Sekejap mata, duniaku runtuh diterpa badai
kehilangan. Lalu pagi datang bertengger di ingatan, memikul sejumlah kata-kata
dan percakapan seolah ia lupa ia pernah menjadi badai yang kejam. Ini masih
kurang pagi untuk berpikir bahwa kita harus bertindak sebagai orang normal,
kan? Maksudku, lulus kuliah, bekerja, dan menikah? Oh ayolah, lepaskan benda
plastik ini dari mulut dan hidungku. Hei, lihat, tanganku mulus sekali, seperti
tangan perempuan. Apakah aku memang perempuan? Oh iya, aku memang seorang
perempuan. Tapi, tinggi sekali badanku.
Bunga disamping tampak layu, mungkin ia lelah harus
tetap terlihat cantik untuk semua orang. Berapa jam aku tidur? Mimpiku indah
sekali, sangking indahnya aku terlalu lelah untuk bangun. Jam dinding
menunjukan pukul 7, aku masih di kamarku yang lebar dan kasurku yang berinfus.
Yang paling ingin aku tanyakan adalah, di mana aku?
Sesaat ragaku kuangkut menggunakan kedua kaki
jenjangku keluar. Melihat papan besar dengan bertuliskan angka romawi Paviliun
VI. Bukankah paviliun itu ada hubungannya dengan rumah sakit? Siapa yang sakit?
Apakah ini semacam di mimpi atau...
“Mbak Jesika!” seseorang asing memanggil dengan
suara basahnya. Ia lari ke arahku, memakai semacam seragam suster dan sekitar
25cm lebih pendek dariku. “Mbak sudah sadar?” ia bertanya kepadaku? Jadi namaku Jesika?
“Anda siapa?” tanyaku penasaran, aku memperhatikan
mukanya yang putih pucat.
“Saya Mbok Par, Mbak. Mbok Parinah. Yang ngerawat
Mbak dari kecil, masa Mbak lupa? Baru seminggu di rumah sakit sudah lupa.” Ia
menepuk-nepuk pundakku.
Seminggu
di rumah sakit? Kepalaku terus bergeleng sendiri dan
mataku memicingkan kelopaknya seakan tak tahu apa yang terjadi kepadaku sendiri
melihat perempuan ini. Aku merasa ngga enak kalau bilang aku tak mengenalnya,
tapi ya memang tak mengenalnya.
Ia mengeluarkan telepon genggam kecil dari sakunya,
memencetnya dengan satu jari seolah ia awam menggunakan benda itu. Oh, ia
menelpon seseorang.
“Halo, pak? Niki, Mbak Jesika sampun wungu, oh
inggih, disukani HPne? Injih pak, sami-sami.” Ia menutup HP flipnya, lalu
memberikan HP Samsung putih dari tasnya kepadaku, ia berkata “Ini HPnya, Mbak..
disuruh sama Bapak buka satu-satu katanya.”
Kuterima HP itu yang katanya adalah HPku itu, buka
satu-satu? Apanya?
Aku masuk ke kamar yang seperti kamar rumah sakit ini, mengaktifkan HP bersistem Android tersebut, ber-display name Jessica Khaliffah, 9 Juni 2014, terpajang foto seorang wanita muda yang sangat cantik, matanya lebar dengan alis yang tebal, lipstik merahnya mengcover bibir tebal kecilnya, ia membawa kucing putih.
Aku masuk ke kamar yang seperti kamar rumah sakit ini, mengaktifkan HP bersistem Android tersebut, ber-display name Jessica Khaliffah, 9 Juni 2014, terpajang foto seorang wanita muda yang sangat cantik, matanya lebar dengan alis yang tebal, lipstik merahnya mengcover bibir tebal kecilnya, ia membawa kucing putih.
Siapa,
ya ini?
Kubuka folder Camera, terdapat foto-foto orang-orang
pada malam hari. Foto itu dijepret 3 Juni jam 1 dini hari. Banyak sekali foto
orang berpakaian ketat yang meminum minuman beralkohol dan saling berciuman di
kolam renang, salah satunya seorang wanita yang menjadi wallpaper HP ini. Loh?
Ini kan HP milikku? Berarti...
Kubuka Camera, mengalihkannya menjadi kamera depan.
Mataku berelak jasmaniah saat mengetahui mukaku itu adalah muka wanita yang di
wallpaper HP ini.
Berita bagusnya, aku cantik sekali. Berita buruknya,
mengapa aku tak sadar sebelumnya? Maksudku, baru mengetahui bahwa diriku
secantik ini rasanya seperti mengetahui ternyata teman baikku selama ini adalah
Taylor Swift. Dan lagi, apa yang kulakukan seminggu lalu? Pesta di kolam
renang?
Decitan sepatu datang dari arah luar kamar,
sepertinya ia sangat tergesa-gesa. Ia membuka pintu layaknya seseorang yang
menang lotre, sebatang hidung yang mancung muncul dari pintu kayu yang rapuh, setinggi
diriku, memakai kemeja kotak-kotak, lengannya di linting membawa seikat bunga. Menawan
ditambah rambut yang klimis. Tampan sekali dokter ini, aku harus bersikap
dingin bagai jalang yang kesepian.
“Jessica.” Panggilnya “Kamu sudah baikan?”
meringis-meringis melihatku. Ia menaruh bunganya di pot dan menggantikannya
dari yang lama
Aroganku tak menjawab, aku hanya
mengangguk-anggukkan kepala di depan dokter dengan brewok tipis ini. Memasukkan
HPku ke bawah bantal, seakan aku akan siap sedia diperiksa. Sebenarnya aku juga
masih terus mengira tampan sekali dokter ini.
“Setelah kejadian itu kamu ngga sadarin diri selama
seminggu.” Kejadian apa? Pikirku. Ia
memeriksa tanganku, jemarinya seperti orang yang bekerja kantoran. Terus
memeriksa tanganku padahal yang diperban adalah kepalaku. Baiklah, ini
canggung, dokter ini tak berhenti-berhentinya memegang sampai-sampai aku hampir
basah karena tangan kananku terus didekap dokter ini. “Ngomong-ngomong, aku di
kasih tahu sama Mbok Par, katanya kamu ngga tahu siapa dia.” Ia mengecup
keningku. Perlukah dokter mengecup
pasiennya? “Tapi kamu tahu dong aku siapa?” tanyanya.
“Iya lah, anda dokter saya, kan?”
Seketika ia mengubah mimik wajahnya yang sumringah
menjadi kelabu “hah?”kebingungan. “Ini aku, Jes. Dimas!” jelasnya geram. Ia
berbisik “selama kamu sama Nathan kita sering jalan bareng, kan, Jes.” Nathan siapa lagi, sih? Bibirnya
mendekat perlahan ke arahku. Reflek otomatis dariku, tanpa sungkan kutampar
pipi yang akan mendarat ke wajahku itu. Semua kekonyolan ini terus menyeruputi
setiap informasi dari otakku. Seminggu
lalu aku minum Jack Daniels? Lalu aku sering keluar bersama lelaki yang bahkan
aku tak mengenalnya?
Ia masih menutupi pipinya, kesakitan. “Kamu kenapa
sih, Jes?!” matanya menipis meratapiku
“Aku kenapa?! Kamu yang siapa, anjing!” seutuh
tenaga kubuat ia jatuh terkapar, aku lari, keluar dari kamar rumah sakit itu, ia berusaha
mengejar tapi aku lari sekencang mungkin, meja front office bertuliskan Rumah
Sakit William Booth. Tak asing, aku kenal rumah sakit ini, atau mungkin lebih
tepatnya aku sering menjenguk orang di sini. Tapi siapa.
Entah ke mana yang ku tuju, tapi seseorang dari
depan melihatku, berkemeja hitam polos serta rambut khas abri, ia terus
melihatku. Malah, ia ingin menghalangi jalanku. Hampir dekat “Jes?” panggilnya,
ia mengerat pinggangku. Tak bisa berkutik, aku hanya tersandar di tubuhnya.
“Ini Papa, Jes. Kamu aman sekarang, nak.”
“Papa?” aku benar-benar seperti orang tolol. Aku
bisa mengingat tuhanku, bahasaku, dan semua yang sudah lama. Tapi aku tak
mengenal siapa orang-orang dan apa yang baru terjadi. “Apa yang terjadi?”
sambil kupeluk orang berbadan lebar ini. Rasa aneh itu terjadi disaat aku
memeluk dengan nyaman orang yang bahkan aku belum tahu siapa namanya.
“Insiden, Jes. Seminggu lalu kamu koma sudah ngga
sadarin diri. Papa seneng kamu masih ada di sini.” Semakin erat ia memelukku
“kita kembali ke kamarmu, ambil barang-barangmu ya. Kita pulang sekarang.”
Berada di dekat orang yang mengaku sebagai ayahku
sangatlah nyaman, sepertinya aku pernah merasakan yang seperti ini. Atau...
memang aku pernah merasakannya? Hangat. Manis. Seperti aku bisa melakukan dosa
sekaligus aku bisa mengetuk surga dan meminta izin untuk masuk. Ayah bilang
besok lusa adalah wisudaku, ia mengutusku untuk istirahat.. dengan.. tenang.
▄
Lampu-lampu putih terang terbias lebar di kornea
mata. Mereka seperti alang-alang yang siap untuk diterkam burung. Diterkam
lebar oleh kenyataan. Mimpi yang sangat buruk sekali tadi. Sampai-sampai aku
tak bisa mengenal wajahku dan namaku sendiri. Untunglah aku masih ingat
segalanya.
“Jo?” seseorang memanggilku, aku ingin mendengarnya
lagi “Wagnerr?!” ia mengeraskan suaranya, mengenakan kaos merah muda, rambut
panjang merahnya melambai dan kulit putih pucatnya yang kering. Ia Novac,
temanku dari Serbia. “What happen with you?” aksennya asing Rusia.
“You had a nightmare? Get out from my bloody bed,
Jo. You sleep in there almost one hour.”
Aku di rumah sakit, aku baru keluar dari rumah sakit
William Booth kemarin, 2 hari lagi aku wisuda di Sekolah Internasional
Surabaya, seminggu yang lalu aku kecelakaan bersama Novac, dan aku hanya
mengalami patah jari kelingking. Aku ingat, aku ingat semuanya, ini tampak
begitu nyata.
“Joe? You don’t answer me? You had a nightmare?”
tanya Novac lagi
“Yes. But actually, i don’t remember that. Where
have you been?” nada bicaraku gugup. Seolah tak mengerti apa maksud mimpiku
tadi.
“I browse an airplane ticket for next week. Thanks
for your laptop.” Ia menutup laptop Alienware-ku yang berada di samping.
“You got it?
“Not yet. Still find the cheapest one.” Ia duduk di
sebelahku, tangannya masih di infus tapi ia bisa berjalan seperti orang normal.
Kami berdiaman sejenak
“You know, you look pretty when you wear T-Shirt and
panties like this.” Aku iseng menggodanya.
“Shut your mouth, Jo. Our friend, Jessica still
can’t remember anything.”
Jessica? Seperti nama orang yang ada di mimpiku.
“Who is Jessica?” tanyaku.
“That’s not funny, Jo. You drive us like crazy last
week. Do not be like another Jessica.”
Aku tak paham maksud omongannya. Bahkan aku tak tahu
siapa itu Jessica yang dimaksud. Letak memoriku terombang-ambing antara ada dan
tiada. Memang di mimpiku aku adalah seorang perempuan yang bernama Jessica.
Tapi aku tak paham apa dia yang dimaksud oleh Novac.
“She’s so much prettier than me, and she once said
to me that she proud have a boyfriend like you.” Lanjutnya. “and she said
you’re the only man who taller than her in the school. She’s about 5 feet and
11 inches and you?”
“6 feet and 1 inches. But who the hell is Jessica? I
don’t understand what you’re talking about.” Aku geram karena terus diceritakan
Jessica olehnya.
“You don’t say, Jo.” Dahinya mengkerut, tangannya
meraih kepalaku “are you sick?”
“For God sake, Novac. Who is she?”
“You’re so funny. She’s our bestfriend, Jowy! And,
she’s your girlfriend. Seriously you don’t remember her? Almost 3 years we’re
on our way. We play together like brother and sisterhood. A week ago we’re
drunk and you drive the car. Look your phone, you both took a lot of photos.”
“Yea, yea, I remember that.” Potongku “First, Novac,
in these case I thought that was just us in the car. And then, my phone is gone
since that day. I bought the new one and i don’t even remember we’re with
another person.”
“Look, Jow. I’m NOT blame you about that, because
that was our mistake. We fool. We pay it together. But you can’t just forget
her. We’re still together, right?”
It’s okay, mungkin aku terlalu terlelap dalam
kejadian itu. Aku hampir lupa bahwa aku melibatkan satu orang lagi dalam
kejadian itu tapi mengapa aku tak mengenalnya. Dan, kepalaku butuh semacam es
untuk mendinginkan dari apa yang dikatakan Novac. Kulangkahkan kakiku ke pintu
berniat keluar.
“Where are you going, Jo? Can you get me some
morphine? I got little bit whiplash.” pinta Novac
Tercengang mendengar permintaannya “It could make
you high, you know.” ceplosku
“We’re not in party?” candanya.
Jam 5 sore. Rumah sakit ini sudah mulai sepi pekerja
dan pengunjung. Hanya kursi roda bekas pasien yang baru pulang. Di bagian farmasi
kulihat ada penjaga, atau satu-satunya orang. Tak bersandang seperti layaknya
pekerja rumah sakit, tapi mengenakan nametag rumah sakit RKZ Surabaya.
Menghadap laptop. Bermain Get Rich.
“Pak, permisi pak.”
Ia pura-pura tak mendengar suaraku yang sudah kuanggap
kencang.
“Pak?!” kutambah volume suaraku
Ia menoleh, merenggutkan dahinya “You call me, kids?
Speak English.” Aksennya Inggris
Bodoh, aku lupa aku berada di sesi ruang WNA. “Uh
yeah, sir, can you give me some morphine? My friend kinda need that at room
12.”
“Times up, kid. I’m done.” Katanya, nadanya
menyebalkan.
Kugedor-gedor mejanya “But she need it sir! Can you
at least give me some?”
“Go fuck yourself kiddo.” Ia terus memainkan dadu
virtualnya
Sial, dokter muda ini menyebalkan sekali, hampir aku
ingin melempar pulpen yang berada di mejanya tepat ke telinganya. Setelah
kembali dengan tangan kosong, kulihat Novac sudah mendengkur menghadap tembok.
Kulebarkan selimutnya menutupi tubuhnya. Tak ingin mengganggu, sepertinya ia
sudah pulas, sepertinya juga aku harus kembali dan menyewa jas untuk lusa.
Malam memudarkan semuanya, menyerap memori-memori
yang sudah berkarat. Aku harus melihat ke depan, mencatat yang terkatakan, dan
menyimpan yang tak akan pernah dikatakan. Ya Allah, lelah sekali aku hari ini.
Suara burung gemercikan mengontrol otakku untuk
bangun. Sudah jam 8 pagi. Ayah dan Ibu sudah berangkat mencari biayaku kuliah.
Tak memaksa tapi selalu membuatkku patuh, itulah orang tuaku. Sebagai anak
tunggal aku adalah harapan mereka kelak untuk masa tuanya.
Tapi sayang, seminggu lalu aku mengecewakannya.
Memang mereka tak marah, tapi hal itulah yang justru membuatku sungkan .
Lampu LED telepon genggamku menyala, kulihat itu
Whatsapp dari Novac yang baru kudapatkan nomornya kemarin sore setelah HP
lamaku hilang.
“Hey boys, this is the last picture of her”
tulisnya. Ditambah attachment gambar seorang wanita muda berambut panjang,
matanya lebar, alisnya tebal, dan ia memakai, maaf, bra untuk renang. Yang
lebih mengejutkan... ia sedang merangkulku di sampingnya.
Ini sungguh lucu, bahkan aku tak ingat aku pernah
berfoto dengan seseorang yang kata Novac adalah kekasihku.
“You remember her now?” tambah chat Novac.
“Nope” balasku. Seseorang munkin telah mencuci
otakku. Tapi hanya memori tentang wanita itu. Bagaimana tidak? Aku seperti baru
melihatnya pertama kali di foto ini. Sungguh, badanku terasa seperti dirambati
jutaan semut. Merinding.
Sudahlah, aku harus
mencari persewaan jas untuk besok, wisudaku. Tapi sayang, tanpa teman baikku,
Novac, karena tulang punggungnya masih mengalami traumatic.
▄
Tolong jangan melihatku seperti itu. Aku hanyalah
perempuan yang terjebak di antara mimpi dan realita. Tubuhku sudah dewasa tapi
aku merasa seperti anak kecil yang baru lahir. Rasanya mimpiku indah sekali,
aku bisa mengenal orang-orang sekitarku. Tak seperti kenyataan, di mana aku
harus bertanya “Itu siapa?” kepada Ayah yang baru aku kenal 2 hari lalu.
Seperti aku harus menari di atas tangisanku sendiri.
Oh, aku masih ada di kamar mewah bertemakan pink. Hari
itu telah tiba. Hari di mana aku merasa paling asing sendiri. Ya, wisudaku
sendiri. Aku mungkin tak mengenal siapapun di sana.
“Jessica, siap-siap mandi sayang.” Perintah Ayah.
Ya Tuhan, beri aku alasan kau mencabut semua
memoriku. Atau setidaknya kembalikan memoriku yang dulu untuk wisuda kali ini
saja.
Selesai mandi, makan, dan berdandan. Aku mengenakan
longdress yang ayahku sudah siapkan sebulan lalu, kata beliau. Aku siap ke
pesta topeng itu. Aku kenakan sepatu high heel yang..
“Kamu lebih suka pakai flatshoes, kan, Jessica?”
kata Ayah
“Oh, ya, Yah?” aku kebingungan mendengar statmen
Ayah
“Iya. Kamu sadar ngga kamu sudah tinggi? Kamu juga
pernah bilang ke Ayah kalau kamu paling tinggi di kelas.” Jelas Ayah, nada
bicaranya halus.
“Oh, baiklah.” Kataku, sok paham.
Menunggangi Vellfire milik Ayahku, beliau yang
menyetir, aku yang menemaninya di jok depan. Kupandangi padatnya Surabaya. Aku
juga mengenalnya dengan cepat. Mungkin di memoriku sebelumnya, ia memang
Ayahku.
“Yah, boleh aku tanya?”
“Kamu sudah tanya, kan Jes?” candanya
“Maksudku, lebih detil. Ayah bisa jelasin ciri-ciri
Ibu?”
“Hmm.. dia cantik sepertimu, tinggi, baik, pemaaf.
Dia idaman semua lelaki, Jes. Akulah yang beruntung diantara semua laki itu.
Ditambah, ia sangat sayang sama kamu.” Jelasnya
“Apa aku pernah ketemu?”
“Dia sayang sama kamu, Jes. Bagaimana mungkin dia
bisa sayang kamu kalau dia belum ketemu kamu?”
Agak kaget karena baru mengetahui Ibuku menyayangiku
selama ia masih hidup, aku terdiam.
“Nanti, Jes.. kalau kamu juara sekolah,” lanjut Ayah
“terus dikirim ke Inggris, atau Australia, jangan tinggi hati sama
teman-temanmu, ya. Kamu harus tetap jadi anak Ayah sama Ibu”
Aku merasakan sensasi yang sepertinya pernah
kualami, seperti dasar perutku mendidih. Menggigit lidah untuk membalas ceramah
Ayah. Seperti sudah kuantisipasi Ayah seakan aku akan menjadi juara sekolah.
“Iya yah, aku janji. Seperti kata Ayah, semua ini
hanya titipan, kan.” ucapku.
Ayah menatap setir kendaraannya kosong, sementara
menunggu lampu jalan menjadi hijau. Ia seakan menyusun pikirannya “Sebelum
pikiranmu hilang, Jes, kamu adalah orang yang ngga sombong. Mungkin aku bisa
bilang dari lahir kamu dijadiin wanita yang baik.
Bidang-bidang langit
biru cerah mulai bermunculan di atas tingginya gedung Marriot. Mungkin ini aku
terakhir kalinya melihat awan yang robek di langit Surabaya, sebelum aku pindah
ke London. Aku pamit Ayah, kucium tangannya.
“Ayah kerja dulu,
Jessica. Ayah jemput kamu jam 12.” Katanya.
“Iya, Yah.”
Longdress biruku
tertereng di atas mata kaki, menorehkan keanggunannya. Ayah paham sekali cara
memikat lelaki. Seluruh kaum Adam di sekitarku kutangkap matanya memahat imaji
tubuhku.
Brak! Suara itu
terdengar ketika aku menaiki tangga, kutabrak seseorang memakai jas hitam.
Bodoh, aku melihat sekelilingku sampai-sampai tidak melihat ke depan. Lelaki
kurus nan jakung itu bangkit dari jatuhnya.
“Maaf!” ia memegang
dagunya yang kusundul.
“Maaf!” kataku juga,
berbarengan.
“Engga aku yang salah”
katanya “aku ngga pernah lihat kamu sebelumnya? Apa aku salah?” ia memercingkan
matanya.
“Ya, aku juga ngga
pernah lihat kamu sebelumnya.” Aku malah tak pernah melihat siapapun di sini,
sebenarnya. Hahaha.
Ia tersenyum manis
menatapku “See you on top?” tanyanya
“Yeah.” Ia merapikan
jasnya, lari ke atas.
Nampak terburu-buru
sekali, sementara orang-orang masih di belakang berjalan santai “Jessica.”
Panggil seseorang, ia tampak girly memakai blouse merah, rambutnya sepundak,
getsurnya jauh lebih pendek dariku. Dan seperti biasanya, aku tak tahu siapa
dia.
“Hei” balasku, sok
kenal
Ia lari ke arahku,
berjalan bersamaku “kamu sudah sembuh?” tanyanya
“Ya alhamdulillah,
sekitar 2 hari lalu.”
“Mereka bilang kamu
ngga kenal siapapun, kalau gitu aku mau ngenalin diri sama kamu, Fera, temanmu
sebangku selama 3 tahun.” Ia menjabatkan tagnannya
“Mereka?” kujabat
tangannya yang menungguku itu.
“Dokter kalian. Aku yang
bawa kalian bertiga ke rumah sakit William Booth. Dan kata dokter cuma kamu
yang kena reset memori, karena kamu duduk di belakang dan ngga pakai sabuk
pengaman.”
“Aku kecelakaan ngga
sendiri?” kenapa Ayah ngga bilang ke aku
kalau aku kecelakaan sama yang lain? Pikirku. Ini semakin aneh. Kami
menaiki elevator.
“Kamu, Nathan, Novac.
Dan untungnya malam itu aku di belakang kalian. Jadi aku bawa kalian ke rumah
sakit. Malah, rumah sakit Novac beda sendiri, karena William Booth sudah penuh,
jadi aku bawa dia ke RKZ.” jelasnya
Nathan?
Bukannya itu nama yang disebut cowo aneh yang mau cium aku di rumah sakit? Aku
masih terdiam tak mengerti apapun.
Kami tiba di atas,
acara wisuda ini penuh. “aku duluan ya, Jessie. Aku panitia di acara ini.”
kubalas pamitnya dengan senyum.
Ayah bilang aku berada
di kelas Science B nomer absensi 10. Oh, ya, aku melihat palang Science B.
Untung saja mudah mencarinya mengingat kelas di sini hanya sampai E. Sekitar 25
bangku di sini, aku berada di seat ke 2 pojok. Sebelah bangku bernomor 10 itu
ditempati lelaki yang mengenalku dengan canggung di tangga tadi.
“Permisi.” Kataku
Ia yang masih bercanda
dengan teman di sebelahnya, menatapku. “Hei, ada yang bisa di bantu?” tanyanya
ramah, ia melempar senyumnya.
“Ngga aku cuma mau
duduk di sini” aku duduk de sebelahnya “kamu di kelas ini juga?” tanyaku.
“Seharusnya aku yang
tanya gitu ke kamu, kamu di kelas ini? Aku ngga pernah lihat kamu sebelumnya
loh, serius. Aku Jonathan, kamu?” ia sok asik mengajak salaman gaul.
“Jessica.” Kujabat erat
salaman gaulnya. Genggamannya kuat sekali. Ia tiba-tiba mengubah raut wajahnya
heran, kemudian bicara dalam hati sendiri ‘Jessica’
“You guys are sweet.
And funny. Such a perfect couple.” cemooh teman orang asing Jonathan di
sampingnya.
Kami berdua melihatnya
seakan kami akan berkata ‘Huh?’ dan saat itu juga wajah teman Jonathan menjadi
ungu “What?” tanyanya. Apa maksudnya ‘perfect couple’?
“Wh..What do you mean,
Fisk?” tanya Jonathan kebingungan.
“You guys still in
relationship right? Am i right? Or you guys don’t remember each other after
that accident? Nathan?” tanya teman Jonathan canggung dengan aksen Meksikonya.
Nathan?
Apa orang ini yang dimaksudkan mereka mengalami kejadian itu bersamaku? Kenapa
aku tidak sadar Nathan adalah kepanjangan dari Jonathan? Ini penuh tanya
“Aksiden?” tanyaku ke Jonathan “aksiden seminggu lalu? Kamu juga ngalamin itu,
Jonathan?”
“I..iya”
jawab Jonathan kebingungan “Jadi kamu Jessica yang diceritain orang-orang kalau
kamu ikut dalam kecelakaan itu?”
Teman
Jonathan, yang dipanggilnya Fish melihat kami bagai orang dungu seperti tak
mengerti apa yang kami bicarakan.
“Maaf,
Jessica. Kamu satu-satunya orang yang aku ngga inget di sini.” Kata Jonathan
“Aku...
ngga paham.”
“Ya,
begitu juga aku. Kamu sering muncul di mimpiku tapi bahkan ngga pernah
kepikiran kalau kamu nyata.” Ia memandangiku seperti ia sangat mengenalku. Lalu
menyentuh tanganku yang kuletakkan di pahaku. “Jessica Khaliffa” katanya masih
dengan tatapan yang tajam “kamu begitu nyata.”
“Guys,
are you okay?” ganggu teman Jonathan “The party gonna start in... 1 minutes
from now. ”
Acara
apa sih ini, gelap, musiknya tak menyenangkan, hanya pidato dari guru-guru yang
bahkan aku tak kenal. Aku masih ingin membicarakan soal kejadian itu dengan
Jonathan tapi... Ah, ramai sekali. Aku hanya bermain smartphoneku. Menyedihkan,
ketika dunia mengingatku tapi aku tak memperdulikannya. Ber-ton-ton pikiran
ini.
“And
this is, the one and only our student who got highest rank in school...
Jessica
Khaliffa!!!”
Tiba-tiba aku mendengar
kalimat itu, mataku melotot mendengar nama itu, semua mata tertuju padaku
dengan tepukan kerasnya. Aku? Murid terbaik di sini? Kalian pasti bercanda.
“Selamat, ya..” bisik
Jonathan
“Please this way.”
Seseorang ingin menuntunku ke atas podium.
Aku naik ke podium
dengan raut wajahku yang random. Tepukan massa dan flash dari kamera
profesional menyergap mataku dari kejauhan. Kuterima piagam dari seseorang yang
mengaku sebgai kepala sekolah “some speech, Jessica?” utusnya
“Sure” aku tersenyum.
Menghadap mic, menatap kosong bangku penonton, aku mulai bicara.
“It’s easy to feel
hopeful on a beautiful day like this. But there will be a dark days ahead us
too. So many memories and friend will leave us, after this. But no matter how
burried it gets, keep your hope alive. As we look around here today, at all of
the people make us who we are, i know this feels like saying goodbye, but we
will carry a piece of each other’s into everything that we do next, to remind
us who we are, and of who we’re meant to be.”
“Thank you, Jessica.
Well that’s what she said, we’re..” kuturuni anak tangga selagi kepala sekolah
kembali memegang mic. aku duduk di bangkuku kembali
“Nice speech” bisik
Jonathan, lagi.”
Aku baru sadar, piagam
yang aku pegang bukanlah piagam biasa. Itu lembaran berkas yang sangat tebal.
Kubuka perlahan kertas yang mudah dibuka itu, isinya membuat bulu kudukku
berdiri ketika aku membacanya. Di kertas ini menyatakan bahwa yang menerima ini
akan lanjut studi di University of Manchester. Senang? Tentu saja, aku baru
bangun beberapa hari lalu dari tidurku dan aku akan bersekolah di Inggris.
Jadi, apakah dulu aku anak yang pintar?
▄
Sukses memang butuh
kerja keras. Tapi tak melupakan siapa saja yang membuatmu sukses butuh usaha
yang lebih keras. Kira-kira, itu maksud pidato Jessica. Ya, dia memang cantik
di video yang baru kurekam kemarin pagi.
Jadi itu yang dikatakan
Novac adalah pacarku? Bahkan sedikitpun aku tak mengenalnya, dan dia tak ingat
siapapun. Waktu tak campur tangan dalam urusan-urusan manusia dengan penantian,
aku harus bisa mendapatkannya kembali.
Tapi, aku sadar, tak
semua parade memerlukan keterlibatanku, bahkan ia akan ke Inggris dalam waktu
yang singkat. Tapi, setidaknya, aku harus membuatnya bahwa kita pernah mengenal
satu sama lain.
Teleponku berdering,
foto Fera terpampang di ponselku. Ia menelepon? Tumben sekali, terakhir aku
menghubunginya ketika ada tugas akhir dan aku sekelmpok dengannya.
Kuterima panggilannya
“Ya, Fer?”
“Jo? Kamu sibuk ngga
hari ini?
“Kalau iya kenapa,
kalau ngga kenapa?”
“Aku butuh kamu
sekarang juga di rumah sakit William Booth.”
“Harus banget
sekarang?”
“Ya, nunggu Indonesia
turun salju juga ngga apa. Ya sudah, Jo, cepetan ya!”
Ia menutup teleponnya
langsung
Oh ya, aku lupa, aku
harus kontrol ke lab, pasti itu alasan Fera memanggilku mengingat Ayahnya
adalah perawat di rumah sakit sana.
Aku meninggalkan rumah
di siang bolong. Nyawaku masih terkumpul sepertiga karena panasnya Surabaya
pagi ini. Avanza keluaran bekas pemakaian ayahku sengaja kusetir pelan,
mengingat ingin ke mana setelah aku lulus. Unair? ITS? Bahkan aku masih belum
tahu apa bakatku.
Sampai di William
Booth. Aku berjalan di koridor tempat menuju laboratorium. Belum mandi, belum
makan, kelar hidupku. Suster-suster muda di sini tampak canti sekali.
Terakhir kakiku
berhenti di ruang tunggu laboratorium. Fera dan Novac bercengkrama menikmati
teh berdua di teras tunggu itu.
“Novac?” panggilku
“You’ve been check out from RKZ? Why you not tell me?”
“Joe? I told you
yesterday. And you don’t even read my text.” Nada Novac meninggi
“Sudah, sudah” kata
Fera, lembut “langsung masuk aja, Jo. Ada yang nunggu kamu di dalam.” Mereka memandangiku
tercengan
Siapa
yang menungguku? Aku masuk ke dalam laboratorium.
Seseorang memakai
kemeja putih lengan panjang, berambut panjang. Jessica? Hal pertama yang aku
pikirkan, apakah ini semacam perpisahan setelah kami keluar SMA? Ia menghadap
ke seseorang yang memakai jas laboratorium. Dokter yang tak lain adalah Ayah
Fera.
“Jo?” panggil Ayah
Fera. Membuat Jessica menoleh ke arahku.
Tak menanggapinya tapi
yang kupanggil malah... “Jessica?” kulihat mukanya tegang, sama halnya denganku
saat mengetahui kami sama-sama di sini.
“Duduk, duduk sini,
sebelah Jessica.” Suruh Ayah Fera. Aku menepi di meja kayunya, di sebelah
Jessica. Kupandangi terus Jessica, sama halnya ia juga terus memandangiku.
“Jadi, saya akan
ceritakan kejadian yang sebenarnya.” Ia membersihkan tenggorokannya “Saya
mendengar penjelasan dari Novac yang ditranslate oleh anak saya, Fera. Hampir
dua minggu lalu, kalian mengalami kecelakaan. Fera yang membawa kalian ke sini
waktu saya tugas malam di UGD. Jo mengalami kesleo di tangan, sedangkan Jessica
terluka paling parah, kepalanya terbentur dan mengalami pendarahan.
Setelah kami ingin
memberikan darah ke Jessica, entah apa yang dilakukan oleh Tuhan, darah Jessica
tak terdeteksi A, B, AB, bahkan O. Tapi, sebelumnya saya sudah mengabil sample
darah Jo, dan benar, DNA kalian mengalami kesamaan. Karena Jo tidak kehabisan
darah, maka saya pindahkan darah Jo ke Jessica.”
“Tapi, Dok.” Cacat
Jessica
“Iya saya tahu apa yang
kamu pikirkan” Dokter Riza tak membiarkan Jessica berbicara “Di sini saya akan
membuka cerita. Saya akan membahas 18 tahun lalu. Seorang janda hamil besar
datang ke rumah sakit ini. Ia adalah nyonya menir dari Belanda. Ketika ia sudah
mau melahirkan, ia tak bisa menahan sakitnya, ia berteriak kencang, dan
akhirnya ia meninggalkan. Tapi untungnya bayinya bisa diselamatkan. Bayinya
kembar. 2 bulan kami menahan bayi tersebut tapi tak seorangpun mengambilnya.
Akhirnya saya memberi akte sendiri ke kedua bayi kembar tersebut. Jonathan
Wagnerr, dan Jessica Khaliffa. Sebulan kemudian 2 orang perempuan mencari bayi.
Yang satu ingin mengambil sang laki, dan satu ingin mengambil wanita. Kontak
batin adalah kekuatan Tuhan yang paling hebat.”
Aku dan Jessica bagai
Kapten Amerika yang dibekukan selama bertahun-tahun memandangi Dokter Riza. Membeku
dan sekarat mendengar penjelasan itu. Tangan Jessica yang kurus membeku di atas
meja.
“...saya berbicara
sekarang karena kalian sudah tumbuh dewasa, agar kalian mengerti cerita hidup
kalian sebelum ini.” dokter Riza membereskan berkas-berkas di mejanya “Dan saya
dengar kalian pacaran? Selamat, ya. Hahaha” ia pergi meninggalkan kami.
Kupandang Jessica
“Jes...” panggilku
“Aku tahu Jo. Ternyata
foto di HPku itu kamu.” Ia memandangi kursi kosong yang di tinggalkan dokter
Riza.
“Ya, ternyata foto yang
dikirim Novac itu juga kamu. Tapi kenapa aku ngga inget sama kamu?”
“Karena mimpi ngga akan
memunculkan orang-orang yang ngga kita kenal, Jo. Aku bahkan ngga kenal diriku
sendiri.”
“Maksud kamu, Jes?”
“Novac,
Morphine, Penjaga kasir bermain Get Rich, kedua orang tuamu yang sayang kamu?
Aku juga tahu itu semua, Jo. Itu muncul di mimpi aku, di pikiran aku. Aku ini
kamu, Jo.”
Double
Kill. Setelah mendengar pernyataan Dokter Riza, aku tambah gila mendengarkan
Jessica juga mengalami itu. Kugenggam tangan Jessica yang berada di atas meja
kayu.
“Dan
satu lagi Jo. Pidato di atas panggung itu, seakan semua keluar dari pikiran
yang bukan milikku. Kamu karang pidato itu, kan? Aku sempat gugup pas disuruh
kepala sekolah berpidato”
“Iya,
Jes. Kita adalah cara menghadapi rasa takut yang terlupakan. Dan kamu bicarakan
semua yang ada di pikiranku.” Kugenggam lebih erat tangannya yang halus “Jadi
kita ngga bisa jalin hubungan yang dulu lagi?”
“Kita
sudah sedekat daging dan otot. Kita lebih dari sekedar suami istri atau saudara
kembar. Aku adalah logaritma dan kamu enigma. Dalam skala yang berbeda, tetapi
sama-sama tidak mudah dipisahkan. Tubuhku memang Jessica tapi pikiranku adalah
Jonathan Wagnerr. Aku punyamu. Kamu pengendaliku. Dan kamu gila Jo, kamu
tanya-tanya sendiri, terus jawab-jawab sendiri pakai tubuhku.”
“Hahaha!”
aku tertawa keras. “Aku dari dulu sangat ingin ke Inggris. Ceritakan itu semua
melalui pikiranmu, Jes.”
“Pasti
Jo.” Ia memelukku, kueratkan pelukan itu. Aku memeluk diriku sendiri.
“Well,
well..” Novac masuk secara tiba-tiba. “You guys, i jealous with your story.
Such an amazing journey i can came in your life.” Ia memeluk kami yang sudah
saling berpelukan. “If you guys are twin let me be your third, then.”
“You
always be my sister, Novac.” Kata Jessica. “I saw a lot picture of us. Bali,
Jogja, Lombok. Nothing can separate us.”
“You
come back to Serbia, Novac?” tanyaku yang sedang berpelukan bersama kami
bertiga “don’t forget to visit me, Novac.”
“I
don’t know this is bad news or good news, Jo. I stay here.”
“What?!”
kupeluk semakin erat mereka berdua.
“Jo!”
mereka berteriak. “Hey, hey.. Jo. I saw a good food yesterday. It name is kebab
and the smell is delicious as fuck.”
Rumah
saat malam hari. Ketika aku habiskan sore hari bersama Novac dan Jessica.
Ternyata malam tak ada urusannya dengan jadwal matahari tenggelam. Kehilangan
orang yang kau sayang pun juga bisa disebut malam
Ayah menungguku di
teras bersama Ibu. Mereka melihatku seakan aku punya banyak salah. ”Yah, Bu.
Maaf aku pulang telat... aku habis”
“Seharusnya kami yang
meminta maaf sama kamu, Nak.” Kata Ayah
“Jo..” lanjut Ibu “kami
sudah setuju kalau kamu marah mengetahui bahwa kamu bukanlah dari gen kami.
Kami meminta maaf sepenuhnya” Ibu menutupi mukanya yang ingin menangisx
Raut wajah mereka
membuat air mataku tak bisa terbendung. Kupeluk mereka berdua yang duduk di
teras depan “Yah, Bu... walaupun dari awal aku bukan dari gen kalian. Tapi
kasih sayang kalian ke aku melebihi kasih sayang kalian sendiri berdua. Aku mau
berterima kasih dan meminta maaf, Bu, Yah.” Air mataku tak pernah sebocor ini.
Pasti ini ulah Jessica.
Dunia seakan bercanda
hari ini. Tapi, bagaimanapun juga apa yang kita punya belum tentu orang lain
punya. Mulutku otomatis mencium mereka berdua. Namun, walaupun hari ini sudah
mengubah seluruh hidupku, walaupun hidupku ini adalah plot twist yang luar
biasa, tapi Tuhan adalah pengarang cerita yang apik dan manis. Entah sebulan
lagi, setahun lagi, atau seabad lagi, aku merasakan semangatku menjalani hidup
ini semakin bangkit semenjak hari ini. Seperti kata Jessica, no matter how
burried it gets, keep your hope alive.
“Bukan begitu, Jes?”
“That’s your word,
Wagnerr.” Sahut Jessica dari kejauhan.
Jessica speech taken from: The Amazing Spiderman 2
Some quote taken from @adimasemanuel's tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar