Minggu, 02 Februari 2014

Musim Dingin di Depan Berliner Mauer

Sebelum teater peradaban manusia di mulai
Pasukan selalu terlihat rapi
untuk memaksimalkan jalannya opera.
Dengan senjata yang sudah di kokang
dan rompi anti peluru yang tanpa lengan.

Seorang kopral berkata, lihat disana
di kafe, ada gadis berponi yang memakai
kaca mata dan memesan kopi
sambil membaca berita harian.
Apa kau berani berkenalan dengannya, tantangnya.

Sweater dan kerah kemeja yang keluar
dari lubang kepala sweater
memang menarik perhatianku.
Sepatu boot dan rok se-betisnya,
membuat kesan elegan yang sangat berat.

Aku menaruh rifel yang belum ku isi peluru
Coba menemuinya seolah tidak akan
terjadi apa-apa hari ini.
Kalung berliontin huruf M yang dikenakan tampak
memantulkan cahayanya ke mataku.

Kita cepat akrab karena ketakutan kita.
Dia takut penjajah akan menyerang
Dan aku takut akan meninggalkan sosoknya.

Letnan menyuruhku kembali dari pos siaga,
ketika ia sudah mulai membuka isi hatinya.

Kita semua akan baik saja, janjiku
Kita akan baik saja, ia mengulanginya
sambil merasa ketakutan. Temuilah aku
seminggu lagi di kafe ini. Janjiku
seperti lelaki sejati.

Dalam lekatnya langit jingga,
aku menuju ke pos siaga, dan coba menemui dia.
Saat aku tidak bertugas dan kembali,
Berliner Mauer dan kafe itu sudah 
berupa puing-puing setelah seminggu.


Maaf Mariah, aku tidak bisa menepati janji kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar