Selasa, 30 Desember 2014

CERPEN: I'm Tired But I'm Blessed



Rasanya cermin tak bisa berbohong, aku terus berharap agar cermin memantulkan refleksi diriku yang tak seperti ini. Aku adalah mantan seorang model sampul profesional majalah remaja, karirku terus beranjak setelah aku lulus SMA, dua tahun aku menjalani dunia modeling gadget, tas ber-merk, sepatu mahal, segalanya bisa aku beli. Tapi tidak dengan keluargaku yang sudah tiada, sekarang aku hanya tinggal dengan adik perempuanku seorang.

Aku menelpon Tante Cika...

Nada sambung mulai berbunyi.

Klek! Tante Cika mengangkat telepon itu.

“Sudah mutusin kamu, Je?” ia langsung spontan mengucapkan kalimat itu.

“Sudah tante, aku mau pekerjaan itu.” Jawabku penuh rasa menyesal.

“Sip, aku sudah punya klien. Kamu dateng ke sini sekarang.”

Tut.. Tut.. Tut.. telepon itu putus sebelum aku menutupnya.

Tok tok tok...

Pintu rumahku berbunyi, aku melihat dari jendela, ternyata itu Shinta, sahabatku.

“Lo udah yakin ngga cari pekerjaan yang lain, Je?” tanyanya.

“Sudah, Shin, sampai kapan Adek gue nunggu gue dapet kerja sementara dia terus kelaperan?” jawabku.

“Coba ngelamar kerja lagi dong, Je.” Katanya dengan nada memaksa

“Gue udah coba, coba, coba terus coba sampai sekarang gue masih belum dapet kerja yang tetap, Shinta. Gue capek.” aku duduk di sofa dekat pintu.

“Kalau gitu coba lebih keras, Je!” bentaknya

“Tapi lo ngga tahu, Shin!” bentakku balik.

“Gue ngga tahu apa, Je?!”

“Lo ngga pernah tahu rasanya terus coba sesuatu dan lo ngga berhasil, Shin! Soalnya lo dilahirin sempurna! Dari keluarga yang kaya! Dan gue?! Dari kecil gue ngga pernah hidup enak, Shinta. Dari kecil gue udah ngga punya ayah! Ibu gue meninggal pas gue masih SMP! Dan gue iri karena lo sempurna!”

“Lo serius ngomong gitu?” ia menyekat ocehanku.

“Orang kaya lo ngga pernah tahu rasanya berjuang, Shin! Karena lo ngga bisa ngerasain apa-apa, orang seperti lo ngga pernah susah, Shin!”

Ia masuk ke ruang tamuku yang kecil. Mengangkat kerah kemejaku, sampai aku berdiri tertatih dari sofa dan mendekatkan wajahnya ke arahku “Terus lo pikir cuma lo yang menderita di dunia ini, Je?! Gue ceritain ke lo gimana rasanya, ngga pernah dapet perhatian orang tua walau kedua orang tua gue masih ada. Mereka lebih mentingin apa lah, kerjaan lah, bangsat lah.” Ia melepas kerahku, badanku terlepas dari cengkramannya, terjatuh ke sofa kumuhku.

Ia duduk di sebelahku, mengambil nafas panjang, ia berkata “Gue setiap hari bangun dan mereka sudah pergi ninggalin gue. Gue bangun sendirian, dan gue berharap mereka ada. Tapi apa? Gue iri sama anak-anak lain yang masih punya nyokap bokap. Gue iri sama lo. Karena lo masih sempat cium tangan nyokap lo sebelum berangkat sekolah, Je. Tapi kenapa gue ngga bisa?! Dan asal lo tahu, setiap hari gue minta Tuhan supaya mereka cepet-cepet ngga ada, supaya gue bisa ambil harta mereka dan bebas pakai harta mereka.” ia berteriak dengan mata berkaca-kaca, melukiskan perasaan sedih yang tak terbendung.

“Shinta...” air mataku tak terbendung “Sorry, Shinta.” Aku memeluk tubuhnya saat itu juga. “Gue emang ngga pernah lebih baik.”

“Ya udah, Je. Kalau itu semua keputusan lo. Gue udah coba bantu lo secara material tapi ngga mau.” Ia melepaskan pelukanku dan berdiri dari sofa “Udah hampir Isya, hati-hati ya lo di luar sana.”

Aku tersenyum dengan penuh air mata, “Gue ngga mau dibantu, gue masih punya badan yang bisa bekerja. Makasih, Shinta.” Ucapku.

Shinta adalah sosok yang selalu mengansurasikan bahagianya untukku, aku sedikit menyesal aku telah mengecewakannya. Mulai bersiap dengan kemeja pink yang pas di badanku, celana hitam panjang, dan sepatu heels tinggi. Memakai wig agar aku terlihat menarik. Badanku sudah wangi, aku siap melayani tamu.

Sampai di ‘markas’ Tante Cika, jam tanganku menunjukan pukul delapan malam. Kulihat anak buah Tante Cika duduk berjejer di sofa panjang. Aku masuk ke ruangan yang bercahayakan remang itu, lampu yang kurang terang melengkapi tegangnya menunggu giliranku.

Sepasang sejoli yang pasti belum terikat janji suci keluar dari salah satu kamar itu, Tante Cika dengan semangatnya menerima selembar amplop yang cukup tebal. Laki-laki hidung belang itu melihat ke arahku. Aku menundukkan kepala, menutupi bagian kanan yang rambutnya panjang agar lukaku tak terlihat.
Pegawai markas itu masuk ke kamar dengan membawa sepasang sprei putih yang tampaknya baru di cuci. Setelah beeberapa menit, ia pergi meninggalkan kamar itu dengan membawa sprei yang kusut.

“Je.. giliranmu sayang!” teriak Tante Cika semangat sambil mengipasi wajahnya. Aku pun masuk ke kamar yang spreinya baru di ganti itu. Aku menutup pintu dan melepas sepatuku, duduk di kasur yang tingginya selututku.

Tante Cika membuka pintu, ia menggandeng sesosok Pria berkulit putih nan gagah “kenalan dulu, baru deh..” perintah Tante Cika ke Pria itu, ia kembali bicara “pssst, jangan sampai kelewatan batas ya. Hihihi.”

“Siap tante!” ujar Pria rupawan itu.

Pria itu mengunci pintu tebal yang baru di tutup oleh Tante Cika, membuka jaket kulitnya, menuju ke arahku dengan perlahan. Ia duduk di sebelahku. Aku hanya bisa terdiam dengan tatapan kosong ke bawah dan berharap agar pekerjaan ini tak menyiksaku. Pria itu memejamkan matanya dan mendekatkan wajahnya kearahku, mataku meratapi wajahnya, bergemetar luar biasa, kucoba memejamkan mata. Pipi kananku terasa terdorong oleh bibir tipis pria itu. Perlahan aku membuka mata dan menatap wajah tampannya.

“C..c..cuma itu?” aku bilang.

“Hahaha.. mau mu gimana?” Katanya.

Ini jelas tak masuk akal, ia membayar mahal dan menyewa tubuhku hanya untuk ini? Pikirku.

“Aku ngga seperti yang kamu pikirin.” Imbuhnya “aku ngelakuin semua ini hanya sebatas pengin cari temen. Mau kan nemenin?

“M..m..mau kok.” Jawabku bergemetar. Aku terus memperhatikan alisnya yang tebal dan matanya yang tajam. Bagaimana mungkin Pria se-eksotis ini tidak punya teman?

“Namamu siapa?” tanyanya.

“Jellie.”

“Jellie? Nama panjangnya?” tanyanya penasaran dengan tawa ringan.

“Jellie. Jellie aja. K..kamu sendiri?”

 “Aku Edwin. Orang yang bisa selamatin kamu dari pekerjaan angker ini.” Jelasnya dan menjabatkan tangannya ke arahku.

Ia melepas wig ku, ia membelah rambutku bagian kanan yang menutupi wajah. Ia memiringkan kepalanya,  tampak penasaran dengan bekas luka di wajah bagian kananku. “Kamu punya gen yang cantik.” Ujarnya. “Boleh aku denger cerita dibalik luka itu?”

“Ceritanya panjang.” Jawabku.

“Aku suka cerita panjang.”

Kuhembuskan nafas panjangku, dan aku memulai cerita “Mungkin karma itu bener adanya. Saat itu Kakak-ku, Cerca, nganter ke perpisahan SMA, rasanya malu banget punya kakak kaya gitu. Kakak punya penyakit getah bening, penyakit itu bikin pundak beliau membesar seperti daging tumbuh. Teman-teman se-kelasku lihat kakak ku, ngga tau kenapa aku merasa malu dan terus mencaci beliau karena sudah buat aku malu.”

Ia tampak serius memperhatikan ocehanku “Sekarang di mana beliau?” kata Edwin.

“Enam bulan lalu, pas aku pulang dari pemotretan, aku..”

“Kamu model?” potongnya “Ohh, sorry. Okay lanjutin.”

“...minta jemput beliau karena waktu itu udah terlalu malem, aku takut kalau sendiri. Setelah dijemput, dia ngebut kenceng banget. And, somehow, di depan ada truk lewat. Rem depannya di tarik mendadak. Sepeda motor tergelincir, ngga tahu kemana sepeda motor kami, tapi Kak Cerca udah masuk ke bawah truk itu. Dan aku, terus diingetin kejadian itu setiap kali aku lihat luka ini.”

I’m sorry for your sister.” Ungkapnya.

He’s a man. Dan aku egois banget, dia kerja cuma untuk makan kami. Sedangkan aku jadi model buat kebutuhanku. Setelah luka ini, aku ngga bisa ikut model cover lagi. Agensiku butuh banyak ekspresi untuk jadi model. Sedangkan aku, semenjak kejadian itu, senyum aja susah.”

“Pelangi ngga dateng di saat ngga ada hujan, kan, Je. Tuhan juga memperlakukan hukum itu ke hidup.” Katanya dengan tangan yang mengacak-ngacak rambutku “Aku ngga banyak butuh ekspresi untuk pekerjaanku. Mungkin kita harus tuker kerjaan, ya” candanya, ia memikirkan sesuatu “Eh tapi ngga seru dong, kalau kamu yang ke lokalisasi buat beli aku terus cuma diajak ngomong”

“Hahaha... sial. 

“Awas kamu ketawa.”

“Kamu ngga banyak bicara, ya.” Kataku.

“Ya, begitulah.” Jawabnya.

“Okay.” Jawabku dengan senyuman “Kamu sudah banyak dengar ceritaku. Aku emang banyak bicara, semua orang bilang gitu. Kamu ngga bilang gitu juga?”

“Hmm.. ngga deh.”

Kami saling menatap tanpa mengucapkan sepatah katapun hampir semenit.


“Malem ini keren banget ya. Baru pertama kali dapet klien, dia ngga ngajak ngapa-ngapain. Pergi yuk dari sini, aku pengin ngajak kamu.” Kataku.

I’m your first client?” tanyanya penasaran “so you’re still..”

Psst. Okay, let’s go out there.”

Ia membayar Tante Cika, kami langsung pergi meninggalkan lokalisasi tersebut. Ia mengendarai Volvo lawas miliknya, aku melihat jas laboratorium berwarna putih di gantung di jok tengah. Dengan penasaran aku bertanya.

“Jadi kamu dokter?” tanyaku.

“Ya begitulah. Tapi entahlah, hidupku itu seperti piramida, semakin ke atas semakin sedikit orang yang mau nemenin aku.” Ia terus fokus menyetir “Jadi mau ke mana kita? Resto?”

“Hmm terlalu mahal.” Jawabku.

“Taman bermain? Lapangan golf?“

“Pfft. Hahaha.. nyetir aja dulu.”

“Aku kira kamu banyak bicara.”

“Dan aku kira juga kamu ngga banyak bicara.”

“Jelas. Tapi di mobil ada orang yang baru aku kenal, jadi ngga mungkin diem aja.”

Malam semakin pekat, Ed terus mengendarai mobilnya dengan tuntunanku. Terus menuju malam yang semakin gulita, ditemani suara radio yang semakin hilang sinyalnya karena kami menuju atas bungkin untuk melihat bintang. Kami turun dari mobilnya dan membuka kap belakang mobil.

“Sejak kapan dokter bawaannya gitar?” tanyaku sembari melihat gitar yang tersanding di belakang.

“Semenjak orang tuaku maksa aku jadi dokter.” Jawabnya.

“Boleh aku mainin?” tanpa menunggu jawabannya, aku mengambil gitar itu.

Tangan kiriku menggenggam kunci F, kemudian aku mulai bernyanyi

Look at the stars
Look how they shine for you
And everything you do
Yeah, they were all yellow
I came along
I wrote a song for you
And all the things you do
And it was called 'Yellow'
So then I took my turn
Oh what a thing to have done
And it was all yellow”
Kuhentikan nyanyianku, membiarkan sisa deringan senar gitar masih berdering

“Kok ngga dilanjutin?” Ed berkata

“Habis ini liriknya itu ‘your skin and bones, turn into to something beautiful’ kamu mau di bilang cantik?”

“Hahaha. Sini biar aku yang lanjutin.” Ia merebut gitar merahnya yang aku genggam

Tangannya mantap menggenggam gitar itu kemudian mulai bernyanyi

“Your skin, oh yeah, your skin and bones
Turn it to, to something beautiful
Do you know? You know I love you so
You know I love you so”

“But you can’t.” Kataku

“I can’t what?!”

“You can’t love me, we just met.”

“Dude it’s just song.”

“Hahaha...” aku diam sejenak “Makasih Ed, ini malam pertama aku ngga sendirian.”

“You’re not alone. Not anymore.” Ia memelukku perlahan.


Sampai rumahku tepat jam dua belas tengah malam, kami duduk di sofa ruang tamu. Ia memintaku mengambilkan segelas air.

“Nginap sini aja, udah telat buat pulang kan?” tanyaku

“Ahaha.. ngga ah. Ngga enak sama adikmu.” Ia menyenderkan badannya.

Aku pun juga menyenderkan badan di sofa itu. Perlahan menyenderkan kepalaku di bahunya, terasa nyaman sekali. Sungguh malam yang indah untuk dilalui, saat demi saat, kurangkul lehernya dengan nyenyak. Perlahan sekali aku dibuat terpikat oleh aroma parfum yang kuat. Ku-endus lehernya, dan beralih kakiku ke atasnya. Menatap matanya dari jarak hanya beberapa inchi. Memejamkannya dan terus menempelkan hidungku di hidungnya. Denyut nadi terasa begitu cepat. Tiba-tiba ia menjauh.

“Mengingat kamu itu anak baik-baik, maaf aku ngga bisa.” Katanya

“Ngga apa, aku yang mau, kok.” Jawabku.

“Maaf sebesar-besarnya, Je.” Ia menggendong tubuhku, meletakkanku di sofa panjang itu “besok-besok mau nemenin lagi, kan? Aku jemput, ya. Ini untuk hari ini.” Ia memberi ku setumpuk tebal seratus ribu dari dompetnya. “See you, Tiny.”
Setelah beberapa bulan tak menerima lembaran bernilai itu, akhirnya aku bisa makan layak dengan ini. Yang membuatku terus befpikir adalah, apa salah aku terus menggantungkan Ed untuk hidupku?

Lusa telah tiba, aku membeli sarapan untuk adikku satu-satunya sebelum ia berangkat sekolah. Itu pagi pertama yang sangat normal. Aku selalu menyayangi adikku semenjak Kak Cerca meninggalkan kami. Aku selalu mendekapnya dengan bagian depan tubuhku yang lembut dan tak memperlihatkan bagian belakangku yang sekeras karang, mengingat aku bekerja sebagai asisten rumah tangga harian yang bayarannya bahkan tak cukup untuk mengenyangkan perut kami berdua selama ini.

Sore hari menunjukan pekatnya mendung di awan, Ed menjemputku dengan mobilnya. Menawan dengan menggunakan Kemeja dan Jeans dan sepatu retro cokelat ala 90an. Ed adalah dokter terkeren yang pernah ku-kenal.
“Hai Tiny.” Sapanya setelah aku masuk kemobilnya.

“Hai Dok. Mau ke mana hari ini?” tanyaku.

“Tergantung, ke mana Tiny minta. Eh boleh tanya ngga?”

“Hahaha... Jalan dulu aja deh. Boleh, kok.”

“Punya mantan ngga?”

Pupil mataku melebar, pertanyaan yang sangat enggan untuk ku jawab.

“Kalau ngga mau jawab ngga apa, kok. Jangan bete gitu lah.” Jelasnya.

“Ada, Ed. Sekarang dia jadi angkatan udara.” Jawabku dengan ramah

“Oh, yaudah sih.” Ia mengerti, aku enggan menjawab, ia langsung mengalihkan pembicaraan “ Eh mau denger joke tentang angkatan udara ngga? Tapi jangan ketawa.”

“Kalau sampai aku ngga ketawa sungguhan, aku gigit kamu, ya?”

“Beres. Ehm gini... Angkatan udara Indonesia itu maju lho.

“Kok bisa?” tanyaku penasaran.

“Pas Angkatan udara Indonesia ke Amerika, mereka pasti tergagap-gagap dan bilang ‘Keren!’ karena pesawatnya Amerika keren. Tapi ngerti ngga apa yang Angkatan udara Amerika pikirin kalau mereka datang ke Indonesia? Mereka pasti bilang ‘Wih, keren. Pesawat jaman eyangku masih ada!’ ”

Tulang pipiku seakan tertarik tak bisa kembali karena ketawaku yang terlalu berlebihan karena mendengar leluconnya. Hampir satu jam kami habiskan berbincang tentang hidup kami di mobil. Ke mana pun arah pembicaraan kami, ia selalu dapat me-respon omonganku dengan baik. Ia banyak memenangkan perhatianku. Kami seakan adalah teman yang sudah lama mengenal.

Tiba kami di Restaurant daerah Jakarta Barat. Itu restoran yang cukup lumrah bagi orang-orang yang mempunyai mobil semacam Porsche. Ternyata itu reuni SMA Ed. Ia menempelkan sikunya ke siku-ku tanpa pernah ia sedikitpun menyentuhku, ia begitu menghormatiku. Ed menyapa seseorang ber-rambut ikal setelah sampai ke mejanya. Aku dikenalkan teman Ed itu, namanya Giva, dia asli orang Surabaya, kami berbincang cukup lama selagi menunggu teman Ed lainnya yang datang. Aku merasa sungkan dengan Ed, karena setiap Giva berbicara, ia selalu menanyakan soal diriku.  Sepulang dari restaurant itu aku diantar ke rumah dan diberi lembaran bernilai atas tugasku untuk menemainya malam ini.

Ia terus memintaku sampai  hari-hari berikutnya. Ia adalah sosok penyayang, hanya saja mungkin ia tak punya seseorang untuk menunjukan sifat penyayangnya itu. Ia melakukan apapun untukku, pergi keluar kota, hanya sekedar nonton di bioskop, belanja buku novel. Terkadang ia jugamembawa Giva pergi bersama kami untuk meramaikan suasana. Dan aku rasa Tuhan pun tidak sewenang-wenang kepada umatnya, ia menemukan kami di tempat yang tak terduga.
Semakin lama, ini sungguh terasa aneh, aku tidak memandang ini sebagai pekerjaan, aku memandang ini sebagai kebiasaan. Aku tidak merasa bekerja, aku merasa menemani. Terkadang aku juga hanya ingin menemani dirinya tanpa mengharapkan apapun. Aku rasa Ed sungguh memenangkanku, aku benci mengakuinya tapi aku sangat mencintainya. Bukan cinta karena uangnya, melainkan apa yang tidak bisa di beli dengan uang, yaitu moral, karakter, style, dan selera. Dia memang ‘menyewa’ diriku, tapi ia tahu bagaimana bersikap dan memperlakukanku. Aku telah banyak kehilangan orang yang aku sayangi, aku harap aku juga tidak jatuh ke seseorang yang salah.

Sampai di mana sudah menginjak dua belas bulan kami mengenal dan memaklumi satu sama lain, aku mengenal keluarganya dengan baik. Cinta mengajariku mendefinisikan dua hal dalam hidup,  yaitu  harapan, sebagai hal yang tak pernah usai untuk meneruskan hidup dan rumah, di mana aku merasa nyaman dan itu bisa aku temukan dalam diri Ed. Sebagaimana rasa sayang itu tumbuh, yaitu dengan cara kebiasaan.

“Ed, tahu ngga kenapa bulan itu ngikutin kita terus?” aku bertanya di dalam mobil sembari ia mengajakku pergi.

“Ngga tau. Emang kenapa?” jawabnya

“Kamu kan dokter, masa ngga tau?” candaku

“Ohh, aku kira kamu mau gombalin aku. Hahaha. Ya karena dia terlalu tinggi, jadi mustahil untuk ngga kelihatan.” Jelasnya

“Boleh tanya lagi?”

“Boleh, Jellie.”

“Waktu itu kenapa kamu pengin keluarin aku dari tempat itu, Ed?”

Ia diam sejenak dengan tatapan kosong ke jalan, menepikan mobilnya di kesepian lalu ia berkata “Karena nge-lihat kamu di tempat seperti itu adalah kekejian untuk aku.” Ia memalingkan pandagannya kearahku “Sebagai dokter. Sebagai manusia.”

“Tapi kenapa harus aku?” aku bilang.

“Karena aku tau kamu ngga benar-benar mau ngelakuin pekerjaan itu. Mungkin aku harus akui sekarang, aku tau kamu itu model majalah. Temanku kerja di majalah itu, kamu cantik pakai dress putih untuk iklan sabun mandi. Itu yang aku tanyain ke temanku SMA, dia bilang dia tau kamu,. Suatu ketika, kami udah lama ngga ketemu. Terus dia tiba-tiba telpon aku. Dia bilang dia minta tolong. Dia minta supaya aku take care kamu, sebagai sahabatnya dia. Dia tau aku punya cukup uang dan dari SMA aku kesepian. Sampai akhirnya kita ketemu pada saat itu.”

“Kamu bilang sahabatku, Ed?”

“Iya, Shinta.”

Jantungku memompa darah cepat ke otakku, mendengar nama Shinta aku tak berpatah satu katapun. Shinta selama ini tahu keberadaan Ed?  Aku tak bisa menjelaskan bagaimana aku harus bereaksi ketika perasaan haru dan sedih menyergapku.

“Tapi aku kebablasan, Je.” Lanjutnya “Aku niatnya cuma bantuin kamu, tapi malah semakin ke sini semakin suka kamu.”

Mataku semakin menatap kosong ke wajahnya, entah apa yang aku lihat saat itu “Kamu suka aku, Ed?” jawabku dengan nada bisik.

“Mungkin dengan waktu yang kita habisin sama-sama kemarin, mungkin aku jadi cinta kamu.” Imbuhnya.

“Hati-hati, Ed. Pas bicaramu seperti itu, kamu ngga seperti dokter.” kataku

“Itu juga masalahnya, Je. Setiap aku sama kamu, aku lupa siapa aku sebenarnya.”

“Ed..” panggilku, kulepas sabuk pengamanku, aku mengarah kepadanya dan mendekatinya. Perlahan ku kecup bibirnya dengan menutup mata. Aku melepaskan kecupan itu setelah mataku terbuka “Sekarang kamu buat aku ngga bisa ngebayangin berada di tempat lain kecuali di sampingmu.”

Keesokan hari, aku lari ke rumah Shinta. Aku masuk ke kamarnya, aku tak lihat dia di sana. Aku ke dapur, aku melihat ia memasak makanan dan mulutnya penuh dengan makanan. Ku putar badannya ke arahku, ku peluk dia erat-erat. Ia tak bisa apa-apa dengan tangan yang masih ku rekatkan. “Makasih, Shin. Untuk semuanya.” Aku mencium keningnya dengan lama.

Tiba di saat hari pernikahan kami. Tak kunjung ada, tiba-tiba datang untuk menemanimu selamanya, seperti itu cinta bereaksi. Pelangi tak datang di saat tidak ada hujan, aku sangat percaya ungkapan seseorang itu. Aku melihat Ed yang ada di sebelahku untuk mengenakan jazz dan mengucapkan ijab qabul. Rasanya tak percaya aku menikahinya setelah dua tahun aku mengenalnya pertama kali sebagai sosok yang tak pernah menyakitiku selama dua tahun ini. Aku merasa beruntung memilikinya. Ku lihat Giva yang tak henti-hentinya merekan kami berdua dengan handycam miliknya. Di hari ini, di hari yang sangat bersyukur ini, aku tak henti-hentinya menitiskan doa di tiap langkahku untuk ke depannya agar lebih baik.

Seminggu setelah kami berlibur ke Bali, aku ingat di hari pernikahanku dua minggu lalu, bahwa Giva merekam kami sampai akhir, aku ingin menonton itu. Aku pergi ke rumah Giva dengan taksi, aku mengetuk pintu rumahnya, ia terlihat kaget ketika ia membukakan pintu dan mengetahui kalau aku ada di situ.
“Hai Giv, boleh masuk?” tanyaku
Dengan mengunyah makanan, ia membukakan pintu lebih lebar, mempertandakan ia mengijinkanku masuk.

Ia mempersilakanku masuk rumahnya yang tidak terlalu besar namun cukup rapih. Sementara ia mengganti pakaiannya, aku melihat koleksi CDnya di rak Tvnya. CD itu bertuliskan “edwin&je” ketika ia balik dari kamarnya, aku mengejutkannya dengan bertanya kepadanya

“Boleh aku putar ini di DVDmu, Giv?”

“Tapi, Je..”  tanpa menghiraukannya, aku memotong pembicaraannya.

“Boleh, ya Giv? Pleaseee banget.” Dengan memohon mohon akhirnya aku menyetel DVD itu.
Video itu berdurasi 12 menit, menunjukan pernikahanku mulai pertama, mulai dari aku keluar dari ruang rias, ketika aku menangis saat Ed mengucapkan ijab qabul, ketika aku melemparkan bunga, ketika aku dipakaikan cincin oleh Ed, hingga ketika tersenyum lebar saat bersalaman dengan teman-temanku, semua video itu hanya memperlihatkan aku selama aku di pernikahanku itu.

Kulihat Giva yang tampak diam sambil menutup mulut dengan satu tangannya menahan tangan yang satunya. “Giv?” panggilku “Jadi ini isi videonya Giv?”

“Sorry, Je.” Dengan muka bersalahnya.

“Ngga perlu minta maaf Giv. Kamu kenapa ngga pernah bilang, Giv?” tanyaku.

“Sebenernya di restaurant itu, aku mau ajak kamu pergi, karena aku tau kamu sosok yang pintar, dan Edwin bilang kamu cuma temannya. Tapi aku lihat kamu sama Edwin akrab banget.”

“Giv..” panggilku coba menenangkan.

“Ngga apa kok Je, tahun depan aku nikah, kamu dateng ya sama Edwin.” Ia mengucapkannya sambil tersenyum. “Je...” lanjutnya “aku cuma mau bilang sekarang, mumpung bisa. Aku seneng punya waktu sama kamu, nonton, pergi keluar kota sama kamu, walaupun kamu udah sama Edwin. Dan aku ngga bakal lupa semua itu sampai entar aku ompong”

“Hahaha. Makasih Giv..” lama menatap mukanya, aku mendekatinya, kupeluk dia dengan erat, ku cium bibir merahnya yang tampak menawan itu dan merapihkan bajunya. Segera aku beranjak pulang ke rumahku.



Jumat, 26 Desember 2014

Size Doesn’t Matter


Sejak beberapa bulan lalu, gue selalu googling artis-artis terkenal soal tinggi badan mereka



Yup, gue ngerasa minder karena tinggi gue yang cuma 171cm, dibanding temen-temen gue yang tingginya rata-rata lebih dari segitu. Sebagai laki murni, kadang gue kalau lihat cewe yang tingginya lebih dari 171cm gue ngerasa kaya kurcaci. Tapi gue selalu cari mereka yang terkenal walau tingginya pas-pasan, buat inspirasi dan membuktikan tinggu itu ngga pengaruh, dan ini beberapa orang terkenal itu:

1.      Tom Cruise

Aktor terkenal yang udah nyabet penghargaan se-dinasti ini udah maen film banyak banget. Dengan tingginya yang 1 cm di bawah gue, 170cm, dia ngga kalah saing sama  aktor-aktor lainnya yang tingginya hampir se-portal pos rumah gue.


2.      Lionel Andres Messi

Laki mana yang ngga tau doi? Sosok ‘kecil’ dengan tinggi 169cm ini udah nyabet hampir semua piala yang ada di FIFA. Dengan kaki lincahnya dia ngelewatin pemain-pemain se-kelasnya yang tingginya diatas dia.


3.      Daniel Radcliffe

Harry Potter ngga pernah ada kalau ngga ada dia. Sosok “Dwarf” ini udah membuat cewe sariawan gara-gara  cakepnya. Tinggi nya yang 165cm itu membuktikan kalau dia mampu jadi orang Inggris yang namanya masuk ke museum bangsawan. Salut!



4.      Peter Gene Bayot Hernandez

Loh siapa dia? Dia adalah Bruno Mars. Cowo yang bisa bikin cewe meriang gara-gara sepikannya lewat lagu-lagu epicnya ini memiliki tinggi badan 165cm.



LOH MOD KOK ORANG BULE SEMUA?

Selow, Ini yang terakhir asli Indonesia.

5.      Iko Uwais

Aktor hebat sekaligus artis martial art ini punya tinggi yang 165cm. Dengan tingginya yang cuma segitu dia bisa nge-hajar orang-orang se apartmen. Ngga percaya? Lihat aja film The Raid 2: Berandal.


Yoi, itu beberapa orang yang gue ‘respect’-in dan bisa dijadiin inspirasi dengan tingginya yang ‘hanya’ segitu. Jadi, kalau lo punya tinggi yang nge-pas, ngga ada salahnya dong ngebandingin sama orang-orang terkenal dia atas?

Sekian postingan ngga  jelas gue, yang ngga suka jangan ditanggepin. Maaf kalau ada salah kata, akhir kata see you next post!



Rabu, 26 November 2014

CERPEN: The Invicible.



Kumpulan terik matahari menyusup ke rongga kepalaku. Langit negara Eropa dengan suhu yang mampu mencengkramku, melintasi alam pikiranku dengan kenangan enam tahun lalu setelah aku melihat dia. Seseorang memanggilku “Ana? Lihat apa, An?” yang belum aku gubris. Tunggu, apa benar itu dia? Ia tampak lebih besar dan berotot, rambutnya panjang dan sedikit messy, matanya yang tajam dan lebar saat tak memakai kacamata. Melihat ke arahku. Wajahnya masih sama saat ia tak mampu melihat aku secara jelas saat aku di depan sekolah dulu, memicingkan matanya dengan kepala yang dimiringkan ia terlihat semakin tampan di bawah depan Burger King.


“Aku cinta kamu, Ana!” teriakan bocah aneh dari panggung itu sukses berat membuat otot rasa malu-ku pecah. Aku keluar dari lapangan sekolah dengan mengajak sahabatku, Shinta. Rasa sebal dan malu merajut tiap sudut muka-ku.

“Kamu kenapa sih, An?” tanya Shinta sambil cengengesan.

“Diem kenapa Shin! Udah tahu aku malu!”

Ia cengengesan setelah aku digojloki anak-anak se-sekolah karena sikap anak aneh tadi. Rio namanya, teman sekelas yang sudah dari semester satu mengincarku. Menerimanya? Jangankan berbicara dengannya, setiap kami rolling bangku dan ia dibelakangku, aku selalu sekarat kehabisan oksigen karena ia terus membuatku kesal.

Semua berawal dari kelas satu SMK, saat olahraga. Seluruh murid kelas disuruh memutari komplek sekolah yang lumayan panjang. Rio tampak kelelahan dan hampir tersandung kakinya sendiri. Tapi aku melihat temannya, Giva, seseorang anak band yang terkenal se-Surabaya. Mereka berdua lari berdampingan. Aku membawa tempat minum Tupperware yang bisa dislempang. Aku mendekati mereka berdua, dengan niat mencari perhatian ke Giva “Hai. Capek ngga?” tanyaku.

“Lumayan.” Giva menjawab dengan cool sambil berlari.

“Nih minum.” Aku menyerahkan tempat minum ku ke Giva.
“Wah kebetulan. Makasih ya.” Ia mengambilnya dari tanganku

Ia tampak tak langsung membuka dan meminumnya, melainkan ia menyerahkannya ke temannya, Rio.

Iki boy, jare ngelak? Iki lho, ngombe teko Ana” – Ini, boy, katanya haus? Ini lho, minum dari Ana. Katanya.

Duh kenapa yang minum jadi Rio sih?! Pikirku. Rio langsung membuka botol itu dan menghabiskan airnya.

Rio berteriak “Makasih, Ana. Udah cantik, baik lagi.” Ucapan itu membuat semua anak termasik Giva yang berlari menertawaiku dan Rio. Aku sangat tak mau mengingat kejadian itu lagi.


Semenjak kejadian itu, Rio terus menggombaliku di depan anak-anak dan tak berhentinya menuliskan ‘Aku Cinta Ana’ di papan tulis besar di depan kelas. Sampai saat kejadian tadi, ia naik diatas panggung setelah Band Giva perform untuk pensi memperingati berakhirnya kelas satu SMK kami.

Saat waktu senggang dan pensi berakhir, aku menghampirinya, membuka mataku lebar-lebar didepannya karena sikap tidak masuk akal yang ia lakukan tadi di depan panggung sekolah. Dia  hanya memangku gitar dan membuat petikan demi petikan, ia santai dengan melihatku mampir ke bangkunya. “Rio! Bisa berhenti bikin aku malu ngga?!” bentakku.

Rio menghentikan memetik gitarnya, ia melihat kearahku. “Lho aku kan pengen dapetin kamu sih, An. Masa ngga boleh? Daripada se-sekolah sepi ngga ada yang teriak ciye-ciye?” jawabnya cengengesan dan kembali memetik senar-senar gitarnya.

“Tapi ya jangan gitu dong, Io. Yang malu itu lho aku! Kamu itu siapaku sih? Aku lho, ngga suka sama kamu!”

Muka Rio berubah dari cengengesan menjadi tegang “Iya An, aku memang ngga pantes kok dapetin kamu. Maaf ya.” Ucap Rio dengan nada gemulai. Aku sedikit merasa bersalah ketika melihatnya memetik gitarnya tanpa memasukkan kuncinya.
“Tapi kan itu cuma bercanda, An? Syukur-syukur deh kalau dapet. Hahaha..” ia kembali mengubah raut mukanya menjadi cengengesan.

“DUHHH! NGGA TAU AH!” teriakku di depannya.

Aku jengkel, rasa amarahku memuncak hingga sepersekian milimeter di otak. Itu karena Rio. Hingga aku meluapkan semuanya ke Shinta, sahabatku yang beda kelas, dia adalah sahabatku sejak SMP. Aku pun menceritakan semua rasa malu ku ke Shinta, tetapi ia hanya tertawa melihat ceritaku tentang kelakuan aneh Rio.

“Hahaha.. bagus dong, An. Itu tandanya dia minta perhatian balik ke kamu.” Ia menggosok-gosok rambutku yang panjang.

“Kamu kok malah ketawa sih? Aku, kan, pengennya di perhatiin Giva!” teriakku ke muka Shinta.

“Dih ngarep. Hahaha.. Iya, ngerti kok aku, An. Tapi Rio juga ngga kalah gantengnya kan sama Giva?” ia malah menggodaku lagi

“Dih jauuuhhh!” aku menyangkalnya.

Setelah menikmati beberapa pekan stay di rumah,  kami resmi naik ke kelas 2 SMK. Di mana anak-anak mulai nakal, karena sudah bukan menjadi junior lagi. Di kelas 2, aku mendapatkan wali kelas yang terkenal killer di sekolah. Pak Hasyim, dengan badan yang tinggi dan rambut botaknya, ia menyuruh seluruh kelasku memperkenalkan diri kepadanya. Setelah semua sudah memperkenalkan diri kepadanya, ia mulai membuat rules.

“Saya minta, semua anak di kelas ini berteman. Oleh sebab itu, jangan membeda-bedakan mana laki dan mana perempuan. Laki dan perempuan harus duduk bersebelahan.” Teriaknya dengan suara yang 5 oktav.
Kelas kami pun mulai pindah bangku, yang ku lihat pertama adalah Giva. Sayang, ia sudah di booking sama Via, seorang model tinggi yang setiap ke sekolah tampil elegan. Semua murid saling bergerak, aku hanya duduk di bangku-ku dan menunggu siapa rekan bangku cowo-ku. Aduh, Rio. Ia menaruh tas ransel nya di bangku. “Ngga dapet tempat selain ini, janji ngga ganggu kok.” Ia bilang dengan singkat. Syukurlah kalau begitu.

Hari-hari berjalan seperti biasa, entah apa roh yang menyambet Rio sampai ia tidak menggodaku lagi selama kelas 2 ini. Sampai dengan semester 5, ujian akhir semester sudah menunggu. Saat ujian Fisika, aku menamatkan Rio yang serius menghitung angka demi angka. Satu setengah jam, dan aku baru menggarap lima dari dua puluh lima soal. Rio dengan polosnya keluar bangku dan membawa kertasnya. “Rio! Udah selesai? Tungguin.” Bisikku.

Rio kembali ke bangku, aku melihat kertas ulangannya. Dua puluh lima soal, Rio sudah menggarap semua dengan rumus yang rapih. Rio membalikkan kertas ulangannya kepadaku. Dengan cepat aku menyalin semuanya. Hanya lima belas menit, aku sudah selesai semua. Aku mengumpulkannya dan keluar kelas. Rio yang keluar dari pintu kelas, ku panggil dengan nada selembut mungkin.

“Rio?” dengan jalan menuju arahnya.

“Ya, An?” ia menoleh, dengan lehernya yang terlihat berotot.

“Ngga papa. Makasih udah bantuin. Hehe..” aku menepuk lengannya, merasa berhutang kepadanya. Tangannya juga terlihat berotot, jemariku merasakan lekukan demi lekukan di lengannya.

“Sama-sama, aku emang suka itung-itungan kok hahaha..” ia tersenyum memalingkan wajahnya, berjalan menuju kantin. Benar juga kata Shinta, Rio lumayan ganteng juga, dengan rambut yang sedikit panjang dan dadanya yang bidang.

Aku memanggilnya lagi, “Rio!!”

“Apa lagi Anaaa?!” ia menjawab dengan sedikit jengkel.

“Umm.. Sabtu, habis renang nonton yuk?”

“Boleh, atur aja.” Ia tersenyum kembali.

Akhirnya hari Sabtu. Seluruh kelas dua SMK libur karena ujian tes olahraga renang. Semua murid perempuan tes terlebih dahulu, saat giliranku, aku melakukannya dengan mudah. Ah, hanya 100 meter. Dan akhirnya semua murid perempuan selesai. Saatnya giliran murid laki-laki, kelasku mendapat giliran pertama, kuperhatikan satu demi satu teman sekelasku, mataku mendapatkan seseorang berbadan yang setengah telanjang dan sangat berotot, itu Rio? Tidak salah, dadanya membelah bidang, perutnya yang membentuk enam persegi tak henti-hentinya ku pandangi, inchi demi inchi lekukan punggungnya sangat seksi. Harus kuakui, untuk urusan badan, Giva tak ada apa-apanya dibanding Rio. Terus menerus kupandangi saat dia meluncur untuk menepati ujian 100 meter itu.

Suara Shinta membuyarkan lamunanku “An! Nafas dong!” aku memalingkan wajah ku ke wajah Shinta, nafas beratku yang terhentak hentak dengan menggenggam tangan Shinta.

“Apa? Apa? Lihat apa?!” tanyanya penasaran.

“Rio, Shin! Rio!” jawabku sambil bergemetar.

“Iya kenapa?!”

“Ngga lihat? Hot abis!” bisikku di telinganya

“Tuh kan, An, aku bilang apa. Dia bikin kamu kelepekan.. makan omongan sendiri.. Hahaha!” candanya.

Pandaganku terus terpaku di Rio saat meniriskan badannya, harus kuakui, aku menyesal pernah menganggap ia Invicible. Aku pun menyudahi memandanginya. Lagipula, aku bisa bertemu dengannya nanti saat kita pergi. Setelah keluar dari kamar mandi wanita, aku melihatnya didepan pintu keluar memakain kemeja hitam dan jeans. Apa yang Rio tunggu? Pikirku. Aku menghampirinya dan menyapanya. “Hai, Io.” Sapaku.

“Hai, udah siap?” ia bertanya sambil tersenyum.

“S..S..Siap. Di mana?” tanyaku balik.

“Terserah, TP? Yuk.” Aku menggenggam tangannya dan menariknya, ia menggenggam lebih erat tanganku. Ia mengendarai motor bebek, ia memuatku di belakang.

Tiba kami di Tunjungan Plaza, menuju XXI,  untuk kencan pertama, film superhero memang cocok untuk menemani sepasang sejoli yang masih saling mencoba memahami. Film The Incredible Hulk, menceritakan Dr. Bruce Banner yang diperankan oleh Edward Norton yang berusaha menjauhi kekasihnya yang diperankan oleh Liv Tyler karena ia tak mau kekasihnya tersakiti karena perubahannya yang menjadi mahluk besar akibat sinar gamma.


Setelah film selesai aku mengajaknya untuk membeli kopi di cafe XXI, 

 “Keburu-buru ngga?” tanyaku “Ngopi yuk, gantian deh aku yang bayarin. Hahaha..”

“Boleh. Mumpung besok Minggu.” Ujarnya dengan cepat.

Kami duduk di bangku kosong di depan, ia memesan Frappucino es, sama sepertiku.

“Hai, Io.” Panggilku.

“Ya, An?” jawabnya. Ia bermain dengan tempat tisu meja makan. 

"Kalau boleh jujur, langsung aja ya, aku itu sukaaa banget sama kamu yang sekarang.” Ia tersedah kecil “Eh kamu ngga apa?”

“Wow, aku juga suka kamu. Ahaha.. Iya, terus?” jawabnya cool.

“Ngga godain aku yang kaya dulu, sekarang kamu juga dandanannya lebih rapih, kacamatamu ngga segede dulu kaya pertama masuk, dan badan mu sekarang seksi banget, kamu nge-gym ya? Hahaha.” Pujaku. Aku mungkin adalah wanita, tapi aku tak mau hanya karena aku sebagai wanita aku tak berani mengutarakan isi hati. Tak lama, aku menyambung “Jadi, Io, entah kenapa rasa ini semakin mengakar, dan kau ngga bisa bohong. Aku tiba-tiba jadi sayang kamu.” tanyaku.

Rio menatap ku kosong, aku menunggu suara yang dilepaskan dari pitasuaranya, memperhatikan bibirnya yang melingkup untuk mengatakan sesuatu “Ehm.. iya kok, kalau boleh jujur, aku tanya ke Shinta buat dapetin kamu. Haha.. ngga nyangka aja sekarang malah jalan sama kamu.” Ia berkata.

“Shinta? Ya ampun dia yang nyampein semua? Hahaha.. Kalau gitu...”

“Tapi, maaf An.” potongnya. “Rasanya ngga fair kalau aku ngedapetin kamu itu susah, tapi kamu ngedapetin aku bisa gampang.”

“Iya, Io. Maaf sebelumnya, aku bukan Betty Ross yang bisa terima kamu pas kamu masih jadi ‘aneh’. Aku cuma cewe egois yang...”

“Psst..” ia menggenggam tanganku. “Aku ngga pernah nyalahin kamu. Sekolah kita masih panjang, aku ngga mau di tengah-tengah kita kandas. Lebih baik kita cukup segini aja. Kita juga harus ujian praktek, kan.” Ujarnya.

Kenapa ngga di coba dulu, Io? Bagian manaku yang perlu aku ubah untuk bisa pas jadi bagian dari kamu?! Seakan kalimat itu ingin kulontarkan dengan keras di wajahnya. Aku adalah pemilih yang buruk, aku selalu menginginkan kesempurnaan, tapi malah dibuat lenyap oleh kesempurnaan.

Ruangan yang ber-AC seakan tak mempan mendinginkanku, dahi dan leherku berkeringat, hati dan otak seakan saling menghajar. Aku terus menerus diam tak berpatah kata, namun aku harus bisa membuktikan bahwa aku adalah sesosok wanita yang dewasa. Aku terus menahan air mataku. Mungkin seperti sudah rumusnya bahwa manusia itu seperti magnet, ketika magnet A mendambakan sisi lain dari magnet B, magnet B menolak. Tapi ketika magnet B menginginkan sisi lain magnet A, magnet A menolak.

Sampai lah kami di rumahku, aku turun dari motor bebeknya, ia pun turun mengikutiku, ia melepas helmnya. Aku segera ke depan pintu pagar ku agar ia tak tahu bahwa aku tidak bisa membendung air mataku. “Lucyana.” Panggilnya.

Kuhentikan langkah ku, kuambil nafas panjang dan menghembuskannya, tubuhku berbalik ke arahnya. Ia menghampiriku, aku menjawabnya “Iya, Mario?” sambil tersenyum.

“Maaf” katanya “Aku sudah menghabiskan perasaanku ke kamu sebelum kamu peduli aku” Aku tak bisa menjawab ocehannya, aku terus memandang wajahnya dari dekat, tatap matanya membunuh mataku dengan perlahan, wajahnya terus mendekat ke wajahku, mataku terpejam dengan sendirinya. Kurasakan gesekan antara dua sisi daging tebal membungkam bibirku. Lambat laun aku merasakan bibirku semakin melembab. Tangan Rio mencengkram pinggulku dan mendekatkan ke arahnya. Kami saling mendekatkan dada kami. Terus menerus hingga ke leher. Pelukannya memberi rasa nyaman. Aku menikmati malam yang kian sunyi di antara sensasi gerakan lidah Rio di bibirku. Aku tak mau melepasnya, ia berikan aku surga dunia yang manis. Aku tak mau ini berakhir.

Perlahan, nadi ku terus memuncak hingga beberapa bit-rate, ia melepaskan bibirnya. Aku tak akan pernah melupakan ini. “Gutennait, Lucy.” Ia berkata. Ia pergi ke tempat motornya di sanding, lalu pergi meninggalkan rumahku.

Hari demi hari aku menikmati saat-saat di sekolah bersamanya. Aku habiskan waktuku di sekolah hampir tak lepas melihat wajahnya. Saat ia makan ke kantin bersamaku, saat kami bekerja sama dalam mengerjakan ujian, saat aku kerumahnya untuk mengerjakan tugas bersama. Aku tak akan pernah melupakan saat itu. Kami terus menempel hingga teman-teman mengira bahwa kamu adalah sepasang kekasih. Tapi, hubugan yang seperti ini justru akan bertahan lama, bukan. Di dalam doa ku aku selalu menyebut namanya. Ya Tuhan, jika ia meninggalkanku, jika ia tak mencintaiku, hukum dia untuk mencintaiku selamanya.

Sampai setibanya masa dimana kami sudah lulus sekolah. Seusai salat subuh, handphone Nokia E71 ku bergetar, menatap tab atas, yang bertuliskan message dari Mario Bramantio.
‘Dear Lucyana Anggraeni, sudah mutusin ambil kuliah jurusan apa? Di Jakarta macet banget, mau ke Trisakti aja harus nunggu lama. See ya later.’

Delete Message
Confirm

Aku melanjutkan tidur di hari libur sambil menunggu panggilan dari Universitas Sepuluh November Surabaya. Jahat? Tidak, aku tidak jahat, aku hanya berpikir bahwa ketika kamu tidak menginginkan seseorang itu, maka jangan membuatnya jatuh ke hatimu.

 


Rio kembali menatap handphonenya. “Ana?! Lucyaaanaaa~” goda saudara sepupuku, Dea di sampingku. “Kok bengong? Itu cowoku, mau aku kenalin?”

“Ngga usah De, anakku udah nunggu. Kasihan, liburan ke sini ngga makan. Ahaha.” Aku mengambil pesanan Burger King ku. “duluan ya De” aku mencium pipinya. “muah muah”
Kuletakkan mulutku di samping telinganya dan berbisik “Ganteng juga cowomu. Hihihi.” Dan ia tersenyum

Aku berjalan meninggalkannya, menuju mobil suamiku. Suamiku, Giva dan anakku menunggu di dalam mobil. Aku memberikan Burger pesanan mereka, VW tahun 2013 Giva meluncur menuju hotel di mana kami tinggal. Dan kadang-kadang aku berfikir, kasihan Dea, ia memakan bekas roti gigitanku. Hahaha.