mimpiku tapi bahkan ngga pernah kepikiran kalau kamu nyata.” Ia memandangiku seperti ia sangat mengenalku. Lalu menyentuh tanganku yang kuletakkan di pahaku. “Jessica Khaliffa” katanya masih dengan tatapan yang tajam “kamu begitu nyata.”

“Guys, are you okay?” ganggu teman Jonathan “The party gonna start in... 1 minutes from now. ”

Acara apa sih ini, gelap, musiknya tak menyenangkan, hanya pidato dari guru-guru yang bahkan aku tak kenal. Aku masih ingin membicarakan soal kejadian itu dengan Jonathan tapi... Ah, ramai sekali. Aku hanya bermain smartphoneku. Menyedihkan, ketika dunia mengingatku tapi aku tak memperdulikannya. Ber-ton-ton pikiran ini.

“And this is, the one and only our student who got highest rank in school...
Jessica Khaliffa!!!”

Tiba-tiba aku mendengar kalimat itu, mataku melotot mendengar nama itu, semua mata tertuju padaku dengan tepukan kerasnya. Aku? Murid terbaik di sini? Kalian pasti bercanda.
“Selamat, ya..” bisik Jonathan

“Please this way.” Seseorang ingin menuntunku ke atas podium.

Aku naik ke podium dengan raut wajahku yang random. Tepukan massa dan flash dari kamera profesional menyergap mataku dari kejauhan. Kuterima piagam dari seseorang yang mengaku sebgai kepala sekolah “some speech, Jessica?” utusnya

“Sure” aku tersenyum. Menghadap mic, menatap kosong bangku penonton, aku mulai bicara.
“It’s easy to feel hopeful on a beautiful day like this. But there will be a dark days ahead us too. So many memories and friend will leave us, after this. But no matter how burried it gets, keep your hope alive. As we look around here today, at all of the people make us who we are, i know this feels like saying goodbye, but we will carry a piece of each other’s into everything that we do next, to remind us who we are, and of who we’re meant to be.”

“Thank you, Jessica. Well that’s what she said, we’re..” kuturuni anak tangga selagi kepala sekolah kembali memegang mic. aku duduk di bangkuku kembali

“Nice speech” bisik Jonathan, lagi.”

Aku baru sadar, piagam yang aku pegang bukanlah piagam biasa. Itu lembaran berkas yang sangat tebal. Kubuka perlahan kertas yang mudah dibuka itu, isinya membuat bulu kudukku berdiri ketika aku membacanya. Di kertas ini menyatakan bahwa yang menerima ini akan lanjut studi di University of Manchester. Senang? Tentu saja, aku baru bangun beberapa hari lalu dari tidurku dan aku akan bersekolah di Inggris. Jadi, apakah dulu aku anak yang pintar?


Sukses memang butuh kerja keras. Tapi tak melupakan siapa saja yang membuatmu sukses butuh usaha yang lebih keras. Kira-kira, itu maksud pidato Jessica. Ya, dia memang cantik di video yang baru kurekam kemarin pagi.
Jadi itu yang dikatakan Novac adalah pacarku? Bahkan sedikitpun aku tak mengenalnya, dan dia tak ingat siapapun. Waktu tak campur tangan dalam urusan-urusan manusia dengan penantian, aku harus bisa mendapatkannya kembali.
Tapi, aku sadar, tak semua parade memerlukan keterlibatanku, bahkan ia akan ke Inggris dalam waktu yang singkat. Tapi, setidaknya, aku harus membuatnya bahwa kita pernah mengenal satu sama lain.

Teleponku berdering, foto Fera terpampang di ponselku. Ia menelepon? Tumben sekali, terakhir aku menghubunginya ketika ada tugas akhir dan aku sekelmpok dengannya.
Kuterima panggilannya
“Ya, Fer?”
“Jo? Kamu sibuk ngga hari ini?
“Kalau iya kenapa, kalau ngga kenapa?”
“Aku butuh kamu sekarang juga di rumah sakit William Booth.”
“Harus banget sekarang?”
“Ya, nunggu Indonesia turun salju juga ngga apa. Ya sudah, Jo, cepetan ya!”
Ia menutup teleponnya langsung

Oh ya, aku lupa, aku harus kontrol ke lab, pasti itu alasan Fera memanggilku mengingat Ayahnya adalah perawat di rumah sakit sana.
Aku meninggalkan rumah di siang bolong. Nyawaku masih terkumpul sepertiga karena panasnya Surabaya pagi ini. Avanza keluaran bekas pemakaian ayahku sengaja kusetir pelan, mengingat ingin ke mana setelah aku lulus. Unair? ITS? Bahkan aku masih belum tahu apa bakatku.

Sampai di William Booth. Aku berjalan di koridor tempat menuju laboratorium. Belum mandi, belum makan, kelar hidupku. Suster-suster muda di sini tampak canti sekali.
Terakhir kakiku berhenti di ruang tunggu laboratorium. Fera dan Novac bercengkrama menikmati teh berdua di teras tunggu itu.
“Novac?” panggilku “You’ve been check out from RKZ? Why you not tell me?”

“Joe? I told you yesterday. And you don’t even read my text.” Nada Novac meninggi

“Sudah, sudah” kata Fera, lembut “langsung masuk aja, Jo. Ada yang nunggu kamu di dalam.” Mereka memandangiku tercengan

Siapa yang menungguku? Aku masuk ke dalam laboratorium.
Seseorang memakai kemeja putih lengan panjang, berambut panjang. Jessica? Hal pertama yang aku pikirkan, apakah ini semacam perpisahan setelah kami keluar SMA? Ia menghadap ke seseorang yang memakai jas laboratorium. Dokter yang tak lain adalah Ayah Fera.

“Jo?” panggil Ayah Fera. Membuat Jessica menoleh ke arahku.

Tak menanggapinya tapi yang kupanggil malah... “Jessica?” kulihat mukanya tegang, sama halnya denganku saat mengetahui kami sama-sama di sini.

“Duduk, duduk sini, sebelah Jessica.” Suruh Ayah Fera. Aku menepi di meja kayunya, di sebelah Jessica. Kupandangi terus Jessica, sama halnya ia juga terus memandangiku.
“Jadi, saya akan ceritakan kejadian yang sebenarnya.” Ia membersihkan tenggorokannya “Saya mendengar penjelasan dari Novac yang ditranslate oleh anak saya, Fera. Hampir dua minggu lalu, kalian mengalami kecelakaan. Fera yang membawa kalian ke sini waktu saya tugas malam di UGD. Jo mengalami kesleo di tangan, sedangkan Jessica terluka paling parah, kepalanya terbentur dan mengalami pendarahan.
Setelah kami ingin memberikan darah ke Jessica, entah apa yang dilakukan oleh Tuhan, darah Jessica tak terdeteksi A, B, AB, bahkan O. Tapi, sebelumnya saya sudah mengabil sample darah Jo, dan benar, DNA kalian mengalami kesamaan. Karena Jo tidak kehabisan darah, maka saya pindahkan darah Jo ke Jessica.”

“Tapi, Dok.” Cacat Jessica

“Iya saya tahu apa yang kamu pikirkan” Dokter Riza tak membiarkan Jessica berbicara “Di sini saya akan membuka cerita. Saya akan membahas 18 tahun lalu. Seorang janda hamil besar datang ke rumah sakit ini. Ia adalah nyonya menir dari Belanda. Ketika ia sudah mau melahirkan, ia tak bisa menahan sakitnya, ia berteriak kencang, dan akhirnya ia meninggalkan. Tapi untungnya bayinya bisa diselamatkan. Bayinya kembar. 2 bulan kami menahan bayi tersebut tapi tak seorangpun mengambilnya. Akhirnya saya memberi akte sendiri ke kedua bayi kembar tersebut. Jonathan Wagnerr, dan Jessica Khaliffa. Sebulan kemudian 2 orang perempuan mencari bayi. Yang satu ingin mengambil sang laki, dan satu ingin mengambil wanita. Kontak batin adalah kekuatan Tuhan yang paling hebat.”

Aku dan Jessica bagai Kapten Amerika yang dibekukan selama bertahun-tahun memandangi Dokter Riza. Membeku dan sekarat mendengar penjelasan itu. Tangan Jessica yang kurus membeku di atas meja.

“...saya berbicara sekarang karena kalian sudah tumbuh dewasa, agar kalian mengerti cerita hidup kalian sebelum ini.” dokter Riza membereskan berkas-berkas di mejanya “Dan saya dengar kalian pacaran? Selamat, ya. Hahaha” ia pergi meninggalkan kami.

Kupandang Jessica “Jes...” panggilku

“Aku tahu Jo. Ternyata foto di HPku itu kamu.” Ia memandangi kursi kosong yang di tinggalkan dokter Riza.

“Ya, ternyata foto yang dikirim Novac itu juga kamu. Tapi kenapa aku ngga inget sama kamu?”

“Karena mimpi ngga akan memunculkan orang-orang yang ngga kita kenal, Jo. Aku bahkan ngga kenal diriku sendiri.”

“Maksud kamu, Jes?”

“Novac, Morphine, Penjaga kasir bermain Get Rich, kedua orang tuamu yang sayang kamu? Aku juga tahu itu semua, Jo. Itu muncul di mimpi aku, di pikiran aku. Aku ini kamu, Jo.”

Double Kill. Setelah mendengar pernyataan Dokter Riza, aku tambah gila mendengarkan Jessica juga mengalami itu. Kugenggam tangan Jessica yang berada di atas meja kayu.

“Dan satu lagi Jo. Pidato di atas panggung itu, seakan semua keluar dari pikiran yang bukan milikku. Kamu karang pidato itu, kan? Aku sempat gugup pas disuruh kepala sekolah berpidato”

“Iya, Jes. Kita adalah cara menghadapi rasa takut yang terlupakan. Dan kamu bicarakan semua yang ada di pikiranku.” Kugenggam lebih erat tangannya yang halus “Jadi kita ngga bisa jalin hubungan yang dulu lagi?”

“Kita sudah sedekat daging dan otot. Kita lebih dari sekedar suami istri atau saudara kembar. Aku adalah logaritma dan kamu enigma. Dalam skala yang berbeda, tetapi sama-sama tidak mudah dipisahkan. Tubuhku memang Jessica tapi pikiranku adalah Jonathan Wagnerr. Aku punyamu. Kamu pengendaliku. Dan kamu gila Jo, kamu tanya-tanya sendiri, terus jawab-jawab sendiri pakai tubuhku.”
                                                                                                                                
“Hahaha!” aku tertawa keras. “Aku dari dulu sangat ingin ke Inggris. Ceritakan itu semua melalui pikiranmu, Jes.”

“Pasti Jo.” Ia memelukku, kueratkan pelukan itu. Aku memeluk diriku sendiri.

“Well, well..” Novac masuk secara tiba-tiba. “You guys, i jealous with your story. Such an amazing journey i can came in your life.” Ia memeluk kami yang sudah saling berpelukan. “If you guys are twin let me be your third, then.”

“You always be my sister, Novac.” Kata Jessica. “I saw a lot picture of us. Bali, Jogja, Lombok. Nothing can separate us.”

“You come back to Serbia, Novac?” tanyaku yang sedang berpelukan bersama kami bertiga “don’t forget to visit me, Novac.”

“I don’t know this is bad news or good news, Jo. I stay here.”

“What?!” kupeluk semakin erat mereka berdua.

“Jo!” mereka berteriak. “Hey, hey.. Jo. I saw a good food yesterday. It name is kebab and the smell is delicious as fuck.”



Rumah saat malam hari. Ketika aku habiskan sore hari bersama Novac dan Jessica. Ternyata malam tak ada urusannya dengan jadwal matahari tenggelam. Kehilangan orang yang kau sayang pun juga bisa disebut malam
Ayah menungguku di teras bersama Ibu. Mereka melihatku seakan aku punya banyak salah. ”Yah, Bu. Maaf aku pulang telat... aku habis”

“Seharusnya kami yang meminta maaf sama kamu, Nak.” Kata Ayah

“Jo..” lanjut Ibu “kami sudah setuju kalau kamu marah mengetahui bahwa kamu bukanlah dari gen kami. Kami meminta maaf sepenuhnya” Ibu menutupi mukanya yang ingin menangisx

Raut wajah mereka membuat air mataku tak bisa terbendung. Kupeluk mereka berdua yang duduk di teras depan “Yah, Bu... walaupun dari awal aku bukan dari gen kalian. Tapi kasih sayang kalian ke aku melebihi kasih sayang kalian sendiri berdua. Aku mau berterima kasih dan meminta maaf, Bu, Yah.” Air mataku tak pernah sebocor ini. Pasti ini ulah Jessica.

Dunia seakan bercanda hari ini. Tapi, bagaimanapun juga apa yang kita punya belum tentu orang lain punya. Mulutku otomatis mencium mereka berdua. Namun, walaupun hari ini sudah mengubah seluruh hidupku, walaupun hidupku ini adalah plot twist yang luar biasa, tapi Tuhan adalah pengarang cerita yang apik dan manis. Entah sebulan lagi, setahun lagi, atau seabad lagi, aku merasakan semangatku menjalani hidup ini semakin bangkit semenjak hari ini. Seperti kata Jessica, no matter how burried it gets, keep your hope alive.

“Bukan begitu, Jes?”

“That’s your word, Wagnerr.” Sahut Jessica dari kejauhan.






Jessica speech taken from: The Amazing Spiderman 2
Some quote taken from @adimasemanuel's tweet