“Cahaya, Kak Fira, ayo makan siang dulu.” Panggilku
dari ruang makan, aku sudah menyiapkan chicken gordon bleu untuk makan siang di
hari ulang tahunku ini.
Tak kunjung datang, lantas kuhampiri mereka di ruang
belakang, mereka asyik bermain catur. Konyol, orang seperti mereka bermain
catur, dari 2 jam bermain mereka baru jalan masing-masing 3 langkah.
“Hei” sapaku
“Pssst!” sentak mereka berdua. Aku menahan tawa,
aura kak Fira terasa sepuh dan kendur karena tak kunjung menikah. Kunjungan kak Fira kemari mengingatkanku pada kejadian itu, 5 tahun setelah aku
tahu bahwa Ayahku adalah founder the bounty hunter.
▄
“Nina, kamu ngerasain apa?” tanya kak Rizal, ia
masih memegang Dragunov kesayangannya.
“Loh? Masa ngga bisa lihat, Kak?” tanyaku kembali.
Menyindirnya agar ia menggunakan supergenetik-nya sendiri.
“Entah, Nin. Mataku ngga sehebat dulu, sekarang
mataku cuma bisa dipakai fokus beberapa menit. Reaksinya sudah ngga sekuat
dulu.” Rizal beralasan.
Sukmaku merasakan daerah sekitar pelabuhan itu,
merasakan mereka yang berusaha mendatangkan 10 ton heroin siap pakai. “Ada 15
orang.” Kataku “13 laki-laki, 2 perempuan. Yang perempuan ngga bersalah, mereka
cuma nganter suaminya.”
“Singkirin semuanya.” Perintah kak Rizal
“What?! She’s just their whore. I don’t want to kill
innocent people.”
“She’s a threat, Nina. Flik, maju duluan, Nina cover
kamu dari belakang, aku bakal cover kalian dari sini.” Utus kak Rizal ke kak
Flik.
“Guys..” suara Noval masuk dari walkie talkie yang kemresek “ada kapal satu lagi masuk dari
radar. Jadi total 2 kapal menuju ke sini. Nina pasti ngga bisa ngerasain.”
Noval mengejek
“Hei, resek, aku mungkin buta, tapi ngga tuli.”
Kataku. Flik dan kak Rizal tertawa kecil
“Woops, Maaf” ia memotong percakapan. Dasar orang
Balikpapan.
Aku dan Flik menuruni bukit. Nafas semangat Flik
terus berkoar, karena ini misi pertama kali aku melihatnya sebagai seseorang
yang gagah nan tampan meskipun mataku hanya menggambarkan hitam pekat dirinya.
Aku mengantongi katana yang terukir tajam dan beberapa pisau lempar. Flik
membawa crossbow. Kedap suara untuk mengendap-endap. Terdengar 1 orang yang
sedang buang air kecil, itu supir truk mereka. Flik melumpuhkannya.
“Panah bius?” tanyaku
“Yup. Itu cukup untuk orang yang cuma pipis dan ngga
ngelawan.”
“Terserah.”
Sisa 14 orang, mereka menghadap ke utara melihat
laut sore hari. Flik melempar bom kaget beserta bom asap ke mereka semua.
Letusan bom itu membuat mereka semua panik dan tak bisa melihat. 2 orang
perempuan tak peka, hanya berteriak dan tak berbuat apa-apa, sedangkan seluruh
laki-laki mengeluarkan 5 senjata api dan 7 senjata tajam.
Tak menunggu lama, aku lari ke arah mereka, orang
pertama begitu jakung, otot murninya yang menonjol, tubuhku melompat ke arahnya,
kugoreskan bagian tajam pisau ke lehernya, dia jatuh beserta kulit lehernya
yang terus mengalirkan darah. Kulempar pisauku ke lelaki yang membawa pistol
berkaliber kecil, tepat di samping kepalanya.
Seseorang menghampiriku, tangannya siap menghantamku
dengan goloknya. Darahnya melambat, ternyata Flik sudah menancapkan anak panah
dulu di varientalnya.
Sayang, aku hanya bisa menggunakan indra perasaku,
karena aku menahan bau menyengat bom asap dan suara berisik bom kaget Flik. Tak
bisa maksimal.
Peluru berukuran panjang dari arah atas bukit
menembus dada si pembawa senjata api. Sudah keluar dari zona asap, 2 orang
machete bisa melihatku. Saatnya sedikit aksi, 2 pria setinggi 6 kaki tampak tak
tenang, mereka tak bisa fokus, lari ke arahku dengan perasaan yang janggal.
Lantas aku pun lari, berlutut hingga aku melunjur dengan lututku, menggores
kaki masing-masing machete itu. Tergeletak mereka bersama kakinya yang tak bisa
mereka rasakan.
Kuakhiri mereka segera, katana yang kubuat dan
kuasah sendiri kutancapkan dari tulang belakang mereka. Tepat di jantung
masing-masing bajingan ini.
3 orang meloloskan diri, tapi tak semudah itu, Rizal
meluncurkan peluru dari Dragunovnya. Seseorang di belakang Flik membawa pisau
kecil. “Flik, belakangmu”, pria yang tubuhnya licin dipenuhi keringat itu
pisaunya mengenai lengan Flik. Tapi Flik menggenggam lehernya, mencengkramnya
kuat bagaikan terkaan elang.
Sisa 2 orang, mereka masuk ke dalam kontainer, aku
tak bisa merasakannya, kontainer-kontainer itu menghalangi senseku. Kapal hampir datang, 2 orang wanita penghibur tadi hanya
duduk di dalam kontainer depan.
Aku menghampirinya, mereka ketakutan, badannya penuh
dengan luka, jantungnya tenang tapi otaknya tak berpikir jernih. Apa yang
mereka pikirkan?
“Pulanglah” perintahku
“Rumah kami jauh. Kamu sudah menancapkan pedang ke
orang yang mengantar kami.” kata salah satu dari mereka. ia merapatkan
jaketnya, menutupi tubuhnya yang hanya dibalut pakaian dalam.
Aku ingin membantunya, tapi apadaya aku juga tak
berani bepergian jauh. Merogoh sakuku, aku menyerahkan selembar uang Rp.50.000
“mungkin ini bisa membantu”
Si wanita ketakutan ingin mengambilnya perlahan, ia
tak mengambil uangnya, malah ia menggenggam erat tanganku, temannya ikut
menarikku. Tak bisa kulepaskan, mereka malah menarikku ke pangkuannya,
telapaknya mendekap mukaku, semakin lama aku semakin tak bisa merasakan apapun.
Suara jantungku bergema. Mungkin mereka memukuliku atau menusukku dengan
katanaku sendiri. Entahlah. Aku pingsan, menuju beberapa dimensi setelah ini,
tak merasakan sakit atau mempunyai pikiran. Nyawaku di hambang ruang-ruang
waktu yang ingin padam.
Terbangun di meja berbahan kayu, di bar gelap yang
akan ada pertandingan softball di TV kecil. Aku memakai dress sleveless
berwarna biru. Ini bukan mimpi, aku bisa melihat diriku membawa alat yang hanya
ada satu tombol di bagian bawahnya, baliknya ada lambang apel yang digigit di
bagian kanan atas. Apa ini? Kunyalakan, di layar tertulis Schenectady, NY, jam
9 malam, bersuhu 27 derajat celcius, dan... 16 Maret 2009?. Aku baru ingat, aku
ada janji dengan seseorang. Aku lama menunggu, sampai-sampai tertidur. Ya, kami
janjian di bar karena mustahil untuk tidak melihat bar di setiap blok di
Schenectady.
Alison, teman dekatku waktu di kolega menari hanya
menggunakan pakaian dalam di depan lelaki yang haus akan penyalur nafsu. Mereka
menyawer Alison untuk sekedar melihatkan pantat indahnya ke mereka.
Menyedihkan, Alison adalah perempuan lulusan University of New York. Negara ini
memang kejam, menjadi striptis bisa menjadikanmu kaya raya daripada harus
repot-repot melamar kantor dengan syarat gelar PhD.
Orang yang kutunggu datang, ia sangat layak untuk ditunggu,
ia memakai jaket kulis khas pengendara motor besar, jenggotnya seksi, kulitnya
cokelat mengkilat. Siapa dia? Bahkan aku tak tahu siapa yang aku tunggu. Apa
yang ia inginkan dariku? Kenapa kita harus bertemu di sini?
“Nina” panggilnya “kamu selalu bisa memikat lelaki
yang sudah beristri.” Duduk di bangku yang memutar.
Apa?
Sudah beristri? Aku ini umur berapa sih? Kalimat itu
ingin kulontarkan, tapi tak bisa.
“Langsung ke intinya, Flik.” Flik? Ini Flik?! Ya Tuhan, ia tampan sekali ternyata. Tapi kenapa ia
menemuiku?”
“Sudah 10 tahun kita ngga ketemu, Nina. Tolong buang
sikap dinginmu itu.” Ia menuangkan bir di gelas yang sudah kupesan “Kamu pasti
masih marah sama aku karena aku nikah sama wanita lain.” Ia meminum birnya.
“Sudah ratusan malam aku habiskan bersama wanita
yang berbeda. Entah kenapa aku ngga nemuin satupun yang kaya kamu, Nina.” Ia
menceritakan kegiatanya selama ia tak bersamaku 10 tahun. Dan bodohnya aku
hanya mendengarkannya seperti orang tolol yang dijahit bibirnya.
Aku membakar tembakauku gulungku “Jadi cowo brengsek
kaya kamu yang udah nidurin ratusan anjing masih punya hati nurani?” olokku
“Lontarin, Nina. Lontarin apa aja yang bisa mengubah
cara pandangmu itu ke aku. Aku di sini mendengarkan.” Ia tersenyum manis.
Kami berdiaman sejenak, aku menghisap rokokku “Aku
ngundang kamu ke sini cuma ingin dapat maaf darimu.” Lanjutnya, ia menggenggam
tanganku, rokokku terjatuh “aku tahu kamu masih sisakan ruang buat aku, Nin
walaupun kamu marah sama aku.” Ia mendekapku di pelukannya, menempelkan kedua
bibirnya ke bibirku
“Kamu..” seketika ruangan menjadi gelap, yang terang
hanyalah badan kami berdua yang sudah tak terbalut sehelaipun benang. Aku
melayang ke 7 dimensi, ini terlihat nyata. Aku melakukan pemuas hasrat itu
dengan penjahat kelamin ini. Kami membagi dosa antara dua sudut gender yang
berbeda. Ia laksana angin yang menghantamku sebagai daun jalang yang siap
jatuh.
Beberapa dorongan dan tarikan dari tubuh Flik, perutku
berhenti bergerak, ada yang salah, Flik menyingkir dari tubuhku. Pisau tangan
berdiri gagah di hadapan perutku, menembus dan mengeluarkan bercak noda. Apa
yang Flik lakukan? Aku memandanginya
“Kamu selalu bodoh Nina.” Suara itu terdengar dari
sisi kanan, kulihat Flik kembali, ia menghilang dari sampingku “Kamu selalu
bodoh Nina” suara itu, seluruh ruangan, badanku akan pecah, aku berteriak.
Teriakanku membutakan seluruh pengelihatan mataku,
tunggu, aku memang seharusnya seperti ini. Di mana aku tadi? Kusentuh meja
samping. Ini... ini rumah... aku kembali ke rumah, apa yang terjadi?
“Pasti mimpi itu buruk.” Suara Rizal.
Tubuhku berada di kasur asrama Tbh, aroma khas pintu
besi tercium, ini kamarku “Apa yang terjadi, Kak?” nafasku panjang-panjang.
“Kedua wanita itu, Nina. Ia juga supergenetikan
seperti kita.” Rizal duduk di bangku tempatku belajar.
“Aku mimpi begitu buruk, aku bangun dan hampir 50% pengeliahtanku
hilang karena itu.”
“Ia memiliki pemberian seperti Fira, Anagnosi. Jenis
Efialtis. Ia bermain dengan otak hanya dengan menyentuhmu, menciptakan mimpi
yang bersumber dari ketakutanmu dan orang yang kamu sayang. Tak kusangka efek
itu bisa hebat seperti ini.”
Ah syukurlah itu hanya mimpi. Badanku terasa diperas
tenaganya karena mimpi itu. Tapi mana Flik? “Sekarang di mana dia, kak?”
“Dia?” Rizal menoleh, pompaan jantung terkuat ia
sodorkan saat mengatakannya.
“Flik?” tanyaku
Otot pita suaranya mengeras, seperti ada yang dia
ingin bicarakan tapi ia tahan.
“Kak?” kuteruskan bertanya, ada sesuatu yang tidak
beres, sepertinya
“Dia ngorbanin nyawanya baut kamu, Nin. Aku coba
nolong kamu, tapi dia yang sampai duluan. 2 orang laki itu..”
“Apa?” nafasku terpenggal “Maksudku, apa
megalonon-nya sudah ngga berfungsi? Dia bisa regenerasi secepat dia luka kan?”
“Megalonon cuma berfungsi ketika orang itu dilukai
di bagian selain kepala, Nina...
Sayangnya Flik ditikam tepat di kepala.”
Planet ini seakan runtuh ketika aku mendengarkan
pernyataan Rizal. Sepertinya rasa ini tak asing. Aku pernah mengalaminya.
Pertama dari keluargaku yang meninggalkanku, kemudian akhir-akhir ini aku juga
sering kehilangan teman dekat semenjak bergabung Tbh. Apa ini? Ini perasaan
yang tak bisa diungkapkan.
“Aku turut berduka, Nina.” Masih Rizal yang
berbicara “Flik itu anak baik, dia ngga punya siapa-siapa selain kamu. Kami
makamkan dia dengan layak.”
Aku benci. Aku benci untuk mengetahui bahwa mataku
tak bisa setetespun mengeluarkan airnya untuk orang yang aku sayangi. Aku benci
untuk mengetahui bahwa aku tak bisa membenci siapapun.
“Kamu masih muda, Nina. Masih 16 tahun. Kamu masih
bisa..”
“Sudahlah, kak.” Potongku “Berkenan untuk biarin aku
sendiri kak?” aku mengusirnya secara halus. Tidak, aku tidak egois, beberapa
alasan menyendiri memanglah hal dibutuhkan. Rizal keluar dari kamarku tanpa
sepatah katapun.
Sudah setahun semenjak aku lulus dari sekolah
menengah pertama, aku rindu sekolah, mungkin lebih tepatnya aku rindu di saat
aku bertemu Flik.
▄
“Woy, idiot! Tadi pagi pakai celana dalam warna
apa?! Oh iya, mana tahu, kamu kan buta” ia dan temannya tertawa, aku terus
meninggalkan tempatku dan menuju headquarter Tbh. Sebenarnya aku bisa
menghajarnya satu-satu, tapi Kak Fira bilang bahwa orang seperti itu sudah
biasa di sini. Nanti juga mati, kata Kak Fira.
“Beraninya sama perempuan! Dasar banci!” seseorang
teriak dari samping.
“Heh, ngga usah ikut-ikutan kamu anak hitam! Kita
hajar juga kamu!”
4 orang anak yang mengolokkanku menghampiri anak
yang dibilang “hitam” itu tadi, sepertinya dia satu-satunya orang asli Jayapura
yang sekolah di tempatku. Mereka mengeroyok anak itu sekaligus. Menghantam
seluruh bagian vitalnya. Tak bisa melawan, aku mencoba menolongnya.
“Ngga usah ke sini!” ia berteriak saat aku mencoba
menolongnya. Tak perduli, kepalan tanganku satu-persatu melayang di wajah
mereka. latihan bersama Dinar selama 5 tahun tak sia-sia. 4 preman sekolah itu
lengah, mereka terbirit-birit lari.
“Kamu ngga apa-apa?” tanyaku
“Iya ngga kenapa-napa kok.” Ia tak berbohong
Aku menyentuh perutnya yang telah dihajar
habis-habisan. Ia tak sedikitpun menarik ototnya karena kesakitan. Sel-sel
dalam darahnya beregenarasi, membelah diri perlahan. Ia tak berbohong, ia
baik-baik saja. Bagaimana bisa?”
“Kamu.. kamu ini apa?” tanyaku.
“Seseorang memberi saya pil putih. Saya bisa sembuh
dengan cepat.”
FFF-05?
Dari mana ia dapat? Pikirku. Dia tak ada niat jahat, aliran
darhanya tenang, ia tadi memang niat membantuku. Sepertinya dia juga
supergenetikan...
“Aku Nina, dari kelas D.” Kumenjabatkan tanganku.
Ia menggenggam tanganku “Flik. Dari kelas B.” Ia
mengibaskan tangannya ke mukaku untuk mengetes kebutaanku. Sungguh bukan
perkenalan yang baik.
“Hey, itu ngga sopan.” ujarku “aku memang buta, tapi
masih bisa lihat jelas.”
“M..m..maaf.” ia ketakutan.
“Aku sama kaya kamu, Flik. Aku juga punya kelebihan
aneh itu.”
“K..k..kelebihan?” ia masih ketakutan, malah,
jantungnya berdebar-debar. Bicaranya semakin lama semakin gagap.
“Kamu ngga sendirian di dunia ini, Flik.”
“I..iya aku tahu..” jantungnya melambat tenang “a..a..ku
selalu tahu, pasti ada yang lain kaya aku.”
“Kamu mau pulang? Rumahmu di mana?” tanyaku
“Di Batu Mulia.” Ia berbohong, darahnya sedikit melamban
ketika menyebutkannya. Lagian, Batu Mulia adalah kawasan orang elit di Jayapura
ini.
“Kamu bohong..”
“Maaf, saya ngga punya rumah. Saya tinggal bersama
wali.”
Semenjak saat itu hidupnya berubah, ia tinggal
bersama kami di Tbh, dilatih senior dan dijadikannya kuat, tahan banting, nan
gagah. Kami ke sekolah bersama, menghabiskan waktu bersama, tapi sayang jalan
kami berbeda.
“Megalonon” kata Dokter Fano saat selesai memeriksa
darah Flik “Ini DNA kelas 2 sama seperti punyamu, Nina, lemak di tubuh Flik
diubah jadi sel-sel untuk menambal rasa sakitnya dengan cepat.”
“Jadi Flik bisa terus sehat selama hidupnya?”
tanyaku
“Ini hanya imun sama penyakit fisik. Ia tidak
menerima penyakit dalam” jelas Dokter Fano.
▄
“Nina!” suara Noval datang dari kejauhan. Amarahnya
membara, ucapan-ucapan kasar siap ia lontarkan “Nina!” ia mendobrak pintu besi
kamarku.
“Goblok!” ia bicara tepat di arahku “Kamu kan udah
diperintah kak Rizal untuk ngabisin semua! Terus ngapain bisa kaya gini sih?!”
“Noval! Noval!” susul suara Kak Fira dari jauh.
“Gara-gara kamu, bangsat! Teman baikku jadi mati!”
Noval mencekik leherku.
Tak terima, kuhantam rahang Noval, menahannya di
tembok “Teman baik?! Terus kamu pikir aku ini siapanya?! Aku juga kehilangan,
tolol! Aku setiap misi ngelindungi dia sedangkan kamu apa?! Hah?! Ngga bisa
apa-apa, tiap kali ada misi cuma merintah sama ngawasin dari jauh?!”
“Nina! Nina sudah!” Kak Fira menarikku dari Noval.
“Sabar sayang.” Ia memelukku “Noval keluar kamu.” Utus Kak Fira, ia memelukku
kembali “Sabar, Nina. Semua kehilangan.”
Nafasku tersenga-senga, aku dan Noval selalu tidak
cocok, kami bagaikan dua arah mata magnet. Bertolak belakang. Maksudku, siapa
dia? Dia hanya ahli tekhnologi, ia bahkan tidak punya supergenetik sepertiku.
Setiap misi yang turun ke lapangan selalu aku, Rizal, Flik, dan member Tbh
lainnya.
“Kamu ngga kenapa-kenapa, kan, Nin?” tanya Kak Fira.
“Ngga kenapa-kenapa?!” aku melepas pelukannya “Baca
aja sendiri sama telepatimu itu, Kak!”
“Maaf, Nin, aku.. aku ngga biasa baca sembarangan
pikiran orang yang aku sayang. Aku.. aku lebih suka tanya sendiri, lebih suka
ketika orang yang aku sayang bercerita sendiri ke aku.” Ia mendekapku kembali.
Beberapa saat, pelukannya sangat hangat. Walaupun
beda 10 tahun, Kak Fira sudah seperti Ibuku sendiri. 8 tahun bersamanya,
rasanya sudah seperti seabad. Aku diam sejenak, tak bisa melakukan di mata, aku
menangis dalam hati.
“Aku anterin ke gereja yuk.. Mau? Sekalian aku mau
belanja bulanan.” Ajak kak Fira
Tak ada kata selain “Ya” jika Kak Fira menawariku ke
gereja. Kami berangkat dengan Peugeot 206 barunya.
“Kak Fira ngga ada rencana nikah gitu, kak?” aku
menanyainya selagi di mobil.
“Hahaha.. gampang, Nin, santai aja dulu.”
“Sama pacarmu yang kamu anggap saudara aja itu,
Kak.”
“Maksudmu Rizal? Hahaha, engga lah Nin.”
Mobil melaju kota dengan kecepatan standar, irama
ban mobil melewati jalan hutan yang tak beraspal selalu menjadi nyanyian yang
menarik. Suara di radio Hero, lagu terbaru milik Enrique Iglesias menjadi
lengkapnya suasana untuk menerkam diri sendiri ini dengan kenyataan.
“Kak Fira..” panggilku
“Iya sayang?”
“Noval dari dulu kok ngga pernah berubah sih? Tapi
entah kenapa aku ngga bisa benci.”
“Sudah lah, Nin. Gitu-gitu dia sering bantu kamu loh
kalau di misi. Ngomong-ngomong, kamu ngga pengin belajar nyetir? Kamu bisa
ngerasain suhu panas manusia dari dalam
mobil kan?”
“Sayangnya ngga bisa, Kak. Lagian, bagaimana caranya
bisa pegang 3 pedal mobil sedangkan kita cuma punya 2 kaki?”
“Apa kamu perlu 88 jadi untuk memainkan piano,
Nina?”
“Itu intinya, sayang.” Kak Fira membelai kepalaku,
mendadak... ia menahan pedal rem mobilnya. Sesuatu di luar mobil ada yang ia
lihat, “Tunggu di sini, Nin.”. ia turun dari mobil, kurasakan hawa area di
sekitar luar mobil.
Seseorang, yang ototnya sangat padat, lebih tinggi
beberapa centi dari Kak Fira... dan... sepertinya.. dia.. membawa.. pistol
revolver.
Kuperingatkan Kak Fira “Kak Fira, dia bawa pistol..”
“Tenang, aku cuma mau ngomong baik-baik.”
Kak Fira menuju lelaki yang membawa minuman
beralkohol sedang bersender di mobil itu “Maaf, pak, boleh saya lewat?”
“Lewat?” lelaki itu meminum alkoholnya.
“Iya, pak, lewat.” Kak Fira membuka tiga kancing
kemejanya dari atas, lelaki itu tegang, beberapa otot pundaknya melemas,
gantian otot kemaluannya yang mengeras. Kak
Fira apa-apaan sih? Pikirku.
“Tolong izinkan kami lewat.” Kata Kak Fira, ia mengelus dahi pria berjanggut
lebat itu.
Ia mengangguk-anggukkan kepalanya, menyerahkan
dompet dan botolnya ke Kak Fira, memindahkan mobilnya lalu pergi. Kak Fira
kembali dengan merapatkan kancing kemejanya kembali dan dompet yang lumayan
tebal. Orang ini sakit.
“Itu anagnosi?” tanyaku ketika Kak Fira kembali di
bangku supir.
“Bukan, itu murni bukan supergenetik, itu caraku
memperlakukan pria, Nina. Mereka ngga boleh dikasarin.” Jelas Kak Fira
berbohong.
“What? You’re liar! Hahaha.. ajarin bisa kali..” nadaku
genit, Kak Fira menutup pintu mobilnya.
“Ngga boleh di tiru anak kecil woekkk... iya itu
anagnosi elenchos, baru kali ini aku gunain. Keren juga.”
Dasar.
Decitan karet ban mobil yang ditahan oleh kampas rem
terdengar dari mobil ini, sudah sampai
di gereja. Jamku menunjukan jarum tebal di sudut 240 derajat, jam 8 malam.
Tidaklah terlambat. “Pamit duluan Kak Nina, nanti kalau udah di depan nge-bel
ya.”
Seperti biasa, gereja kokoh berumur 75 tahun ini
masih sepi tanpa pendoa. Sekalinya ada itu pun memang hari Minggu tapi tak
banyak juga, walaupun bangunan tua ini bukan milikku tapi aku sedih melihat
tempat ini sepi. Dengan puing-puing atap yang terbuat dari besi tua, disangga
dan dihias oleh marmer tebal, gereja ini mirip seperti istana yang ditinggal
raja.
Duduk di bangku paling depan, lalu mulai memejamkan
mata. Kepada mereka yang aku sayangi, kepada mereka yang menyayangiku, walaupun
mereka tak mempercayaimu, Tuhan aku berdoa, maka dengarkanlah doa saya. Berikan
mereka balasan kebaikan atas apa yang mereka sudah lakukan kepada saya, atas
didikan mereka kepadaku, dan atas apa yang sudah mereka limpahkan kepadaku.
Terutama, Flik yang 4 tahun menemaniku. Puji kristus, ini hidupku, bimbing aku,
pimpin aku di jalanmu. Aamiin. Lilin-lilin di sekitar altar depan menari seolah
mengamini apa yang kuucapkan dalam hati.
Memakai tongkat jalan berbentuk tripod, mengenakan
jas sleeve lenght, bertopi dan berkacamata. Selalu keluar dari tempat kerjanya
ketika aku berdoa dengan pomade yang tebal dan parfum yang wangi. Badannya
selalu berada di suhu normal, apa rahasianya? Ia menuju altar dari belakang.
“Sudah lama sekali ya, Nina..” ia menanyaiku sambil
menuju altar
“Ya... saya sedikit sibuk beberapa minggu ini”
Jawabku.
“Aku akan menemanimu jika kamu ingin pengakuan”
Ia membereskan file-file di altar depan “Kopi?
Ayolah, bilang saja iya, kamu selalu menolak” candanya, aku sungkan jika ia
terus menawariku kopi. Baiklah, kopinya memang enak, beberapa cangkir mungkin
boleh.
Ku hirup aroma kopi tumbuk khas daerah sini.
Tumbukannya yang tak rata membuat kopi ini terasa kental, ia sibuk menulis
jurnal di harian gereja ini. Sungguh indah sore hari setenang ini di depan
gereja. Tak lama kemudian ia memaksaku mengajukan pertanyaan
“Kamu sudah besar, Nina. Kamu tumbuh semakin cantik”
pujinya “ada masalah apa kira-kira sampai malaikat sepertimu datang ke sini?”
“Terimakasih, Bapa. Andai saya bisa melihat diri
saya sendiri” Kutundukkan kepalaku, merekatkan erat-erat jemariku “Jadi Bapa,
apa anda percaya takdir?”
Ia menyeruput kopi hitamnya, lagi “maksudmu secara
pengelihatan mata dari beberapa sumber atau secara spesifik?”
“Tidak... Apa anda percaya kalau itu ada,”
kubersihkan tenggoroanku ”maksudku, kalau semua itu sudah diatur dan kita tak
dapat mengubahnya?”
“Perspektif, Nina. Semua tentang perspektif.” Ia
menyeruput kopinya, lagi “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka
kamu akan mendapat; ketuklah, maka akan dibukakan bagimu.”
“Matius 7 ayat 7.” Sahutku.
“Tepat.. Dahulu, jaman Yerusalem kuno ada seseorang
penggembala. Ia tak bisa membayar pajak dari kedua sapi perahnya. Mungkin lebih tepatnya sapinya yang
hanya 2 ekor tak cukup untuk membayar sisa hidupnya. Jaman segitu, tak
menmbayar pajak hukumnya adalah dibakar hidup-hidup. Tentu sang pengembala tua
ketakutan. Lalu ia mencari cara agar badannya tak jadi santapan burung gagak.
Ia mulai berpikir dan menemukan cara, ia menyembelih satu dari sapinya, dan
membayarkannya sebagai pajak. Kemudian ia bebas dari hukumannya itu. Nyawa di
bayar nyawa.”
“Kalimat terakhir tidak terlihat begitu relijius.
Jadi dengan adanya cerita dengan akhir bahagia itu anda jadi percaya kalau itu bisa
di atur?”
“Apa aku sudah terlihat selesai berbicara?”
“Maaf, Bapa.”
“Seminggu kemudian, desanya diserang oleh seorang
yahudi. Saat para yahudi sudah masuk ke rumahnya, ia mulai melawan. Tak ada
alat untuk melawan, maka anak panah pun menancap ke kepala si penggembala itu.
Di dalam situ aku bisa melihat, bahwa kita hanya bisa menunda takdir. Kita
hanya bisa mengambil jalan lain untuk menujunya ke takdir itu. Lahirmu,
jodohmu, dan matimu. Jadi, ya, Nina, aku percaya kalau itu sudah di atur.
Diceritakan dari beberapa cara.”
Kami menyeruput kopi berbarengan.
“Tapi bagaimana bila seseorang bisa mengubahnya?
Apakah itu dibolehkan?” tanyaku, tak tahu malu.
“Kalaupun ada, apakah kamu mengenalnya, Nina?”
Nina,
sayang, aku sudah di luar. Seseorang membisikiku. Siapa itu?
Tak cara nafas kak Fira di sini. Lalu di mana dia? Jangan terburu-buru. Selesaikan dulu saja. Serius, ini tak lucu,
bagaimana suara dengan gema yang hanya di pikiran ini bisa terlintas tanpa
melalui telinga?
Oh
maaf, Nina. Ini aku, Fira, Aku cuma ngetes ini. Kalau kamu bisa dengar, kamu
bisa balas dengan cara berpikir juga.
Aku
bisa dengar, Kak. Jawabku dalam pikiran.
Okay,
see you. Tutup telepati Kak Fira.
Mobil berhenti di bawah pohon yang penuh dengan
embun malam. Kurasakan hangat lamput sorotnya. Kak Fira dengan perasaan
sumringah menyetir mobil, tak biasanya ia seperti ini. “Malam, Nina.” Sapanya.
Kak Fira terlihat aneh.
“Malam, Kak. Gembira banget, Kak, habis ngapain
aja?”
“Ada aja.. Hahaha..” nadanya riang
“Belanja apa aja? Banyak banget keliahtannya?”
“Yah.. kebutuhan sehari-hari. Eh besok Minggu ke taman
hiburan di seberang kantor pos yuk! Tadi aku lewat sana, udah lama ngga lewat
ternyata sudah di buka dari 2 minggu lalu.”
“Boleh. Girls day out aja, kak. Ajak Nanda sama
Vina” pintaku
Jam 11 di headquarter Tbh, malam yang pekat di bawah
kunang-kunang yang menyanyi dan menyinari malam ini. Aura Noval datang ke mari,
ia membawa secangkir kopi, ia bermaksud membukakan pintu.
“Nina, Kak Fira, mungkin sudah larut, di Soa Sia ada
perdagangan ilegal.” ia bilang.
“Ngga bisa nunggu aja sampai besok? Memang apa yang
di jual?” tanyaku
“Uranium 300 gram.”
“Hahaha..” terdengar tawa Kak Fira. “300 gram?” ia
tepingkal-pingkal seakan tak tahu apa yang dijual “Jadi gini, Noval. Kita udah
berkali-kali nge-gagalin perdagangan narkoba ratusan kilogram dan udah
ngorbanin belasan nyawa anggota kita. Ini cuma 300 gram?”
“Lucu emang kalau dengar jumlahnya” Noval menyeruput
kopinya “aku benci ngatainnya Kak Fira, tapi sepertinya Kak Fira harus berhenti
baca buku Sci-Fi. Uranium itu bukan jenis narkotika. Itu bahan peledak yang
cuma bisa ditemuin di Papua. 1 gramnya bisa sampai Rp.1.000.000.000”
“Jadi gimana, berangkat sekarang?” Rizal menenteng
Dragunovnya, ia bersama Billy, oh iya, Billy adalah bahan percobaan dokter
semenjak ia meminum pil gila itu. Obat itu mereaksikan tubuhnya untuk
menghasilkan kalsium yang lebih, sehingga setiap asupan gizi dari makanannya diubah
menjadi molekul dalam tulang. Tinggi Billy sekitar 171cm tapi ia memiliki berat
badan 150kg degan tubuh yang ideal.
“Lacak titik koordinatnya” perintah Kak Fira
Perjalanan sekitar 2 jam menuju Soa Sia. Ini jalan
yang sangat panjang dengan Van tua yang dilengkapi dengan radar. Seperti biasa,
Rizal menyetir sambil melindungi aku, Kak Fira dan Billy. Sedangkan Noval... ia
hanya memantau jika ada orang yang mendekati kami.
Senseku bekerja lebih cepat dari radar noval. Aku
bisa tunjukan jalan di mana radar mobil Jeep pengangkut uranium itu berada. Jeep
itu melaju dengan cepat, mereka tak bisa menghindari kami. Berhenti di pasar
ikan malam. Kacanya terbuka, aku bisa merasakan auranya. Sekitar 4 orang di
dalam truk. Nyaris tak bernapas, Kak Fira mengisikan Dragunovnya. Matanya
lelah. Kami berhenti tak jauh di antara rumah-rumah yang menghalangi
pengelihatan mereka.
Bermandikan suara kelelawar yang keliaran, malam ini
sangat dingin sekali. Mobil Jeep yang dikendarai target seperti menunggu
sesuatu. Tapi apa?
Kini aura target semakin kuat, aku bisa merasakan Dessert Eagle yang digenggamnya, gelombang pistol itu baru aku lihat kemarin sore, saat aku di dermaga.
Kini aura target semakin kuat, aku bisa merasakan Dessert Eagle yang digenggamnya, gelombang pistol itu baru aku lihat kemarin sore, saat aku di dermaga.
“Ini jebakan.” Celatukku “orang itu boneka yang sama
kaya di dermaga. Apa niat mereka? Noval, kamu tahu dari mana orang ini bawa
uranium?”
“Beberapa orang telepon ngga pakai satelit biasa.
Aku bisa dengar apa yang dia omongin di satelit itu. Yang terlihat mencurigakan
aku bisa tahu.” Noval terus mencari sesuatu di komputer besarnya di belakang
van. Noval tak berbohong.
“Kita balik.” Kak Fira menoleh dari depan van yang
jendelanya di buka
Noval berkeas “I smell bullshit there. Kita sudah jauh-jauh
dari headquarter.”
“You started this bullshit, Noval. Nina ngga mungkin
salah.” Kak Fira bergegas dengan niatannya untuk kembali.
“Banyak orang ngga bersalah di sini.” Rizal
mengretakkan otot lehernya
“Oh ya?” sahut Noval “sejak kapan Kak Rizal jadi
orang suci seperti itu?”
Jemari Rizal mengepal. Seakan siap untuk menghantam
mulut Noval andai saja Noval berada di seat depan.
Tak membutuhkan waktu lama, aku bisa merasakan
terdapat 4 karet ban yang melaju kencang dari arah timur. Sekitar 2 km dari
sini bisa kurasakan. “Wait.” Kendaraan itu berupa sama Jeep. Tapi hanya 1 orang
yang ada di dalamnya. “Mungkin Noval benar.”
80 km per jam Jeep itu melaju. Sudah hampir 2 km
mendekati target, Jeep melambatkan akselerasinya. “Aku turun duluan sama Kak Billy.”
Pintaku.
Dengan senapan jarak jauh Rizal, aku dan Billy
menyergap Jeep lawas itu. Sekitar 1 menit Rizal sudah menarget dada si supir.
Rizal berancang-ancang memeletuskan dadanya. Dan, boom! Peluru melesat ke dada
sang pengendali mobil. Kaca depan pecah dan membuat seluruh mobil gelisah
“Kak Billy, sergap salah satu dari mereka. Biar aku
yang urus sisanya.” Aku meemrintahkan Billy. Ia seperti orang bisu yang hanya
lari menuju mobil itu, langkahnya terasa berat.
Sudah di belakan mobil Jeep ini. Mereka tak bisa
berbuat apa-apa. Hanya orang di belakang yang ingin melawan, ia mengokang
Dessert Eaglenya. Tapi terlambat, pisauku sudah menggores lehernya terlebih
dahulu. Sementara Billy terus bergelut dengan orang yang duduk di depan.
Pasar berantakan oleh ributnya ketika mereka melihat
darah dari mobil Jeep, satu orang bisa lolos. Terlalu rawan jika aku
melemparkan pisauku. Aku harus mengejar. Ia tak punya apa-apa. Bagaimana ia
bisa reflek lari dengan cepat? Ia masuk ke gang-gang tersempit di sekitar pasar,
menjatuhkan ember mentimun hingga berserakan, berusaha merepotkanku.
Nina,
it’s hopeless. Kembali sekarang! Bisik Kak Fira dari
telepatinya
Seakan tak bisa membalasnya walaupun dengan
telepatiku, aku terus mengejar bajingan ini. Melewati jembatan yang menuju
atap, kulari sekencang ia berlari. Bodohnya dia, aku sudah berada di atas siap
menerkamnya. Aku melompat, mendapati sikuku tepat di matanya. Kami terjatuh
berpelukan. Pelukan yang sangat tak romantis.
“Terlambat, sayang.” Ia menggigit sesuatu yang
kenyal di giginya, keluar berupa cairan yang sangat kental, merasuk ke
tenggorokannya. Itu cairan bunuh diri. Mulutnya berbusa, tak ada satupun nafas
yang terlintas dari hidungnya setelah itu.
Pasar malam yang tentram, seketika dirajam oleh
jutaan tombak gladiator. Diguncang dahsyatnya letusan partikel-partikel kecil
yang berterbangan, dan dileburkan bersama melengkingnya suara yang tiba-tiba,
disambut bersama api membara dari ledakan. Titik ledakan itu berada di mobil.
Jantungku tersentak, Billy?
Ya Tuhan, ratusan orang tak berdosa ikut menelan pil
pahit yang kami buat. Puing-puing terbuat dari kayu runtuh begitu saja karena
radiasi ledakan itu. Hari ini, malam di mana aku merasakan ratusan orang yang
jantungnya berhenti berdetak. Ruang hampa di dalam tubuhku menggeluti seluruh
organ-organnya.
▄
“Pekerjaan ini terlalu beresiko, Nin.” Ucap Flik, ia
menggaruk-garuk telinganya yang tak gatal “tapi, bagaimanapun juga Tbh sudah
berjasa merawat dan melatih saya.”
“Tapi juga, Flik.” Bisikku “kamu juga bisa keluar
dari sini. Aku mau ikut kamu kalau memang kamu perlu aku buat ikut. Kita memang
belum 17 tahun, tapi kita pasti bisa hidup sama tabungan kita sekarang, kan.
Kita sudah kenal 3 tahun, tapi rasanya aku bisa kenal kamu baik banget.”
Noval lewat dari luar dapur, setelah kami selesai
makan siang. Tubuhnya bereaksi atas apa yang aku dan Flik ucapkan. Kenapa sih
orang ini mau tahu saja?
“You stay, I stay.” Lanjutku “You leave, i’ll leave
too.”
▄
Sudah 10 menit di sini, pihak berwajib tak kunjung
datang. Mobil ini dan orang yang bunuh diri sepertinya sangatlah bersangkutan.
Bersyukur Billy cepat kembali dan membawa satu tahanan yang sudha tak bernyawa
karena hantaman dari tangan betonnya. Tapi aku rasa ini percuma, ini hanya
seperti membawa penepuk lalat untuk menghadapi alien yang akan menginvasi bumi.
Aku kembali memeriksa si penjahat yang bunuh diri.
Tubuhnya terdapat sesuatu yang aneh. Suhu di tangan kirinya tak sama dengan
tangan kanannya. Kuperiksa, sesuatu yang mengganjal pergerakan sendinya. Ada sesuatu
di dalam sini, tak yakin apa itu, kubelah tangannya yang bertato itu, mengobok-obok dagingnya yang penuh darah. Ew.
Kutemukan semacam kompas kecil yang dibalut kawat-kawat kecil. Benda macam apa ini? Mungkin Noval tahu.
Kutemukan semacam kompas kecil yang dibalut kawat-kawat kecil. Benda macam apa ini? Mungkin Noval tahu.
“Reaktor sinyal” suara serak khas Noval, setelah
beberapa menit ia memeriksa benda abstrak itu “Ini bereaksi sama detak jantung.
Digunain dokter buat monitoring jantung, tapi disalahgunain untuk ngirim sinyal
ke komputer. Begitu detak jantung orang yang dicolokin ini berhenti, ada kiriman
sinyal ke komputer seseorang.”
Sepertinya semua ini berhubungan “Masuk akal. Orang
yang aku kejar bunuh diri karena dia ngirimin sesuatu ke orang lain juga.” Tapi
bagaimana dengan ledakan dari mobil Jeep itu?
“Nina, kamu bisa dengar detak jantung orang itu,
kan?” tanya Noval. “berapa detik mobil itu meledak setelah detak jantungnya
berhenti.”
“Sekitar 7 detik.”
Kami kembali memeriksa mobil yang gosong itu.
Sekitar 50 mayat orang berserakan di sekitar situ. Menyentuh mobil yang sudah
tak terbakar, membaca gerak riwayatnya. Memasuki sesi fokus sebelum semua ini
di mulai. Mobil ini berbahan bakar penuh sebelum akhirnya sampai sini. AC tak
dinyalakan selama perjalanan ke sini. Dan, ada lubang di tanki bensin?
Tak salah, tanki bensin memang ada lubang
berdiameter 0,7cm. Lubang ini tak lama. Juga ada peluru yang menyangkut di
dalam. Tembakan dengan sengaja, dari arah utara terperosok. Sangat tak mungkin,
sisi utara hanyalah rumah penduduk. Kemungkinan di tembak dari bangunan yang
sangat tinggi.
Kutunjuk utara “apa ada bangunan tinggi di arah
situ?” semua member Tbh menoleh ke arahku.
“Mercusuar.” Rizal menjawab serantan “sudah ngga di
gunain 2 tahun lalu.”
“Kita ke sana.” Ajakku
Suara sirine polisi dan pemadam kebakaran
berhamburan melintasi jalan besar Soa Sia. Sungguh malam yang panjang. Bahkan
bisa lebih panjang.
Kami sampai di depan palang pintu mercusuar. Digembok dan dirantai. Entah bagaimana bisa masuk. Kulihat, sepertinya juga ada yang mencurigakan, gembok itu baru saja hangat disentuh oleh tangan manusia.
Kami sampai di depan palang pintu mercusuar. Digembok dan dirantai. Entah bagaimana bisa masuk. Kulihat, sepertinya juga ada yang mencurigakan, gembok itu baru saja hangat disentuh oleh tangan manusia.
“Noval pasti bisa buka gembok itu.” Kata Kak Fira.
Noval menyengir “You’re right, Charles Xavier.” Puji
Noval. Noval menyebut Kak Fira Charles Xavier karena ia adalah seorang ilmuwan
yang bisa membaca pikiran di komik Marvel. Kak Fira membaca pikiran Noval
karena ia tahu Noval bisa membuka gembok itu. Dasar orang aneh.
Gembok terbuka, aku duluan berlari ke atas loteng.
Merasakan kejadian yang barusan terjadi. Terdapat bau asap rokok, goresan
barang tajam di balkon loteng, dan bau sepatu kulit baru dari pabrik yang
menggores lantai. Tidak salah, 30 menit lalu ada orang di sini.
Kutunjuk bekas 3 goresan tajam di bagian lantai
“Lihat ini, Val” Noval melihat goresan dari lantai yang bersemen “Sang Sniper
meletakkan senjatanya sama tripod di sini.”
“Tepat.” Kata Noval “Lalu bau rokok ini, dia sempat
nunggu dan menghabiskan beberapa batang rokok sebelum akhirnya nembak mobil
itu.”
“Tapi gimana mungkin? Jarak mercusuar ini sama pasar
450 meter, loh. Maksudku, Kak Rizal belum tentu bisa nembak dari jarak segitu”
“Perhatian-perhatian, sebelum anda ngatain
seseorang, harap radio dimatikan dahulu.” Muncul suara kemresek Kak Rizal dari
mobil dengan walkie talkie
“Dewa.” Sebut Noval “sebutannya Dewa. Atlet tembak
dari SEA Games 4 tahun lalu dari Jayapura. Dia selalu bawa perlengkapan seperti
tripod sama pendeteksi angin. Mungkin di bayar sama seseorang untuk ngelakuin
ini.
Senin pagi yang indah. Suara burung bernyanyi tak
biasanya semerdu ini. Sangat terasa nyaman di kasur. Dua hari kemarin sangatlah
melelahkan, aku bisa seharian di sini. Sudah jam 11 dan aku masih memakai kaos
besar dan celana dalam. Sambil mendengarkan berita di TV Rizal di ruang bawah.
50 orang tewas dan 14 lainnya terluka akibat kejadian dini hari tadi. Sungguh
aku berharap semua keluarga korban diberi sabar.
Yuk
Nin, katanya ke taman awan? Bisik suara Kak Fira
dari dalam kepala
Oh iya, kami ada rencana bersama ke taman bermain
yang baru dibuka. Masih bisa kurasakan teriakan puluhan orang tadi pagi di
kepalaku. Rasanya seperti getah tanaman yang tak bisa lepas dari tanganku
karena aku melukai tanaman itu dengan tanganku sendiri. Bagaimana aku bisa
bersenang-senang di taman bermain nanti?
Iya,
Kak.. Aku mandi dulu. Balasku.
Air hangat yang kupakai mandi tak terasa hangat. Kebebasan
terkadang terasa sejuk ketika aku bisa menahan diri. Dan sayangnya aku tak
bisa.
Memakai baju pun aku kewalahan. Terlalu banyak beban yang merusak pikiranku.
Memakai baju pun aku kewalahan. Terlalu banyak beban yang merusak pikiranku.
Seperti rencana, ini girls day out. Hanya aku,
Nanda, Vina, dan Kak Vira yang menyetir. Nanda dan Vina adalah kakak beradik.
Mereka berjarak 15 tahun. Vina berumur 27 tahun, sudah seperti “Ibu rumah
tangga” di Tbh. Masih merawat adiknya, Nanda dengan setia. Vina memiliki
supergenetik kelas 1, hypoenfekalos, ia bisa mengatur lapar, lelah, kantuk, dan
lain-lain sesuai keinginannya. Sedangkan nanda.. entahlah, bahkan Dokter Fano
belum menemukan supergenetiknya.
Taman awan sangatlah ramai. Aku bisa merasakan
tiap-tiap jantung yang berdetak di sini. Mereka ke sini dengan sangat gembira.
Jarang sekali lihat yang seperti ini di tanah ini.
Hiburan yang cukup indah di di tempat yang cukup
ekstrim. Kami menghabiskan waktu bersama, bermain berulang-ulang menaiki komedi
putar yang mungkin penjaganya sudah malas melihat muka kami. Kami istirahat
hanya untuk membeli es krim dan arum manis.
Ketika menaiki komedi putar untuk ketiga kalinya,
Nanda mulai tak bisa menahan rasa lelahnya, ia terlelap di kelinci imitasi yang bergerak maju-mundur.
Setelah mainan ini berhenti, rasanya aku harus membangunkannya.
Badannya membungkuk, aku mendekatinya. “Nanda”
gugahku, ia tak merespon. Kurapikan poninya yang menutupi matanya, jantungnya
berdecak sangat deras. Tapi bagaimana? Bahkan ia saja tertidur.
“Nanda?!” teriak Vina, suara Vina menyebabkan
perhatian dari orang tua yang menjaga anaknya bermain komedi putar. Suara Vina
terlihat panik.
“Ke..Kenapa, Kak Vina?” tanyaku. Tak menjawab, Vina
menggendongnya turun dari permainan, aku pun turun. Menyenderkannya di bangku
dekat pohon beranting, panik sendiri.
Seperti biasa, Kak Fira hanya tenang menyilakan
tangannya, memperhatikan Vina yang sibuk memberi nafas pada Nanda. “Sudah 2
minggu Nanda gini terus tiap 12 jam sekali” mata Vina berkaca-kaca. Kak Fira
duduk, mempoinkan kedua jarinya di samping dahi Nanda. Apa yang diperbuatnya?
Ia memejamkan mata. Semakin lama detak jantung Kak Fira dengan Nanda seirama.
Ada apa sih?!
“Tbh!” kejut Kak Fira. “Ini supergenetik Nanda, dia
keluar dari alam sadarnya. Ada yang ngga beres di Tbh.” Bergegas Kak Fira
menggendong Nanda karena sepertinya ia yang lebih mumpuni sebab ia lebih tinggi
dan berisi dari kami berempat.
“Nina, bisa kamu rasain ada apa di markas?” tanya
Kak Fira yang sedang menyetir dan mencoba menelepon satu-satunya yang punya
telepon genggam, Dokter Fano.
Mencoba menentengkan titik fokus ke utara, ke markas
Tbh. Rasanya terlalu jauh. Aku tak bisa menjangkaunya, terlalu jauh.
Telepon tersambung “Halo, Dokter.” Aku menguping
“Ya, Fir?”
“Dokter di mana?”
“Lagi di jalan nih sama Billy habis beli obat-obatan,
menuju Tbh.” Kak Fira menutup telepon itu yang rasanya sudha tak guna
menanyainya.
Berpacu dengan kecepatan 80km per jam, Kak Fira tak
memperdulikan sekitar. Ia terus memacu mobilnya.
Nanda terbangun, ia terlihat lelah setelah melihat
apa yang terjadi di Tbh.“Tbh..” katanya, setengah sadar “Tbh diserang.”
Diserang?
Ada 2 hal yang mengganggu pikiranku Pertama, Tbh adalah ruang bawah tanah
terpencil dengan akses masuk seperti semacam sumur kecil yang menuju ke bawah,
terletak di bawah rel kereta api dan tertutup semak-semak. Kedua, siapa yang
menyerang?
“Siapa pelakunya, Nanda?” tanya Kak Fira, mendongak
melihat Nanda yang tertidur di belakang dari spion depan. Terlambat, Nanda
terlelap lagi karena terlalu lelah. “Shit.” Bisik Kak Fira kepada dirinya
sendiri.
Sudah kurang dari 10 km menuju Tbh, aku bisa
merasakannya. Tapi, aku hanya bisa merasakan tempat kedap suaranya, tapi tidak
dengan orangnya. Ya Tuhan, semoga ketika aku sudah sampai ke sana aku masih
bisa melihat semua orang.
Tiba di markas Tbh, lubang persegi yang menghadap ke
atas masih tertutup. Kami bergegas turun dan membuka lubang itu, menuruni anak
tangga, membuka pintu kedap suara itu. Layaknya melihat suatu kota yang
diserang meteor sebesar pluto, kami tercengang dengan rahang kami yang susah
untuk ditutup.
Darah milik para teman yang semua sudah kuanggap
saudara di mana-mana, Nino, Indra, Gabriel, Harry, Tama, dan yang paling dekat
denganku Molly, Adrian, Kak Rizal, Erik, dan masih banyak.
Kak Fira dan Vina menutup mulutnya seakan tak
percaya, begitupun aku. Nafasku rasanya hanya sampai tenggorokan. Tapi ada satu
detak jantung yang masih berdetak. Noval?
Ia di lantai bawah, terikat di bawah tak bergerak
“hai Nin.” Sapanya.
“Noval? Kamu baik-baik aja?” ia melihatku dari
tundukannya, menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kulepaskan talinya “Ada apa, Val? Ceritain
semuanya..” denyut nadinya melemah, seperti diracun.
Kak Fira menyentuh kepala Noval, ia seperti terpukul
layak secara fisik mengetahuinya “Apa yang mereka suntikin ke kamu, Val?” Kak
Fira masuk ke ruangan Dokter Fano mencari sesuatu.
“Arsenic. Aku bakal ngga bernafas dalam 2 jam
kedepan. Tapi tenang, bius ini tak terasa sakit” Nafasnya terpatah-patah
“Nina.. stay di sini, ada yang mau aku omongin sama kamu” panggilnya
“Ya, Val. Aku di sini..” kurangkul pundaknya, duduk
di sampingnya.
“Tubuhku yang asli tertidur di tahun 2017, seseorang
menyuruhku kembali ke mari karena aku harus memberi tahumu hal penting.”
Ujarnya, matanya tajam berarah. Entah apa yang ia bicarakan, tapi ia tak
menunjukan kebohongan.
“2017? Itu 13 tahun dari sekarang, seperti masa
depan? Mana bisa? Jangan bercanda, Val. Itu mustahil.” Raut wajahku canda saat kusinggung
Noval.
“Hahaha.. Lucu dengar kamu ngga percaya
penjelasanku, padahal yang nyuruh aku kemari adalah kamu sendiri.” Lagi, ia tak
berbohong. Membuat pikiranku pecah ke mana-mana. “seharusnya kamu bisa tahu aku
ngga berbohong sama kekuatanmu itu, Nin.”
“Kekua..” bagaimana
ia bisa tahu? Pikirku “Tunggu, aku ngga pernah cerita kekuatanku sama
kamu.. Siapa kamu? Kamu mata-mata?”
“Bukan, aku adalah Anak pertamamamu. Aku sudah melihatmu tumbuh dan jatuh cinta, seperti
sekarang, aku sangat senang, bunda. Kekuatanmu muncul saat kamu jatuh dari
pesawat pada umur 7. Ibumu, atau nenekku bekerja di rumah sakit bersalin di Semarang.
Kamu bisa bermain piano pada umur 5 tahun. Dan nama panjangmu adalah Valenina
Khalisa Arianti. Mau aku terusin?”
“Tapi..” seperti dirajam dengan ribuan jarum, otakku
tak bisa menerima bahwa ia tak berbohong “aku ngga pernah nyeritain semua
itu..”
“Kamu akan ceritain semua itu beberapa tahun dari
sekarang.” Senyumnya miring
Kak Fira keluar dari ruangan Dokter Fano. Ia membawa
senapan M-16 miliknya, memakai rompi anti peluru dan membawa obat untuk ia
berikan kepada Noval “Ini, Val.. Minumlah..”
“Ngga guna, Fir.. racunnya sudah menyebar.” Kata
Noval
Tak peduli soal Noval, dengan dinginnya Kak Fira
menaiki tangga. “Mau ke mana, Kak?!” tanyaku
“Bales ke Dewa lah!” sentaknya
“Tapi dia Dewa, Kak! Ahli dalam persenjataan, ngga
segampang apa yang Kak Fira pikirin!”
“Apalah artinya Dewa kalau aku ngga percaya Tuhan,
Nina.” Ia nekat pergi, tanpa menghiraukanku.
Kukejar terus menerus Kak Fira “You’re going to hell!”
“With the ship that he built, yes.” Ia pergi dengan
mobilnya yang baru distarter
Aku kembali ke Noval yang tak bisa berdiri “Biarin,
bunda. Biar Fira balesin dendamnya, dia bakal selamat. Tapi aku harus beritahu
bunda, seharusnya yang mati adalah dalangnya, Robi, kamu harus bunuh dia.”
Noval menatapku penuh penyesalan, ia memberi suntikan kepadaku. “Ada sisa racun
di sini, kamu suntikkan ke dia pelan-pelan, dia berada di apartmen dekat
sekolahmu SMP kamar 219. Suntikkan langsung ke badannya.”
“Siapa dia, Val?” tanyaku, mataku sudah berkaca-kaca
“Dia adalah cucu penemu FFF-05, sebentar lagi obat
itu sudah berbentuk biskuit. Di masa depan dia orang yang berkuasa, dia ingin
ribuan supergenetikan musnah. Sekarang pasti masih sangat muda, membunuhnya
pasti sangat mudah. Di masa depan kamu lupa beritahu aku di mana tempat Robi
berada, jadi aku harus cari sendiri.”
Kuhembuskan nafas dengan ribuan emosiku, kubertanya
“Kalau kamu meninggal di sini, berarti aku ngga punya anak?”
“Ini adalah tubuh orang lain, aku tinggal di tubuh
ini dari mimpiku, badanku masih utuh di 2017. Segala yang kamu dan aku lakuin
di sini akan menjadi sejarahmu kelak.”
“Tapi dengan siapa aku bakal menikah, Val?”
“Apa kamu suka kalau aku ceritain seluruh isi buku
sebelum kamu membacanya, Bunda?” masih sempatnya bercanda, ia meringis sedikit.
“sedikit clue, dia juga supergenetikan, tingkat 3. Ada pertanyaan lain sebelum
aku pergi?”
“Bagaimana kamu bisa ngelakuin semua ini?”
“Karena yang punya supergenetik itu bukan hanya
bunda. Supergenetik ini level 4, Apodosi, kembali dengan mimpi. Aku harus mati
di mimpi kalau aku ingin terbangun” Kupeluk erat dirinya, seakan tak mau
kehilangannya walau hanya di mimpinya. “Tenang, Bunda. Aku lebih tampan dari
pada tubuh ini ketika jadi anakmu. Selama ini aku cuma akting, ternyata benar,
kamu dari kecil adalah sosok yang sabar.”
Noval... untuk pertama kalinya kuteteskan air mataku,
Tuhan seperti membuka bendungan pelipis mataku. Tak henti-hentinya kupeluk
Noval. Hingga akhirnya aku bisa merasakan detak jantung terakhirnya. Saatnya
pembalasan.
Apartmen Purnama, dekat gedung SMP ku. Ada 11
tingkat, aku bertanya pada operator kamar 219 adalah kamar paling atas. Aku
menuju ke sana dengan lift. Membuka pintunya dengan paksa, mengetahuinya ia
masih tertidur. Ini perempuan dengan umur sekitar 30 tahun, sebenarnya tak
ingin membuhnya tapi... apa boleh buat?
Kusuntikkan arsenic pada kakinya, ia terlihat
nyenyak di saat tidur siangnya. Aku ingin melihatnya mati di sini. Lima belas
menit, jantungnya sudah semakin melemah. Ia terbangun, melihatku. “Siapa kamu?”
tanyanya. Sepertinya ia tak mampu berdiri seperti Noval saat disuntikkan.
“Kematianmu.” Jawabku. Ia kosong memandangiku “anda
punya proyek pemusnahan supergenetikan?” kulanjutkan bertanya, aku duduk di
sampingnya.
“Maksudmu penyetopan.. dunia dari orang-orang aneh?
Iya.. tapi sepertinya.. aku akan membatalkannya.” suaranya sudah seperti Noval,
menjadi lebih lembek layaknya orang yang sudah tua.
“Dengar, kami bukan ancaman. Dan sepertinya anda
sudah berbohong kalau anda berniat menghentikannya. Maaf saya harus mengakhiri
hidup anda.”
“Aku mengerti.. ini rencana ayahku..” ia mengambil
guling, membuatnya sebagai pelukan “silakan lakukan sekarang.”
“Saya sudah menyuntikkan racun kepada anda. Anda
akan mati dalam satu sampai dua jam.” Jelasku kepada orang yang tak bisa
melawan ini.”
“Terimakasih..”
Kembali ke markas Tbh, kutemui Dokter Fano, Kak
Fira, Billy, Nanda dan Vina. Kita bertemu di meja makan yang masih utuh belum
terkena peluru dan granad.
“Gimana dendamnya, Kak Fira?” tanyaku basa-basi
membuka percakapan.
“Sukses, kepalanya ada di belakang mobil.” Jawabnya,
tak sedikitpun ada penyesalan. “Jadi, kita sudah ngga aman di sini.” ia bicara
kepada semua yang tersisa “Tabungan kita sudah ada 9 milyar, kita bagi 3,
setuju?” Ia membawa koper besar “Aku akan tinggal sama Nina, Dokter Fano sama
Billy, dan Vina sama Nanda.”
“Saya tidak punya apa-apa untuk diperjuangkan, jadi,
ya, saya setuju tinggal bersama Dokter Fano.” Ujar Billy
“Sepertinya kami akan ke Padang, kembali ke Nenek
kami.” Kata Vina, aksennya Padang.
“Dokter Fano, ke mana tujuan anda?” tanya Kak Fira
“Ibu saya punya apartmen kosong di Balikpapan, saya
rasa saya akan tinggal di sana. Kalian mau ikut?”
“Nina?” Kak Fira meminta pendapatku..
“Two is better than one.” Jawabku.
“So, okay. Kalian bisa pakai uang itu buat tiket
naik pesawat. Kita menuju bandara sekarang. Kita berangkat ke destinasi kita
masing-masing dan.. kita hasilkan supergenetikan yang lainnya.” Ujar Kak Fira
Setelah kami memakamkan semua dengan layak, kami
menuju bandara dengan mobil Van Tbh. Terakhir aku melihat bandara aku masih
bisa merasakan lekukan cahaya di mataku. Aku tak percaya aku menuju ke bandara
lagi dengan berduka. Sungguh bulan Juni yang berdarah. Aku, Kak Fira, Billy,
dan Fano terbang ke Balikappan. Vina dan Nanda beda jalan dengan kami, saatnya
kami berpisah, kupeluk mereka berdua.
Pesawat hari ini berangkat jam 19.00. tak ada
trauma, sebaliknya, aku harus semangat memulai kehidupan yang baru. Wajah-wajah
lelah orang-orang di pesawat sangatlah mudah menggambarkan bahwa mereka ke
Balikpapan bukan untuk bersenang-senang
“Kak” panggilku “kita lupa sesuatu”
Kak Fira mendekatkan telinganya “Apa itu, Nin.”
“Kita ninggalin om Dinar.”
“Hahaha.. mungkin dia buat Tbh sendiri sama kelima
anaknya.” Candanya.
Tiba di Balikpapan, kami menuju apartmen Ibu Dokter
Fano tinggal, sekitar 90 menit dari bandara. Apartmen yang tidak terlalu mewah,
tapi cukup besar kamarnya. Dokter Fano menjanjikan servis gratis selama
setahun, selanjutnya, kami hanya bembayar air, listrik, dan iuran bulanan.
Yang pertama kupikirkan adalah aku harus mencari
sekolah. 2 hari aku mencari sekolah, tak ada sekolah “Normal” yang mau menerima
murid yang tak bisa melihat walaupun masih bisa membaca. Satu-satunya
rekomendasi Dokter Fano adalah Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Cela Maria. Tak
mencari untung, aku hanya ingin sekolah di sini. Sebulan lagi kelas di mulai.
Hari pertama di kelas ini, rasanya asing aku
berkumpul dengan dunia yang tentram sedangkan aku terbiasa dengan yang keras. Kelas
musik menjanjikan aku untuk mendapat nilai dari bermain piano, sang guru terus
memperhatikanku. Tapi, ada lagi yang memperhatikanku dari balik pintu, sesosok
pria setinggi 177 sentimeter, rambut panjangnya menutupi dahinya, jantungnya berdebar kencang dengan aliran
darah yang melambat. Ia.. ia.. jatuh cinta? Aku merinding, piano terus
kumainkan dengan irama cepat. Masa iya pendosa sepertiku layak dijatuh cintai?
Hari kedua, Ibu Dokter Fano diundang di sini, ia
berbicara sebagai pengusaha muda. Dokter Fano pernah cerita, sebenarnya dia tak
muda, dia punya supergenetik kelas 1, yaitu tak bisa menua. Selesai pertemuan
dengan enterpreneur itu.
Hari ketiga, huh, sepertinya sekolah di sini mulai
menyenangkan, aku bisa mencari hal baru yang belum aku ketahui sebelumnya,
boleh di bilang, aku adalah anak yang paling “normal” di sekolah ini. Ditambah,
ada seseorang dari kemarin yang terus memperhatikanku seolah-olah ia sedang
jatuh cinta. Aku memperhatikannya terus, hingga akhirnya ia mampir ke kelas
musik, tempat aku biasa menghabiskan jam terakhirku. Ia tak melihatku di belakang
yang dari tadi memperhatikan dia, kutepuk
pundaknya “Hei!” sapaku dengan senyuman
Ia kebingungan melihatku, berkeringat secara
tiba-tiba, mengapa? “Oh hai, mau lewat ya? Maaf.” Katanya.
Kulebarkan senyumku lagi “Ohh, engga, kamu dari
kemarin perhatiin aku terus, aku jadi takut sama kamu. HAHAHA.” Ia pun ikut
merinding.
Inspired by X-Men
Some coversation took from Daredevil
Photo took from google
Character’s name mostly from my friend’s name
Tok tok tok seseorang mengetuk pintu, itu Noval, ia
membawa 2 orang. Siapa mereka? kubuka pintu itu
Aku pernah merasakan nafas ini, aku pernah tahu dan
aku pernah mengenalnya.
Lelaki berawakan besar itu menjabatkan tangannya
“Hai, Nina. Noval sudah cerita semuanya ke kami.”
“Happy birthday, bunda!” ucap Noval
Kedua orang itu.. Flik? Rizal?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar