Senin, 29 Juni 2015

CERPEN: The Son (18+!!!)



“Cahaya, Kak Fira, ayo makan siang dulu.” Panggilku dari ruang makan, aku sudah menyiapkan chicken gordon bleu untuk makan siang di hari ulang tahunku ini.
Tak kunjung datang, lantas kuhampiri mereka di ruang belakang, mereka asyik bermain catur. Konyol, orang seperti mereka bermain catur, dari 2 jam bermain mereka baru jalan masing-masing 3 langkah.

“Hei” sapaku

“Pssst!” sentak mereka berdua. Aku menahan tawa, aura  kak Fira terasa  sepuh dan kendur  karena tak kunjung menikah. Kunjungan  kak Fira kemari mengingatkanku  pada kejadian itu, 5 tahun setelah  aku  tahu bahwa Ayahku adalah founder the bounty hunter.


“Nina, kamu ngerasain apa?” tanya kak Rizal, ia masih memegang Dragunov kesayangannya.

“Loh? Masa ngga bisa lihat, Kak?” tanyaku kembali. Menyindirnya agar ia menggunakan supergenetik-nya sendiri.

“Entah, Nin. Mataku ngga sehebat dulu, sekarang mataku cuma bisa dipakai fokus beberapa menit. Reaksinya sudah ngga sekuat dulu.” Rizal beralasan.

Sukmaku merasakan daerah sekitar pelabuhan itu, merasakan mereka yang berusaha mendatangkan 10 ton heroin siap pakai. “Ada 15 orang.” Kataku “13 laki-laki, 2 perempuan. Yang perempuan ngga bersalah, mereka cuma nganter suaminya.”

“Singkirin semuanya.” Perintah kak Rizal

“What?! She’s just their whore. I don’t want to kill innocent people.”

“She’s a threat, Nina. Flik, maju duluan, Nina cover kamu dari belakang, aku bakal cover kalian dari sini.” Utus kak Rizal ke kak Flik.

“Guys..” suara Noval masuk dari walkie talkie yang kemresek “ada kapal satu lagi masuk dari radar. Jadi total 2 kapal menuju ke sini. Nina pasti ngga bisa ngerasain.” Noval mengejek

“Hei, resek, aku mungkin buta, tapi ngga tuli.” Kataku. Flik dan kak Rizal tertawa kecil

“Woops, Maaf” ia memotong percakapan. Dasar orang Balikpapan.

Aku dan Flik menuruni bukit. Nafas semangat Flik terus berkoar, karena ini misi pertama kali aku melihatnya sebagai seseorang yang gagah nan tampan meskipun mataku hanya menggambarkan hitam pekat dirinya. Aku mengantongi katana yang terukir tajam dan beberapa pisau lempar. Flik membawa crossbow. Kedap suara untuk mengendap-endap. Terdengar 1 orang yang sedang buang air kecil, itu supir truk mereka. Flik melumpuhkannya.

“Panah bius?” tanyaku

“Yup. Itu cukup untuk orang yang cuma pipis dan ngga ngelawan.”

“Terserah.”

Sisa 14 orang, mereka menghadap ke utara melihat laut sore hari. Flik melempar bom kaget beserta bom asap ke mereka semua. Letusan bom itu membuat mereka semua panik dan tak bisa melihat. 2 orang perempuan tak peka, hanya berteriak dan tak berbuat apa-apa, sedangkan seluruh laki-laki mengeluarkan 5 senjata api dan 7 senjata tajam.

Tak menunggu lama, aku lari ke arah mereka, orang pertama begitu jakung, otot murninya yang menonjol, tubuhku melompat ke arahnya, kugoreskan bagian tajam pisau ke lehernya, dia jatuh beserta kulit lehernya yang terus mengalirkan darah. Kulempar pisauku ke lelaki yang membawa pistol berkaliber kecil, tepat di samping kepalanya.
Seseorang menghampiriku, tangannya siap menghantamku dengan goloknya. Darahnya melambat, ternyata Flik sudah menancapkan anak panah dulu di varientalnya.
Sayang, aku hanya bisa menggunakan indra perasaku, karena aku menahan bau menyengat bom asap dan suara berisik bom kaget Flik. Tak bisa maksimal.

Peluru berukuran panjang dari arah atas bukit menembus dada si pembawa senjata api. Sudah keluar dari zona asap, 2 orang machete bisa melihatku. Saatnya sedikit aksi, 2 pria setinggi 6 kaki tampak tak tenang, mereka tak bisa fokus, lari ke arahku dengan perasaan yang janggal. Lantas aku pun lari, berlutut hingga aku melunjur dengan lututku, menggores kaki masing-masing machete itu. Tergeletak mereka bersama kakinya yang tak bisa mereka rasakan.
Kuakhiri mereka segera, katana yang kubuat dan kuasah sendiri kutancapkan dari tulang belakang mereka. Tepat di jantung masing-masing bajingan ini.

3 orang meloloskan diri, tapi tak semudah itu, Rizal meluncurkan peluru dari Dragunovnya. Seseorang di belakang Flik membawa pisau kecil. “Flik, belakangmu”, pria yang tubuhnya licin dipenuhi keringat itu pisaunya mengenai lengan Flik. Tapi Flik menggenggam lehernya, mencengkramnya kuat bagaikan terkaan elang.

Sisa 2 orang, mereka masuk ke dalam kontainer, aku tak bisa merasakannya, kontainer-kontainer itu menghalangi senseku. Kapal hampir datang, 2 orang wanita penghibur tadi hanya duduk di dalam kontainer depan.
Aku menghampirinya, mereka ketakutan, badannya penuh dengan luka, jantungnya tenang tapi otaknya tak berpikir jernih. Apa yang mereka pikirkan?

“Pulanglah” perintahku

“Rumah kami jauh. Kamu sudah menancapkan pedang ke orang yang mengantar kami.” kata salah satu dari mereka. ia merapatkan jaketnya, menutupi tubuhnya yang hanya dibalut pakaian dalam.

Aku ingin membantunya, tapi apadaya aku juga tak berani bepergian jauh. Merogoh sakuku, aku menyerahkan selembar uang Rp.50.000 “mungkin ini bisa membantu”

Si wanita ketakutan ingin mengambilnya perlahan, ia tak mengambil uangnya, malah ia menggenggam erat tanganku, temannya ikut menarikku. Tak bisa kulepaskan, mereka malah menarikku ke pangkuannya, telapaknya mendekap mukaku, semakin lama aku semakin tak bisa merasakan apapun. Suara jantungku bergema. Mungkin mereka memukuliku atau menusukku dengan katanaku sendiri. Entahlah. Aku pingsan, menuju beberapa dimensi setelah ini, tak merasakan sakit atau mempunyai pikiran. Nyawaku di hambang ruang-ruang waktu yang ingin padam.




Terbangun di meja berbahan kayu, di bar gelap yang akan ada pertandingan softball di TV kecil. Aku memakai dress sleveless berwarna biru. Ini bukan mimpi, aku bisa melihat diriku membawa alat yang hanya ada satu tombol di bagian bawahnya, baliknya ada lambang apel yang digigit di bagian kanan atas. Apa ini? Kunyalakan, di layar tertulis Schenectady, NY, jam 9 malam, bersuhu 27 derajat celcius, dan... 16 Maret 2009?. Aku baru ingat, aku ada janji dengan seseorang. Aku lama menunggu, sampai-sampai tertidur. Ya, kami janjian di bar karena mustahil untuk tidak melihat bar di setiap blok di Schenectady.

Alison, teman dekatku waktu di kolega menari hanya menggunakan pakaian dalam di depan lelaki yang haus akan penyalur nafsu. Mereka menyawer Alison untuk sekedar melihatkan pantat indahnya ke mereka. Menyedihkan, Alison adalah perempuan lulusan University of New York. Negara ini memang kejam, menjadi striptis bisa menjadikanmu kaya raya daripada harus repot-repot melamar kantor dengan syarat gelar PhD.

Orang yang kutunggu datang, ia sangat layak untuk ditunggu, ia memakai jaket kulis khas pengendara motor besar, jenggotnya seksi, kulitnya cokelat mengkilat. Siapa dia? Bahkan aku tak tahu siapa yang aku tunggu. Apa yang ia inginkan dariku? Kenapa kita harus bertemu di sini?

“Nina” panggilnya “kamu selalu bisa memikat lelaki yang sudah beristri.” Duduk di bangku yang memutar.

Apa? Sudah beristri? Aku ini umur berapa sih? Kalimat itu ingin kulontarkan, tapi tak bisa.
“Langsung ke intinya, Flik.” Flik? Ini Flik?! Ya Tuhan, ia tampan sekali ternyata. Tapi kenapa ia menemuiku?”

“Sudah 10 tahun kita ngga ketemu, Nina. Tolong buang sikap dinginmu itu.” Ia menuangkan bir di gelas yang sudah kupesan “Kamu pasti masih marah sama aku karena aku nikah sama wanita lain.” Ia meminum birnya.
“Sudah ratusan malam aku habiskan bersama wanita yang berbeda. Entah kenapa aku ngga nemuin satupun yang kaya kamu, Nina.” Ia menceritakan kegiatanya selama ia tak bersamaku 10 tahun. Dan bodohnya aku hanya mendengarkannya seperti orang tolol yang dijahit bibirnya.

Aku membakar tembakauku gulungku “Jadi cowo brengsek kaya kamu yang udah nidurin ratusan anjing masih punya hati nurani?” olokku

“Lontarin, Nina. Lontarin apa aja yang bisa mengubah cara pandangmu itu ke aku. Aku di sini mendengarkan.” Ia tersenyum manis.

Kami berdiaman sejenak, aku menghisap rokokku “Aku ngundang kamu ke sini cuma ingin dapat maaf darimu.” Lanjutnya, ia menggenggam tanganku, rokokku terjatuh “aku tahu kamu masih sisakan ruang buat aku, Nin walaupun kamu marah sama aku.” Ia mendekapku di pelukannya, menempelkan kedua bibirnya ke bibirku

“Kamu..” seketika ruangan menjadi gelap, yang terang hanyalah badan kami berdua yang sudah tak terbalut sehelaipun benang. Aku melayang ke 7 dimensi, ini terlihat nyata. Aku melakukan pemuas hasrat itu dengan penjahat kelamin ini. Kami membagi dosa antara dua sudut gender yang berbeda. Ia laksana angin yang menghantamku sebagai daun jalang yang siap jatuh.

Beberapa dorongan dan tarikan dari tubuh Flik, perutku berhenti bergerak, ada yang salah, Flik menyingkir dari tubuhku. Pisau tangan berdiri gagah di hadapan perutku, menembus dan mengeluarkan bercak noda. Apa yang Flik lakukan? Aku memandanginya
“Kamu selalu bodoh Nina.” Suara itu terdengar dari sisi kanan, kulihat Flik kembali, ia menghilang dari sampingku “Kamu selalu bodoh Nina” suara itu, seluruh ruangan, badanku akan pecah, aku berteriak.

Teriakanku membutakan seluruh pengelihatan mataku, tunggu, aku memang seharusnya seperti ini. Di mana aku tadi? Kusentuh meja samping. Ini... ini rumah... aku kembali ke rumah, apa yang terjadi?

“Pasti mimpi itu buruk.” Suara Rizal.

Tubuhku berada di kasur asrama Tbh, aroma khas pintu besi tercium, ini kamarku “Apa yang terjadi, Kak?” nafasku panjang-panjang.

“Kedua wanita itu, Nina. Ia juga supergenetikan seperti kita.” Rizal duduk di bangku tempatku belajar.

“Aku mimpi begitu buruk, aku bangun dan hampir 50% pengeliahtanku hilang karena itu.”

“Ia memiliki pemberian seperti Fira, Anagnosi. Jenis Efialtis. Ia bermain dengan otak hanya dengan menyentuhmu, menciptakan mimpi yang bersumber dari ketakutanmu dan orang yang kamu sayang. Tak kusangka efek itu bisa hebat seperti ini.”

Ah syukurlah itu hanya mimpi. Badanku terasa diperas tenaganya karena mimpi itu. Tapi mana Flik? “Sekarang di mana dia, kak?”

“Dia?” Rizal menoleh, pompaan jantung terkuat ia sodorkan saat mengatakannya.

“Flik?” tanyaku

Otot pita suaranya mengeras, seperti ada yang dia ingin bicarakan tapi ia tahan.

“Kak?” kuteruskan bertanya, ada sesuatu yang tidak beres, sepertinya

“Dia ngorbanin nyawanya baut kamu, Nin. Aku coba nolong kamu, tapi dia yang sampai duluan. 2 orang laki itu..”

“Apa?” nafasku terpenggal “Maksudku, apa megalonon-nya sudah ngga berfungsi? Dia bisa regenerasi secepat dia luka kan?”

“Megalonon cuma berfungsi ketika orang itu dilukai di bagian selain kepala, Nina...

Sayangnya Flik ditikam tepat di kepala.”

Planet ini seakan runtuh ketika aku mendengarkan pernyataan Rizal. Sepertinya rasa ini tak asing. Aku pernah mengalaminya. Pertama dari keluargaku yang meninggalkanku, kemudian akhir-akhir ini aku juga sering kehilangan teman dekat semenjak bergabung Tbh. Apa ini? Ini perasaan yang tak bisa diungkapkan.

“Aku turut berduka, Nina.” Masih Rizal yang berbicara “Flik itu anak baik, dia ngga punya siapa-siapa selain kamu. Kami makamkan dia dengan layak.”

Aku benci. Aku benci untuk mengetahui bahwa mataku tak bisa setetespun mengeluarkan airnya untuk orang yang aku sayangi. Aku benci untuk mengetahui bahwa aku tak bisa membenci siapapun.

“Kamu masih muda, Nina. Masih 16 tahun. Kamu masih bisa..”

“Sudahlah, kak.” Potongku “Berkenan untuk biarin aku sendiri kak?” aku mengusirnya secara halus. Tidak, aku tidak egois, beberapa alasan menyendiri memanglah hal dibutuhkan. Rizal keluar dari kamarku tanpa sepatah katapun.

Sudah setahun semenjak aku lulus dari sekolah menengah pertama, aku rindu sekolah, mungkin lebih tepatnya aku rindu di saat aku bertemu Flik.


“Woy, idiot! Tadi pagi pakai celana dalam warna apa?! Oh iya, mana tahu, kamu kan buta” ia dan temannya tertawa, aku terus meninggalkan tempatku dan menuju headquarter Tbh. Sebenarnya aku bisa menghajarnya satu-satu, tapi Kak Fira bilang bahwa orang seperti itu sudah biasa di sini. Nanti juga mati, kata Kak Fira.

“Beraninya sama perempuan! Dasar banci!” seseorang teriak dari samping.

“Heh, ngga usah ikut-ikutan kamu anak hitam! Kita hajar juga kamu!”

4 orang anak yang mengolokkanku menghampiri anak yang dibilang “hitam” itu tadi, sepertinya dia satu-satunya orang asli Jayapura yang sekolah di tempatku. Mereka mengeroyok anak itu sekaligus. Menghantam seluruh bagian vitalnya. Tak bisa melawan, aku mencoba menolongnya.

“Ngga usah ke sini!” ia berteriak saat aku mencoba menolongnya. Tak perduli, kepalan tanganku satu-persatu melayang di wajah mereka. latihan bersama Dinar selama 5 tahun tak sia-sia. 4 preman sekolah itu lengah, mereka terbirit-birit lari.

“Kamu ngga apa-apa?” tanyaku

“Iya ngga kenapa-napa kok.” Ia tak berbohong

Aku menyentuh perutnya yang telah dihajar habis-habisan. Ia tak sedikitpun menarik ototnya karena kesakitan. Sel-sel dalam darahnya beregenarasi, membelah diri perlahan. Ia tak berbohong, ia baik-baik saja. Bagaimana bisa?”

“Kamu.. kamu ini apa?” tanyaku.

“Seseorang memberi saya pil putih. Saya bisa sembuh dengan cepat.”

FFF-05? Dari mana ia dapat? Pikirku. Dia tak ada niat jahat, aliran darhanya tenang, ia tadi memang niat membantuku. Sepertinya dia juga supergenetikan...
“Aku Nina, dari kelas D.” Kumenjabatkan tanganku.

Ia menggenggam tanganku “Flik. Dari kelas B.” Ia mengibaskan tangannya ke mukaku untuk mengetes kebutaanku. Sungguh bukan perkenalan yang baik.

“Hey, itu ngga sopan.” ujarku “aku memang buta, tapi masih bisa lihat jelas.”

“M..m..maaf.” ia ketakutan.

“Aku sama kaya kamu, Flik. Aku juga punya kelebihan aneh itu.”

“K..k..kelebihan?” ia masih ketakutan, malah, jantungnya berdebar-debar. Bicaranya semakin lama semakin gagap.

“Kamu ngga sendirian di dunia ini, Flik.”

“I..iya aku tahu..” jantungnya melambat tenang “a..a..ku selalu tahu, pasti ada yang lain kaya aku.”

“Kamu mau pulang? Rumahmu di mana?” tanyaku

“Di Batu Mulia.” Ia berbohong, darahnya sedikit melamban ketika menyebutkannya. Lagian, Batu Mulia adalah kawasan orang elit di Jayapura ini.

“Kamu bohong..”

“Maaf, saya ngga punya rumah. Saya tinggal bersama wali.”

Semenjak saat itu hidupnya berubah, ia tinggal bersama kami di Tbh, dilatih senior dan dijadikannya kuat, tahan banting, nan gagah. Kami ke sekolah bersama, menghabiskan waktu bersama, tapi sayang jalan kami berbeda.

“Megalonon” kata Dokter Fano saat selesai memeriksa darah Flik “Ini DNA kelas 2 sama seperti punyamu, Nina, lemak di tubuh Flik diubah jadi sel-sel untuk menambal rasa sakitnya dengan cepat.”

“Jadi Flik bisa terus sehat selama hidupnya?” tanyaku

“Ini hanya imun sama penyakit fisik. Ia tidak menerima penyakit dalam” jelas Dokter Fano.


“Nina!” suara Noval datang dari kejauhan. Amarahnya membara, ucapan-ucapan kasar siap ia lontarkan “Nina!” ia mendobrak pintu besi kamarku.
“Goblok!” ia bicara tepat di arahku “Kamu kan udah diperintah kak Rizal untuk ngabisin semua! Terus ngapain bisa kaya gini sih?!”

“Noval! Noval!” susul suara Kak Fira dari jauh.

“Gara-gara kamu, bangsat! Teman baikku jadi mati!” Noval mencekik leherku.

Tak terima, kuhantam rahang Noval, menahannya di tembok “Teman baik?! Terus kamu pikir aku ini siapanya?! Aku juga kehilangan, tolol! Aku setiap misi ngelindungi dia sedangkan kamu apa?! Hah?! Ngga bisa apa-apa, tiap kali ada misi cuma merintah sama ngawasin dari jauh?!”

“Nina! Nina sudah!” Kak Fira menarikku dari Noval. “Sabar sayang.” Ia memelukku “Noval keluar kamu.” Utus Kak Fira, ia memelukku kembali “Sabar, Nina. Semua kehilangan.”

Nafasku tersenga-senga, aku dan Noval selalu tidak cocok, kami bagaikan dua arah mata magnet. Bertolak belakang. Maksudku, siapa dia? Dia hanya ahli tekhnologi, ia bahkan tidak punya supergenetik sepertiku. Setiap misi yang turun ke lapangan selalu aku, Rizal, Flik, dan member Tbh lainnya.

“Kamu ngga kenapa-kenapa, kan, Nin?” tanya Kak Fira.

“Ngga kenapa-kenapa?!” aku melepas pelukannya “Baca aja sendiri sama telepatimu itu, Kak!”

“Maaf, Nin, aku.. aku ngga biasa baca sembarangan pikiran orang yang aku sayang. Aku.. aku lebih suka tanya sendiri, lebih suka ketika orang yang aku sayang bercerita sendiri ke aku.” Ia mendekapku kembali.
Beberapa saat, pelukannya sangat hangat. Walaupun beda 10 tahun, Kak Fira sudah seperti Ibuku sendiri. 8 tahun bersamanya, rasanya sudah seperti seabad. Aku diam sejenak, tak bisa melakukan di mata, aku menangis dalam hati.
“Aku anterin ke gereja yuk.. Mau? Sekalian aku mau belanja bulanan.” Ajak kak Fira

Tak ada kata selain “Ya” jika Kak Fira menawariku ke gereja. Kami berangkat dengan Peugeot 206 barunya.
“Kak Fira ngga ada rencana nikah gitu, kak?” aku menanyainya selagi di mobil.

“Hahaha.. gampang, Nin, santai aja dulu.”

“Sama pacarmu yang kamu anggap saudara aja itu, Kak.”

“Maksudmu Rizal? Hahaha, engga lah Nin.”

Mobil melaju kota dengan kecepatan standar, irama ban mobil melewati jalan hutan yang tak beraspal selalu menjadi nyanyian yang menarik. Suara di radio Hero, lagu terbaru milik Enrique Iglesias menjadi lengkapnya suasana untuk menerkam diri sendiri ini dengan kenyataan.

“Kak Fira..” panggilku

“Iya sayang?”

“Noval dari dulu kok ngga pernah berubah sih? Tapi entah kenapa aku ngga bisa benci.”

“Sudah lah, Nin. Gitu-gitu dia sering bantu kamu loh kalau di misi. Ngomong-ngomong, kamu ngga pengin belajar nyetir? Kamu bisa ngerasain suhu  panas manusia dari dalam mobil kan?”

“Sayangnya ngga bisa, Kak. Lagian, bagaimana caranya bisa pegang 3 pedal mobil sedangkan kita cuma punya 2 kaki?”

“Apa kamu perlu 88 jadi untuk memainkan piano, Nina?”

“Itu intinya, sayang.” Kak Fira membelai kepalaku, mendadak... ia menahan pedal rem mobilnya. Sesuatu di luar mobil ada yang ia lihat, “Tunggu di sini, Nin.”. ia turun dari mobil, kurasakan hawa area di sekitar luar mobil.
Seseorang, yang ototnya sangat padat, lebih tinggi beberapa centi dari Kak Fira... dan... sepertinya.. dia.. membawa.. pistol revolver.

Kuperingatkan Kak Fira “Kak Fira, dia bawa pistol..”

“Tenang, aku cuma mau ngomong baik-baik.”

Kak Fira menuju lelaki yang membawa minuman beralkohol sedang bersender di mobil itu “Maaf, pak, boleh saya lewat?”

“Lewat?” lelaki itu meminum alkoholnya.

“Iya, pak, lewat.” Kak Fira membuka tiga kancing kemejanya dari atas, lelaki itu tegang, beberapa otot pundaknya melemas, gantian otot kemaluannya yang mengeras. Kak Fira apa-apaan sih? Pikirku. “Tolong izinkan kami lewat.” Kata Kak Fira, ia mengelus dahi pria berjanggut lebat itu.

Ia mengangguk-anggukkan kepalanya, menyerahkan dompet dan botolnya ke Kak Fira, memindahkan mobilnya lalu pergi. Kak Fira kembali dengan merapatkan kancing kemejanya kembali dan dompet yang lumayan tebal. Orang ini sakit.

“Itu anagnosi?” tanyaku ketika Kak Fira kembali di bangku supir.

“Bukan, itu murni bukan supergenetik, itu caraku memperlakukan pria, Nina. Mereka ngga boleh dikasarin.” Jelas Kak Fira berbohong.

“What? You’re liar! Hahaha.. ajarin bisa kali..” nadaku genit, Kak Fira menutup pintu mobilnya.

“Ngga boleh di tiru anak kecil woekkk... iya itu anagnosi elenchos, baru kali ini aku gunain. Keren juga.”

Dasar.

Decitan karet ban mobil yang ditahan oleh kampas rem terdengar  dari mobil ini, sudah sampai di gereja. Jamku menunjukan jarum tebal di sudut 240 derajat, jam 8 malam. Tidaklah terlambat. “Pamit duluan Kak Nina, nanti kalau udah di depan nge-bel ya.”

Seperti biasa, gereja kokoh berumur 75 tahun ini masih sepi tanpa pendoa. Sekalinya ada itu pun memang hari Minggu tapi tak banyak juga, walaupun bangunan tua ini bukan milikku tapi aku sedih melihat tempat ini sepi. Dengan puing-puing atap yang terbuat dari besi tua, disangga dan dihias oleh marmer tebal, gereja ini mirip seperti istana yang ditinggal raja.

Duduk di bangku paling depan, lalu mulai memejamkan mata. Kepada mereka yang aku sayangi, kepada mereka yang menyayangiku, walaupun mereka tak mempercayaimu, Tuhan aku berdoa, maka dengarkanlah doa saya. Berikan mereka balasan kebaikan atas apa yang mereka sudah lakukan kepada saya, atas didikan mereka kepadaku, dan atas apa yang sudah mereka limpahkan kepadaku. Terutama, Flik yang 4 tahun menemaniku. Puji kristus, ini hidupku, bimbing aku, pimpin aku di jalanmu. Aamiin. Lilin-lilin di sekitar altar depan menari seolah mengamini apa yang kuucapkan dalam hati.

Memakai tongkat jalan berbentuk tripod, mengenakan jas sleeve lenght, bertopi dan berkacamata. Selalu keluar dari tempat kerjanya ketika aku berdoa dengan pomade yang tebal dan parfum yang wangi. Badannya selalu berada di suhu normal, apa rahasianya? Ia menuju altar dari belakang.

“Sudah lama sekali ya, Nina..” ia menanyaiku sambil menuju altar

“Ya... saya sedikit sibuk beberapa minggu ini” Jawabku.

“Aku akan menemanimu jika kamu ingin pengakuan”

Ia membereskan file-file di altar depan “Kopi? Ayolah, bilang saja iya, kamu selalu menolak” candanya, aku sungkan jika ia terus menawariku kopi. Baiklah, kopinya memang enak, beberapa cangkir mungkin boleh.

Ku hirup aroma kopi tumbuk khas daerah sini. Tumbukannya yang tak rata membuat kopi ini terasa kental, ia sibuk menulis jurnal di harian gereja ini. Sungguh indah sore hari setenang ini di depan gereja. Tak lama kemudian ia memaksaku mengajukan pertanyaan
“Kamu sudah besar, Nina. Kamu tumbuh semakin cantik” pujinya “ada masalah apa kira-kira sampai malaikat sepertimu datang ke sini?”

“Terimakasih, Bapa. Andai saya bisa melihat diri saya sendiri” Kutundukkan kepalaku, merekatkan erat-erat jemariku “Jadi Bapa, apa anda percaya takdir?”

Ia menyeruput kopi hitamnya, lagi “maksudmu secara pengelihatan mata dari beberapa sumber atau secara spesifik?”

“Tidak... Apa anda percaya kalau itu ada,” kubersihkan tenggoroanku ”maksudku, kalau semua itu sudah diatur dan kita tak dapat mengubahnya?”

“Perspektif, Nina. Semua tentang perspektif.” Ia menyeruput kopinya, lagi “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka akan dibukakan bagimu.”

“Matius 7 ayat 7.” Sahutku.

“Tepat.. Dahulu, jaman Yerusalem kuno ada seseorang penggembala. Ia tak bisa membayar pajak dari kedua sapi  perahnya. Mungkin lebih tepatnya sapinya yang hanya 2 ekor tak cukup untuk membayar sisa hidupnya. Jaman segitu, tak menmbayar pajak hukumnya adalah dibakar hidup-hidup. Tentu sang pengembala tua ketakutan. Lalu ia mencari cara agar badannya tak jadi santapan burung gagak. Ia mulai berpikir dan menemukan cara, ia menyembelih satu dari sapinya, dan membayarkannya sebagai pajak. Kemudian ia bebas dari hukumannya itu. Nyawa di bayar nyawa.”

“Kalimat terakhir tidak terlihat begitu relijius. Jadi dengan adanya cerita dengan akhir bahagia itu anda jadi percaya kalau itu bisa di atur?”

“Apa aku sudah terlihat selesai berbicara?”

“Maaf, Bapa.”

“Seminggu kemudian, desanya diserang oleh seorang yahudi. Saat para yahudi sudah masuk ke rumahnya, ia mulai melawan. Tak ada alat untuk melawan, maka anak panah pun menancap ke kepala si penggembala itu. Di dalam situ aku bisa melihat, bahwa kita hanya bisa menunda takdir. Kita hanya bisa mengambil jalan lain untuk menujunya ke takdir itu. Lahirmu, jodohmu, dan matimu. Jadi, ya, Nina, aku percaya kalau itu sudah di atur. Diceritakan dari beberapa cara.”

Kami menyeruput kopi berbarengan.

“Tapi bagaimana bila seseorang bisa mengubahnya? Apakah itu dibolehkan?” tanyaku, tak tahu malu.

“Kalaupun ada, apakah kamu mengenalnya, Nina?”

Nina, sayang, aku sudah di luar. Seseorang membisikiku. Siapa itu? Tak cara nafas kak Fira di sini. Lalu di mana dia? Jangan terburu-buru. Selesaikan dulu saja. Serius, ini tak lucu, bagaimana suara dengan gema yang hanya di pikiran ini bisa terlintas tanpa melalui telinga?
Oh maaf, Nina. Ini aku, Fira, Aku cuma ngetes ini. Kalau kamu bisa dengar, kamu bisa balas dengan cara berpikir juga.

Aku bisa dengar, Kak. Jawabku dalam pikiran.

Okay, see you. Tutup telepati Kak Fira.



Mobil berhenti di bawah pohon yang penuh dengan embun malam. Kurasakan hangat lamput sorotnya. Kak Fira dengan perasaan sumringah menyetir mobil, tak biasanya ia seperti ini. “Malam, Nina.” Sapanya. Kak Fira terlihat aneh.

“Malam, Kak. Gembira banget, Kak, habis ngapain aja?”

“Ada aja.. Hahaha..” nadanya riang

“Belanja apa aja? Banyak banget keliahtannya?”

“Yah.. kebutuhan sehari-hari. Eh besok Minggu ke taman hiburan di seberang kantor pos yuk! Tadi aku lewat sana, udah lama ngga lewat ternyata sudah di buka dari 2 minggu lalu.”

“Boleh. Girls day out aja, kak. Ajak Nanda sama Vina” pintaku

Jam 11 di headquarter Tbh, malam yang pekat di bawah kunang-kunang yang menyanyi dan menyinari malam ini. Aura Noval datang ke mari, ia membawa secangkir kopi, ia bermaksud membukakan pintu.

“Nina, Kak Fira, mungkin sudah larut, di Soa Sia ada perdagangan ilegal.” ia bilang.

“Ngga bisa nunggu aja sampai besok? Memang apa yang di jual?” tanyaku

“Uranium 300 gram.”

“Hahaha..” terdengar tawa Kak Fira. “300 gram?” ia tepingkal-pingkal seakan tak tahu apa yang dijual “Jadi gini, Noval. Kita udah berkali-kali nge-gagalin perdagangan narkoba ratusan kilogram dan udah ngorbanin belasan nyawa anggota kita. Ini cuma 300 gram?”

“Lucu emang kalau dengar jumlahnya” Noval menyeruput kopinya “aku benci ngatainnya Kak Fira, tapi sepertinya Kak Fira harus berhenti baca buku Sci-Fi. Uranium itu bukan jenis narkotika. Itu bahan peledak yang cuma bisa ditemuin di Papua. 1 gramnya bisa sampai Rp.1.000.000.000”

“Jadi gimana, berangkat sekarang?” Rizal menenteng Dragunovnya, ia bersama Billy, oh iya, Billy adalah bahan percobaan dokter semenjak ia meminum pil gila itu. Obat itu mereaksikan tubuhnya untuk menghasilkan kalsium yang lebih, sehingga setiap asupan gizi dari makanannya diubah menjadi molekul dalam tulang. Tinggi Billy sekitar 171cm tapi ia memiliki berat badan 150kg degan tubuh yang ideal.

“Lacak titik koordinatnya” perintah Kak Fira

Perjalanan sekitar 2 jam menuju Soa Sia. Ini jalan yang sangat panjang dengan Van tua yang dilengkapi dengan radar. Seperti biasa, Rizal menyetir sambil melindungi aku, Kak Fira dan Billy. Sedangkan Noval... ia hanya memantau jika ada orang yang mendekati kami.

Senseku bekerja lebih cepat dari radar noval. Aku bisa tunjukan jalan di mana radar mobil Jeep pengangkut uranium itu berada. Jeep itu melaju dengan cepat, mereka tak bisa menghindari kami. Berhenti di pasar ikan malam. Kacanya terbuka, aku bisa merasakan auranya. Sekitar 4 orang di dalam truk. Nyaris tak bernapas, Kak Fira mengisikan Dragunovnya. Matanya lelah. Kami berhenti tak jauh di antara rumah-rumah yang menghalangi pengelihatan mereka.

Bermandikan suara kelelawar yang keliaran, malam ini sangat dingin sekali. Mobil Jeep yang dikendarai target seperti menunggu sesuatu. Tapi apa?
Kini aura target semakin kuat, aku bisa merasakan Dessert Eagle yang digenggamnya, gelombang pistol itu baru aku lihat kemarin sore, saat aku di dermaga.

“Ini jebakan.” Celatukku “orang itu boneka yang sama kaya di dermaga. Apa niat mereka? Noval, kamu tahu dari mana orang ini bawa uranium?”

“Beberapa orang telepon ngga pakai satelit biasa. Aku bisa dengar apa yang dia omongin di satelit itu. Yang terlihat mencurigakan aku bisa tahu.” Noval terus mencari sesuatu di komputer besarnya di belakang van. Noval tak berbohong.

“Kita balik.” Kak Fira menoleh dari depan van yang jendelanya di buka

Noval berkeas “I smell bullshit there. Kita sudah jauh-jauh dari headquarter.”

“You started this bullshit, Noval. Nina ngga mungkin salah.” Kak Fira bergegas dengan niatannya untuk kembali.

“Banyak orang ngga bersalah di sini.” Rizal mengretakkan otot lehernya

“Oh ya?” sahut Noval “sejak kapan Kak Rizal jadi orang suci seperti itu?”

Jemari Rizal mengepal. Seakan siap untuk menghantam mulut Noval andai saja Noval berada di seat depan.

Tak membutuhkan waktu lama, aku bisa merasakan terdapat 4 karet ban yang melaju kencang dari arah timur. Sekitar 2 km dari sini bisa kurasakan. “Wait.” Kendaraan itu berupa sama Jeep. Tapi hanya 1 orang yang ada di dalamnya. “Mungkin Noval benar.”
80 km per jam Jeep itu melaju. Sudah hampir 2 km mendekati target, Jeep melambatkan akselerasinya. “Aku turun duluan sama Kak Billy.” Pintaku.

Dengan senapan jarak jauh Rizal, aku dan Billy menyergap Jeep lawas itu. Sekitar 1 menit Rizal sudah menarget dada si supir. Rizal berancang-ancang memeletuskan dadanya. Dan, boom! Peluru melesat ke dada sang pengendali mobil. Kaca depan pecah dan membuat seluruh mobil gelisah
“Kak Billy, sergap salah satu dari mereka. Biar aku yang urus sisanya.” Aku meemrintahkan Billy. Ia seperti orang bisu yang hanya lari menuju mobil itu, langkahnya terasa berat.

Sudah di belakan mobil Jeep ini. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Hanya orang di belakang yang ingin melawan, ia mengokang Dessert Eaglenya. Tapi terlambat, pisauku sudah menggores lehernya terlebih dahulu. Sementara Billy terus bergelut dengan orang yang duduk di depan.

Pasar berantakan oleh ributnya ketika mereka melihat darah dari mobil Jeep, satu orang bisa lolos. Terlalu rawan jika aku melemparkan pisauku. Aku harus mengejar. Ia tak punya apa-apa. Bagaimana ia bisa reflek lari dengan cepat? Ia masuk ke gang-gang tersempit di sekitar pasar, menjatuhkan ember mentimun hingga berserakan, berusaha merepotkanku.

Nina, it’s hopeless. Kembali sekarang! Bisik Kak Fira dari telepatinya
Seakan tak bisa membalasnya walaupun dengan telepatiku, aku terus mengejar bajingan ini. Melewati jembatan yang menuju atap, kulari sekencang ia berlari. Bodohnya dia, aku sudah berada di atas siap menerkamnya. Aku melompat, mendapati sikuku tepat di matanya. Kami terjatuh berpelukan. Pelukan yang sangat tak romantis.

“Terlambat, sayang.” Ia menggigit sesuatu yang kenyal di giginya, keluar berupa cairan yang sangat kental, merasuk ke tenggorokannya. Itu cairan bunuh diri. Mulutnya berbusa, tak ada satupun nafas yang terlintas dari hidungnya setelah itu.

Pasar malam yang tentram, seketika dirajam oleh jutaan tombak gladiator. Diguncang dahsyatnya letusan partikel-partikel kecil yang berterbangan, dan dileburkan bersama melengkingnya suara yang tiba-tiba, disambut bersama api membara dari ledakan. Titik ledakan itu berada di mobil. Jantungku tersentak, Billy?

Ya Tuhan, ratusan orang tak berdosa ikut menelan pil pahit yang kami buat. Puing-puing terbuat dari kayu runtuh begitu saja karena radiasi ledakan itu. Hari ini, malam di mana aku merasakan ratusan orang yang jantungnya berhenti berdetak. Ruang hampa di dalam tubuhku menggeluti seluruh organ-organnya.


“Pekerjaan ini terlalu beresiko, Nin.” Ucap Flik, ia menggaruk-garuk telinganya yang tak gatal “tapi, bagaimanapun juga Tbh sudah berjasa merawat dan melatih saya.”

“Tapi juga, Flik.” Bisikku “kamu juga bisa keluar dari sini. Aku mau ikut kamu kalau memang kamu perlu aku buat ikut. Kita memang belum 17 tahun, tapi kita pasti bisa hidup sama tabungan kita sekarang, kan. Kita sudah kenal 3 tahun, tapi rasanya aku bisa kenal kamu baik banget.”

Noval lewat dari luar dapur, setelah kami selesai makan siang. Tubuhnya bereaksi atas apa yang aku dan Flik ucapkan. Kenapa sih orang ini mau tahu saja?

“You stay, I stay.” Lanjutku “You leave, i’ll leave too.”


Sudah 10 menit di sini, pihak berwajib tak kunjung datang. Mobil ini dan orang yang bunuh diri sepertinya sangatlah bersangkutan. Bersyukur Billy cepat kembali dan membawa satu tahanan yang sudha tak bernyawa karena hantaman dari tangan betonnya. Tapi aku rasa ini percuma, ini hanya seperti membawa penepuk lalat untuk menghadapi alien yang akan menginvasi bumi.

Aku kembali memeriksa si penjahat yang bunuh diri. Tubuhnya terdapat sesuatu yang aneh. Suhu di tangan kirinya tak sama dengan tangan kanannya. Kuperiksa, sesuatu yang mengganjal pergerakan sendinya. Ada sesuatu di dalam sini, tak yakin apa itu, kubelah tangannya yang bertato itu, mengobok-obok  dagingnya yang penuh darah. Ew.
Kutemukan semacam kompas kecil yang dibalut kawat-kawat kecil. Benda macam apa ini? Mungkin Noval tahu.

“Reaktor sinyal” suara serak khas Noval, setelah beberapa menit ia memeriksa benda abstrak itu “Ini bereaksi sama detak jantung. Digunain dokter buat monitoring jantung, tapi disalahgunain untuk ngirim sinyal ke komputer. Begitu detak jantung orang yang dicolokin ini berhenti, ada kiriman sinyal ke komputer seseorang.”

Sepertinya semua ini berhubungan “Masuk akal. Orang yang aku kejar bunuh diri karena dia ngirimin sesuatu ke orang lain juga.” Tapi bagaimana dengan ledakan dari mobil Jeep itu?

“Nina, kamu bisa dengar detak jantung orang itu, kan?” tanya Noval. “berapa detik mobil itu meledak setelah detak jantungnya berhenti.”

“Sekitar 7 detik.”

Kami kembali memeriksa mobil yang gosong itu. Sekitar 50 mayat orang berserakan di sekitar situ. Menyentuh mobil yang sudah tak terbakar, membaca gerak riwayatnya. Memasuki sesi fokus sebelum semua ini di mulai. Mobil ini berbahan bakar penuh sebelum akhirnya sampai sini. AC tak dinyalakan selama perjalanan ke sini. Dan, ada lubang di tanki bensin?
Tak salah, tanki bensin memang ada lubang berdiameter 0,7cm. Lubang ini tak lama. Juga ada peluru yang menyangkut di dalam. Tembakan dengan sengaja, dari arah utara terperosok. Sangat tak mungkin, sisi utara hanyalah rumah penduduk. Kemungkinan di tembak dari bangunan yang sangat tinggi.
Kutunjuk utara “apa ada bangunan tinggi di arah situ?” semua member Tbh menoleh ke arahku.

“Mercusuar.” Rizal menjawab serantan “sudah ngga di gunain 2 tahun lalu.”

“Kita ke sana.” Ajakku

Suara sirine polisi dan pemadam kebakaran berhamburan melintasi jalan besar Soa Sia. Sungguh malam yang panjang. Bahkan bisa lebih panjang.
Kami sampai di depan palang pintu mercusuar. Digembok dan dirantai. Entah bagaimana bisa masuk. Kulihat, sepertinya juga ada yang mencurigakan, gembok itu baru saja hangat disentuh oleh tangan manusia.

“Noval pasti bisa buka gembok itu.” Kata Kak Fira.

Noval menyengir “You’re right, Charles Xavier.” Puji Noval. Noval menyebut Kak Fira Charles Xavier karena ia adalah seorang ilmuwan yang bisa membaca pikiran di komik Marvel. Kak Fira membaca pikiran Noval karena ia tahu Noval bisa membuka gembok itu. Dasar orang aneh.

Gembok terbuka, aku duluan berlari ke atas loteng. Merasakan kejadian yang barusan terjadi. Terdapat bau asap rokok, goresan barang tajam di balkon loteng, dan bau sepatu kulit baru dari pabrik yang menggores lantai. Tidak salah, 30 menit lalu ada orang di sini.
Kutunjuk bekas 3 goresan tajam di bagian lantai “Lihat ini, Val” Noval melihat goresan dari lantai yang bersemen “Sang Sniper meletakkan senjatanya sama tripod di sini.”

“Tepat.” Kata Noval “Lalu bau rokok ini, dia sempat nunggu dan menghabiskan beberapa batang rokok sebelum akhirnya nembak mobil itu.”

“Tapi gimana mungkin? Jarak mercusuar ini sama pasar 450 meter, loh. Maksudku, Kak Rizal belum tentu bisa nembak dari jarak segitu”

“Perhatian-perhatian, sebelum anda ngatain seseorang, harap radio dimatikan dahulu.” Muncul suara kemresek Kak Rizal dari mobil dengan walkie talkie

“Dewa.” Sebut Noval “sebutannya Dewa. Atlet tembak dari SEA Games 4 tahun lalu dari Jayapura. Dia selalu bawa perlengkapan seperti tripod sama pendeteksi angin. Mungkin di bayar sama seseorang untuk ngelakuin ini.

Senin pagi yang indah. Suara burung bernyanyi tak biasanya semerdu ini. Sangat terasa nyaman di kasur. Dua hari kemarin sangatlah melelahkan, aku bisa seharian di sini. Sudah jam 11 dan aku masih memakai kaos besar dan celana dalam. Sambil mendengarkan berita di TV Rizal di ruang bawah. 50 orang tewas dan 14 lainnya terluka akibat kejadian dini hari tadi. Sungguh aku berharap semua keluarga korban diberi sabar.

Yuk Nin, katanya ke taman awan? Bisik suara Kak Fira dari dalam kepala

Oh iya, kami ada rencana bersama ke taman bermain yang baru dibuka. Masih bisa kurasakan teriakan puluhan orang tadi pagi di kepalaku. Rasanya seperti getah tanaman yang tak bisa lepas dari tanganku karena aku melukai tanaman itu dengan tanganku sendiri. Bagaimana aku bisa bersenang-senang di taman bermain nanti?

Iya, Kak.. Aku mandi dulu. Balasku.

Air hangat yang kupakai mandi tak terasa hangat. Kebebasan terkadang terasa sejuk ketika aku bisa menahan diri. Dan sayangnya aku tak bisa.
Memakai baju pun aku kewalahan. Terlalu banyak beban yang merusak pikiranku.

Seperti rencana, ini girls day out. Hanya aku, Nanda, Vina, dan Kak Vira yang menyetir. Nanda dan Vina adalah kakak beradik. Mereka berjarak 15 tahun. Vina berumur 27 tahun, sudah seperti “Ibu rumah tangga” di Tbh. Masih merawat adiknya, Nanda dengan setia. Vina memiliki supergenetik kelas 1, hypoenfekalos, ia bisa mengatur lapar, lelah, kantuk, dan lain-lain sesuai keinginannya. Sedangkan nanda.. entahlah, bahkan Dokter Fano belum menemukan supergenetiknya.

Taman awan sangatlah ramai. Aku bisa merasakan tiap-tiap jantung yang berdetak di sini. Mereka ke sini dengan sangat gembira. Jarang sekali lihat yang seperti ini di tanah ini.
Hiburan yang cukup indah di di tempat yang cukup ekstrim. Kami menghabiskan waktu bersama, bermain berulang-ulang menaiki komedi putar yang mungkin penjaganya sudah malas melihat muka kami. Kami istirahat hanya untuk membeli es krim dan arum manis.
Ketika menaiki komedi putar untuk ketiga kalinya, Nanda mulai tak bisa menahan rasa lelahnya, ia terlelap di  kelinci imitasi yang bergerak maju-mundur. Setelah mainan ini berhenti, rasanya aku harus membangunkannya.
Badannya membungkuk, aku mendekatinya. “Nanda” gugahku, ia tak merespon. Kurapikan poninya yang menutupi matanya, jantungnya berdecak sangat deras. Tapi bagaimana? Bahkan ia saja tertidur.

“Nanda?!” teriak Vina, suara Vina menyebabkan perhatian dari orang tua yang menjaga anaknya bermain komedi putar. Suara Vina terlihat panik.

“Ke..Kenapa, Kak Vina?” tanyaku. Tak menjawab, Vina menggendongnya turun dari permainan, aku pun turun. Menyenderkannya di bangku dekat pohon beranting, panik sendiri.

Seperti biasa, Kak Fira hanya tenang menyilakan tangannya, memperhatikan Vina yang sibuk memberi nafas pada Nanda. “Sudah 2 minggu Nanda gini terus tiap 12 jam sekali” mata Vina berkaca-kaca. Kak Fira duduk, mempoinkan kedua jarinya di samping dahi Nanda. Apa yang diperbuatnya? Ia memejamkan mata. Semakin lama detak jantung Kak Fira dengan Nanda seirama. Ada apa sih?!

“Tbh!” kejut Kak Fira. “Ini supergenetik Nanda, dia keluar dari alam sadarnya. Ada yang ngga beres di Tbh.” Bergegas Kak Fira menggendong Nanda karena sepertinya ia yang lebih mumpuni sebab ia lebih tinggi dan berisi dari kami berempat.

“Nina, bisa kamu rasain ada apa di markas?” tanya Kak Fira yang sedang menyetir dan mencoba menelepon satu-satunya yang punya telepon genggam, Dokter Fano.

Mencoba menentengkan titik fokus ke utara, ke markas Tbh. Rasanya terlalu jauh. Aku tak bisa menjangkaunya, terlalu jauh.

Telepon tersambung “Halo, Dokter.” Aku menguping

“Ya, Fir?”

“Dokter di mana?”

“Lagi di jalan nih sama Billy habis beli obat-obatan, menuju Tbh.” Kak Fira menutup telepon itu yang rasanya sudha tak guna menanyainya.
Berpacu dengan kecepatan 80km per jam, Kak Fira tak memperdulikan sekitar. Ia terus memacu mobilnya.
Nanda terbangun, ia terlihat lelah setelah melihat apa yang terjadi di Tbh.“Tbh..” katanya, setengah sadar “Tbh diserang.”

Diserang? Ada 2 hal yang mengganggu pikiranku  Pertama, Tbh adalah ruang bawah tanah terpencil dengan akses masuk seperti semacam sumur kecil yang menuju ke bawah, terletak di bawah rel kereta api dan tertutup semak-semak. Kedua, siapa yang menyerang?

“Siapa pelakunya, Nanda?” tanya Kak Fira, mendongak melihat Nanda yang tertidur di belakang dari spion depan. Terlambat, Nanda terlelap lagi karena terlalu lelah. “Shit.” Bisik Kak Fira kepada dirinya sendiri.
Sudah kurang dari 10 km menuju Tbh, aku bisa merasakannya. Tapi, aku hanya bisa merasakan tempat kedap suaranya, tapi tidak dengan orangnya. Ya Tuhan, semoga ketika aku sudah sampai ke sana aku masih bisa melihat semua orang.

Tiba di markas Tbh, lubang persegi yang menghadap ke atas masih tertutup. Kami bergegas turun dan membuka lubang itu, menuruni anak tangga, membuka pintu kedap suara itu. Layaknya melihat suatu kota yang diserang meteor sebesar pluto, kami tercengang dengan rahang kami yang susah untuk ditutup.
Darah milik para teman yang semua sudah kuanggap saudara di mana-mana, Nino, Indra, Gabriel, Harry, Tama, dan yang paling dekat denganku Molly, Adrian, Kak Rizal, Erik, dan masih banyak.
Kak Fira dan Vina menutup mulutnya seakan tak percaya, begitupun aku. Nafasku rasanya hanya sampai tenggorokan. Tapi ada satu detak jantung yang masih berdetak. Noval?

Ia di lantai bawah, terikat di bawah tak bergerak “hai Nin.” Sapanya.
“Noval? Kamu baik-baik aja?” ia melihatku dari tundukannya, menggeleng-gelengkan kepalanya.

Kulepaskan talinya “Ada apa, Val? Ceritain semuanya..” denyut nadinya melemah, seperti diracun.

Kak Fira menyentuh kepala Noval, ia seperti terpukul layak secara fisik mengetahuinya “Apa yang mereka suntikin ke kamu, Val?” Kak Fira masuk ke ruangan Dokter Fano mencari sesuatu.

“Arsenic. Aku bakal ngga bernafas dalam 2 jam kedepan. Tapi tenang, bius ini tak terasa sakit” Nafasnya terpatah-patah “Nina.. stay di sini, ada yang mau aku omongin sama kamu” panggilnya

“Ya, Val. Aku di sini..” kurangkul pundaknya, duduk di sampingnya.

“Tubuhku yang asli tertidur di tahun 2017, seseorang menyuruhku kembali ke mari karena aku harus memberi tahumu hal penting.” Ujarnya, matanya tajam berarah. Entah apa yang ia bicarakan, tapi ia tak menunjukan kebohongan.

“2017? Itu 13 tahun dari sekarang, seperti masa depan? Mana bisa? Jangan bercanda, Val. Itu mustahil.” Raut wajahku canda saat kusinggung Noval.

“Hahaha.. Lucu dengar kamu ngga percaya penjelasanku, padahal yang nyuruh aku kemari adalah kamu sendiri.” Lagi, ia tak berbohong. Membuat pikiranku pecah ke mana-mana. “seharusnya kamu bisa tahu aku ngga berbohong sama kekuatanmu itu, Nin.”

“Kekua..” bagaimana ia bisa tahu? Pikirku “Tunggu, aku ngga pernah cerita kekuatanku sama kamu.. Siapa kamu? Kamu mata-mata?”

“Bukan, aku adalah Anak pertamamamu. Aku sudah  melihatmu tumbuh dan jatuh cinta, seperti sekarang, aku sangat senang, bunda. Kekuatanmu muncul saat kamu jatuh dari pesawat pada umur 7. Ibumu, atau nenekku bekerja di rumah sakit bersalin di Semarang. Kamu bisa bermain piano pada umur 5 tahun. Dan nama panjangmu adalah Valenina Khalisa Arianti. Mau aku terusin?”

“Tapi..” seperti dirajam dengan ribuan jarum, otakku tak bisa menerima bahwa ia tak berbohong “aku ngga pernah nyeritain semua itu..”

“Kamu akan ceritain semua itu beberapa tahun dari sekarang.” Senyumnya miring

Kak Fira keluar dari ruangan Dokter Fano. Ia membawa senapan M-16 miliknya, memakai rompi anti peluru dan membawa obat untuk ia berikan kepada Noval “Ini, Val.. Minumlah..”

“Ngga guna, Fir.. racunnya sudah menyebar.” Kata Noval

Tak peduli soal Noval, dengan dinginnya Kak Fira menaiki tangga. “Mau ke mana, Kak?!” tanyaku

“Bales ke Dewa lah!” sentaknya

“Tapi dia Dewa, Kak! Ahli dalam persenjataan, ngga segampang apa yang Kak Fira pikirin!”

“Apalah artinya Dewa kalau aku ngga percaya Tuhan, Nina.” Ia nekat pergi, tanpa menghiraukanku.

Kukejar terus menerus Kak Fira “You’re going  to hell!”

“With the ship that he built, yes.” Ia pergi dengan mobilnya yang baru distarter

Aku kembali ke Noval yang tak bisa berdiri “Biarin, bunda. Biar Fira balesin dendamnya, dia bakal selamat. Tapi aku harus beritahu bunda, seharusnya yang mati adalah dalangnya, Robi, kamu harus bunuh dia.” Noval menatapku penuh penyesalan, ia memberi suntikan kepadaku. “Ada sisa racun di sini, kamu suntikkan ke dia pelan-pelan, dia berada di apartmen dekat sekolahmu SMP kamar 219. Suntikkan langsung ke badannya.”

“Siapa dia, Val?” tanyaku, mataku sudah berkaca-kaca

“Dia adalah cucu penemu FFF-05, sebentar lagi obat itu sudah berbentuk biskuit. Di masa depan dia orang yang berkuasa, dia ingin ribuan supergenetikan musnah. Sekarang pasti masih sangat muda, membunuhnya pasti sangat mudah. Di masa depan kamu lupa beritahu aku di mana tempat Robi berada, jadi aku harus cari sendiri.”

Kuhembuskan nafas dengan ribuan emosiku, kubertanya “Kalau kamu meninggal di sini, berarti aku ngga punya anak?”

“Ini adalah tubuh orang lain, aku tinggal di tubuh ini dari mimpiku, badanku masih utuh di 2017. Segala yang kamu dan aku lakuin di sini akan menjadi sejarahmu kelak.”

“Tapi dengan siapa aku bakal menikah, Val?”

“Apa kamu suka kalau aku ceritain seluruh isi buku sebelum kamu membacanya, Bunda?” masih sempatnya bercanda, ia meringis sedikit. “sedikit clue, dia juga supergenetikan, tingkat 3. Ada pertanyaan lain sebelum aku pergi?”

“Bagaimana kamu bisa ngelakuin semua ini?”

“Karena yang punya supergenetik itu bukan hanya bunda. Supergenetik ini level 4, Apodosi, kembali dengan mimpi. Aku harus mati di mimpi kalau aku ingin terbangun” Kupeluk erat dirinya, seakan tak mau kehilangannya walau hanya di mimpinya. “Tenang, Bunda. Aku lebih tampan dari pada tubuh ini ketika jadi anakmu. Selama ini aku cuma akting, ternyata benar, kamu dari kecil adalah sosok yang sabar.”

Noval... untuk pertama kalinya kuteteskan air mataku, Tuhan seperti membuka bendungan pelipis mataku. Tak henti-hentinya kupeluk Noval. Hingga akhirnya aku bisa merasakan detak jantung terakhirnya. Saatnya pembalasan.

Apartmen Purnama, dekat gedung SMP ku. Ada 11 tingkat, aku bertanya pada operator kamar 219 adalah kamar paling atas. Aku menuju ke sana dengan lift. Membuka pintunya dengan paksa, mengetahuinya ia masih tertidur. Ini perempuan dengan umur sekitar 30 tahun, sebenarnya tak ingin membuhnya tapi... apa boleh buat?

Kusuntikkan arsenic pada kakinya, ia terlihat nyenyak di saat tidur siangnya. Aku ingin melihatnya mati di sini. Lima belas menit, jantungnya sudah semakin melemah. Ia terbangun, melihatku. “Siapa kamu?” tanyanya. Sepertinya ia tak mampu berdiri seperti Noval saat disuntikkan.

“Kematianmu.” Jawabku. Ia kosong memandangiku “anda punya proyek pemusnahan supergenetikan?” kulanjutkan bertanya, aku duduk di sampingnya.

“Maksudmu penyetopan.. dunia dari orang-orang aneh? Iya.. tapi sepertinya.. aku akan membatalkannya.” suaranya sudah seperti Noval, menjadi lebih lembek layaknya orang yang sudah tua.

“Dengar, kami bukan ancaman. Dan sepertinya anda sudah berbohong kalau anda berniat menghentikannya. Maaf saya harus mengakhiri hidup anda.”

“Aku mengerti.. ini rencana ayahku..” ia mengambil guling, membuatnya sebagai pelukan “silakan lakukan sekarang.”

“Saya sudah menyuntikkan racun kepada anda. Anda akan mati dalam satu sampai dua jam.” Jelasku kepada orang yang tak bisa melawan ini.”

“Terimakasih..”



Kembali ke markas Tbh, kutemui Dokter Fano, Kak Fira, Billy, Nanda dan Vina. Kita bertemu di meja makan yang masih utuh belum terkena peluru dan granad.
“Gimana dendamnya, Kak Fira?” tanyaku basa-basi membuka percakapan.

“Sukses, kepalanya ada di belakang mobil.” Jawabnya, tak sedikitpun ada penyesalan. “Jadi, kita sudah ngga aman di sini.” ia bicara kepada semua yang tersisa “Tabungan kita sudah ada 9 milyar, kita bagi 3, setuju?” Ia membawa koper besar “Aku akan tinggal sama Nina, Dokter Fano sama Billy, dan Vina sama Nanda.”

“Saya tidak punya apa-apa untuk diperjuangkan, jadi, ya, saya setuju tinggal bersama Dokter Fano.” Ujar Billy

“Sepertinya kami akan ke Padang, kembali ke Nenek kami.” Kata Vina, aksennya Padang.

“Dokter Fano, ke mana tujuan anda?” tanya Kak Fira

“Ibu saya punya apartmen kosong di Balikpapan, saya rasa saya akan tinggal di sana. Kalian mau ikut?”

“Nina?” Kak Fira meminta pendapatku..

“Two is better than one.” Jawabku.

“So, okay. Kalian bisa pakai uang itu buat tiket naik pesawat. Kita menuju bandara sekarang. Kita berangkat ke destinasi kita masing-masing dan.. kita hasilkan supergenetikan yang lainnya.” Ujar Kak Fira

Setelah kami memakamkan semua dengan layak, kami menuju bandara dengan mobil Van Tbh. Terakhir aku melihat bandara aku masih bisa merasakan lekukan cahaya di mataku. Aku tak percaya aku menuju ke bandara lagi dengan berduka. Sungguh bulan Juni yang berdarah. Aku, Kak Fira, Billy, dan Fano terbang ke Balikappan. Vina dan Nanda beda jalan dengan kami, saatnya kami berpisah, kupeluk mereka berdua.

Pesawat hari ini berangkat jam 19.00. tak ada trauma, sebaliknya, aku harus semangat memulai kehidupan yang baru. Wajah-wajah lelah orang-orang di pesawat sangatlah mudah menggambarkan bahwa mereka ke Balikpapan bukan untuk bersenang-senang
“Kak” panggilku “kita lupa sesuatu”

Kak Fira mendekatkan telinganya “Apa itu, Nin.”

“Kita ninggalin om Dinar.”

“Hahaha.. mungkin dia buat Tbh sendiri sama kelima anaknya.” Candanya.

Tiba di Balikpapan, kami menuju apartmen Ibu Dokter Fano tinggal, sekitar 90 menit dari bandara. Apartmen yang tidak terlalu mewah, tapi cukup besar kamarnya. Dokter Fano menjanjikan servis gratis selama setahun, selanjutnya, kami hanya bembayar air, listrik, dan iuran bulanan.

Yang pertama kupikirkan adalah aku harus mencari sekolah. 2 hari aku mencari sekolah, tak ada sekolah “Normal” yang mau menerima murid yang tak bisa melihat walaupun masih bisa membaca. Satu-satunya rekomendasi Dokter Fano adalah Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Cela Maria. Tak mencari untung, aku hanya ingin sekolah di sini. Sebulan lagi kelas di mulai.

Hari pertama di kelas ini, rasanya asing aku berkumpul dengan dunia yang tentram sedangkan aku terbiasa dengan yang keras. Kelas musik menjanjikan aku untuk mendapat nilai dari bermain piano, sang guru terus memperhatikanku. Tapi, ada lagi yang memperhatikanku dari balik pintu, sesosok pria setinggi 177 sentimeter, rambut panjangnya menutupi dahinya,  jantungnya berdebar kencang dengan aliran darah yang melambat. Ia.. ia.. jatuh cinta? Aku merinding, piano terus kumainkan dengan irama cepat. Masa iya pendosa sepertiku layak dijatuh cintai?
Hari kedua, Ibu Dokter Fano diundang di sini, ia berbicara sebagai pengusaha muda. Dokter Fano pernah cerita, sebenarnya dia tak muda, dia punya supergenetik kelas 1, yaitu tak bisa menua. Selesai pertemuan dengan enterpreneur itu.
Hari ketiga, huh, sepertinya sekolah di sini mulai menyenangkan, aku bisa mencari hal baru yang belum aku ketahui sebelumnya, boleh di bilang, aku adalah anak yang paling “normal” di sekolah ini. Ditambah, ada seseorang dari kemarin yang terus memperhatikanku seolah-olah ia sedang jatuh cinta. Aku memperhatikannya terus, hingga akhirnya ia mampir ke kelas musik, tempat aku biasa menghabiskan jam terakhirku. Ia tak melihatku di belakang yang dari tadi memperhatikan dia, kutepuk  pundaknya “Hei!” sapaku dengan senyuman

Ia kebingungan melihatku, berkeringat secara tiba-tiba, mengapa? “Oh hai, mau lewat ya? Maaf.” Katanya.

Kulebarkan senyumku lagi “Ohh, engga, kamu dari kemarin perhatiin aku terus, aku jadi takut sama kamu. HAHAHA.” Ia pun ikut merinding.





























Inspired by X-Men
Some coversation took from Daredevil
Photo took from google
Character’s name mostly from my friend’s name





























































Tok tok tok seseorang mengetuk pintu, itu Noval, ia membawa 2 orang. Siapa mereka? kubuka pintu itu
Aku pernah merasakan nafas ini, aku pernah tahu dan aku pernah mengenalnya.
Lelaki berawakan besar itu menjabatkan tangannya “Hai, Nina. Noval sudah cerita semuanya ke kami.”
“Happy birthday, bunda!” ucap Noval
Kedua orang itu.. Flik? Rizal?