Ketika
Realita Lebih Indah Dari Mimpi
▄
Kuterjaga oleh siulan merdu di ruangan sebelah,
tepat jam 2 dini hari. Aku bagaikan Zombie yang habis memakan korban. Entah apa
yang aku harus lakukan sedini ini. Kugerakkan seluruh tubuhku untuk sepenuhnya
keluar dari kasur yang nyaman. Sinar lampu kuning ruang sebelah merajam mataku
yang masih belum terbiasa terbebani oleh uparan sinar itu. Kulihat wanita
jenjang memakai tank-top putih dan celana panjang tersedu memainkan biolanya
setelah melihatku. Ia melepaskan dagu dari biolanya untuk menyapaku
“Kok bangun?” ia tersenyum manis “Maaf ya udah buat
kamu bangun.”
▄
Berlalunya waktu membuat kami terasa nyaman.
Begitulah yang kami alami selama 6 bulan terakhir.
Karier Elfi belum berakhir, ia masih punya banyak cerita
yang akan ia tulis di kehidupannya dan jalannya sendiri untuk di gapai.
Sementara perutnya sudah semakin membesar.
Kutelan dan kutanggung sendiri rasa malu Elfi
seperti janjiku, ia sudah banyak membantu Ibu. Bukankah jika sedang berada di
atas, kita diharuskan jangan lupa menjenguk yang di bawah?
Sejak pagi pertama bulan Februari lalu, kami semakin
bagai tanah sehabis dibanjiri lahar panas, tumbuh berbunga-bunga. Kami sering
menghabiskan waktu kami di kantor bersama-sama, kami juga sering menghabiskan
waktu kami via suara dan pesan instan, kami juga sering bersantap malam bersama
di luar. Dan akhir-akhir ini, menonton setiap minggu menjadi prioritas wajib
bagi kami. Bukan kekasih, lebih dari sahabat, itulah kami. Tak mau meminta
apa-apa darinya, yang ada di pikiranku hanya “ya sudah, jalani saja.”
Seperti tanaman buah anggur, rasa senang
menghabiskan waktu bersama itu merambat semakin lebar. Tak jarang orang
memanggilnya cinta. Ia datang kapan saja. Kekosongan hari tak terasa jika
berada yang setia menemani. Juga, karena ia adalah pribadi yang riang, aku
terkagum pada sosoknya yang melihat dunia dari sisi yang berbeda.
Hari-hari kami menjadi penuh kasih, itu mungkin
karena keyakinan kami yang berbeda.
Aku yang mewirit tasbih di setiap maghrib, ia yang berlutut di bawah salib setiap malam.
Aku yang menggesek sandalku setiap Jumat siang ke masjid, ia yang berpakaian rapih ke gereja setiap Minggu. Kami sama-sama saling mengingatkan sebelum kami berangkat masing-masing ke rumah ibadah kami.
Kami berdua bagai contoh toleransi antar agama di Indonesia.
Aku yang mewirit tasbih di setiap maghrib, ia yang berlutut di bawah salib setiap malam.
Aku yang menggesek sandalku setiap Jumat siang ke masjid, ia yang berpakaian rapih ke gereja setiap Minggu. Kami sama-sama saling mengingatkan sebelum kami berangkat masing-masing ke rumah ibadah kami.
Kami berdua bagai contoh toleransi antar agama di Indonesia.
Hingga suatu ketika, ia menanyakan hal yang tak aku
inginkan. Sambil menunggu di foodcourt untuk film yang akan kami tonton, The
Wolverine
“Rez? Boleh nanya?” tanyanya ia sambil meminum
frappucinonya
“Nanya mulu hobimu. Oke deh apaan?”
“Sampai kapan kamu bikin aku ngerasa nyaman kaya
gini?”
Diam sejenak, tak memperhatikannya selama beberapa
detik pertanyaan itu membuatku sedikit gugup.
“Emang ngerasa nyaman?” balikku bertanya
“Emang ngerasa nyaman?” balikku bertanya
“Bayi ini butuh ayah, Rez. Lo deketin gue terus, gue
ngga ada kesempatan untuk menghindar dari lo sementara lo belum siap jadi ayah.”
Ia berkata sambil merunduk merasa bersalah “juga..” imbuhnya “..kita tahu kita ngga
mungkin sama-sama sampai tua. Dari kecil gue diajarin untuk berperan dengan
keyakinan gue saat ini. Gue ngga mungkin mengkhianati ini.”
matanya menyorotku tajam, seakan aku adalah tersangka tindak pidana yang siap diberikan hukuman.
matanya menyorotku tajam, seakan aku adalah tersangka tindak pidana yang siap diberikan hukuman.
Hidup memang terkadang menyimpan misterinya sendiri,
kita adalah satu-satunya pemeran yang harus menemukan itu, ku genggam
tangannya. “Gue janji akan mengurus bayi itu, Elf. Sampai dia sudah cukup
mengerti dunia, dia akan paham.” Kutegakkan badanku dengan maksud meyakinkan
Elfi dengan omong kosongku itu “Atau kalau perlu,..”
“Kalau perlu apaan, Rez?” Elfi mengepalkan tangannya,
berdebar.
“Kalau perlu kita jadiin bayi itu anak kita.” Apa?! Maksud lo gue nikah sama elo, gitu
Rez? Nggak sudi! Sekiranya itu
adalah imajiku membayangkan reaksi Elfi saat ia mendengarkan kalimat
terakhirku.
“Kalau lo ngga keberatan, gue juga akan belajar
memahami elo, kok, Rez. Kita bisa belajar memahami sama-sama. Perbedaan itu...
biarlah Tuhan yang mengatur” tutur Elfi dengan senyum setengah miringnya. Aku
bagaikan anak burung setengah terbang yang siap untuk diterkam elang. Apa yang
aku katakan barusan?
Hari Jumat setelah itu, aku yang masih tergeletak di
kasurku dikagetkan dengan bunyi nada suara khas Line “ting-tong!” avatar akun
di tray yang kubuka mengingatkanku sosok perempuan berparas bule, nama line
tersebut adalah Sabrina Mesa Rahmawanti, lahir di Mesa, Arizona, AS, 29 tahun
silam. Bekas kekasih lama yang pergi. Satu dari sekian kekasih yang meninggalkanku
dengan alasan yang masuk akal. 2 kali ia menjalani akselerasi, di SMP tempatku
bersekolah, dan di SMA tempatku memulai perjalananku dengannya. Kami berpisah
pada saat pemadu bakat Universite Sorbonne dari Paris merekrutnya untuk studi
di sana, bagaimana tidak? Ia bisa
menggunakan bahasa Indonesia, Inggris, Perancis dan Belanda sekaligus.
‘Sabrina: Hey, Ted.’
Ia memanggilku seperti saat kelas 1 SMP, Teddy,
karena pipiku yang chubby. Kubalas dengan cepat chat itu
‘Reza: Hey Sab! Ho gat he me je?’
‘Sabruna: I’m fine. Thank you. How’s Jakarta? Aku
dengar teman-teman mengadakan reuni? Kamu ikut?’
‘Reza: Sure.. kamu sekarang di mana? Boleh lah kita
berjumpa.’
‘Sabrina: Dekat nih.. Lagi di Kolkata, kalau memang
jadi, saya akan mendarat di Indonesia’
Sengaja tak kubalas chatnya, hanya sekedar ingin
tahu tempat macam apa Kolkata itu lewat Google. Oh ternyata itu kota di India,
wikipedia menunjukan itu kota terpadat ketujuh di India.
‘Sabrina: Ted? Rumah kamu di mana? Minggu aku jemput
ya?’
Kuberi alamat rumahku, hari Minggu kami mengadakan reuni
SMP di daerah sekitar kemang.
Di hari Minggu, tepat jam sepuluh, mobil Merchedez
Benz S Class muncul di depan rumah. kulihat dari jendela ada sosok wanita
berkulit kuning langsat memakai dress sleveless dengan V-Neck biru berbahan
fabric yang pas dikenakan di tubuh kurcacinya
“Hai, Ted” sapanya dengan gigi serapih piano itu
Terakhir kali aku mendengar suara yang terdengar
dengan setengah napas di dada itu saat umurku 18 tahun. Sebelas tahun lalu!
Suara itu tak berubah, masih nyaman ketika di dengar. Sosoknya yang rupawan
membuat setiap mata yang memandang terkesima. Secara fisik dia memang menarik,
pupil mata birunya yang besar dan hidung yang mancung, dimahkotai rambut hitam bergelombang
yang lebat,
Kubalasnya dengan senyum dan sapa
“Hai. Long time not see.” You’re such a elegant woman.
Ia tampak tak memperhatikan panikku melihat wajahnya
yang lonjong “Udah siap?” tanyanya
Kupakai sepatuku, aku memintanya untuk menyetir
mobilnya supaya, yeah, you know, masa
disupirin wanita?
“Nginep di mana, Brin?” tanyaku basa-basi untuk
mempercerah suasana kami di dalam mobil.
“Di apartmennya temanku di cengkareng. Aku di sini
sebulan, Ted.”
“Oh ya? Kamu ngga pengin stay di sini aja?”
“Pengin sih, tapi kontrakku di Washington belum
habis, UNICEF ada acara di Asia musim panas ini.”
Aura makhluk hidup di sebelahku ini membuat darah
mengalir lebih cepat, aku mulai membanding-bandingkan aku yang bukan
siapa-siapa dengannya yang sudah berkeliling dunia. Yang lebih membuatku shock
lagi, kenapa jantungku berdebar seperti sebelas tahun lalu? Aromanya seperti
masih sama saat kami bertemu.
“Oh, hebat ya kamu.” Aku bersusah payah
mengendalikan gugupku di samping wanita kelas sosialita ini. Aku tak tahan
melihat setiap lekukan tubuh mungilnya yang membuat naluri lelakiku hilang.
Aku sengaja melewatkan jalan di depan SMAku bersama
saat dia, yang tak jauh dari rumahku. Dengan uluman tawaku, aku menunjukan SMA
kami
“Tuh Brin, SMA kita sekarang.” Dengan tubuh kaku-ku,
ku gerakkan getsure tanganku perlahan di kaca.
“Wah, sudah bagus ya.. ngga kaya jaman kita. Suck.
Hahaha.” Ia menertawai ocehannya sendiri “Kamu inget ngga taman di sebelahnya
pas kita main benteng-bentengan?”
“Inget dong” jawabku “pas ekskul pramuka? Hahaha!”
“Pas kita lari bareng terus jatuh, pas itu ngga ada
orang, kamu kiss aku, masih inget ngga?” katanya dengan nada ceria.
Sebelum aku melanjutkan ceritaku, aku ingin
bertanya, pernahkan kalian melihat video saat Amerika menjatuhkan bom di kota
Hiroshima? Yup, ledakan partikel-partikel kecilnya bisa terbang dari langit
sampai ke mukamu sampai dengan kecepatan 4000km per jam. Artinya lebih cepat
dari pesawat jet. Kira-kira seperti itu hal yang menyerang kepalaku seketika
pas ia menyatakan itu.
Dengan rasa bergetar yang kusembunikan di dalam
tubuhku, aku menjawab itu secara cool “Ya inget lah. Butuh seumur hidup buat
nge-lupain ciuman pertama..”
“Oh.. Hahaha. Eh iya, Ted. Pacar kamu siapa
sekarang?” tanyanya.
“Belum punya, Brin..” Goblok! Terus janjiku kepada Elfi bagaimana?
“Sebenernya” lanjutku “... aku udah nikah sih, tapi
dia udah pergi selamanya, semenjak itu aku agak bertengkar sama Tuhan soal
kisah asmaraku.”
“Oh ya, Ted? Kamu kok ngga ngabarin aku kalau kamu
nikah?”
“Ya kalau facebook atau twitter udah ada dari jaman
SMA aku sih pengin undang semua teman sih..” gurauku, mataku tersipu malu
melihat ia tersenyum menangapi gurauanku
“Dih kamu ya, hahaha.. Aku juga punya cerita sama
kaya kamu, Ted.”
“Kamu udah nikah?”
Pandangannya mengubah mimik wajahku menjadi
bersalah, ia bahkan bisa mengubah wajahnya seketika 180 derajat. “Twice,
actually.” Ia tersenyum dibalik wajahnya yang dipenuhi haru itu “Yang pertama
orang Jogja, Anaknya Teman Ayahku, dia udah kelar kerja di UNICEF, dia kena
diabetes, baru setahun kita nikah, dia udah pergi juga.”
“Maaf dengernya, yang kedua?”
“Dia orang Amerika, dia ngga bisa pegang komitmen
untuk berumah tangga. Hahaha.. ngapain dipertahanin.” Ia menutupi kesedihannya
dengan cara berbicaranya yang ceria.
Kupecahkan kekeruhan ruang semu kami di mobil, aku
menyalakan radio tabletnya. Seketika lagu The Beatles di putar di radio semakin
memperkeruh suasana di mobil
When
the broken-hearted people
Living in the world agree
There will be an answer, let it be
For though they may be parted
There is still a chance that they will see
There will be an answer, let it be
Living in the world agree
There will be an answer, let it be
For though they may be parted
There is still a chance that they will see
There will be an answer, let it be
Perhatianku tersita di raut wajah Sabrina yang
sendu. Aku tahu dia, sosok yang hebat dalam menyembunyikan sedih dibalik
suaranya yang nyaring. Walaupun tak lama kami mengenal, tapi cukup lama kami
untuk memahami satu sama lain. Bagaimana tidak, ia adalah mantan pacarku
sekaligus mantan kakak kelasku di sekolah yang berbeda. Ia pernah memenangkan
perhatianku dalam waktu yang tak singkat.
Satu jam lamanya kami menikmati perjalanan dan
cerita kami masing-masing. Tak jarang kami bercanda gurau tentang bagaimana
culunnya kami sebelas tahun lalu. Ia juga menunjukanku fotonya bersama trio mematikan
Barcelona, Messi, Neymar, serta Alexis Sanchez.
Jika mau, aku bisa mengkhianati Elfi,
menggantikannya dengan Sabrina. Tapi nalarku masih kuat, Sabrina adalah
sepenggal dari masa laluku yang tak lebihnya menjadi cerita manis.
Tiba kami di restauran bernama Penny Lane di daerah
Kemang, konsep bangunan Inggris yang nyeleneh dan sedikit kuno membuat ruangan
restauran terasa di Inggris. Interior kayu serta tema the Beatles menjadi
patokan utama restauran ini, namanya saja sudah kelihatan. Penny Lane, sebuah
lagu yang ditulis oleh Paul McCartney saat ia menunggu John Lennon
menghampirinya pada pertengahan 60-an.
Kami bertemu teman-teman lama kami saat SMP, ada
teman kami Eko, yang bernyanyi di panggung kecil di depan restaurant lagu The
Beatles, Blackbird. Kami disambut oleh teman kami, Cahaya di meja sebelah
“Lho?! Ted?! Lo sama siapa ini?!” tanyanya tersenga-senga.
“Hayo siapa?” Sabrina merepotkan Cahaya dengan
membuatnya semakin penasaran “Yang pernah ngelaporin kamu ke guru, gara-gara
kamu nyontek aku?”
“Yaampun Sabrina?!” mereka berdua berpelukan, melepas rindu satu sama lain.
Setelah empat belas tahun kita bepisah.
Di seberang bilik meja, aku didatangi sosok lelaki
perawakan besar dan jumbo, tak lain itu adalah Nizar, lelaki dengan tinggi 6
kaki sedang menggendong seorang bayi. Yang ada di pikiranku pertama kali adalah
“Yang lo bawa itu anak siapa Zar?!”
Ia cengengas-cengenges dengan gigi putihnya yang
besar-besar. Siapa yang sangka, Nizar yang dulu adalah preman sekolah, sekarang
menjadi polisi yang membawa bayi. Bayi itu tampak mengusap ilernya. Like father
with different daughter, bayi itu terlihat cantik seperti mamanya, Alinka.
Sosok Arab berwatak lembut ini dulu juga adalah teman SDku, ternyata dia satu
sekolah dengan Nizar saat SMA. Dunia memang sempit bagi sebagian orang.
Dari sini aku paham, jangan menilai dirimu dari
siapa, atau apa kamu sekarang. Sebab, kamu tak akan mengerti jadi apa kamu
tahun-tahun berikutnya. Everything has changed, everything will change.
Setelah tiga jam kami melepas rasa suka dan duka
saat kami berseragam putih biru, Brina
mengajakku untuk kembali. Ia masih ingin jalan-jalan di daerah Ibu Kota, ia
rindu di sini katanya.
Di mobil, mataku masih belum hengkang seratus persen
dari paras cantik Sabrina, ia menyita perhatianku. Entah, rasanya tak ada yang
berubah dari dia SMA, aku masih memendam benih-benih rasa suka untuk mengobrol
dengan si rambut hitam itu. Kami bercanda gurau di perjalanan, ia selalu asyik
untuk diajak ngobrol.
“Jadi kamu di rumah sendirian, Ted?” ia bertanya
Pertanyaan itu seketika membuatku bertanya-tanya, jangan-jangan Sabrina ini rampok? Pas udah
tahu rumahku kosong, nanti di sekap, gimana dong?
“Iya lah, Bapak sama Istri udah ngga ada, Ibu masih
di sel. Emang kenapa Brin?”
“Aku to the point aja kali ya, cabang UNICEF dari
apartmen temanku kan jauh, Ted. Cengkareng ke depok kan butuh dua jam. Nah aku bangun
aja baru jam 7, untuk tiga minggu ke depan, boleh ngga aku pakai kamar kosong
di rumahmu?”
Butiran-butiran oksigen di darahku seketika
meletup-letup, masa iya tinggal seatap sama Sabrina?
“Bukannya ngga boleh Brin..”
Ia memotong bahkan sebelum aku menjelaskan “Aku bisa
bayar berapapun yang kamu mau, and i promise, ngga ganggu kamu..” ia
merentangkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke atas.
Bingung tak karuan, perasaan random yang mengacak
acak otak seakan menyilet bagian-bagian otak. “gini, Brin. Aku tahu, budaya
luar memang bebas, tapi kita kan ini di Indonesia loh Brin. Nanti di kira ada
apa-apanya.”
“Kan cuma tiga minggu Ted. Lagian ngga ngapa-ngapain
kan.” Wajahnya memelas memintaku meng-iya-kan permitaannya “Yaudah kalau ngga
boleh, aku bisa cari hotel kok.” Ia tersenyum seakan ia tak kecewa.
Sepersekian menit, otakku mengubah pikirannya. Masa
sih hanya dua minggu di sini, ngga boleh? Iya juga, lagian kan ngga
ngapa-ngapain. Laki-laki macam apa kamu ini, Rez?
Sampai di rumahku berpagar merah muda, aku
memberanikan diri untuk jujur “Brin.. kalau kamu memang butuh, ngga apa kok,
aku ngga keberatan kamu tingga di sini.”
“Yakin?” matanya nakal, menyipit “Ngga keberatan?”
“I.. iya.. kan ngga ngapa-ngapain, cuma nginep.” Jelasku
bergetaran.
“Iya udah deh, aku kemasi barang dulu di apartmen. Nanti
malam aku move ke sini. Aku janji, ada bayarannya kok.” Ia merangkulku dengan
enteng, lalu ia masuk ke mobil lau pergi.
Tak lama setelah Sabrina pergi dari rumah untuk
mengambil barangnya, Elfi datang ke rumah. Kami memulai untuk membicarakan
tentang masa depan. Tak lain, kami sudah merencanakan masa depan kami. Cinta memang
sekeras itu, tak peduli dengan siapa kamu sekarang, tapi yang mengikat dirimu ialah
orang yang selalu ada untukmu. Kami tertawa sendiri saat membicarakan apa yang
kami lakukan seusai kami berumah tangga. Aku mendengan jabang bayinya yang
sudah 7 bulan itu, ia geli saat kami mulai memilih nama untuk bayi ini.
Jam sudah menunjukan saat magrib, Elfi harus beristirahat untuk besok dia bekerja.
Jam sudah menunjukan saat magrib, Elfi harus beristirahat untuk besok dia bekerja.
Entah malaikat keberuntungan apa yang kudapat, mobil
Sabrina datang setelah taksi Elfi pergi. Sabrina datang membawa sekotak pizza
untuk kami makan malam, seakan tak tertarik dengan pizza itu, yang ada di
pikiranku adalah bagaimana caranya untuk
memisahkan Elfi dan Sabrina supaya ngga ketemu?
Sabrina pun sering menjadi teman ngobrolku sepulang
kerja dan saat kerja, walaupun aku di kamtor, ia yang sedang di UNICEF sering
berkomunikasi denganku. Awalnya yang kami bahas hanyalah sekedar pekerjaan,
tapi seiring kembali dekatnya kami, kami terlena untuk membahas kehidupan
masing-masing.
Kami jadi sering berbagi pekerjaan rumah bersama, semakin hari kami semakin mendalami karakter dan sifat masing-masing, terkadang kami juga sering menjalankan ibadah bersama. Lama-kelamaan, aku semakin merasa nyaman. Ada beberapa hal yang membuatku merasa bahagia dari sosok Sabrina yang tak kudapatkan di dalam Elfi.
Kami jadi sering berbagi pekerjaan rumah bersama, semakin hari kami semakin mendalami karakter dan sifat masing-masing, terkadang kami juga sering menjalankan ibadah bersama. Lama-kelamaan, aku semakin merasa nyaman. Ada beberapa hal yang membuatku merasa bahagia dari sosok Sabrina yang tak kudapatkan di dalam Elfi.
Tak bisa dipungkiri, rasa nyaman bersama Elfi kandas
ketika hari-hariku digantikan oleh Sabrina. Perlahan sosok Elfi pudar karena
rasa nyaman ini. Tak sering aku bisa membuat janji oleh Elfi karena alasan
capek, padahal aku ingin menghabiskan waktu bersama Sabrina. Pada hari Minggu,
aku lebih ingat untuk mengingatkan Sabrina mengubah jadwal absen di kantor
daripada mengingatkan Elfi untuk ke gereja. Di saat itu pula, kami
mengungkapkan rasa bahagia bisa memiliki bersama Sabrina. Kami berjanji untuk
bisa melanjutkan cinta lama yang telah redup di masa sekolah untuk sekarang. Aku
juga berpikir, lebih baik mengorbankan yang beda keyakinan daripada harus
melepas yang beda negara.
Di saat malam Sabtu, sebelum Sabrina kembali ke negeri
paman Sam, Elfi menelponku. Aku ingin tak mengangkatnya, tapi ini sudah
kesekian kalinya Elfi menelpon dan tak ku gubris.
“Halo, Rez? Mau nonton ngga? Ada film 300 Rise of an
Empire tuh. Kamu, kan, udah nungguin sekuelnya itu sejak 2006?”
“Aduh, aku agak ngga enak badan Elf. Not today deh
ya. Maaf.”
“Oh, ya udah deh, selamat istirahat ya ganteng. I
love you!”
Ternyata Elfi masih memerhatikanku, walaupun
akhir-akhir ini tak sering kuperhatikan, ia sudah menghabiskan beberapa
waktunya hanya untuk sekedar ingin tahu kabarku, orang yang akhir-akhir serin
kunomer duakan tak letihnya masih menginginkanku.
Tapi biarlah. Ku tutup ponselku, lalu aku keluar
dari kamar mandi Gandaria City. Kudekap tangan Sabrina yang menungguku di luar,
kami bersiap menonton film yang sudah aku tunggu kelanjutannya semenjak 2006,
300 Rise of Empire.
Tanpa aku sadari, aku sudah mendua. Aku hanya
bingung, bagaimana saat kedua wanita itu saat membutuhkanku? Aku terpaksa
mengesampingkan Elfi. Biarlah ia kulepas, toh, rahimnya itu juga bukan janin
dariku.
Selesai menonton film idamanku sejak 7 tahun lalu itu, kami pulang ke rumahku, kami letih seharian bersenang-senang. Sampai di rumah, Sabrina duduk di sofa ruang tamu, menyelonjorkan kakinya yang mungil di sofa dan menyetel televisi. Kutemani Sabrina dengan membawa segelas teh untuk kami.
Selesai menonton film idamanku sejak 7 tahun lalu itu, kami pulang ke rumahku, kami letih seharian bersenang-senang. Sampai di rumah, Sabrina duduk di sofa ruang tamu, menyelonjorkan kakinya yang mungil di sofa dan menyetel televisi. Kutemani Sabrina dengan membawa segelas teh untuk kami.
Dengan raut wajah yang puas setelah seharian
kutemani ia pergi, ia mengucapkan
“Makasih, Ted. Aku ngga ngerti harus gimana.”
“Kamu itu bilang makasih kaya sama siapa aja.
Hahah..”
“Aku jadi pengin stay di Indonesia terus..” katanya
“Ya stay aja kali Sab.”
“Iyah, aku bilang bosku besok deh.” Ia tersenyum,
dengan nada mendesah ia bertanya “tapi pertama aku harus bayar tempat ini
dulu..”
Bulu kudukku merinding mendengar nadanya yang aneh
dan tak seperti biasa “ngga usah, Sab. Anggap aja rumah sendiri.”
Ia memincingkan matanya “kalau ngga boleh aku bayar
pakai material, gimana kalau aku bayar pake kepuasan hasrat..” ia menggenggam
pangkal pahaku.
Seumur hidup aku tak pernah merasakan getaran dari
debar jantungku yang memicunya sangat cepat, mengguncang beberapa syaraf untuk
bertahan mendalami rasa ini. Salah tingkahku membuat Sabrina semakin agresif
mendekat, ini bukan sekedar kontak fisik biasa, jiwaku tergantung di antara
logika dan perasaan. Aku harus
meninggalkan yang satunya, hanya demi kepuasan semata dari yang ini? Ah, tak
masalah...
Ia memindahkan bagian tubuh yang biasa ia pakai
untuk duduk ke antara paha kiri dan paha
kananku. Perlahan, dengan pelan, bagian merah yang berada di antara hidung dan
dagu kami bersentuhan, kurasakan lembab di antara kedua bibir seksinya.
“Brin..” cegahku
“Pssst” dia malah menekan kembali kepalanya kepalaku
Ku angkat sekuat tenaga badannya selagi ia menikmati
bibirku, kusunggi badannya yang mungil itu ke kamarku di atas. Kubanting badannya
ke kasurku yang pegas.
Bagai seekor capung yang terperangkap di jaring laba-labaku, ia tak melawan ketika aku menaiki tubuhnya,
Bagai seekor capung yang terperangkap di jaring laba-labaku, ia tak melawan ketika aku menaiki tubuhnya,
Akan
kuberi seluruhnya, kepadanya.
Sentuhan lidahku bagai daun aloe vera yang
membuatnya menutup mata keasyikan, kubuka kancing kemeja ketat tanpa lengannya,
tak menunggu lama, kurasakan bagian-bagian vital di sekitar tubuhnya,
menyangkup segalanya, kami melepas sandang kami masing-masing, merasakan
gejolak rasa tertinggi di dalam tubuh Brina. Hingga saat kami tak mengenakan
apapun, kurasakan kenikmatan wanita ini perlahan, tak ada yang bisa
menggantikan rasa nikmat ini
Aku
sudah lama tak melakukan ini, biarlah aku menanggung dosa terindah ini.
Desah-desah dan teriakan kecilnya membuat tubuhku
hangat di ruangan yang bersuhu 26 derajat celsius itu, hinga kasur kami
tergoyang menggesekkan bagian tumpuan antara mur dan besi. Terus kunikmati rasa
terindah ini, tak khayalnya aku bagaikan lelaki gagah yang sedah diberi kelinci
dan alat pemotongnya.
Pintu di dinding kamarku membunyikan suara, dari mana ada orang di sini? Setahuku, hanya
ada satu orang yang bisa masuk kesini tanpa sepengetahuanku karena kuberi tahu
dia letak kuncinya masuk ke rumah sini.
Kami berdua tercekam dengan rasa gugup
masing-masing. Kulihat sosok yang berdiri di depan itu, dia adalah satu-satunya
orang yang mengetahui letak kunci cadangan rumah ini. Tak lain, itu Elfi.
Ia mengenakan blues merah delima yang
mempertontonkan tonjolan perutnya, menentent tas plastik yang berisi sesuatu.
Sabrina pun tercengak gugup, bukan karena dia sedang menjadi selingkuhanku,
melainkan karena ia tak memakai apapun kecuali stocking.
Aku yang berharap sekarang ini juga ada kiriman
nuklir dari Kore untuk menghancurkan rumahku, membuka kebuntuan itu “Elfi?! Kok
ngga bilang mau ke sini?” sambil memakai celana jeansku yang tergeletak di
lantak, Sabrina hanya menutupi badannya dengan bantal besarku.
“Hehe.. aku cuma mau ngasih martabak buat kamu, kan
enak kalau lagi sakit makan yang anget-anget.” Jawab Elfi sambil meletakkan
bungkusan itu di meja dekat rak bajuku.
“Kamu siapa?!” tanya Sabrina kikuk ”Lancang banget
masuk rumah orang ngga pakai ketuk pintu?” Sabrina berkata kepadaku menanyai
Elfi yang sedang tersenyum itu
“Aku sahabatnya Reza. Salam kenal.” Aku shock
mendengar Elfi yang mengtakan ‘Sahabat’ ke Sabrina “yaudah, lanjutin deh have
fun ya.” Ia pergi menuruni anak tangga satu persatu
Aku yang habis memakaai penuh celana jenasku, lari
keluar kamar, Elfi dengan cepat lari ke luar rumah. tak sengaja aku menginjak
tumpahan teh yang baru kubuat tadi di bawah, langkahku tak sampai untuk
melewatinya, aku terpaksa menginjak cairan itu, badanku tergelincir di antara
jarak Elfi yang tinggal beberapa meter. Tapi, kepalaku terbentur lantai
terlebih dahulu. Pikiranku melaju cepat pergi, meninggalkan tubuhku yang di
ubin.
Kuterjaga oleh siulan merdu di ruangan sebelah,
tepat jam 2 dini hari. Aku bagaikan Zombie yang habis memakan korban. Entah apa
yang aku harus lakukan sedini ini. Kugerakkan seluruh tubuhku untuk sepenuhnya
keluar dari kasur yang nyaman. Sinar lampu kuning ruang sebelah merajam mataku
yang masih belum terbiasa terbebani oleh uparan sinar itu. Kulihat wanita
jenjang memakai tank-top putih dan celana panjang tersedu memainkan biolanya
setelah melihatku. Ia melepaskan dagu dari biolanya untuk menyapaku
“Kok bangun?” ia tersenyum manis “Maaf ya udah buat
kamu bangun.”
Aku menggelengkan kepalaku lalu berkata “Hehehe.. Cuma
mimpi buruk kok.”
Arry menaruh biolanya, menghampiriku perlahan,
mengecup bibirku lalu berkata “Tidur lagi gih, jam sepuluh pesawatnya berangkat
loh. Emang mau kamu ke Jepang terlambat?” ia menuntunku kembali ke kamarku.
Credit:
Photo 1: Took it from Google
Photo 2: Took it from Google
a bit of scene took from @shitlicious' novel 'Relationshit'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar