Sabtu, 31 Agustus 2013

CERPEN: 3V Yang Terpisah

Setiap terjebak macet di depan rumah sakit Bakti Kasih, aku tiba-tiba diserang memori kejam. Kisah ini terjadi sekitar dua tahun lalu, saat aku belum kehilangan segala-galanya.

Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ayah adalah pengusaha kaya raya yang sukses sampai luar negeri. Ibu ku adalah sosok perempuan yang baik yang pernah ku kenal. Kakak ku, huh. Aku selalu benci dengan kakak ku Vanessa, sikapnya yang manja, rewelnya yang selalu menggangguku, aku benci dengan dia.

Suatu hari, Ayah mengalami kecelakaan maut bersama Ibu ku saat mereka liburan ke Bali bersama Vanessa. Mobil Ayah terbalik dan masuk sungai, hancur tak ber-rupa. Ayah meninggal saat dibawa ke rumah sakit dengan ibu. Anehnya, hanya Vanessa yang selamat saat mobil di evakuasi. Kadang aku berfikir, kenapa tidak Vanessa yang meninggal saat kecelakaan itu, kenapa harus Ayah dan Ibu?

Satu-satunya teman ngobrol ku hanya Gabriel, aku rasa hanya dia yang benar-benar mengerti aku selama hidupku. Sedangkan Vanessa, dia hanya bisa membentakku. Aku selalu lelah, aku selalu murung setelah kejadian itu. Rasanya aku ingin melupakan kejadian pahit yang datang tanpa keinginanku itu.

Beberapa hari kemudian, Gabriel mengajak aku ke klub malam. Katanya, cara paling manjur melupakan masalah adalah meminum minuman keras. Awalnya aku tak percaya, tapi aku selalu penasaran, dan aku pun mencoba mengikuti Gabriel. Aku kabur dari rumah dengan sepengetahuan Vanessa, pergi ke klub malam. Melayang, bebas, yang kurasa. Gabriel benar, dia membuatku melupakan masalahku untuk sejenak.

Pulang dari klub, aku berpisah dengan Gabriel, aku mengantarkan pulang ke rumahnya, dan aku akan pulang ke rumah. Setengah perjalanan, sirine polisi terdengar nyaring, tampak mobil polisi mengejarku dan mendekap mobil ku dari depan, aku kira aku hanya melakukan kesalahan, lampu depan ku yang kurang terang? Tidak, melanggar lampu merah? Tidak. Lalu apa? Polisi dengan badan kekar itu mendatangiku dan mengucapkan selamat malam, ia berkata bahwa tas ku perlu diperiksa. Setelah kuberikan tas ku, ia mendapatkan sebuah plastik dengan isi bubuk putih. Ia bilang itu ekstasi. Tunggu, ekstasi? Aku bukan pemakai ekstasi. Bagaimana bisa itu ada di tas ku?

Malam-malam pun aku digiring ke kantor polisi terdekat, aku mencoba menghubungi Gabriel, tidak aktif. Aku hubungi Ryan kekasihku, nomor diluar servis area. Tidak ada pilihan lain, aku menghubungi Vanessa, aktif! Tapi ini tengah malam, ia pasti sedang tidur. Aku diperiksa 6 jam oleh polisi. Hari sudah pagi, aku tertidur di ruang periksa, kulihat ada 7 panggilan gagal dari Vanessa. Akhirnya kucoba hubungi dia kembali, terangkat! Aku suruh dia membawa uang dan ke kantor polisi untuk menemaniku.

Beberapa jam kemudian, ia datang, ia datang dengan mobil sedan merah, mobil pertama Ayah ku. Ia tampak tak ber-mimik. Longdress hitam tanpa lengan dengan syal. Ia mirip seperti Ibu ku, lalu ia berurusan dengan polisi, aku menunggu di ruang periksa menyimak percakapan kecil antara Vanessa dengan polisi. Inti dari percakapan itu adalah Vanessa memohon agar aku dibebaskan, dihapuskan cacatan kriminal di buku jurnal kepolisian, dengan syarat wajib lapor. Polisi juga menahan denda Vanessa sebagai uang penutup mulut. Vanessa jalan ke arah ruang periksa dan membuka separuh pintu kaca, wajahnya yang judes menyelimuti dirinya dan  dia berbicara dengan nada datar “Vinda, ayo pulang.” Lalu ia pergi menuju ke mobil.

Di mobil, seperti biasa, ia tetap memakai raut wajah yang judes. Aku mencoba mencairkan suasana dengan menanyai dia “Apa kabar kak?”, tapi dia acuh tak menggubris dan terus menyetir. Lampu merah didepan menyetop laju mobil, tiba-tiba Vanessa tampak batuk. Aku pikir itu batuk biasa. Semakin keras dan semakin keras batuk itu, tiba-tiba Vanessa memuntahkan darah di pangkuannya. Aku tercekik kaget, dia pingsan di setir mobil. Aku bingung, berpikir cepat dan aku menggantikan Vanessa menyetir, ku buka sabuk pengaman dan kugeser Vanessa ke belakang, badannya nampak panas. Ku larikan mobil ke rumah sakit terdekat, menyalakan lampu hasard, dan merobos lampu merah.

Sampailah di rumah sakit Bakti Kasih, aku gendong Vanessa ke UGD. Untung saja Vanessa mempunyai badan yang lebih kecil dari aku. Aku menidurkan Vanessa di kasur pasien yang tersedia di depan pintu UGD. Meneriaki petugas dan memintanya untuk menangani.

Lagi-lagi aku bertemu dengan hal ‘menunggu’, iya aku menunggu di ruang tunggu penjenguk di depan UGD. Tidak lama, Dokter datang ke arahku, dia tahu bahwa aku yang membawa Vanessa ke UGD karena pagi itu hanya aku yang ada di sana. Dokter menyatakan bahwa Vanessa terkena kanker tenggorokan yang belum kronis, Vanessa masih bisa sembuh dengan cara kemo terapi, tapi harus ditangani secara cepat. Dia butuh rawat inap agar mendapat oksigen dari kerongkongan dan makanan yang higienis. Aku bersyukur dia masih ada harapan untuk hidup. Aku mengurus biaya admin rumah sakit, mengambil tas Vanessa di mobil dan mengambil uang yang ia bawa untuk biaya. Hari itu aku tidak berpikir mengambil mobil ku yang masih kutinggal di kantor polisi.

Keesokan harinya, aku membawa baju ganti untuk Vanessa, dan boneka Panda teman Vanessa tidur. Masuk rumah sakit, dan kulihat Vanessa tertidur pulas. Aku menaruh boneka Pandanya disebelahnya, aku menunggu ia sampai terbangun. Sudah satu jam, dan dia belum terbangun. Aku mencoba keluar dan duduk di taman belakang rumah sakit. Hawanya sangat sejuk, pepohonan yang ringin dan hijau. Aku rasa aku mau menghabiskan waktuku disini sambil membaca komik favoritku, Detective Conan.

Tak lama, perempuan seumuranku dengan baju pasien menghampiriku dan duduk disebelahku. Dia duduk sambil memejamkan mata. Tiba-tiba dia menanyaiku “Kamu suka baca Detective Conan?” aku menjawab dengan nada kaget, bahwa aku suka membaca Conan.

 Ku perhatikan, dari cara dia berbicara dan berbahasa tubuh mirip sepertiku, rambutnya pun pendek bergelombang sama denganku, jam tangan yang ia pakai pun juga dipakai di tangan sebelah kanan. Aku seperti melihat diriku sendiri.

“Ohhh... sama dong, aku juga suka Komik itu.” Kata dia sambil tertawa kecil. Ia nampak sehat dan tidak sakit. Karena penasaran, aku bertanya kepada dia sakit apa yang dia alami, ia menjawab bahwa dirinya telah di vonis kanker sum-sum tulang, tapi Dokter bilang masih ada harapan hidup dengan cara operasi, tapi dengan badan yang lumpuh dan mati rasa. Operasinya pun dilakukan malam ini. Ia meminta doa dariku agar operasinya berhasil.

“Aamiin, kamu pasti bisa. Tapi ngomong-ngomong, kita belum kenalan, namamu siapa? Namaku Vinda.” Ia menjawab namanya adalah Vanda, dia berumur 18 tahun sama sepertiku. Kembali menggali tentangku, Vanda bertanya kenapa aku disini. Aku jawab, aku sedang menunggu anggota keluargaku satu-satunya, yaitu kakak ku yang terkena kanker tenggorokan. Aku bercerita semua ke Vanda tentang Vanessa.

Ia nampak memperhatikan aku bercerita, aku jeda ceritaku dan membiarkan ia berpikir. Tak lama, ia bercerita tentang seseorang yang juga penderita Kanker tenggorokan di kamarnya, ia bilang bahwa seseorang yang di kamar inapnya itu seperti kakaknya sendiri, walau baru semalam bertemu. Dia berkata semua tentang orang itu, dia bercerita kepada Vanda bahwa dia mempunyai adik kandung yang sangat dia sayangi. Suatu hari Ayahnya meninggal, karena kecelakaan, dia diutus Ayahnya agar dia disuruh menjaga Adiknya dengan sedikit keras. Karena Adiknya mempunyai Ibu yang susah diatur dan menurun ke sifatnya.

 Aku berfikir, apa itu Vanessa? Tidak mungkin Vanessa bercerita tentang hal pribadinya ke orang lain. Aku sangat mengerti sifatnya. Dia juga menjelaskan kepada Vanda, adiknya pernah mendapat teman yang mau menusuk dia dari belakang. Temannya itu pernah berkencan dengan kekasih Adiknya saat dia jalan-jalan di Mall. Tidak hanya itu, temannya juga memasukkan sesuatu ke tas Adiknya tanpa sepengetahuan Adiknya. Temannya mengerti bahwa dia menemuinya melakukan itu, dan mengancam mau membunuh jika diberitahukan kepada Adiknya. Malam itu semakin larut, sehingga Vanda hampir tertidur ketika mendengar cerita. Ia mengatakan kepadaku, bahwa ini adalah hari terakhir di kamar ini, Vanda pamit ke dia dan mendoakan cepat sembuh sebelum Vanda tidur.

Penasaranku yang tak bisa diredam, membuatku bertanya kepada Vinda siapa nama temannya dengan nada keras dan penasaran, dia menjawab dengan sedikit lupa. Dia berkata Vasa.. Vassen.. Va.., dan aku reflek menyebutnya “Vanessa?!” dia meneriakkiku “Iya benar!”
Aku terdiam, mukaku bagai gambaran di pasir pantai yang terkikis ombak, hampa, dan beribu perasaan masuk sekaligus ke dalam diriku. Terkadang aku tak mengerti mengapa Tuhan menciptakan drama yang begitu rumit. Mungkin ini adalah skenario kecil Tuhan yang mengangkat aku sebagai peran utamanya. Aku seperti tidak memiliki cukup tenaga untuk tertawa dan tidak memiliki cukup air mata untuk menangis.

Suster bermata sipit mendatangi Vanda dan menyuruhnya untuk istirahat sebelum Operasi, dia mengucapkan sampai jumpa kepadaku, aku pun menanggapinya dengan wajah yang datar. Aku rasa aku harus pulang dan istirahat setelah dihantam kenyataan itu.

Besoknya, aku segera ke rumah sakit, dengan niat ingin memeluk Vanessa dan memberi tahu sebenarnya yang telah terjadi. Tapi dia tidak ada di kasur pasien, aku tanya suster yang memberi obat pasien lain, tapi ia tidak mengerti.

Setelah aku cari di taman dan teras kamar tidak ada, lalu aku pergi ke operator dan bertanya dimana pasien bernama Cristina Vanessa, operator mengatakan bahwa Vanessa baru saja masuk ke ruang operasi karena tumor di leher semakin berkembang, operator juga mengatakan bahwa pihak rumah sakit sudah menghubungiku, tetapi ia bilang ponselku tidak aktif. Aku lihat, ternyata masih mode pesawat, setelah dari kantor polisi dua hari lalu dengan maksud untuk menghemat baterai.

Dengan tatapan kosong aku berduka dalam hatiku, rasanya ini terjadi tanpa aku minta. Tuhan memang penulis skenario yang hebat.

Aku mencoba menenangkan diri dengan duduk di kursi, kuambil nafas dalam mencoba tenang. Tiba-tiba aku ingat Vanda yang menjalani operasi tadi malam, aku kembali ke operator dan tanya pasien yang menderita kanker sum-sum tulang, dia bilang ada empat orang yang menderita kanker tersebut, aku bilang yang baru ber-operasi tadi malam.

“Oh... Yang itu, maaf, kemarin tim medis gagal menangani penyakitnya dan dia menutup usia, orang tuanya juga datang dan nampak tak sedih, mungkin mereka sudah mengerti karena anaknya memiliki penyakit yang sudah lama.” Kata operator sambil bernada sedih.

Rencana Tuhan memang tiada yang tahu, ia renggut satu per satu orang yang berbuat baik kepadaku. Orang itu bagaikan bunga di taman, yang di petik duluan hanya yang bagus. Iya, aku percaya istilah itu. Sisa orang yang baik padaku hanya kakak ku, mungkin hanya dia yang terbaik untuk ku, aku mungkin selalu salah di mata dia, tapi aku yang salah kalau aku membenci dia.

Akan ku tunggu hasil operasi kakak ku, seberapa lama itu. Setelah operasi, aku ingin memeluknya dan mengatakan aku telah banyak salah kepadanya. Ku panjatkan doa kepada Tuhan semoga operasi itu berhasil.

Tiga jam berlalu, dokter operasi sudah keluar dari ruangan. Mukanya tampak kelelahan, dia memanggil “Cristina Vanessa?”, aku berdiri dan datang ke dia. Aku berkata bahwa aku adalah Adiknya, dokter itu meminta maaf, ia berkata bahwa kanker Vanessa semakin parah, dalam 24 jam kanker itu bisa berlipat 25 persen, dan ini sudah terlambat. Dalam kata lain, Vanessa sudah meninggal selama operasi berlangsung.

Sekarang aku sudah sebatang kara, tidak ada seorang pun yang menemani ku saat ini. Tiga hari setelah itu, aku masuk ke kamar Vanessa, merapikan kamarnya yang berantakan, sebelumnya aku tak pernah masuk ke kamar Vanessa karena ia selalu mengunci diri di kamar dan hanya keluar ketika makan. Bantal Vanessa ada yang aneh, nampak persegi timbul  dari luar. Aku membuka sarung bantal itu dan ternyata itu amplop yang lusut, nampak wangi, ku buka isi amplop itu dan menemukan tulisan yang di tulis oleh Vanessa yang bertuliskan

Mungkin jika ada orang yang menemukan ini, aku telah tiada. Aku sudah lama mengidap penyakit kanker dan aku tidak mau merepotkan satu orang pun yang aku sayang. Tolong sampaikan pesan untuk Vinda, bahwa aku selalu sayang dia.”


Semenjak itu aku mulai menghargai hal-hal kecil yang berada di sekitarku, aku melihat pengamen di sepanjang macet, aku melihat matahari sore yang mau tenggelam, dan bersyukur bahwa menghargai hal kecil bukanlah hal yang sia-sia.

Minggu, 25 Agustus 2013

CERPEN: Hari terberatku

Ini mungkin malam yang paling gelap dan panjang buatku. Malam yang tanpa ucapan selamat tidur dari-mu. Pernah melihat botol plastik yang diremukkan? Mungkin itu seperti perasaanku saat ini.
Tidak, aku tidak melebih-lebihkan perasaanku. Aku berbicara sesuai apa yang aku rasakan. Mungkin yang bilang aku begitu, mereka belum kenal rasanya disakiti. Aku adalah pahlawan, aku memiliki akal seperti Einstein dan memiliki hati kuat seperti Superhero. Tapi itu sebelum aku disakiti.

Malam berlangsung seperti biasa, bedanya aku tidak memejamkan mata dan bermimpi seperti biasa. Masih kulihat televisi Ayah yang menyala tanpa suara. Oh, itu pertandingan sepak bola. Sepertinya pemain Manchester United melihat Ayah yang sedang tertidur pulas.

Bergegas aku ke kamar mandi dan mencoba rileks dengan menyiramkan air hangat dari shower. Diam seketika tidak berkata, kurasa air ini tidak hangat seperti biasanya. Kupakai kemeja putih dan mengambil sepeda dengan maksud mau berangkat kerja. Aku berusaha tidak memperdulikan Adik yang sedang mengejar bus sekolahnya.

Lesung pipit ku terasa terbebani, rasanya mengayuh sepeda lebih ringan daripada tersenyum. Mungkin aku lupa tidak sarapan. Aku berhenti di kedai kopi didepan makam Ibu untuk membeli sepotong roti dan teh. Seperti biasanya, penjualnya tua dan selalu senyum ketika melayani pembeli. Tunggu... bagaimana bisa orang itu selalu tersenyum? Ah sudahlah, itu tidak penting. Yang penting aku menghabiskan sarapanku dan pergi ke supermarket tempat aku berkerja sebelum jam 8.

Aku kembali menaiki sepedaku dan pergi, tidak lupa menoleh ke makam ibu ku dan meminta agar Ibu kembali untuk mengetahui bagaimana perasaanku hari ini. Ayolah, itu hal yang sia-sia. Aku menyeberangi lampu merah demi lampu merah, melewati blok demi blok. Dan melihat daun berguguran sepanjang perjalanan. Petugas kebersihan pun tampak kewalahan membersihkan daun itu. Tapi ada yang beda, aku berpikir ada yang beda... Oh bibirnya. Bibirnya masih bisa melengkung cembung ke bawah. Sial.. lagi-lagi aku melihat orang tersenyum.

Akhirnya sampai di supermarket. Aku menaruh sepeda di depan rumah kosong sebelah supermarket. Aku mulai masuk dan memakai rompi kasir. Membuka kunci pintu depan. Membalik tanda tutup menjadi buka. Menyalakan komputer kasir. Kenapa aku sendirian? Kenapa hanya aku yang menjaga kasir? Ternyata ini masih jam 7 kurang. Aku duduk dan membuka twitter dari telepon seluler ku. 18 mention? Oh teman-temanku yang mengucapkanku ulang tahun. Aku bahkan lupa kalau aku ulang tahun. Entahlah, hari ini aku adalah pelupa. Aku adalah pemurung semenjak kejadian kemarin.

Kubalas mention teman-temanku, dengan kata yang ceria, walau sebenarnya tidak. Aku senang tidak ada yang mengucapkan lewat media visual. Itu lah mengapa aku suka twitter, menulis tanpa memaksa baca. Berpendapat tanpa rasa salah. Dan bersuara tanpa perlu nada.

Sepertinya pengunjung pertama datang, ia adalah pekerja dari proyek rumah sebelah. Masih memakai helm kuning dengan muka lusuh. Baiklah kurasa nanti kubalas sisa mention dari temanku. Ia membeli air mineral dingin 3 botol. Lagi-lagi, dia nampak tersenyum ketika membayar ke kasir. Kali ini aku mencoba tanya mengapa ia bisa nampak ceria saat bekerja. Dia tersenyum dan menjawab se-akan-akan tak ada apa-apa. “Kenapa ya? Mungkin karena saya sudah menikah dan mengerti untuk apa saya berkerja.” Lalu ia pergi dengan muka yang masih terlihat tersenyum.

Rekan kerjaku, Kate datang dengan muka nampak tersenyum juga. Ia menyapaku dengan ramah, wajahnya nampak cantik dengan senyumnya. Bagaimana bisa? Ini kan belum akhir bulan. Baiklah, apa yang aku dapat kan hari ini? Melihat orang tersenyum dan berharap bisa melakukannya.

Pembeli pun bergantian datang. Kulihat ada wanita separuh baya yang membuka pintu. Ia membeli obat anti serangga ukuran kecil. Ia memilih kasir ku sebagai pembayarannya. Kumasukkan harga ke komputer, memberikan harga yang sesuai label, dan menerima uang darinya. Lalu ia pergi dengan barangnya tanpa mengucapkan terima kasih. Sampai portal kasir ia malah berkata “Aku kecewa, harga senyum semakin mahal.”

Kate nampaknya mendapatkan waktu istirahatnya. Ia nampak tidak makan dan malah mendekat ke arahku. Mendapatiku yang duduk di bangku kasir tanpa balutan senyum, bertanya “Ada apa denganmu?” Seperti biasa, aku selalu pintar dalam hal menyembunyikan perasaan. Aku menjawab “Tidak ada apa-apa. Kenapa kau tidak istirahat?” dan ia mencoba menanyakan mengapa aku tidak tersenyum. Ini aneh, aku baru kenal Kate 3 bulan semenjak aku bekerja disini dan Kate sudah tahu bagaimana perasaanku. Tidak hanya hari ini, seminggu setelah aku bekerja disini juga aku pernah ada masalah dengan pelanggan, lalu Kate mencoba menyelesaikannya sebagai senior disini.

Aku semakin percaya dengannya. Kuceritakan masalahku, kucoba menjelaskan mengapa aku murung hari ini. Ia nampak mendengarkan dan melihatku, pupilnya nampak membesar seperti dia mencoba menyerap ceritaku. Melihat ke arah jendela, lalu tersenyum, dan berkata “Pernah pergi ke pantai? Pernah melihat ombak yang sangat besar? Bayangkan itu masalah dari orang seluruh dunia. Seberapa besar masalahmu? Mungkin hanya setetes air dari ombak itu. Tidak usah kamu, aku juga pernah mengalami masalah yang besar. Kedua orang tuaku meninggalkanku saat masih kecil. Mereka mengalami kecelakaan mobil. Tapi hanya aku yang selamat karena aku duduk di belakang. Itu secuil dari masalah di dunia ini. Menangisinya adalah hal percuma, sebab itu sudah terjadi.”

Nampaknya Kate benar, Kate berbicara seolah-olah kita sudah bersahabat sejak lama. Mungkin benar kata pepatah, sahabat bukan yang datang pertama atau terakhir, tapi yang datang dan tak pernah pergi.
Waktu kerjaku sudah habis. Kupakai kardigan lengan panjangku dan segera mengambil sepeda untuk pergi dari tempat kerjaku. Aku terlalu sering membiarkan diriku tanpa hiburan. Aku ingin ke taman, mencari udara segar. Aku rasa percuma pulang ke rumah dan terkejut tidak satupun ada yang menungguku. Duduk disekitar taman dan membalas mention ucapan selamat ulang tahunku kurasa cukup untuk menenangkanku. Lagi-lagi aku melihat hal kecil di sekitarku. Sang Ibu yang duduk dengan Anaknya, dan sang Anak berkata “Ibu, kenapa Kau tiba-tiba membelikanku balon?” sang ibu menjawab “Karena kita perlu kejutan nak, ketika kamu jenuh. Mungkin kejutan akan membuatmu tersenyum.” Kejutan? Masa bodoh, siapa yang mau mengejutkanku.

Setengah perjalanan tiba-tiba ban sepedaku meledak, aku tergelincir, aku jatuh dan antingku lepas entah kemana. Tanganku sedikit lecet. Sepedaku... entahlah, tak berupa. Sudah dekat dengan rumah, aku harus membersihkan diri dan mengobati lukaku. Bagaimana besok ya? Aku tidak ada kendaraan untuk pergi bekerja. Aku masuk ke rumah dan melepas kardigan dan kemejaku. Kulihat ke kamar dan mendapatkan surat di depan pintu kamarku. Aku penasaran. Aku buka surat di amplop itu dan ternyata surat itu untukku isi surat itu adalah

Selamat ulang tahun Odessa, semoga kau senang dengan hadiahku. Tertanda, Ayah.”

Aku buka pintu kamarku dan kulihat sepeda biru yang sadel nya masih terbungkus plastik, aku terdiam, ku usap mataku dan ku cubit dagingku, kurasa aku bermimpi. Tidak, ini sepeda dari ayah. Baru kali ini aku terkejut, tanpa beban berat bibirku melengkung dengan sendirinya. Kejutan yang kecil ini berhasil membuat masalah kecilku terlupakan. Aku senang. Aku menunggu ayah sampai pulang kerja dan memeluknya, lalu mengucapkan terima kasih.


Ternyata benar, sedikit kejutan bisa mengubahku. Ayah yang cuek, tidak memperdulikanku, ternyata ia yang membuatku tersenyum. Bodohnya aku, aku selalu sibuk dengan orang yang tidak selalu ada buatku, tanpa sadar ada orang di sekitarku yang lebih peduli. Senang rasanya.

Sabtu, 17 Agustus 2013

Ngga semua rakyat Indonesia merdeka


Kalau gue bertanya, 68 tahun itu apanya Indonesia? Merdekanya? Ulang tahunnya? Atau jadiannya? 68 tahun menurut gue adalah dibacakannya proklamasi. Bukan kemerdekaannya. Kenapa gue berani bilang gini? Sesuai judul, ngga semua rakyat Indonesia merdeka.

 Sumber: google.

Mereka yang bilang Indonesia sudah merdeka memang benar. tapi bukan dengan rakyatnya, disini gue nyebutin contoh kecil dari rakyat-rakyat Indonesia yang belum merdek:

Supporter timnas Indonesia, terakhir lawan club eropa segede tim EPL. Mereka lebih memilih pakai jersey tim lawan dari pada Jersey TimNas. Biar apa? Biar dibilang "Wih supporternya tim XXX"?

Rumah-rumah di blok gue, jarang yang ngibarin bendera merah putih. Apa susahnya sih ngibarin bendera merah putih? 

Temen-temen gue sekolah, banyak yang sengaja ngga ikut upacara kemerdekaan. Mungkin bagi mereka diam 30 menit menunggu upacara selesai adalah hal yang susah.

Dateng ke kondangan aja masih pake jas, bukannya batik. Tapi misalnya batik di klaim negara lain-lain marah. 

Menurut gue itu semua adalah rakyat yang Minder, sehingga mereka belum merdeka. Kalau tanya minder itu apa, pernah gue bahas di post sebelum ini.
Yakin semuanya merdeka?

Gue suka tweet @negativisme, dia ngga bilang kalau Indonesia belum merdeka tapi gue ngerti maksud tweetnya.

Contohnya:

Indonesia, ingin menurunkan kemiskinan. Tapi salah ngasih subsidi,uang rakyat dikorupsi. Menurunlah kemiskinan ke anak cucunya. Merdeka!

Indonesia pengen juara dunia dalam sepak bola. Tapi saat uji tanding dengan klub eropa, dukungannya bukan buat timnas kita. Merdeka!

Indonesia, ingin menurunkan kemiskinan. Tapi salah ngasih subsidi,uang rakyat dikorupsi. Menurunlah kemiskinan ke anak cucunya. Merdeka!

Gue bangga jadi orang Indonesia. Kalau misalnya gue adalah presiden dan sombong itu dibolehkan, gue udah sombongin Indonesia ke dunia. Tapi siapa sih gue? Cuma orang yang cinta Indonesia yang ngungkapinnya Cuma dari post simpel ini. Sekian post dari gue, Terima kasih udah nyimak.



Selasa, 06 Agustus 2013

"Minder"

Akhir-akhir ini, gue mulai mengidolakan sosok dalang bernama Sujiwo Tejo, entahlah kenapa baru akhir-akhir ini. Gue suka dari ocehan dia di twitter, tulisan dia di buku, sampai lagu-lagu dia yang gue denger di yutup, bikin adem rasanya.
Dia berani berpendapat, berpendapat dengan masuk akal yang gue maksud disini. Dia berani ngawur, tapi ngawur karena benar.
Gue suka salah satu ulasan dia di buku Dalang Galau Ngetwit bagian “Minder”, gue setuju karena gue pernah ngalamin hal yang sama seperti doi.


“Semakin kamu nggak pernah sombong,
semakin kamu jarang minder.”

Yup, gue setuju 100% tentang ini. Di bagian ini, dia menjelaskan bahwa banyak orang minder. Amerika contohnya, mereka keok di Vietnam, tapi sok jagoan dengan bikin film Rambo. Dan semua orang keplok-keplok.

Menurut gue sendiri, minder bisa diartikan banyak arti. Misalnya temen lo punya gadget terbaru, dia nunjukin ke elo, nah tiba-tiba elo kepengen tanpa alasan. Atau malah elo pingin beli gara-gara ngga mau kalah sama temen lo.

Tapi mikir lo jangan se-dangkal itu. lo boleh kok beli kalau emang lo butuh, dan yang jelas tanpa rasa pamer. Misalnya, gue punya android karena gue hobi edit-edit foto, gue sendiri lihat temen gue yang bisa edit foto se-enak udel. Nah, disini gue nyalurin hobi gue.
Oke lanjut, gue nulis ini, karena gue mau cerita bahwa minder itu ngebuat orang mudah down. Dan rasa minder itu ada di teman-teman atau orang yang kita kenal. Atau bahkan ada di dalem diri lo sendiri?

Sedikit cerita, gue pernah ngobrol sama orang asing dari Norwegia. Dia customer di hotel gue tempat gue kerja. Dia masuk ke kitchen gue dan bertanya-tanya tentang hotel, katanya dia orang Indonesia itu ramah. Dia berbahasa Inggris dengan lancar. Gue ngobrol bahasa Inggris dengan doi, ya gimana ya... Grammar gue juga macem orang maen lumpur. Belepotan. Gue mencampur ocehan dengan bahasa tubuh dan gerakan dengan tujuan dia mengerti. Tapi dia juga nggak ngetawain atau ngehina gue tuh, dia malah asyik dan excited.

Tapi beda sama temen gue, di twitter gue kan sering ngetwit dengan bahasa Inggris. Nah pas gue ngetwit pakai bahasa Inggris, grammar gue belepotan, dan di benerin dia. Oke, gue pikir ngga masalah kalau ada yang di betulin, gue sekalian belajar. Ngga berlangsung lama, suatu hari dia ngetwit:

 “Kalo nggak bisa berbahasa Inggris dengan grammar yang bener, mending nggak usah ngetwit.”

Itu sama aja elo nyobain masakan temen lo dan bilang

Kalo nggak bisa masak rawon, nggak usah masak rawon.”

Emosi nggak? Cuma tapir murtad yang ngga emosi kalau di gituin. Well, ngga satu-dua orang yang gitu ke gue, gue pertama nanggepin serius, emosi.
 Tapi setelah gue baca prihal “Minder” tadi, gue jadi ngga takut ngetwit pake bahasa Inggris belajaran gue. Dan meyakinkan kalau gue dicela sama orang minder.
Gue jadi inget Alexander Thian pernah ngetwit kurang lebih isinya gini

Apapun yang elo lakuin, sebaik apapun elo, pasti ada orang yang nggak suka sama elo.”

So? Apakah elo termasuk orang yang minder?


Oke sekian dulu yah postingan gue tentang Minder ini, ketemu di next post. Bubye!