Aku ingin seperti langit gelap. Semua orang lupa dan
benci kepadaku, tapi suatu ketika mereka akan terkejut ketika aku menjadi
langit yang cerah.
Di sini aku berdiri, di blok apartmen milikku.
Membenahi beberapa kisah-kisah kelamku bersama orang-orang hebat yang sama
‘gila’nya sepertiku. Ya, aku tidak bisa bergaul dengan sembarangan orang.
Makhluk macam apa yang mau berkhayal bersama orang yang memiliki IQ dua digit
sepertiku?
Kalian pasti berpikir bagaimana aku yang memiliki IQ
dua digit bisa memiliki lantai sendiri di gedung tingkat 9? Aku akan ceritakan
semuanya.
▄
Cahaya Langitan, lahir di Balikpapan, bulan Desember
tahun 1985. Seorang anak yang ingin kaya dan sukses dengan otak yang seadanya. Aku
adalah anak semata wayang seorang Ibu mantan pekerja seks komersial yang
sekarang jadi buruh cuci rumah tangga, tinggal di panti yayasan anak
berkepribadian lebih. Kami jadi satu di rumah sederhana yang diurus volentir
dari pengusaha sukses dari Semarang. Aku yang baru bisa membaca lancar pada
umur 11 tahun, mengawali sekolah dasar di madrasah, berlabuh ke SMP dekat
kampung yang sudah hampir hilang bangunannya, aku hampir mati keracunan dan
dipecundangi oleh malu saat aku bukanlah anak yang normal. Akhirnya perjalanan
pendidikanku berakhir di SMA swasta yang tak khayal banyak anak-anak yang
bermasalah dengan mentalnya atau dari orang tua yang broken home di sini.
Tidak ada yang sempurna dengan hidupku. Ada pun Tio,
ia adalah anak dari seorang psikopat yang selalu merepotkanku di panti. Aku
disuruhnya setiap hari menata kasurnya, memakaikannya kaos kaki dan sepatu, hingga
menyiapkan pakaiannya. Jika tidak, ia menyiksaku sampai lebur.
SMALB Cela Maria. Tak seperti kebanyakan SMA
lainnya, kami di sini dibolehkan untuk memakai baju bebas, bahkan baju bekas.
Waktu belajar di sini hanya 20 jam dalam seminggu selama 4 tahun. Kelas kami
pun beragam, ada kelas matematik, kelas musik, kelas rohani dan lain lain. Oh
ya, kami di sini tak membeda-bedakan teman. Karena kami di sini semua “sama”,
yang paling aku suka, kelas matematik di sini selalu jarang yang minat,
sehingga aku lebih atraktif untuk belajar.
Di umurku yang
tahun ini menginjak 19 tahun, aku jauh dari kata smepurna, aku tak bisa
membaca dengan jelas, tak bisa menjadi kreatif, bahkan aku suka malu ketika
orang-orang mengajakku berbicara. Anak-anak yang lain mengambil 5 sampai 6
kelas, sedangkan aku, aku hanya mengambil kelas matematik, karena rasanya tak
ada yang lebih menyenangkan dari bergerumul dengan angka-angka.
▄
“Permisi pak” panggil Valen, sekretaris sekaligus
asisten pribadiku “Pesawat sudah siap, pesawat kita menuju Catalonia dulu
sebelum akhirnya sampai Zaragoza”
Kutolehkan setengah kepalaku, mengangkat bahu dan
berkata “Beri saya waktu sebentar, saya akan mengucapkan salam perpisahan.”
“Baik, Pak.” Jawab Valen, kemudian ia menutup
kembali pintunya.
▄
Memasuki tahun ke tiga di sini, satu-satu anak baru
pun mendaftar di sini, dari berbagai macam kota, etnik dan agama, semua tak ada
yang membedakan. Tak terasa, dua tahun lagi aku keluar dari sini, bahkan aku
tak tahu harus bagaimana untuk menjalani kehidupan di 4 sampai 5 tahun kelak.
Selesai kelasku, aku ingin meninggalkan sekolah dan
beristirahat, otakku rasanya cepat sekali panas, saat melewati kelas musik, aku
mendamba sosok primadona di kelas musik yang sedang bermain piano, kelas itu
hanya ada dia ditemani bangku-bangku kosong dan alat musik lainnya, anak baru
itu cantik, maksudku, tentu semua perempuan cantik, tapi dia yang paling
cantik. Oh tidak, aku memiliki fobia terhadap wanita cantik, pernah saat SMP
aku mendekati teman paling cantik yang di kelas, kemudian ia menamparku hanya
karena aku ingin membenarkan tali kutangnya yang terlipat. Cukup.
Ia sangat handal bermain piano, jari-jarinya menghantam
dengan lembut balok-balok piano demi not-not yang indah, bola matanya selebar
dunia fantasiku untuk ingin sekedar mengatakan halo kepadanya, kulit kuning dan
hidung panjangnya dihias oleh rambut yang yang diikat ke belakang, tak pernah
kulihat sosok Citranggada secantik ini walaupun aku bukanlah Arjuna di hidupnya,
matanya agung bersimba keindahan saat berkedip memercikkan pantulan cahaya
ruang untuk melihat nada indah yang dibuatnya. Sepuluh menit tak hentinya
kupandangi ia yang menghadap kesamping, tak sadar akan kehadrianku, lantas aku
pulang dan memikiran lagu apa yang dimainkan itu. Sungguh hari Jumat yang indah
untuk sekedar memikirkannya.
Hari kedua dari musim ketiga di sekolahku ini,
seorang enterpreneur asal Sumedang mendatangi sekolah ini, intinya, dia
menceritakan tentang kisahnya dari gadis miskin menjadi orang sukses dengan
berjualan tahu goreng. Sepuluh tahun yang lalu, dari pagi sampai sore, ia
menawarkan dagangannya di pasar, tak banyak yang laku. Sekarang? Seluruh pasar
mengklaim bahwa pasar tak akan laku jikalau tak ada tahu gorengnya dia. Namanya
Eka, sukses di umur 26 tahun. Tapi, aku tak suka caranya membagi kisah
suksesnya. Tidak, aku tidak iri bahwa ia jauh lebih sukses dariku, aku hanya
tak tertarik karena jalan sukses setiap orang itu beda. Aku punya firasat buruk
mengenai orang ini. Ia akan meunjukku untuk maju ke depan, jika memang benar,
aku bahkan tak tahu harus menjawab apa.
Tuhan tak mengocok dadu, atau kata lainnya, tiada
yang kebetulan di dunia ini. Tiba-tiba Eka mengajakku maju ke depan.
Kulangkahkan kakiku ke depan, menuju Eka, berdiri di sampingnya
Ia bertanya “Siapa namamu?”
Dengan sedikit gelisah di depan 350 siswa, aku
memberikan namanku “Cahaya”
“Oh, Cahaya!” ia mengulangi perkataanku tadi dengan
nada yang lebih keras “Kamu lima tahun dari sekarang adalah orang yang sukses.
Saya yakin itu. Tapi satu hal yang saya tanya kepada anda” lanjutnya “siapakah
anda, 4 sampai 5 tahun kedepan?” ia mengarahkan mic kepadaku.
“Uhh.. Orang?” Jawabku lantak. Seluruh balkon
tertawa lebar mengenai jawabanku. Aku tercekik malu di depan umum, Eka pun
kegirangan disebelahku sambil menepuk jidatnya yang lebar itu.
“Bagus, bagus” katanya “kamu boleh kembali sekarang.”
Tak menunggu diperlihatkan caranya kembali, aku
melangkahkan kakiku, dua langkah kedepan, tangan Eka mendarat di pundakku
“Tapi tunggu. Saya percaya, kelak kamu akan jadi
orang yang sukses”
Tak kuhiraukan ocehan terakhirnya itu, langkah
kakiku memaksa melepas tangannya dari pundakku sehingga aku lekas kembali ke
tempat dudukku.
Kulewati lorong yang menuju pintu keluar, kulewati
ruang dengan dentingan piano yang seperti hari Jumat. Benar, gadis berawakkan seksi
itu masih bermain piano. Kali ini ia memakai kacamata hitam, aku mendapatkan
duniaku sendiri ketika aku memperhatikan jarinya yang menari di atas piano.
Imajiku menuju ke berbagai belahan dunia ketika aku mendengar indahnya tone
yang mengalir dari petikan senar di dalam pianonya.
▄
“Kok dari tadi ngelamun aja, sih, Cah. Kamu belum
siap?” tanya Valen
“Sebenarnya iya, mengingat di sana jarang yang bisa
bicara bahasa Inggris. Saya agak takut.” Jawabku
“Tenang, aku tetap ngedampingin kamu, kok.”
“Makasih, Val.”
▄
Hari ini ada kelas rohani, setiap hari Selasa
sekolah kami memanggil Pendeta untuk di datangkan, doa kami selalu di tampung dan di-amin-kan
oleh beliau. Dalam doaku terselip untuk siapapun orang yang menyayangiku,
walaupun aku tak tahu siapa itu, aku tetap akan mendoakan mereka agar selamat,
selalu sehat, dan dilimpahkan rezekinya. Kepada bapa, putra dan roh kudus.
Aamiin.
Pengakuan dosa? Aku rasa aku tak merasa melakukan
dosa akhir-akhir ini. Kuputuskan untuk mengakhiri kelas ini, aku berjalan
keluar, perempuan berkacamata hitam yang biasa bermain piano itu duduk di
bangku dekat pintu masuk. Aku terkejut, wajahnya menghadap depan tak
menghiraukan apapun, tak ada reaksi yang dipamerkan saat iya berdoa, sangat
cantik ketika dia berdoa. Kulewati ia dengan biasa, segera aku masuk ke kelas
matematik untuk kelas berikutnya.
Setelah selesai kelas terakhir di jam ini, aku jadi
penasaran sedang apa perempuan tadi, ia biasa menghabiskan jam terakhirnya
bermain piano di kelas seni, kulihat dari luar kaca persegi yang terpampar di
pintu kelas seni, kulihat ternyata ada beberapa anak yang melukis dan
menggambar, tak ada yang bermain musik apapun.
Ah, mungkin dia absen. Kuhadapkan badanku ke
samping, seseorang setinggi lima kaki dan lima inchi muncul tepat di hadapanku,
terjadi gempa mini di jantungku, itu perempuan yang aku perhatikan akhir-akhir
ini, elegan dengan kemeja merah, apa adanya, serta menawan, itu kesan pertamaku
saat kulihat wajahnya langsung dari jarak kurang dari setengah meter, tapi bola
matanya... abu-abu tua?
“Hei..” sapanya, ia tersenyum manis
Aku gugup, tak biasa diajak omong oleh perempuan “Oh
hai, mau lewat ya? Maaf..”
“Ohh, engga, kamu dari kemarin perhatiin aku terus,
aku jadi takut sama kamu. Hahaha..”
Mati, sekarat, bagaimana dia bisa tahu aku kemarin
memperhatikannya? “Oh, hehe, aku cuma pengin bisa belajar musik.” Tegasku malu
“Bohong, kamu berkeringat.” katanya
“Hehe.. iya, aku pengin lihat kamu main. Aku suka
kalau denger dentingan pianomu.”
“Gitu dong jujur. Yuk masuk yuk.” Ia membuka pintu
kelas seni, menggandeng tanganku. Perutku mulas karena malu digandeng oleh
perempuan secantik dia.
Aku duduk tepat di sebelahnya saat ia bermain piano,
jari-jari mungilnya lincah menekan tombol piano tersebut, “mau aku ajarin?”
tanyanya. Jelas aku tak bisa bermain ini.
Ia menggenggam tanganku, menaruhnya di atas piano
itu, “kita mulai dari nada rendah Do”
Ia mengajariku sampai aku bisa bermain tanpa melihat
tombol piano itu, bermain dengan menyontek nada yang sudah ada di depan. Selama
satu jam aku diajari bagaimana caranya bermain.
“Oh iya aku Nina.” Ia menjabatkan tangannya.
“Cahaya.” Kugenggam tangannya
Ia memejamkan mata saat mendengarkan aku bermain
piano dengan berantakan. Tak hentinya kupandangi wajahnya selagi ia memejamkan
mata, aku suka mendengar, tapi aku lebih suka melihat. Tuhan menciptakan
ekspresinya dengan sempurna saat ia membentuk wajah Nina.
“Apa kamu lihat-lihat aku? Hahaha” Nina menyorot
mataku dengan bercanda
“Daritadi kamu nutup mata kamu, sejelek itu emang
aku?”
“Hahaha.. engga, Cah. Aku lebih bisa melihat dengan
mata tertutup, aku lebih bisa melihat duniaku dengan jelas.” Kami diam sejenak
“maaf kalau bahasaku ketinggian hahaha..”
“Oh, engga kok. Aku paham.”
“Okay.”
Kulanjutkan bermain pianoku dengan lantang dan
dibantu sedikit sedikit oleh Nina ketika ada yang salah.
“Kamu ngga seperti yang lain, ya.” Kata Nina.
“Maksudnya?”
“Kamu ternyata anaknya pinter, ramah, baik.”
Tubuhku seakan tumbuh sayap, terbang ke planet
saturnus, uranus, merkurius, melewati alien-alien, menyapa Superman dan Thor di
atas sana, lalu kembali ke bumi, menghantam atap sekolahanku ini, dan leleh di
sebelah Nina saat ia mengucapkan kalimatnya itu.
“Terus kenapa kamu sekolah di sini, Cah?” ia
bertanya
“Karena IQku 73. Kamu sendiri ngapain sekolah di
sini, Nina?”
Ia bercerita panjang lebar, ternyata ceritanya
sedikit menyedihkan karena kesalahannya sendiri.
“Jadi kamu, maaf. Buta? Terus selama ini kamu ngga
tahu wajah kamu?”
“Terakhir aku lihat wajahku pas aku umur 7 tahun.
Sebelas tahun lalu, entah gimana wajahku sekarang. Kamu mau bilang sesuatu?”
“Engga.”
“Jangan bohong, aku tahu kok.
“Kalau boleh aku ngejelasin wajah kamu saat ini.”
“Hmm?”
“Kamu cantik Nin.”
“Hahah makasih, sayang aku ngga bisa lihat.
“Terus selama ini gimana kamu bisa naik sepeda
seperti orang normal ke sini?”
“Aku merasakan suhu disekitar, panas dan dingin, aku
merasakan getaran kecil di setiap aku berdiri, aku mendengarkan hal-hal kecil
di sekitarku.”
“Jadi kamu bisa memprediksi sifat orang? Atau baca
pikiran?”
“Ngga gitu cara kerjanya, Cahaya, tapi aku bisa tahu
kamu hari ini habis makan apel, pisang, dan sayuran lain pagi ini. Aku tahu
kamu ngga pakai sabun di leher, karena mungkin kamu alergi. Dan semakin aku
bicara panjang lebar ini, jantung kamu semakin berdebar kencang.”
“Kamu bisa ngerasain detak jantung dari jauh?”
“Bahkan aku bisa mendengar rayap di atas atap saat
mereka mengunyah makanan mereka, Cah.”
“Apa semua orang tahu tentang kamu, Nin?”
“Cuma beberapa orang, aku tahu kamu orang baik, maka
dari itu aku mau ceritain semuanya ke kamu.”
“Jadi selama ini aku perhatiin kamu di depan
ruangan, kamu juga tahu?”
Ia menjawab dengan menganggukkan kepalanya.
Di saat aku pulang dari sekolah, mobil Nissan Terano
mengepot di depan mataku. Sang sopir membuka pintunya, ia datang kepadaku. Aku
pernah mengenal sosok orang ini. Orang ini tak asing.
“Cahaya, benar?” sapa orang berkemeja biru yang
kemarin berada di sekolahku untuk menceritakan kisah suksesnya
“Iya. Kamu Eka, kan?”
“Ternyata kamu masih ingat, Cahaya. Saya di sini mau
mengajakmu untuk ke rumah saya. Jika kamu berkenan.” Ia mengajakku, matanya
terlihat ragu untuk sekedar berbicara kepadaku. Andai ada Nina, ia bisa tahu
apa yang ingin di maksudkan orang ini.
“Tapi aku baru pulang sekolah. Aku bisa dimarahi Ibu
kalau pulang terlambat” jawabku polos. Tapi memang benar, marah ibu bagaikan
badai harian di setiap kesalahan kecilku
“Hmm.. saya hanya ingin berbicara sebentar saja
kalau boleh, di sini.”
Perasaanku mulai kacau, seakan aku menganggap orang
sukses ini sudah gila untuk mengajakku bersamanya. Wanita berkacamata dan
berambut cokelat ini memaksaku untuk memperhatikannya.
“Maaf, saya harus pulang” hindarku
“Cahaya, cahaya.. aku cuma mau kasih ini.” Ia
mengeluarkan kotak biskuit berisikan 4 potong. Menyerahkannya kepadaku selagi
aku menatap kosong matanya. Ini bagaikan pertemuan yang tak satupun ingin
dimengerti. Apa pula ia turun dari mobil dan mengasihiku biskuit? Aneh. “dan
lihat bagaimana itu mengubah hidupmu” imbuhnya
Aku terima kotak itu. Itu biskuit beraromakan
cokelat produksi PT yang entah apa namanya. Mungkin ia mau menyogokku dengan
itu, tapi aku tak sebodoh itu.
Hampir tiga jam aku memikirkan biskuit aneh itu.
Permukaan tebal yang dilapisi cokelat leleh. Sebanyak 4 buah terbungkus dalam
plastik yang rapih.
Ragu-ragu aku mengambilnya, membukanya perlahan,
terlihat sedap. Memang terlihat mencurigakan, tapi bagaimana jika ia bermaksud
baik? Tapi tidak, kuletakkan kembali biskuit itu, aku tidak bodoh. Hanya IQ ku
yang jongkok.
Ah, biarlah, aku sudah berniat memakan biskuit
cokelat dari Eka. Biskuit itu terlihat lezat. Tapi bagaimana jika itu racun?
Persetan, hidupku sudah penuh racun. Kuambil biskuit itu dari dalam dus
berwarna cokelat itu. Gigitan pertama yang tak mengecewakan, manis, pahitnya
cokelat. Biskuit ini sangat nikmat.
2 dari 3 pekerjaanku belum selesai hari ini, ‘ratu’
panti mewajibkan muridnya untuk bekerja rumah tangga. Sepatu yang berantakan,
cucian yang menumpuk, piring kotor yang bertebaran, siapa yang mau tinggal di
rumah rasa tempat sampah ini? Rasanya aku ingin membakar panti ini. Tapi tidak,
akal sehatku masih menang. Aku memulai membereskannya satu per satu. Ruang
tidurku yang kotor, sprei yang kumuh serta baju-bajuku, aku mencuci semua, baru
ini hari di mana hidupku sangat teratur. Bahkan aku bisa tidur tepat waktu jam
10.
Memulai pagi cerah, jam 6 aku beranjak mandi,
berpakaian rapih, lalu mencuri sedikit parfum dari teman sekamarku. Jalan
menuju sekolah yang berjarak 700 meter. Tepat jam 7 aku masuk kelas matematik.
Memulai segalanya dengan semangat, memberi sang mentor minuman dari kantin,
lalu aku mulai mengerjakan buku di bab-bab yang berikutnya, belajar hari ini
terasa mudah.
Selesai kelas matematik, aku ingin mengunjungi
‘teman’ yang baru aku kenal dua minggu lalu, Nina. Bermain biola, menggunakan
dress putih. Nina tertawa manis saat melihatku masuk ke kelasnya. Kuambil seat kosong
piano yang tepat di sebelah Nina saat bermain biola. Kusambut alunan nadanya
menggunakan piano, A Whole New World. Mengiringi nada gesekannya dari senar
biolanya. Setengah lagu, aku mulai berpikir, waktu usiaku 11 tahun aku menyaksikan
film Aladdin, saat ia bernyanyi A Whole New World, entah bagaimana alam bawah
sadarku bisa mengkombinasikan nada itu dengan menggunakan piano ini, seakan
nutron dalam otak bekerja cepat menciptakan pertunjukan film Aladdin 8 tahun lalu. Tapi..Bagaimana bisa?
Selesai dengan lagu itu, Nina tersenyum manis.
Matanya tertutup saat tersenyum. Indah. Tanpa rasa malu, aku menyapanya “Hai
cantik.”
“Hai..” lalu ia menanyaiku “Cepet banget belajar
pianonya?”
“Gurunya yang hebat. Makasih, Nina.”
“Sama-sama, Cahaya.” Lalu ia tersenyum
Dalam perjalanan pulang, otakku mulai melemas,
jaringan otak terakhir rasanya copot lalu meninggalkan bekas yang sangat
berbeda. Aku kembali meletakkan pakaianku sembarangan. Singkatnya, aku kembali
“normal”. Pertanyaanku yang sama adalah “Bagaimana bisa?”
Aku sadar, aku belum makan. Dari kemarin. Terakhir
makananku adalah biskuit dari Eka itu. Kutinggalkan di atas TV, kulihat biskuit
itu tersisa 3. Apa ini yang menyebabkan aku berubah? Tapi bagaimana bisa? Ini
kan hanya biskuit?
Tinggal 2? Bukannya isinya 4 lalu aku baru
memakannya 1? Aku memutuskan memakan satu lagi biskuit itu. Apa efek biskuit
ini, hanya untuk memastikannya. Pandanganku terlihat cerah, aku baru sadar
ketika aku menunggu 3 menit setelah makan ini. Aku menjadi percaya diri, seakan
tahu apa yang harus kulakukan. Aku memiliki uang tabungan Rp.200.000 di bawah
bantal. Aku tahu apa yang harus kulakukan.
Ku menuju bank negeri di dekat rumah. mataku
langsung terpaku pada poundsterling yang berada turun di level 3%. Terdengar
berita tadi di kantin, Inggris mengganti pasukan militer di bagian darat. Tak
lama lagi aku bisa memastikan poundsterling akan naik. Kuputuskan untuk menukar
Rp.200.00-ku menjadi GBP.20.
Malam, aku tak tidur, kutunggu berita harian di TV
tepat jam 12 malam. Inggris sudah kembali mengembalikan pasukan angkatan
daratnya. Sengaja ku-terlambatkan datang ke sekolah. GBP mendadak 15.000 rupiah
dalam satu jam. Tepat jam 9, terjadi angka yang hebat, 18.000! tak menunggu
lebih lama, aku menukarkan 20 poundsterlingku ke angka Rp.18.000. Secara instan
aku mendapat Rp.360.000 kurang dari waktu 24 jam. Gila.
Pikiranku kembali di level tengah, biskuit itu
adalah tautan yang aku pikirkan selama ini. Yang aku butuhkan. Aku kembali
memakannya satu. Baru sadar, di dalam kardus biskuit itu tertera alamat. Dengan
nama, Eka Nur Fitrianti, supplier. Aku menuju apartmen nya itu. Kamar itu
terbuka. Eka terlihat depresi mengendalikan dirinya di tengah kamarnya
“ketagihan ya” tanyanya.
“Aku cuma ngga tahu gimana itu bisa..”
“Saya sudah duga.” Potong Eka, ia bangkit dari
tempat tidurnya. Melepas kacamatanya.
“Biskuit cokelat macam apa itu?” tanyaku
Eka mengambil nafas besar “Entahlah. Orang-orang
pabrik memberi nama itu FFF-05. Hanya makan satu saja kamu bukanlah orang yang
dulu.”
Badanku bergemetar hebat “maksudnya?” tanyaku
“Itu adalah roti untuk orang yang memiliki kelebihan
seperti kamu, cahaya.” Ia menyeretku masuk lebih dalam ke kamar apartemennya.
“Kelebihan apa?”
Ia menyilakanku duduk, kami berhadapan di meja kecil
berukuran persegi enam
“Kamu memiliki sindrom savant, Cahaya. Benar mungkin
kamu memiliki IQ yang sangat rendah. Tapi kamu juga mempunyai kelebihan yang
fantastis. Roti itu adalah cara mengaktifkannya secara perlahan, roti itu memiliki
zat yang cepat dicerna oleh tubuh, mengeksolisir karbonhidrat yang tidak
terpakai di tubuhmu menjadikannya DHA dan tenaga. Tak lama kamu akan tahu
kelebihanmu itu.”
“Tapi anda tahu saya dari mana?” tanyaku
Dengan pena yang diputarnya ia menyawab “Tentu kami
memiliki list untuk mengetahui semua orang yang sama sepertimu.”
“Kami? Anda tidak kerja sendiri?”
Ia menghembuskan keseluruhan nafasnya dari hidungnya.
“Tentu tidak, Cahaya.”
“Lalu kenapa anda tidak makan biskuit itu sendiri?”
“Kamu tahu umur saya berapa?”
“Sekitar 25 tahun?”
“Hahaha.. umur saya tiga kali lipatnya itu. Ya, umur
saya 75 tahun. Saya memiliki penggumpalan kulit, yang sampai sekarang masih
belum ada yang punya hormon gen seperti itu. Roti itu yang membantu
men-discover kelainan kulitku, kelenjarku dan ruas-ruas poriku terus memadat
hingga saya masih terlihat seperti berumur 30 tahun.”
“Jadi anda bisa hidup selamanya?”
“Sayangnya roti itu tidak memperpanjang nyawa,
Cahaya. Roti itu hanya untuk memadatkan kulit saya dari sel-sel lemak yang
tidak terpakai sehingga tidak kelihatan keriput dan tua. Bohong jika saya
adalah pengusaha muda. Saya sudah memulai usaha itu semenjak jaman Belanda.”
“Jadi biskuit bukan hanya untuk memperkerjakan
bagian otak?”
“Tergantung konsumen. Semua orang yang memakan akan menemukan
kemampuan yang berbeda-beda.”
“Apa syarat saya supaya bisa mendapatkan itu lagi,
Bu?”
“Tidak ada syarat, Cahaya. Indonesia harus punya
orang sepertimu. Syaratnya adalah kamu harus melawan dirimu sendiri ketika kamu
sudah mengenal lebih jauh tentang dunia luar. Kamu bisa datang kapan saja ke
saya untuk barang itu.”
Hal pertama yang aku lakukan adalah, memotong rambutku
dengan rapi. Aku sempat mencuri uang Ibu Kos sejumlah Rp.3.000.000 untuk modal
valas. Orang se-panti sempat ribut karena Ibu Kos kehilangan uangnya di bawah
kasur yang biasa aku bereskan. Mereka tak mungkin mengira bahwa yang mengambil
itu aku karena mereka pikir aku terlalu bodoh. Namun, uang itu kembali dalam
waktu 4 hari setelah aku mencurinya.
Kemudian aku membeli setelan pakaian baru dengan
uang dari valas yang aku mainkan. Terlebih aku baru membuka ATM yang dua minggu
sudah terisi Rp.14.500.000, aku tak bersitegang dengan siapapun agar tak
memiliki musuh. Aku sudah mengkontrol diriku sendiri sebagai orang yang menarik
dan asyik. Bicara dengan wibawa di depan umum pun tak malu, membuat orang-orang
merasa lebih nyaman berbicara denganku.
“Jadi, Nin, gimana rasanya sebulan sekolah di sini?”
“Menarik.” Katanya “Teman-teman ngga membedakan
siapa aku. Terlebih kamu, Cahaya. Tapi..”
“Tapi apa?”
“Entah sama siapa yang aku punya di sini kalau kamu
udah lulus.”
“Ngga lama lagi aku punya kontakku sendiri, Nina.
Kamu bisa telepon aku.”
Aku ingin mengatakan tentang barang itu ke Nina,
tapi nyaliku tak bisa sembuh dengan barang itu. Rasanya aku membohongi diriku
sendiri tentang barang itu. Ditambah, aku hampir berubah drastis dengan itu.
Dari cara berbicara, getsur tubuh, dan berpakaian. Aku bahkan tahu Nina
terkagum-kagum dengan diriku yang sekarang
“Mau bicara sesuatu, Cah?”
“Umm.. engga.”
“Jangan bohong.”
“Tolong hargai privasiku, Nin.”
“Ah.. Sorry, then.”
▄
Teleponku berdering, kujawab teleponku dengan suara
pelan. Ternyata itu sang presiden Indonesia. Beliau mengingatkan kami hati-hati
untuk perjalanan yang panjang di Spanyol.
“Terimakasih, Pak.” Tutup kalimatku untuk percakapan
di telepon itu.
“Siapa, Cah?” Valen bertanya.
“Kamu ngga bisa denger sama superpower mu itu?”
“Aku sudah bilang aku bukan penguntit, Cah. Aku
lebih suka tanya langsung ke kamu.”
“Presiden, sayang. Beliau ngingetin kita untuk
hati-hati.” Kubelai rambut panjangnya.
“Tidur lagi, Madrid masih jauh, kan.”
▄
4 Tahun yang menyenangkan sekolah di sini. Sedih
karena aku akan meninggalkan semua masa-masa pahit yang membuat diriku lebih
kuat. Lebih sedih karena aku harus meninggalkan Nina yang tinggal 3 tahun di
sini. Biarlah, aku harus tetap melihat ke depan, memulai perjalanan yang baru.
Bermain dengan bursa kurs kurang memacu adrenalinku
untuk mencari serpihan rupiah. Aku harus bisa bermain yang lebih besar. Secara
diam, Valas adalah target berikutnya, sebulan pertama penghasilanku di bank
hanyalah Rp.3.000.000, terus menggeluti harga yang tidak tetap, tidak besar memang untuk permainan yang
mengintai harga diri dan mengancam kerugian yang besar. Tapi kau tak pernah
kalah, memang bursa wallstreet terus berubah, tapi tak semua orang memiliki
otak mutant sepertiku. Cepat atau lambat, aku harus memiliki klienku sendiri.
Dalam beberapa bulan ini aku hanya bisa melibatkan 5 klienku.
Dibantu dengan Tira, klien sekaligus asisten yang
aku miliki, kami membagi bagian pekerjaan kami. Aku yang berpikir, ia yang
bermain. Biasanya aku membagi keuntungan 70-30 dengan klienku. Tapi beda dengan
tira, ia mau membagi 50-50 untuk untungnya itu.
Di tengah berkembangnya diriku untuk menjadi yang
lebih baik, aku harus pamit dari tempat pantiku dan memberi alasan aku tinggal
dengan Ibuku. Karena aku sadar ini adalah rahasia, dan tak selamanya rahasia
selalu menjadi rahasia.
Di rumah kecil dari apartment klien valasku, aku menyewa
kamar kecil berukuran 5x7. Kusulap semua yang ada di apartmen menjadi tempat
mencari danaku. Komputer ber-spek maksimal pada tahun 2005 berada di pojok
tempat aku menyendiri. Layaknya ulat yang bersemayam agar menjadi kupu-kupu
yang indah, angka-angka dari wallstreet dari TV terus menyeringai di kupingku,
langit apartmenku berisi penuh angka-angka tajam yang akan aku mainkan di
indeks harga saham.
Berkenalan dengan orang-orang di klab malam pun
terasa mudah. Mereka suka dengan caraku berbicara sarkas mengenai konflik yang
terjadi di negara ini. Gengsiku yang besar membuatku mudah bergaul dengan
orang-orang semacam ini. Mereka juga sering mengajakku berlibur, bermandikan
air panas di tempat yang letaknya tidak dekat, hingga ke pantai yang tak ada
penguninya pun. Mereka tertawa karena hidupku mewah tapi aku tak ingin menyetir
mobil sendiri.
Di hambang kemewahan ini, aku mengingat seorang
nama. Memang aku adalah dosa Ibu yang pernah Beliau lakukan. Tapi, jikalau
tidak ada janin yang terpendam di tubuhnya, aku hanyalah cipratan sperma yang
terbuang. Ia juga punya perasaan untuk dihargai. Aku tahu, sangatlah berat
menyelamatkan Ibu dari kisah masa lalu kelamnya, tapi aku adalah manusia yang
punya empati. Aku masihlah anak yang punya kepribadian seperti cahaya, aku
selalu menyinari, walaupun mereka selalu suka dalam kegelapan. Lantas aku
mengambil Ibu yang bekerja di salah satu rumah anak bangsawan. Rumah mewah
dengan pagar maut yang membatasi kolam renang di depan. Ia keliahtan tua,
walaupun umurnya baru 47 tahun. Aku menyewakannya apartmen di depan kamarku
persis, aku akan mengurus beliau sampai otakku menjadi abu-abu.
Dengan biskuit dari Eka yang di stock satu tahun
penuh, aku sudah bisa mengumpulkan Rp.735.000.000 dalam hampir 1 tahun
perjalanan permainanku. Aku sadar, permainan ini terlalu beresiko, aku harus
memulai usaha di Balikpapan. Di sini pakaian batik amatlah langka, aku bisa
menargetkan batik home made yang murah dan berkualitas, untuk pembuatan pakaian
itu sendiri aku menyewa designer yang tak murah dan memperkerjakan ibu rumah
tangga dari kampug-kampung terpencil agar biaya bisa ditekan.
Pinggan sore tak bisa menampung kelimpahan siang,
juga bukan wadah yang tepat untuk menyajikan malam. Di tengah padatnya jadwal
yang aku jalani, aku hampir lupa kepada Eka yang sangat berjasa karena
memberikanku barang itu. Kutemui Eka di rumahnya. Ia memiliki kamar apartment
yang selalu tak dikunci, ia masih menghadap lemarinya dan menatap wajah
cantiknya sendiri.
“Lama tak jumpa, Cahaya?” ia menyambutku tanpa
menolehkan kepalanya sedikitpun
“Mungkin sudah telat, tapi aku ingin berterimakasih
kepadamu, Bu.”
“Sudah berapa kali aku bilang, berterimakasihlah
kepada dirimu sendiri, Cah. Rupiah menguat karena ulahmu, kan?”
“Hahaha.. tidak juga, bu.”
Kami mengobrol untuk waktu yang cukup lama, aku
bercerita tentang suksesku di dunia valas. Aku memesankan pizza untuk kami
santap berdua karena sudah jam makan siang. Dengan sikap dinginnya, ia memintaku untuk
menemui anaknya yang sudah tak ada kabar selama 7 tahun semenjak ia menemukan
biskuit dari surga itu, ia ingin aku menemuinya sebab aku sudah mempunyai
banyak pendapatan yang aku hasilkan. Serta konsultasi tentang apa yang sudah aku alami.
Aku tak mengendarai mobil, karena suatu alasan, aku
tidak suka mengendarai mobil. Bahkan daripada menaiki mobil Merchedez ku
sendiri, aku lebih suka naik sepeda atau jalan kaki. Setelah pulang dari rumah
Eka, pandanganku menunjukan aku melewati 9 blok rumah, tak ada yang normal,
padahal aku baru berjalan sejauh 2 blok. Anjing yang menggonggongiku 4 menit
lalu, aku menemuinya lagi saat ia melewatiku. Gonggongannya pun sama persis.
Segerombolan 3 orang pria berbadan besar... Aku
cemas. Kecemasan memberi lekuk pada tubuh dan otakku. Salah, aku melewati jalan
menuju pasar yang terkenal tak ramah bagi orang asing. Mereka jalan ke arahku,
menyerobotku lalu menghentikanku. Langkah pertama yang aku lakukan adalah
melempar uang recehan ke depannya untuk menarik perhatiannya, menghentakkan kepalanku ke saraf lehernya
dengan cepat, lalu tanganku satunya menyerang uluh hatinya. Memang tak sakit,
tapi 5 menit dari sekarang orang itu akan mengalami magh yang luar biasa.
Aku ketakutan, menagambil langkah mundur. Sisa 2
orang, aku pernah melewati ini, ia menyerang dengan ceroboh, kakiku reflek
menyandung pria berkulit hitam itu, sebelum jatuh ke tanah, uluh hatinya kuhantam dengan keras.
Sisa satu, ia sama cerobohnya dengan si kulit hitam, ia
maju dengan badan besarnya, ku ayunkan sepatu bootsku ke buah zakarnya, ia
menunduk dan merengek ke sakitan. Tepat saat ia terjatuh, ku retakkan
punggungnya dengan sikuku.
Ini aneh, aku baru saja menghajar 3 orang. Aku
sadar, tapi sebelumnya aku sudah melakukan gerakan yang sama. Film action di TV
4 tahun lalu yang mengajariku gerakan tersebut. Tapi bagaimana aku bisa
mengingat gerakan 4 tahun lalu? Bahkan aku melihat acara itu hanya 10 menit.
Di lab ternama di gedung sains rumah sakit ternama,
aku menemui Fano, anak sematawayang Eka, yang menemukan barang itu. Rambutnya
sudah beruban dan matanya sedikit pucat.
“Ada yang bisa dibantu?” tanyanya.
“Saya teman ibu Eka, konsumen teknologi buatan anda.
Saya disuruh beliau untuk berkonsultasi.”
Ia tampak kebingungan, ia menyeretku kesuatu ruang
yang lebih sedikit gelap dari ruangan-ruangan lain. Depan pintu itu bertuliskan
Prof. Fano Welly. Dan sepertinya ini ruangan pribadinya. Aku disilakan duduk di
sampingnya.
“Jadi, sebutkan nama, dan ceritakan kelebihan anda.”
“Nama saya Cahaya. IQ saya hanyalah 2 digit. Tapi
semenjak ada barang itu, kehidupan saya berubah drastis. Saya hampir punya
segala yang saya inginkan. Hidup saya berjalan dengan mulus.”
Terdengar dari suara lewat hembusan angin di telingaku
Roti itu bernama FFF-05. Orang dapur
menamakan sedemikian rupa agar tak terliaht mencurigakan. Sudah berapa lama
anda memakai ini?
Mataku kupicingkan Dari mana suara itu? Pikirku
Tepat
dari depan anda. Ini saya, Fano, yang sedang berbicara dengan pikiran anda. Ada
suara balasan yang entah dari mana datangnya Anda pikir hanya anda yang
memiliki kekuatan seperti itu? Kulihat Professor Fano yang tersenyum dan
tak membuka mulutnya se-centi pun.
Tolong
jangan berbicara dengan mulut anda, terlalu banyak pengintai di rumah sakit
ini.
Saya
sudah memakannya selama satu tahun lebih. Lalu bu Eka menyuruh saya untuk
menemui anda untuk konsultasi. Balasku dengan pikiran.
Mari
saya periksa darah anda
Fano mengeluarkan semacam Pen yang di isi jarum,
lalu disuntikkan melalui jariku bertujuan untuk mengeceknya. Setelah keluar
setetes, ia menampungnya dengan kaca kecil berukuran 4x6 centimeter lalu
menyelipkannya di dalam mesin berbentuk untuk di sebelahnya.
Saya
mengenal anda. Di berita lokal, ada seseorang misterius yang membuat gebrakan besar
terhadap deflasi Rupiah. Memang tidak disebutkan namanya, tapi akhir-akhir ini
lab kami menemukan ada orang yang memiliki gen savant seperti anda. Jelasnya
Ia membuka alat nyelenehnya itu dan melihatkan hasil
print cetak kepadaku.
Anda
memiliki sindrom savant jenis mellontikosa. Zat besi yang pada orang
normal hanyalah 13%, anda memilikinya
sebanyak 73%. Sindrom savant adalah di mana penderita itu memiliki IQ yang
kecil, tapi ia punya kelebihan yang aneh, kelebihan anda adalah mellontikosa,
yaitu anda bisa membaca gerakan manusia 1000 langkah ke depan. Sindrom itu
sudah aktif semenjak 4 sampai 5 bulan lalu, berhenti memakannya pun tak
masalah.
Singkatnya,
anda bisa memperkirakan masa depan dengan akurasi 97%
Wajahku kaget secar natural, bahkan aku tak tahu
selama ini ada kelainan seperti itu. Tapi
mengapa saya tidak tahu masa depan saya seperti apa? Ku balas pikirannya
Tidak
seperti itu kerjanya, anda tidak bisa menerawang visi ke depan. Tapi anda sudah
tahu apa yang harus anda lakukan. Anda benar-benar tahu apa yang terjadi dan
apa yang telah terjadi. Jelasnya.
Untuk orang yang aneh, hari-hariku berjalan normal.
Aku terus bermain valas dan saham. Aku memperkirakan tahun 2015, Rupiah akan
menyentuh angka 21.000 per dollar US. Tapi dengan bursa wallstreet yang aku
tahan sekarang, aku yakin 2015 dollar ‘hanya’ menyentuh 14.000
Usaha batikku berjalan lancar dan semakin pesat. Setelah
batik home made, batikku berjalan di kelas industri menengah, yang menghasilkan
omset Rp.21.000.000. Per hari.
Hampir dua tahun setelah aku meninggalkan sekolahku,
aku mengunjunginya, aku menemui guru-guruku yang masih mengajar dengan
kesabaran. Semua senang melihat aku sudah berubah, tak ada yang berubah di
sekolah ini. Tapi tujuanku ke sini hanya satu, Valenina Khalisa. Satu-satunya
teman yang mengenali kebaikanku. Sudah 7 minggu ternyata ia meninggalkan
sekolah ini. Lucu, aku mempunyai segalanya, tapi aku bukan segalanya di mata
siapapun.
Temanku dekatku selama aku bermain valas, Tira. Ia
adalah anak seorang menteri negara. Berkata bahwa istana merdeka butuh orang
sepertiku.
“Seperti gimana, Rak?”
“Ya kaya lo, Cah. Sebagai penasihat kenegaraan.”
“Penasihat gila iya.” Tutupku bercanda. Kukira ia
hanya mengigau menawariku pekerjaan seperti itu. Tapi aku berpikir, dengan
menjadi penasihat kenegaraan, apa mungkin aku bisa berkeliling dunia?
“Kalau aku mau pekerjaan itu, harus daftar ke mana,
Rak?” tanyaku ke Tira.
“Gue udah ceritain semua kemampuan lo ke bokap gue,
Cah. Setiap hari gue ceritain lo ke beliau. Sekarang katanya Istana Negara
butuh orang seperti lo. Kalau mau, gue anterin ke bokap gue.” Jelasnya
Kami sepakat untuk meninggalkan Balikpapan, menuju
Jakarta yang padat. Aku menemui Irwan, bapak dari sohibku selama di valas. Pria
berawakan tinggi serta kepala yang tak berambut.
“Kemampuan yang luar biasa.” Irwan bilang
“Kemampuan yang luar biasa.” Irwan bilang
“Jadi gimana, Pa? Cahaya diterima apa ngga?” Tira
menanyakan tentangku kepada Irwan
Irwanpun menjawab
“Boleh, boleh, tapi di tes dulu secara kejujuran dan psikonya.”
Bagaimana tesnya?
Sangatlah mudah. Aku mengisi beberapa lembar kertas dan ditanyai
seputar soal kejadian masa laluku dengan pendeteksi kebohongan yang mengait
lengan kananku. Aku melewatinya tanpa keberatan. Hasilnya yang menunggu 2
minggu, aku pulang ke Balikpapan, sementara aku harus tetap mencari rupiah dan
memantau industri batikku.
Menunggu matahari
terbit, aku sepakat dengan diriku sendiri bermain PS3 sampai larut subuh.
Ternyata di umurku yang 23 tahun masih suka bermain seperti ini. Pintu apartmen
terdengar bunyi besi yang saling menatap. Apartmenku yang hanya berukuran 4x7
memberikanku banyak ruang untuk bersembunyi. Di antara celah menuju kamar
mandi, aku menekan badanku di antaranya. Handle kunci di pintu itu semakin
bergerak hebat. Dobrakan seseorang dari luar berhasil membuka pintu itu. Dua
orang masuk ke rumahku. Apa yang mereka cari?
Baling-baling kipas
angin yang aku ambil kulemparkan ke seseorang yang terlihat seperti orang India
berawakan sumo itu. Tepat mengenai matanya. Pria berhidung offside yang lain
mencoba menyekapku. Aku tertahan di mejaku. Kuambil laptop disebelah dan kupukulkan ke telinga kanannya. Ia masih tak
melepasku. Kakiku yang panjang menguntungkanku, kutendang alat vitalnya secara
keras. Tapi ia masih tak melepasku.
Seseorang datang dari
pintuku, pria berjas hitam memakai topi koboi. Aku tak asing dengan muka pria
itu. Tio? Orang India itu akhirnya melepasku. Ia berbicara dalam bahasa India
kepada anak buahnya. Entah perintah apa, tapi orang India itu mengobrak abrik
apartmenku.
“Cahaya Purnama.” Panggilnya
“Cahaya Purnama.” Panggilnya
“Mau apa, kamu?!”
nafasku terdesak-desak sampai leher.
“Sudah berapa tahun
ngga ketemu?” ia menanyaiku, sementara aku enggan untuk menjawab. Tubuhku masih
terbaring lemah setelah di smackdown orang
India gila itu tadi.
“Denger-denger kamu
sudah banyak uang ya?” tanyanya mengancam. Tangan kiriku mengangkat, mengepal
dan mengayunkannya ke pipiku sendiri. Bergerak sendiri? Aku bahkan tak
menggerakkannya sedikitpun.
“Loh, ngapain mukul
dirimu sendiri Cah? Hahaha” ia berkata. Tanganku tak terkendali, tubuhku
tiba-tiba berdiri.
“Di mana kamu simpan
uangmu, Cahaya?” ia menanyaiku lagi
“Ya di bank, lah,
bego!” kuberdiri dan ingin menghantap mukanya. Tubuhku tiba-tiba berhenti
bergerak.
“Uhhh?” ia berdecuk.
“kenapa? Ngga bisa kendaliin tubuhmu, ya? Kamu kira cuma kamu yang punya
kelainan gen?”
Apa?
Ia juga tahu soal kelainanku itu? Apa mungkin kelebihannya mengendalikan
tubuhku? Pikirku. Tanganku terkendali menuju sakuku.
Mengambil dompet yang ada di sakuku, dan
menyerahkannya ke Tio. Tubuhku berpindah ke ke tempatnya, dengan menyerahkan
dompet itu. Sampai di tempatnya, aku berontak. Ku hantam wajahnya yang tak
ber-leher itu. Ia jatuh, aku sudah bisa mengendalikan tubuhku. Ku naiki badann
chubbynya, tapi orang India tadi menahan badanku dari belakang. Aku tak bisa
apa-apa.
Tio berdiri lagi,
ia membersihkan kemejanya. Dari balik
pintu, seseorang datang dengan pipa besi. Ia memukul kepala botak Tio dengan
keras. Tio tergeletak lagi. Orang India dua itu melepasku, menyerang orang yang
memakai baju dan celana hitam bersamaan. Orang berbadan kurus itu beradu hantam
dengan orang India. Ia pandai memainkan tongkatnya pendeknya. Seolah ia sudah
mendalami martial arts, ia menghajar orang India secara bersamaan. Hingga
besinya tak berupa ia memukuli kedua pria India. Satu lumpuh. Tinggal satu
lagi, “pssst!” bisikku aku melemparkan pisau dapur yang terjatuh dari meja
kerjaku. Ia menangkapnya dengan cepat, mengayunkan ke leher orang India dengan
mantap.
Jrek! Cairan merah
mengucur dari leher orang India itu. Nafasnya tak teratur, ia menghampiriku,
membuka penutup mukanya, rambutnya jatuh terlebih dahulu, wajah cantik yang aku
kenal 3 tahun lalu. Nina, sudah kuduga.
“Aku sudah tebak. Dari
mana kamu tahu aku di sini, Nin?” tanyaku
“Kamu kira cuma kamu
yang punya punya kelebihan gen itu?” Ia mengerahkan tangannya membantuku
berdiri. “Kita harus bereskan ini.” Lanjutnya. Sontak suara tatapan besi bunyi
di belakang Nina. Tio masih bangkit dan membawa tongkat Nina yang hampir tak
berbentuk. Nina dilempar ke lemari oleh Tio, tubuhnya ambruk di lemari rapuhku.
Tanganku terkendali mengambil pisau bekas Nina menyabet orang India itu, aku
menuju ke arah Nina, seolah akan menancapkan pisau itu.
“Awas Nin, aku ngga
bisa kendaliin tubuhku!”
Refleks Nina yang
sangat tepat, ia menghindar masuk ke kolong tempat tidur “Tutup matamu, Cah!”
perintah Nina.
Tubuhku bisa
kukendalikan saat aku menutup mataku.
“Diam di kasur, lempar
pisaunya ke kanan!”
Beberapa menit,
kupejamkan mataku, tubuhku bergemetar hebat, molekul-molekul oksigen di tubuhku
rasanya bergerak cepat dan terpecah satu per satu mendengar suara gesekan pisau
dengan besi. Mengerikan mendengar Nina yang sedang berhadapan dengan Tio. Yang
terdengar sebelum suara itu berakhir adalah suara pisau yang menembus kain
berkali-kali.
“Kamu bisa buka matamu,
Cah.”
Kubuka perlahan dan
melihat Nina yang terbaring lemas di kasurku. Nafasnya tak beraturan, dengan
darah segar yang tersirat di mukanya.
Polisi datang, tepat
jam 4 pagi. Tubuh mereka diseret dan kami dinyatakan tak bersalah karena
membela diri di kantor polisi. Pagi yang bebal dalam hidupku, kami pulang
menuju apartemenku. Saat perjalanan pulang, kami sama-sama saling jujur.
“Karena barang itu juga,
aku bisa denger apapun dari jarak lebih dari 100km, Cah. Jadi maaf kalau aku
selalu dengerin detak jantungmu. Beberapa minggu lalu jejak kamu juga hilang,
aku khawatir. Aku kira kamu sudah lupa Balikpapan. Kamu mau ngomong apa, Cah?”
“Eng..” aku gugup ingin
mengatakannya “Aku kangen kamu, Nin.”
“Hahaha.. kamu ngga
berubah ya. Selalu jujur. Dan yang aku khawatirin... aku takut kamu dapet
perempuan lain di sana.”
“Engga, Nin. Aku malah
kapan itu ke Cela Maria cuma untuk cari kamu.”
“Waktu adalah penenun
rindu yang tekun, kan, Cah? Walaupun kamu yang ngga bisa cari aku, aku selalu
bisa cari kamu, Cah. Kamu mau bilang apa?”
Kuhentikan langkahku,
aku menggenggam tangannya.
“C....C....Cah? Detak jantung kamu cepet banget?” kata Nina, wajahnya penasaran.
“C....C....Cah? Detak jantung kamu cepet banget?” kata Nina, wajahnya penasaran.
“Aku kira aku ngga
perlu jelasin ke kamu buat ungkapin ini, kan, Nin?”
“Hahaha..” ia tertawa menunduk
“Iya, Cah. Aku dari awal ketemu juga udah bisa tahu itu. Aku juga cinta kamu,
Cahaya.”
Dua minggu kemudian aku
diterima menjadi penasihat kepemimpinan negara. Aku pindah dengan Ibu ke
Jakarta, dan, tentu mengajak Nina. Akupun punya orang kepercayaan sendiri untuk
mengisi CEO di pabrik batikku, berkat Nina. Kami pindah di lantai paling atas
di gedung berlantai 9. Dengan uang Rp.14.000.000.000, aku bisa membeli satu
lantai di suatu gedung daerah
Cengkareng.
Kami menikah setelah 1
tahun semenjak pertemuan berdarah kami. Nina menjadi asistenku selama aku
menjadi tangan kanan Presiden. Aku memutuskan berhenti bermain valas karena
gajiku yang cukup untuk membeli 5 mobil keluarga dalam satu bulan. Kami memulai
perjalanan di hidup ini.
Aku mendengar kabar Eka
yang sudah dimakan umur, di tengah kesibukanku, aku dan Nina terbang ke
Balikpapan. Eka masih cantik dan padat wajahnya terbaring lemah di rumah sakit.
“Senang mendengar kamu
sukses, Cahaya.” Kata Eka
“Semua ini berkat anda,
Bu.”
“Berhenti merendahkan
diri sendiri, Cahaya.”
Kami mengobrol tentang
kehidupan baruku. Di umurnya yang 80, Eka mengingatkanku untuk tak lupa kepada
yang belum menjadi apa-apa. Karena ujung gedung yang paling tinggi tak akan
bertahan jikalau tak ada yang di bawah.
“Permisi pak” panggil Nina, sekretaris sekaligus
asisten pribadiku “Pesawat sudah siap, pesawat kita menuju Catalonia dulu
sebelum akhirnya sampai Zaragoza”
Kutolehkan setengah kepalaku, mengangkat bahu dan
berkata “Beri saya waktu sebentar, saya akan mengucapkan salam perpisahan.”
“Baik, Pak.” Jawab Valenina, kemudian ia menutup
kembali pintunya.
“Saya pamit untuk konfresi pers di Spanyol, Bu.”
“Silakan nak, buat negaramu bangga.” Perintahnya.
Story Inspired by "Limitless"
Photo took from Anisa Rahma Adi's Instagram, google
Some Word took from @adimasimanuel tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar