Kamis, 30 April 2015

CERPEN: What’s Happen and What’s Going On




Aku ingin seperti langit gelap. Semua orang lupa dan benci kepadaku, tapi suatu ketika mereka akan terkejut ketika aku menjadi langit yang cerah.
                       
Di sini aku berdiri, di blok apartmen milikku. Membenahi beberapa kisah-kisah kelamku bersama orang-orang hebat yang sama ‘gila’nya sepertiku. Ya, aku tidak bisa bergaul dengan sembarangan orang. Makhluk macam apa yang mau berkhayal bersama orang yang memiliki IQ dua digit sepertiku?

Kalian pasti berpikir bagaimana aku yang memiliki IQ dua digit bisa memiliki lantai sendiri di gedung tingkat 9? Aku akan ceritakan semuanya.


Cahaya Langitan, lahir di Balikpapan, bulan Desember tahun 1985. Seorang anak yang ingin kaya dan sukses dengan otak yang seadanya. Aku adalah anak semata wayang seorang Ibu mantan pekerja seks komersial yang sekarang jadi buruh cuci rumah tangga, tinggal di panti yayasan anak berkepribadian lebih. Kami jadi satu di rumah sederhana yang diurus volentir dari pengusaha sukses dari Semarang. Aku yang baru bisa membaca lancar pada umur 11 tahun, mengawali sekolah dasar di madrasah, berlabuh ke SMP dekat kampung yang sudah hampir hilang bangunannya, aku hampir mati keracunan dan dipecundangi oleh malu saat aku bukanlah anak yang normal. Akhirnya perjalanan pendidikanku berakhir di SMA swasta yang tak khayal banyak anak-anak yang bermasalah dengan mentalnya atau dari orang tua yang broken home di sini.

Tidak ada yang sempurna dengan hidupku. Ada pun Tio, ia adalah anak dari seorang psikopat yang selalu merepotkanku di panti. Aku disuruhnya setiap hari menata kasurnya, memakaikannya kaos kaki dan sepatu, hingga menyiapkan pakaiannya. Jika tidak, ia menyiksaku sampai lebur.

SMALB Cela Maria. Tak seperti kebanyakan SMA lainnya, kami di sini dibolehkan untuk memakai baju bebas, bahkan baju bekas. Waktu belajar di sini hanya 20 jam dalam seminggu selama 4 tahun. Kelas kami pun beragam, ada kelas matematik, kelas musik, kelas rohani dan lain lain. Oh ya, kami di sini tak membeda-bedakan teman. Karena kami di sini semua “sama”, yang paling aku suka, kelas matematik di sini selalu jarang yang minat, sehingga aku lebih atraktif untuk belajar.

Di umurku yang  tahun ini menginjak 19 tahun, aku jauh dari kata smepurna, aku tak bisa membaca dengan jelas, tak bisa menjadi kreatif, bahkan aku suka malu ketika orang-orang mengajakku berbicara. Anak-anak yang lain mengambil 5 sampai 6 kelas, sedangkan aku, aku hanya mengambil kelas matematik, karena rasanya tak ada yang lebih menyenangkan dari bergerumul dengan angka-angka.


“Permisi pak” panggil Valen, sekretaris sekaligus asisten pribadiku “Pesawat sudah siap, pesawat kita menuju Catalonia dulu sebelum akhirnya sampai Zaragoza”

Kutolehkan setengah kepalaku, mengangkat bahu dan berkata “Beri saya waktu sebentar, saya akan mengucapkan salam perpisahan.”

“Baik, Pak.” Jawab Valen, kemudian ia menutup kembali pintunya.


Memasuki tahun ke tiga di sini, satu-satu anak baru pun mendaftar di sini, dari berbagai macam kota, etnik dan agama, semua tak ada yang membedakan. Tak terasa, dua tahun lagi aku keluar dari sini, bahkan aku tak tahu harus bagaimana untuk menjalani kehidupan di 4 sampai 5 tahun kelak.

Selesai kelasku, aku ingin meninggalkan sekolah dan beristirahat, otakku rasanya cepat sekali panas, saat melewati kelas musik, aku mendamba sosok primadona di kelas musik yang sedang bermain piano, kelas itu hanya ada dia ditemani bangku-bangku kosong dan alat musik lainnya, anak baru itu cantik, maksudku, tentu semua perempuan cantik, tapi dia yang paling cantik. Oh tidak, aku memiliki fobia terhadap wanita cantik, pernah saat SMP aku mendekati teman paling cantik yang di kelas, kemudian ia menamparku hanya karena aku ingin membenarkan tali kutangnya yang terlipat. Cukup.

Ia sangat handal bermain piano, jari-jarinya menghantam dengan lembut balok-balok piano demi not-not yang indah, bola matanya selebar dunia fantasiku untuk ingin sekedar mengatakan halo kepadanya, kulit kuning dan hidung panjangnya dihias oleh rambut yang yang diikat ke belakang, tak pernah kulihat sosok Citranggada secantik ini walaupun aku bukanlah Arjuna di hidupnya, matanya agung bersimba keindahan saat berkedip memercikkan pantulan cahaya ruang untuk melihat nada indah yang dibuatnya. Sepuluh menit tak hentinya kupandangi ia yang menghadap kesamping, tak sadar akan kehadrianku, lantas aku pulang dan memikiran lagu apa yang dimainkan itu. Sungguh hari Jumat yang indah untuk sekedar memikirkannya.

Hari kedua dari musim ketiga di sekolahku ini, seorang enterpreneur asal Sumedang mendatangi sekolah ini, intinya, dia menceritakan tentang kisahnya dari gadis miskin menjadi orang sukses dengan berjualan tahu goreng. Sepuluh tahun yang lalu, dari pagi sampai sore, ia menawarkan dagangannya di pasar, tak banyak yang laku. Sekarang? Seluruh pasar mengklaim bahwa pasar tak akan laku jikalau tak ada tahu gorengnya dia. Namanya Eka, sukses di umur 26 tahun. Tapi, aku tak suka caranya membagi kisah suksesnya. Tidak, aku tidak iri bahwa ia jauh lebih sukses dariku, aku hanya tak tertarik karena jalan sukses setiap orang itu beda. Aku punya firasat buruk mengenai orang ini. Ia akan meunjukku untuk maju ke depan, jika memang benar, aku bahkan tak tahu harus menjawab apa.

Tuhan tak mengocok dadu, atau kata lainnya, tiada yang kebetulan di dunia ini. Tiba-tiba Eka mengajakku maju ke depan. Kulangkahkan kakiku ke depan, menuju Eka, berdiri di sampingnya
Ia bertanya “Siapa namamu?”

Dengan sedikit gelisah di depan 350 siswa, aku memberikan namanku “Cahaya”

“Oh, Cahaya!” ia mengulangi perkataanku tadi dengan nada yang lebih keras “Kamu lima tahun dari sekarang adalah orang yang sukses. Saya yakin itu. Tapi satu hal yang saya tanya kepada anda” lanjutnya “siapakah anda, 4 sampai 5 tahun kedepan?” ia mengarahkan mic kepadaku.

“Uhh.. Orang?” Jawabku lantak. Seluruh balkon tertawa lebar mengenai jawabanku. Aku tercekik malu di depan umum, Eka pun kegirangan disebelahku sambil menepuk jidatnya yang lebar itu.

“Bagus, bagus” katanya “kamu boleh kembali sekarang.”

Tak menunggu diperlihatkan caranya kembali, aku melangkahkan kakiku, dua langkah kedepan, tangan Eka mendarat di pundakku

“Tapi tunggu. Saya percaya, kelak kamu akan jadi orang yang sukses”

Tak kuhiraukan ocehan terakhirnya itu, langkah kakiku memaksa melepas tangannya dari pundakku sehingga aku lekas kembali ke tempat dudukku.

Kulewati lorong yang menuju pintu keluar, kulewati ruang dengan dentingan piano yang seperti hari Jumat. Benar, gadis berawakkan seksi itu masih bermain piano. Kali ini ia memakai kacamata hitam, aku mendapatkan duniaku sendiri ketika aku memperhatikan jarinya yang menari di atas piano. Imajiku menuju ke berbagai belahan dunia ketika aku mendengar indahnya tone yang mengalir dari petikan senar di dalam pianonya.


“Kok dari tadi ngelamun aja, sih, Cah. Kamu belum siap?” tanya Valen

“Sebenarnya iya, mengingat di sana jarang yang bisa bicara bahasa Inggris. Saya agak takut.” Jawabku

“Tenang, aku tetap ngedampingin kamu, kok.”

“Makasih, Val.”


Hari ini ada kelas rohani, setiap hari Selasa sekolah kami memanggil Pendeta untuk di datangkan,  doa kami selalu di tampung dan di-amin-kan oleh beliau. Dalam doaku terselip untuk siapapun orang yang menyayangiku, walaupun aku tak tahu siapa itu, aku tetap akan mendoakan mereka agar selamat, selalu sehat, dan dilimpahkan rezekinya. Kepada bapa, putra dan roh kudus. Aamiin.
Pengakuan dosa? Aku rasa aku tak merasa melakukan dosa akhir-akhir ini. Kuputuskan untuk mengakhiri kelas ini, aku berjalan keluar, perempuan berkacamata hitam yang biasa bermain piano itu duduk di bangku dekat pintu masuk. Aku terkejut, wajahnya menghadap depan tak menghiraukan apapun, tak ada reaksi yang dipamerkan saat iya berdoa, sangat cantik ketika dia berdoa. Kulewati ia dengan biasa, segera aku masuk ke kelas matematik untuk kelas berikutnya.

Setelah selesai kelas terakhir di jam ini, aku jadi penasaran sedang apa perempuan tadi, ia biasa menghabiskan jam terakhirnya bermain piano di kelas seni, kulihat dari luar kaca persegi yang terpampar di pintu kelas seni, kulihat ternyata ada beberapa anak yang melukis dan menggambar, tak ada yang bermain musik apapun.
Ah, mungkin dia absen. Kuhadapkan badanku ke samping, seseorang setinggi lima kaki dan lima inchi muncul tepat di hadapanku, terjadi gempa mini di jantungku, itu perempuan yang aku perhatikan akhir-akhir ini, elegan dengan kemeja merah, apa adanya, serta menawan, itu kesan pertamaku saat kulihat wajahnya langsung dari jarak kurang dari setengah meter, tapi bola matanya... abu-abu tua?

“Hei..” sapanya, ia tersenyum manis

Aku gugup, tak biasa diajak omong oleh perempuan “Oh hai, mau lewat ya? Maaf..”

“Ohh, engga, kamu dari kemarin perhatiin aku terus, aku jadi takut sama kamu. Hahaha..”

Mati, sekarat, bagaimana dia bisa tahu aku kemarin memperhatikannya? “Oh, hehe, aku cuma pengin bisa belajar musik.” Tegasku malu

“Bohong, kamu berkeringat.” katanya

“Hehe.. iya, aku pengin lihat kamu main. Aku suka kalau denger dentingan pianomu.”

“Gitu dong jujur. Yuk masuk yuk.” Ia membuka pintu kelas seni, menggandeng tanganku. Perutku mulas karena malu digandeng oleh perempuan secantik dia.

Aku duduk tepat di sebelahnya saat ia bermain piano, jari-jari mungilnya lincah menekan tombol piano tersebut, “mau aku ajarin?” tanyanya. Jelas aku tak bisa bermain ini.

Ia menggenggam tanganku, menaruhnya di atas piano itu, “kita mulai dari nada rendah Do”
Ia mengajariku sampai aku bisa bermain tanpa melihat tombol piano itu, bermain dengan menyontek nada yang sudah ada di depan. Selama satu jam aku diajari bagaimana caranya bermain.
“Oh iya aku Nina.” Ia menjabatkan tangannya.

“Cahaya.” Kugenggam tangannya

Ia memejamkan mata saat mendengarkan aku bermain piano dengan berantakan. Tak hentinya kupandangi wajahnya selagi ia memejamkan mata, aku suka mendengar, tapi aku lebih suka melihat. Tuhan menciptakan ekspresinya dengan sempurna saat ia membentuk wajah Nina.

“Apa kamu lihat-lihat aku? Hahaha” Nina menyorot mataku dengan bercanda

“Daritadi kamu nutup mata kamu, sejelek itu emang aku?”

“Hahaha.. engga, Cah. Aku lebih bisa melihat dengan mata tertutup, aku lebih bisa melihat duniaku dengan jelas.” Kami diam sejenak “maaf kalau bahasaku ketinggian hahaha..”

“Oh, engga kok. Aku paham.”

“Okay.”

Kulanjutkan bermain pianoku dengan lantang dan dibantu sedikit sedikit oleh Nina ketika ada yang salah.

“Kamu ngga seperti yang lain, ya.” Kata Nina.

“Maksudnya?”

“Kamu ternyata anaknya pinter, ramah, baik.”

Tubuhku seakan tumbuh sayap, terbang ke planet saturnus, uranus, merkurius, melewati alien-alien, menyapa Superman dan Thor di atas sana, lalu kembali ke bumi, menghantam atap sekolahanku ini, dan leleh di sebelah Nina saat ia mengucapkan kalimatnya itu.

“Terus kenapa kamu sekolah di sini, Cah?” ia bertanya

“Karena IQku 73. Kamu sendiri ngapain sekolah di sini, Nina?”

Ia bercerita panjang lebar, ternyata ceritanya sedikit menyedihkan karena kesalahannya sendiri.

“Jadi kamu, maaf. Buta? Terus selama ini kamu ngga tahu wajah kamu?”

“Terakhir aku lihat wajahku pas aku umur 7 tahun. Sebelas tahun lalu, entah gimana wajahku sekarang. Kamu mau bilang sesuatu?”

“Engga.”

“Jangan bohong, aku tahu kok.

“Kalau boleh aku ngejelasin wajah kamu saat ini.”

“Hmm?”

“Kamu cantik Nin.”

“Hahah makasih, sayang aku ngga bisa lihat.

“Terus selama ini gimana kamu bisa naik sepeda seperti orang normal ke sini?”

“Aku merasakan suhu disekitar, panas dan dingin, aku merasakan getaran kecil di setiap aku berdiri, aku mendengarkan hal-hal kecil di sekitarku.”

“Jadi kamu bisa memprediksi sifat orang? Atau baca pikiran?”

“Ngga gitu cara kerjanya, Cahaya, tapi aku bisa tahu kamu hari ini habis makan apel, pisang, dan sayuran lain pagi ini. Aku tahu kamu ngga pakai sabun di leher, karena mungkin kamu alergi. Dan semakin aku bicara panjang lebar ini, jantung kamu semakin berdebar kencang.”

“Kamu bisa ngerasain detak jantung dari jauh?”

“Bahkan aku bisa mendengar rayap di atas atap saat mereka mengunyah makanan mereka, Cah.”

“Apa semua orang tahu tentang kamu, Nin?”

“Cuma beberapa orang, aku tahu kamu orang baik, maka dari itu aku mau ceritain semuanya ke kamu.”

“Jadi selama ini aku perhatiin kamu di depan ruangan, kamu juga tahu?”

Ia menjawab dengan menganggukkan kepalanya.


Di saat aku pulang dari sekolah, mobil Nissan Terano mengepot di depan mataku. Sang sopir membuka pintunya, ia datang kepadaku. Aku pernah mengenal sosok orang ini. Orang ini tak asing.

“Cahaya, benar?” sapa orang berkemeja biru yang kemarin berada di sekolahku untuk menceritakan kisah suksesnya

“Iya. Kamu Eka, kan?”

“Ternyata kamu masih ingat, Cahaya. Saya di sini mau mengajakmu untuk ke rumah saya. Jika kamu berkenan.” Ia mengajakku, matanya terlihat ragu untuk sekedar berbicara kepadaku. Andai ada Nina, ia bisa tahu apa yang ingin di maksudkan orang ini.

“Tapi aku baru pulang sekolah. Aku bisa dimarahi Ibu kalau pulang terlambat” jawabku polos. Tapi memang benar, marah ibu bagaikan badai harian di setiap kesalahan kecilku

“Hmm.. saya hanya ingin berbicara sebentar saja kalau boleh, di sini.”

Perasaanku mulai kacau, seakan aku menganggap orang sukses ini sudah gila untuk mengajakku bersamanya. Wanita berkacamata dan berambut cokelat ini memaksaku untuk memperhatikannya.

“Maaf, saya harus pulang” hindarku

“Cahaya, cahaya.. aku cuma mau kasih ini.” Ia mengeluarkan kotak biskuit berisikan 4 potong. Menyerahkannya kepadaku selagi aku menatap kosong matanya. Ini bagaikan pertemuan yang tak satupun ingin dimengerti. Apa pula ia turun dari mobil dan mengasihiku biskuit? Aneh. “dan lihat bagaimana itu mengubah hidupmu” imbuhnya

Aku terima kotak itu. Itu biskuit beraromakan cokelat produksi PT yang entah apa namanya. Mungkin ia mau menyogokku dengan itu, tapi aku tak sebodoh itu.


Hampir tiga jam aku memikirkan biskuit aneh itu. Permukaan tebal yang dilapisi cokelat leleh. Sebanyak 4 buah terbungkus dalam plastik yang rapih.
Ragu-ragu aku mengambilnya, membukanya perlahan, terlihat sedap. Memang terlihat mencurigakan, tapi bagaimana jika ia bermaksud baik? Tapi tidak, kuletakkan kembali biskuit itu, aku tidak bodoh. Hanya IQ ku yang jongkok.

Ah, biarlah, aku sudah berniat memakan biskuit cokelat dari Eka. Biskuit itu terlihat lezat. Tapi bagaimana jika itu racun? Persetan, hidupku sudah penuh racun. Kuambil biskuit itu dari dalam dus berwarna cokelat itu. Gigitan pertama yang tak mengecewakan, manis, pahitnya cokelat. Biskuit ini sangat nikmat.

2 dari 3 pekerjaanku belum selesai hari ini, ‘ratu’ panti mewajibkan muridnya untuk bekerja rumah tangga. Sepatu yang berantakan, cucian yang menumpuk, piring kotor yang bertebaran, siapa yang mau tinggal di rumah rasa tempat sampah ini? Rasanya aku ingin membakar panti ini. Tapi tidak, akal sehatku masih menang. Aku memulai membereskannya satu per satu. Ruang tidurku yang kotor, sprei yang kumuh serta baju-bajuku, aku mencuci semua, baru ini hari di mana hidupku sangat teratur. Bahkan aku bisa tidur tepat waktu jam 10.

Memulai pagi cerah, jam 6 aku beranjak mandi, berpakaian rapih, lalu mencuri sedikit parfum dari teman sekamarku. Jalan menuju sekolah yang berjarak 700 meter. Tepat jam 7 aku masuk kelas matematik. Memulai segalanya dengan semangat, memberi sang mentor minuman dari kantin, lalu aku mulai mengerjakan buku di bab-bab yang berikutnya, belajar hari ini terasa mudah.

Selesai kelas matematik, aku ingin mengunjungi ‘teman’ yang baru aku kenal dua minggu lalu, Nina. Bermain biola, menggunakan dress putih. Nina tertawa manis saat melihatku masuk ke kelasnya. Kuambil seat kosong piano yang tepat di sebelah Nina saat bermain biola. Kusambut alunan nadanya menggunakan piano, A Whole New World. Mengiringi nada gesekannya dari senar biolanya. Setengah lagu, aku mulai berpikir, waktu usiaku 11 tahun aku menyaksikan film Aladdin, saat ia bernyanyi A Whole New World, entah bagaimana alam bawah sadarku bisa mengkombinasikan nada itu dengan menggunakan piano ini, seakan nutron dalam otak bekerja cepat menciptakan pertunjukan film Aladdin  8 tahun lalu. Tapi..Bagaimana bisa?

Selesai dengan lagu itu, Nina tersenyum manis. Matanya tertutup saat tersenyum. Indah. Tanpa rasa malu, aku menyapanya “Hai cantik.”

“Hai..” lalu ia menanyaiku “Cepet banget belajar pianonya?”

“Gurunya yang hebat. Makasih, Nina.”

“Sama-sama, Cahaya.” Lalu ia tersenyum


Dalam perjalanan pulang, otakku mulai melemas, jaringan otak terakhir rasanya copot lalu meninggalkan bekas yang sangat berbeda. Aku kembali meletakkan pakaianku sembarangan. Singkatnya, aku kembali “normal”. Pertanyaanku yang sama adalah “Bagaimana bisa?”

Aku sadar, aku belum makan. Dari kemarin. Terakhir makananku adalah biskuit dari Eka itu. Kutinggalkan di atas TV, kulihat biskuit itu tersisa 3. Apa ini yang menyebabkan aku berubah? Tapi bagaimana bisa? Ini kan hanya biskuit?

Tinggal 2? Bukannya isinya 4 lalu aku baru memakannya 1? Aku memutuskan memakan satu lagi biskuit itu. Apa efek biskuit ini, hanya untuk memastikannya. Pandanganku terlihat cerah, aku baru sadar ketika aku menunggu 3 menit setelah makan ini. Aku menjadi percaya diri, seakan tahu apa yang harus kulakukan. Aku memiliki uang tabungan Rp.200.000 di bawah bantal. Aku tahu apa yang harus kulakukan.

Ku menuju bank negeri di dekat rumah. mataku langsung terpaku pada poundsterling yang berada turun di level 3%. Terdengar berita tadi di kantin, Inggris mengganti pasukan militer di bagian darat. Tak lama lagi aku bisa memastikan poundsterling akan naik. Kuputuskan untuk menukar Rp.200.00-ku menjadi GBP.20.

Malam, aku tak tidur, kutunggu berita harian di TV tepat jam 12 malam. Inggris sudah kembali mengembalikan pasukan angkatan daratnya. Sengaja ku-terlambatkan datang ke sekolah. GBP mendadak 15.000 rupiah dalam satu jam. Tepat jam 9, terjadi angka yang hebat, 18.000! tak menunggu lebih lama, aku menukarkan 20 poundsterlingku ke angka Rp.18.000. Secara instan aku mendapat Rp.360.000 kurang dari waktu 24 jam. Gila.

Pikiranku kembali di level tengah, biskuit itu adalah tautan yang aku pikirkan selama ini. Yang aku butuhkan. Aku kembali memakannya satu. Baru sadar, di dalam kardus biskuit itu tertera alamat. Dengan nama, Eka Nur Fitrianti, supplier. Aku menuju apartmen nya itu. Kamar itu terbuka. Eka terlihat depresi mengendalikan dirinya di tengah kamarnya “ketagihan ya” tanyanya.

“Aku cuma ngga tahu gimana itu bisa..”

“Saya sudah duga.” Potong Eka, ia bangkit dari tempat tidurnya. Melepas kacamatanya.

“Biskuit cokelat macam apa itu?” tanyaku

Eka mengambil nafas besar “Entahlah. Orang-orang pabrik memberi nama itu FFF-05. Hanya makan satu saja kamu bukanlah orang yang dulu.”

Badanku bergemetar hebat “maksudnya?” tanyaku

“Itu adalah roti untuk orang yang memiliki kelebihan seperti kamu, cahaya.” Ia menyeretku masuk lebih dalam ke kamar apartemennya.

“Kelebihan apa?”

Ia menyilakanku duduk, kami berhadapan di meja kecil berukuran persegi enam
“Kamu memiliki sindrom savant, Cahaya. Benar mungkin kamu memiliki IQ yang sangat rendah. Tapi kamu juga mempunyai kelebihan yang fantastis. Roti itu adalah cara mengaktifkannya secara perlahan, roti itu memiliki zat yang cepat dicerna oleh tubuh, mengeksolisir karbonhidrat yang tidak terpakai di tubuhmu menjadikannya DHA dan tenaga. Tak lama kamu akan tahu kelebihanmu itu.”

“Tapi anda tahu saya dari mana?” tanyaku

Dengan pena yang diputarnya ia menyawab “Tentu kami memiliki list untuk mengetahui semua orang yang sama sepertimu.”

“Kami? Anda tidak kerja sendiri?”

Ia menghembuskan keseluruhan nafasnya dari hidungnya. “Tentu tidak, Cahaya.”

“Lalu kenapa anda tidak makan biskuit itu sendiri?”

“Kamu tahu umur saya berapa?”

“Sekitar 25 tahun?”

“Hahaha.. umur saya tiga kali lipatnya itu. Ya, umur saya 75 tahun. Saya memiliki penggumpalan kulit, yang sampai sekarang masih belum ada yang punya hormon gen seperti itu. Roti itu yang membantu men-discover kelainan kulitku, kelenjarku dan ruas-ruas poriku terus memadat hingga saya masih terlihat seperti berumur 30 tahun.”

“Jadi anda bisa hidup selamanya?”

“Sayangnya roti itu tidak memperpanjang nyawa, Cahaya. Roti itu hanya untuk memadatkan kulit saya dari sel-sel lemak yang tidak terpakai sehingga tidak kelihatan keriput dan tua. Bohong jika saya adalah pengusaha muda. Saya sudah memulai usaha itu semenjak jaman Belanda.”

“Jadi biskuit bukan hanya untuk memperkerjakan bagian otak?”

“Tergantung konsumen. Semua orang yang memakan akan menemukan kemampuan yang berbeda-beda.”

“Apa syarat saya supaya bisa mendapatkan itu lagi, Bu?”

“Tidak ada syarat, Cahaya. Indonesia harus punya orang sepertimu. Syaratnya adalah kamu harus melawan dirimu sendiri ketika kamu sudah mengenal lebih jauh tentang dunia luar. Kamu bisa datang kapan saja ke saya untuk barang itu.”


Hal pertama yang aku lakukan adalah, memotong rambutku dengan rapi. Aku sempat mencuri uang Ibu Kos sejumlah Rp.3.000.000 untuk modal valas. Orang se-panti sempat ribut karena Ibu Kos kehilangan uangnya di bawah kasur yang biasa aku bereskan. Mereka tak mungkin mengira bahwa yang mengambil itu aku karena mereka pikir aku terlalu bodoh. Namun, uang itu kembali dalam waktu 4 hari setelah aku mencurinya.
Kemudian aku membeli setelan pakaian baru dengan uang dari valas yang aku mainkan. Terlebih aku baru membuka ATM yang dua minggu sudah terisi Rp.14.500.000, aku tak bersitegang dengan siapapun agar tak memiliki musuh. Aku sudah mengkontrol diriku sendiri sebagai orang yang menarik dan asyik. Bicara dengan wibawa di depan umum pun tak malu, membuat orang-orang merasa lebih nyaman berbicara denganku.

“Jadi, Nin, gimana rasanya  sebulan sekolah di sini?”

“Menarik.” Katanya “Teman-teman ngga membedakan siapa aku. Terlebih kamu, Cahaya. Tapi..”

“Tapi apa?”

“Entah sama siapa yang aku punya di sini kalau kamu udah lulus.”

“Ngga lama lagi aku punya kontakku sendiri, Nina. Kamu bisa telepon aku.”

Aku ingin mengatakan tentang barang itu ke Nina, tapi nyaliku tak bisa sembuh dengan barang itu. Rasanya aku membohongi diriku sendiri tentang barang itu. Ditambah, aku hampir berubah drastis dengan itu. Dari cara berbicara, getsur tubuh, dan berpakaian. Aku bahkan tahu Nina terkagum-kagum dengan diriku yang sekarang

“Mau bicara sesuatu, Cah?”

“Umm.. engga.”

“Jangan bohong.”

“Tolong hargai privasiku, Nin.”

“Ah.. Sorry, then.”


Teleponku berdering, kujawab teleponku dengan suara pelan. Ternyata itu sang presiden Indonesia. Beliau mengingatkan kami hati-hati untuk perjalanan yang panjang di Spanyol.
“Terimakasih, Pak.” Tutup kalimatku untuk percakapan di telepon itu.

“Siapa, Cah?” Valen bertanya.

“Kamu ngga bisa denger sama superpower mu itu?”

“Aku sudah bilang aku bukan penguntit, Cah. Aku lebih suka tanya langsung ke kamu.”

“Presiden, sayang. Beliau ngingetin kita untuk hati-hati.” Kubelai rambut panjangnya.
“Tidur lagi, Madrid masih jauh, kan.”


4 Tahun yang menyenangkan sekolah di sini. Sedih karena aku akan meninggalkan semua masa-masa pahit yang membuat diriku lebih kuat. Lebih sedih karena aku harus meninggalkan Nina yang tinggal 3 tahun di sini. Biarlah, aku harus tetap melihat ke depan, memulai perjalanan yang baru.

Bermain dengan bursa kurs kurang memacu adrenalinku untuk mencari serpihan rupiah. Aku harus bisa bermain yang lebih besar. Secara diam, Valas adalah target berikutnya, sebulan pertama penghasilanku di bank hanyalah Rp.3.000.000, terus menggeluti harga yang tidak tetap,  tidak besar memang untuk permainan yang mengintai harga diri dan mengancam kerugian yang besar. Tapi kau tak pernah kalah, memang bursa wallstreet terus berubah, tapi tak semua orang memiliki otak mutant sepertiku. Cepat atau lambat, aku harus memiliki klienku sendiri. Dalam beberapa bulan ini aku hanya bisa melibatkan 5 klienku.

Dibantu dengan Tira, klien sekaligus asisten yang aku miliki, kami membagi bagian pekerjaan kami. Aku yang berpikir, ia yang bermain. Biasanya aku membagi keuntungan 70-30 dengan klienku. Tapi beda dengan tira, ia mau membagi 50-50 untuk untungnya itu.

Di tengah berkembangnya diriku untuk menjadi yang lebih baik, aku harus pamit dari tempat pantiku dan memberi alasan aku tinggal dengan Ibuku. Karena aku sadar ini adalah rahasia, dan tak selamanya rahasia selalu menjadi rahasia.
Di rumah kecil dari apartment klien valasku, aku menyewa kamar kecil berukuran 5x7. Kusulap semua yang ada di apartmen menjadi tempat mencari danaku. Komputer ber-spek maksimal pada tahun 2005 berada di pojok tempat aku menyendiri. Layaknya ulat yang bersemayam agar menjadi kupu-kupu yang indah, angka-angka dari wallstreet dari TV terus menyeringai di kupingku, langit apartmenku berisi penuh angka-angka tajam yang akan aku mainkan di indeks harga saham.

Berkenalan dengan orang-orang di klab malam pun terasa mudah. Mereka suka dengan caraku berbicara sarkas mengenai konflik yang terjadi di negara ini. Gengsiku yang besar membuatku mudah bergaul dengan orang-orang semacam ini. Mereka juga sering mengajakku berlibur, bermandikan air panas di tempat yang letaknya tidak dekat, hingga ke pantai yang tak ada penguninya pun. Mereka tertawa karena hidupku mewah tapi aku tak ingin menyetir mobil sendiri.

Di hambang kemewahan ini, aku mengingat seorang nama. Memang aku adalah dosa Ibu yang pernah Beliau lakukan. Tapi, jikalau tidak ada janin yang terpendam di tubuhnya, aku hanyalah cipratan sperma yang terbuang. Ia juga punya perasaan untuk dihargai. Aku tahu, sangatlah berat menyelamatkan Ibu dari kisah masa lalu kelamnya, tapi aku adalah manusia yang punya empati. Aku masihlah anak yang punya kepribadian seperti cahaya, aku selalu menyinari, walaupun mereka selalu suka dalam kegelapan. Lantas aku mengambil Ibu yang bekerja di salah satu rumah anak bangsawan. Rumah mewah dengan pagar maut yang membatasi kolam renang di depan. Ia keliahtan tua, walaupun umurnya baru 47 tahun. Aku menyewakannya apartmen di depan kamarku persis, aku akan mengurus beliau sampai otakku menjadi abu-abu.

Dengan biskuit dari Eka yang di stock satu tahun penuh, aku sudah bisa mengumpulkan Rp.735.000.000 dalam hampir 1 tahun perjalanan permainanku. Aku sadar, permainan ini terlalu beresiko, aku harus memulai usaha di Balikpapan. Di sini pakaian batik amatlah langka, aku bisa menargetkan batik home made yang murah dan berkualitas, untuk pembuatan pakaian itu sendiri aku menyewa designer yang tak murah dan memperkerjakan ibu rumah tangga dari kampug-kampung terpencil agar biaya bisa ditekan.

Pinggan sore tak bisa menampung kelimpahan siang, juga bukan wadah yang tepat untuk menyajikan malam. Di tengah padatnya jadwal yang aku jalani, aku hampir lupa kepada Eka yang sangat berjasa karena memberikanku barang itu. Kutemui Eka di rumahnya. Ia memiliki kamar apartment yang selalu tak dikunci, ia masih menghadap lemarinya dan menatap wajah cantiknya sendiri.
“Lama tak jumpa, Cahaya?” ia menyambutku tanpa menolehkan kepalanya sedikitpun

“Mungkin sudah telat, tapi aku ingin berterimakasih kepadamu, Bu.”

“Sudah berapa kali aku bilang, berterimakasihlah kepada dirimu sendiri, Cah. Rupiah menguat karena ulahmu, kan?”

“Hahaha.. tidak juga, bu.”

Kami mengobrol untuk waktu yang cukup lama, aku bercerita tentang suksesku di dunia valas. Aku memesankan pizza untuk kami santap berdua karena sudah jam makan siang. Dengan sikap dinginnya, ia memintaku untuk menemui anaknya yang sudah tak ada kabar selama 7 tahun semenjak ia menemukan biskuit dari surga itu, ia ingin aku menemuinya sebab aku sudah mempunyai banyak pendapatan yang aku hasilkan. Serta konsultasi tentang apa yang sudah aku alami.

Aku tak mengendarai mobil, karena suatu alasan, aku tidak suka mengendarai mobil. Bahkan daripada menaiki mobil Merchedez ku sendiri, aku lebih suka naik sepeda atau jalan kaki. Setelah pulang dari rumah Eka, pandanganku menunjukan aku melewati 9 blok rumah, tak ada yang normal, padahal aku baru berjalan sejauh 2 blok. Anjing yang menggonggongiku 4 menit lalu, aku menemuinya lagi saat ia melewatiku. Gonggongannya pun sama persis.

Segerombolan 3 orang pria berbadan besar... Aku cemas. Kecemasan memberi lekuk pada tubuh dan otakku. Salah, aku melewati jalan menuju pasar yang terkenal tak ramah bagi orang asing. Mereka jalan ke arahku, menyerobotku lalu menghentikanku. Langkah pertama yang aku lakukan adalah melempar uang recehan ke depannya untuk menarik perhatiannya,  menghentakkan kepalanku ke saraf lehernya dengan cepat, lalu tanganku satunya menyerang uluh hatinya. Memang tak sakit, tapi 5 menit dari sekarang orang itu akan mengalami magh yang luar biasa.
Aku ketakutan, menagambil langkah mundur. Sisa 2 orang, aku pernah melewati ini, ia menyerang dengan ceroboh, kakiku reflek menyandung pria berkulit hitam itu, sebelum jatuh ke tanah, uluh hatinya kuhantam dengan keras.
Sisa satu, ia sama cerobohnya dengan si kulit hitam, ia maju dengan badan besarnya, ku ayunkan sepatu bootsku ke buah zakarnya, ia menunduk dan merengek ke sakitan. Tepat saat ia terjatuh, ku retakkan punggungnya dengan sikuku.
                                                                                                     
Ini aneh, aku baru saja menghajar 3 orang. Aku sadar, tapi sebelumnya aku sudah melakukan gerakan yang sama. Film action di TV 4 tahun lalu yang mengajariku gerakan tersebut. Tapi bagaimana aku bisa mengingat gerakan 4 tahun lalu? Bahkan aku melihat acara itu hanya 10 menit.

Di lab ternama di gedung sains rumah sakit ternama, aku menemui Fano, anak sematawayang Eka, yang menemukan barang itu. Rambutnya sudah beruban dan matanya sedikit pucat.
“Ada yang bisa dibantu?” tanyanya.

“Saya teman ibu Eka, konsumen teknologi buatan anda. Saya disuruh beliau untuk berkonsultasi.”

Ia tampak kebingungan, ia menyeretku kesuatu ruang yang lebih sedikit gelap dari ruangan-ruangan lain. Depan pintu itu bertuliskan Prof. Fano Welly. Dan sepertinya ini ruangan pribadinya. Aku disilakan duduk di sampingnya.

“Jadi, sebutkan nama, dan ceritakan kelebihan anda.”

“Nama saya Cahaya. IQ saya hanyalah 2 digit. Tapi semenjak ada barang itu, kehidupan saya berubah drastis. Saya hampir punya segala yang saya inginkan. Hidup saya berjalan dengan mulus.”

Terdengar dari suara lewat hembusan angin di telingaku Roti itu bernama FFF-05. Orang dapur menamakan sedemikian rupa agar tak terliaht mencurigakan. Sudah berapa lama anda memakai ini?

Mataku kupicingkan Dari mana suara itu? Pikirku

Tepat dari depan anda. Ini saya, Fano, yang sedang berbicara dengan pikiran anda. Ada suara balasan yang entah dari mana datangnya  Anda pikir hanya anda yang memiliki kekuatan seperti itu? Kulihat Professor Fano yang tersenyum dan tak membuka mulutnya se-centi pun.
Tolong jangan berbicara dengan mulut anda, terlalu banyak pengintai di rumah sakit ini.

Saya sudah memakannya selama satu tahun lebih. Lalu bu Eka menyuruh saya untuk menemui anda untuk konsultasi. Balasku dengan pikiran.

Mari saya periksa darah anda

Fano mengeluarkan semacam Pen yang di isi jarum, lalu disuntikkan melalui jariku bertujuan untuk mengeceknya. Setelah keluar setetes, ia menampungnya dengan kaca kecil berukuran 4x6 centimeter lalu menyelipkannya di dalam mesin berbentuk untuk di sebelahnya.

Saya mengenal anda. Di berita lokal, ada seseorang misterius yang membuat gebrakan besar terhadap deflasi Rupiah. Memang tidak disebutkan namanya, tapi akhir-akhir ini lab kami menemukan ada orang yang memiliki gen savant seperti anda. Jelasnya

Ia membuka alat nyelenehnya itu dan melihatkan hasil print cetak kepadaku.

Anda memiliki sindrom savant jenis mellontikosa. Zat besi yang pada orang normal  hanyalah 13%, anda memilikinya sebanyak 73%. Sindrom savant adalah di mana penderita itu memiliki IQ yang kecil, tapi ia punya kelebihan yang aneh, kelebihan anda adalah mellontikosa, yaitu anda bisa membaca gerakan manusia 1000 langkah ke depan. Sindrom itu sudah aktif semenjak 4 sampai 5 bulan lalu, berhenti memakannya pun tak masalah.
Singkatnya, anda bisa memperkirakan masa depan dengan akurasi 97%

Wajahku kaget secar natural, bahkan aku tak tahu selama ini ada kelainan seperti itu. Tapi mengapa saya tidak tahu masa depan saya seperti apa? Ku balas pikirannya

Tidak seperti itu kerjanya, anda tidak bisa menerawang visi ke depan. Tapi anda sudah tahu apa yang harus anda lakukan. Anda benar-benar tahu apa yang terjadi dan apa yang telah terjadi. Jelasnya.


Untuk orang yang aneh, hari-hariku berjalan normal. Aku terus bermain valas dan saham. Aku memperkirakan tahun 2015, Rupiah akan menyentuh angka 21.000 per dollar US. Tapi dengan bursa wallstreet yang aku tahan sekarang, aku yakin 2015 dollar ‘hanya’ menyentuh 14.000
Usaha batikku berjalan lancar dan semakin pesat. Setelah batik home made, batikku berjalan di kelas industri menengah, yang menghasilkan omset Rp.21.000.000. Per hari.

Hampir dua tahun setelah aku meninggalkan sekolahku, aku mengunjunginya, aku menemui guru-guruku yang masih mengajar dengan kesabaran. Semua senang melihat aku sudah berubah, tak ada yang berubah di sekolah ini. Tapi tujuanku ke sini hanya satu, Valenina Khalisa. Satu-satunya teman yang mengenali kebaikanku. Sudah 7 minggu ternyata ia meninggalkan sekolah ini. Lucu, aku mempunyai segalanya, tapi aku bukan segalanya di mata siapapun.

Temanku dekatku selama aku bermain valas, Tira. Ia adalah anak seorang menteri negara. Berkata bahwa istana merdeka butuh orang sepertiku.
“Seperti gimana, Rak?”

“Ya kaya lo, Cah. Sebagai penasihat kenegaraan.”

“Penasihat gila iya.” Tutupku bercanda. Kukira ia hanya mengigau menawariku pekerjaan seperti itu. Tapi aku berpikir, dengan menjadi penasihat kenegaraan, apa mungkin aku bisa berkeliling dunia?

“Kalau aku mau pekerjaan itu, harus daftar ke mana, Rak?” tanyaku ke Tira.

“Gue udah ceritain semua kemampuan lo ke bokap gue, Cah. Setiap hari gue ceritain lo ke beliau. Sekarang katanya Istana Negara butuh orang seperti lo. Kalau mau, gue anterin ke bokap gue.” Jelasnya

Kami sepakat untuk meninggalkan Balikpapan, menuju Jakarta yang padat. Aku menemui Irwan, bapak dari sohibku selama di valas. Pria berawakan tinggi serta kepala yang tak berambut.
“Kemampuan yang luar biasa.” Irwan bilang

“Jadi gimana, Pa? Cahaya diterima apa ngga?” Tira menanyakan tentangku kepada Irwan

Irwanpun menjawab “Boleh, boleh, tapi di tes dulu secara kejujuran dan psikonya.”                

Bagaimana tesnya? Sangatlah mudah. Aku mengisi beberapa lembar kertas dan ditanyai seputar soal kejadian masa laluku dengan pendeteksi kebohongan yang mengait lengan kananku. Aku melewatinya tanpa keberatan. Hasilnya yang menunggu 2 minggu, aku pulang ke Balikpapan, sementara aku harus tetap mencari rupiah dan memantau industri batikku.

Menunggu matahari terbit, aku sepakat dengan diriku sendiri bermain PS3 sampai larut subuh. Ternyata di umurku yang 23 tahun masih suka bermain seperti ini. Pintu apartmen terdengar bunyi besi yang saling menatap. Apartmenku yang hanya berukuran 4x7 memberikanku banyak ruang untuk bersembunyi. Di antara celah menuju kamar mandi, aku menekan badanku di antaranya. Handle kunci di pintu itu semakin bergerak hebat. Dobrakan seseorang dari luar berhasil membuka pintu itu. Dua orang masuk ke rumahku. Apa yang mereka cari?
Baling-baling kipas angin yang aku ambil kulemparkan ke seseorang yang terlihat seperti orang India berawakan sumo itu. Tepat mengenai matanya. Pria berhidung offside yang lain mencoba menyekapku. Aku tertahan di mejaku. Kuambil laptop disebelah dan  kupukulkan ke telinga kanannya. Ia masih tak melepasku. Kakiku yang panjang menguntungkanku, kutendang alat vitalnya secara keras. Tapi ia masih tak melepasku.
Seseorang datang dari pintuku, pria berjas hitam memakai topi koboi. Aku tak asing dengan muka pria itu. Tio? Orang India itu akhirnya melepasku. Ia berbicara dalam bahasa India kepada anak buahnya. Entah perintah apa, tapi orang India itu mengobrak abrik apartmenku.
“Cahaya Purnama.” Panggilnya

“Mau apa, kamu?!” nafasku terdesak-desak sampai leher.

“Sudah berapa tahun ngga ketemu?” ia menanyaiku, sementara aku enggan untuk menjawab. Tubuhku masih terbaring lemah setelah di smackdown orang India gila itu tadi.

“Denger-denger kamu sudah banyak uang ya?” tanyanya mengancam. Tangan kiriku mengangkat, mengepal dan mengayunkannya ke pipiku sendiri. Bergerak sendiri? Aku bahkan tak menggerakkannya sedikitpun.
“Loh, ngapain mukul dirimu sendiri Cah? Hahaha” ia berkata. Tanganku tak terkendali, tubuhku tiba-tiba berdiri.

“Di mana kamu simpan uangmu, Cahaya?” ia menanyaiku lagi

“Ya di bank, lah, bego!” kuberdiri dan ingin menghantap mukanya. Tubuhku tiba-tiba berhenti bergerak.

“Uhhh?” ia berdecuk. “kenapa? Ngga bisa kendaliin tubuhmu, ya? Kamu kira cuma kamu yang punya kelainan gen?”

Apa? Ia juga tahu soal kelainanku itu? Apa mungkin kelebihannya mengendalikan tubuhku? Pikirku. Tanganku terkendali menuju sakuku. Mengambil dompet yang ada  di sakuku, dan menyerahkannya ke Tio. Tubuhku berpindah ke ke tempatnya, dengan menyerahkan dompet itu. Sampai di tempatnya, aku berontak. Ku hantam wajahnya yang tak ber-leher itu. Ia jatuh, aku sudah bisa mengendalikan tubuhku. Ku naiki badann chubbynya, tapi orang India tadi menahan badanku dari belakang. Aku tak bisa apa-apa.

Tio berdiri lagi, ia  membersihkan kemejanya. Dari balik pintu, seseorang datang dengan pipa besi. Ia memukul kepala botak Tio dengan keras. Tio tergeletak lagi. Orang India dua itu melepasku, menyerang orang yang memakai baju dan celana hitam bersamaan. Orang berbadan kurus itu beradu hantam dengan orang India. Ia pandai memainkan tongkatnya pendeknya. Seolah ia sudah mendalami martial arts, ia menghajar orang India secara bersamaan. Hingga besinya tak berupa ia memukuli kedua pria India. Satu lumpuh. Tinggal satu lagi, “pssst!” bisikku aku melemparkan pisau dapur yang terjatuh dari meja kerjaku. Ia menangkapnya dengan cepat, mengayunkan ke leher orang India dengan mantap.
Jrek! Cairan merah mengucur dari leher orang India itu. Nafasnya tak teratur, ia menghampiriku, membuka penutup mukanya, rambutnya jatuh terlebih dahulu, wajah cantik yang aku kenal 3 tahun lalu. Nina, sudah kuduga.
“Aku sudah tebak. Dari mana kamu tahu aku di sini, Nin?” tanyaku

“Kamu kira cuma kamu yang punya punya kelebihan gen itu?” Ia mengerahkan tangannya membantuku berdiri. “Kita harus bereskan ini.” Lanjutnya. Sontak suara tatapan besi bunyi di belakang Nina. Tio masih bangkit dan membawa tongkat Nina yang hampir tak berbentuk. Nina dilempar ke lemari oleh Tio, tubuhnya ambruk di lemari rapuhku. Tanganku terkendali mengambil pisau bekas Nina menyabet orang India itu, aku menuju ke arah Nina, seolah akan menancapkan pisau itu.

“Awas Nin, aku ngga bisa kendaliin tubuhku!”

Refleks Nina yang sangat tepat, ia menghindar masuk ke kolong tempat tidur “Tutup matamu, Cah!” perintah Nina.

Tubuhku bisa kukendalikan saat aku menutup mataku.

“Diam di kasur, lempar pisaunya ke kanan!”

Beberapa menit, kupejamkan mataku, tubuhku bergemetar hebat, molekul-molekul oksigen di tubuhku rasanya bergerak cepat dan terpecah satu per satu mendengar suara gesekan pisau dengan besi. Mengerikan mendengar Nina yang sedang berhadapan dengan Tio. Yang terdengar sebelum suara itu berakhir adalah suara pisau yang menembus kain berkali-kali.

“Kamu bisa buka matamu, Cah.”

Kubuka perlahan dan melihat Nina yang terbaring lemas di kasurku. Nafasnya tak beraturan, dengan darah segar yang tersirat di mukanya.


Polisi datang, tepat jam 4 pagi. Tubuh mereka diseret dan kami dinyatakan tak bersalah karena membela diri di kantor polisi. Pagi yang bebal dalam hidupku, kami pulang menuju apartemenku. Saat perjalanan pulang, kami sama-sama saling jujur.


“Karena barang itu juga, aku bisa denger apapun dari jarak lebih dari 100km, Cah. Jadi maaf kalau aku selalu dengerin detak jantungmu. Beberapa minggu lalu jejak kamu juga hilang, aku khawatir. Aku kira kamu sudah lupa Balikpapan. Kamu mau ngomong apa, Cah?”

“Eng..” aku gugup ingin mengatakannya “Aku kangen kamu, Nin.”

“Hahaha.. kamu ngga berubah ya. Selalu jujur. Dan yang aku khawatirin... aku takut kamu dapet perempuan lain di sana.”

“Engga, Nin. Aku malah kapan itu ke Cela Maria cuma untuk cari kamu.”

“Waktu adalah penenun rindu yang tekun, kan, Cah? Walaupun kamu yang ngga bisa cari aku, aku selalu bisa cari kamu, Cah. Kamu mau bilang apa?”

Kuhentikan langkahku, aku menggenggam tangannya.
“C....C....Cah?  Detak jantung kamu cepet banget?” kata Nina, wajahnya penasaran.

“Aku kira aku ngga perlu jelasin ke kamu buat ungkapin ini, kan, Nin?”

“Hahaha..” ia tertawa menunduk “Iya, Cah. Aku dari awal ketemu juga udah bisa tahu itu. Aku juga cinta kamu, Cahaya.”


Dua minggu kemudian aku diterima menjadi penasihat kepemimpinan negara. Aku pindah dengan Ibu ke Jakarta, dan, tentu mengajak Nina. Akupun punya orang kepercayaan sendiri untuk mengisi CEO di pabrik batikku, berkat Nina. Kami pindah di lantai paling atas di gedung berlantai 9. Dengan uang Rp.14.000.000.000, aku bisa membeli satu lantai di suatu gedung  daerah Cengkareng.


Kami menikah setelah 1 tahun semenjak pertemuan berdarah kami. Nina menjadi asistenku selama aku menjadi tangan kanan Presiden. Aku memutuskan berhenti bermain valas karena gajiku yang cukup untuk membeli 5 mobil keluarga dalam satu bulan. Kami memulai perjalanan di hidup ini.

Aku mendengar kabar Eka yang sudah dimakan umur, di tengah kesibukanku, aku dan Nina terbang ke Balikpapan. Eka masih cantik dan padat wajahnya terbaring lemah di rumah sakit.
“Senang mendengar kamu sukses, Cahaya.” Kata Eka

“Semua ini berkat anda, Bu.”

“Berhenti merendahkan diri sendiri, Cahaya.”

Kami mengobrol tentang kehidupan baruku. Di umurnya yang 80, Eka mengingatkanku untuk tak lupa kepada yang belum menjadi apa-apa. Karena ujung gedung yang paling tinggi tak akan bertahan jikalau tak ada yang di bawah.

“Permisi pak” panggil Nina, sekretaris sekaligus asisten pribadiku “Pesawat sudah siap, pesawat kita menuju Catalonia dulu sebelum akhirnya sampai Zaragoza”

Kutolehkan setengah kepalaku, mengangkat bahu dan berkata “Beri saya waktu sebentar, saya akan mengucapkan salam perpisahan.”

“Baik, Pak.” Jawab Valenina, kemudian ia menutup kembali pintunya.

“Saya pamit untuk konfresi pers di Spanyol, Bu.”

“Silakan nak, buat negaramu bangga.” Perintahnya.



Story Inspired by "Limitless"
Photo took from Anisa Rahma Adi's Instagram, google
Some Word took from @adimasimanuel tweet