Rasanya cermin tak bisa berbohong, aku terus
berharap agar cermin memantulkan refleksi diriku yang tak seperti ini. Aku
adalah mantan seorang model sampul profesional majalah remaja, karirku terus
beranjak setelah aku lulus SMA, dua tahun aku menjalani dunia modeling gadget,
tas ber-merk, sepatu mahal, segalanya bisa aku beli. Tapi tidak dengan
keluargaku yang sudah tiada, sekarang aku hanya tinggal dengan adik perempuanku
seorang.
Aku menelpon Tante Cika...
Nada sambung mulai berbunyi.
Klek! Tante Cika mengangkat telepon itu.
“Sudah mutusin kamu, Je?” ia langsung spontan
mengucapkan kalimat itu.
“Sudah tante, aku mau pekerjaan itu.” Jawabku penuh
rasa menyesal.
“Sip, aku sudah punya klien. Kamu dateng ke sini
sekarang.”
Tut.. Tut.. Tut.. telepon itu putus sebelum aku
menutupnya.
Tok tok tok...
Pintu rumahku berbunyi, aku melihat dari jendela,
ternyata itu Shinta, sahabatku.
“Lo udah yakin ngga cari pekerjaan yang lain, Je?”
tanyanya.
“Sudah, Shin, sampai kapan Adek gue nunggu gue dapet
kerja sementara dia terus kelaperan?” jawabku.
“Coba ngelamar kerja lagi dong, Je.” Katanya dengan
nada memaksa
“Gue udah coba, coba, coba terus coba sampai sekarang
gue masih belum dapet kerja yang tetap, Shinta. Gue capek.” aku duduk di sofa
dekat pintu.
“Kalau gitu coba lebih keras, Je!” bentaknya
“Tapi lo ngga tahu, Shin!” bentakku balik.
“Gue ngga tahu apa, Je?!”
“Lo ngga pernah tahu rasanya terus coba sesuatu dan
lo ngga berhasil, Shin! Soalnya lo dilahirin sempurna! Dari keluarga yang kaya!
Dan gue?! Dari kecil gue ngga pernah hidup enak, Shinta. Dari kecil gue udah
ngga punya ayah! Ibu gue meninggal pas gue masih SMP! Dan gue iri karena lo
sempurna!”
“Lo serius ngomong gitu?” ia menyekat ocehanku.
“Orang kaya lo ngga pernah tahu rasanya berjuang, Shin!
Karena lo ngga bisa ngerasain apa-apa, orang seperti lo ngga pernah susah, Shin!”
Ia masuk ke ruang tamuku yang kecil. Mengangkat
kerah kemejaku, sampai aku berdiri tertatih dari sofa dan mendekatkan wajahnya
ke arahku “Terus lo pikir cuma lo yang menderita di dunia ini, Je?! Gue
ceritain ke lo gimana rasanya, ngga pernah dapet perhatian orang tua walau
kedua orang tua gue masih ada. Mereka lebih mentingin apa lah, kerjaan lah,
bangsat lah.” Ia melepas kerahku, badanku terlepas dari cengkramannya, terjatuh
ke sofa kumuhku.
Ia duduk di sebelahku, mengambil nafas panjang, ia berkata
“Gue setiap hari bangun dan mereka sudah pergi ninggalin gue. Gue bangun
sendirian, dan gue berharap mereka ada. Tapi apa? Gue iri sama anak-anak lain
yang masih punya nyokap bokap. Gue iri sama lo. Karena lo masih sempat cium
tangan nyokap lo sebelum berangkat sekolah, Je. Tapi kenapa gue ngga bisa?! Dan
asal lo tahu, setiap hari gue minta Tuhan supaya mereka cepet-cepet ngga ada,
supaya gue bisa ambil harta mereka dan bebas pakai harta mereka.” ia berteriak
dengan mata berkaca-kaca, melukiskan perasaan sedih yang tak terbendung.
“Shinta...” air mataku tak terbendung “Sorry, Shinta.”
Aku memeluk tubuhnya saat itu juga. “Gue emang ngga pernah lebih baik.”
“Ya udah, Je. Kalau itu semua keputusan lo. Gue udah
coba bantu lo secara material tapi ngga mau.” Ia melepaskan pelukanku dan
berdiri dari sofa “Udah hampir Isya, hati-hati ya lo di luar sana.”
Aku tersenyum dengan penuh air mata, “Gue ngga mau
dibantu, gue masih punya badan yang bisa bekerja. Makasih, Shinta.” Ucapku.
Shinta adalah sosok yang selalu mengansurasikan
bahagianya untukku, aku sedikit menyesal aku telah mengecewakannya. Mulai bersiap
dengan kemeja pink yang pas di badanku, celana hitam panjang, dan sepatu heels
tinggi. Memakai wig agar aku terlihat menarik. Badanku sudah wangi, aku siap
melayani tamu.
Sampai di ‘markas’ Tante Cika, jam tanganku
menunjukan pukul delapan malam. Kulihat anak buah Tante Cika duduk berjejer di
sofa panjang. Aku masuk ke ruangan yang bercahayakan remang itu, lampu yang
kurang terang melengkapi tegangnya menunggu giliranku.
Sepasang sejoli yang pasti belum terikat janji suci
keluar dari salah satu kamar itu, Tante Cika dengan semangatnya menerima
selembar amplop yang cukup tebal. Laki-laki hidung belang itu melihat ke
arahku. Aku menundukkan kepala, menutupi bagian kanan yang rambutnya panjang
agar lukaku tak terlihat.
Pegawai markas itu masuk ke kamar dengan membawa
sepasang sprei putih yang tampaknya baru di cuci. Setelah beeberapa menit, ia
pergi meninggalkan kamar itu dengan membawa sprei yang kusut.
“Je.. giliranmu sayang!” teriak Tante Cika semangat
sambil mengipasi wajahnya. Aku pun masuk ke kamar yang spreinya baru di ganti
itu. Aku menutup pintu dan melepas sepatuku, duduk di kasur yang tingginya
selututku.
Tante Cika membuka pintu, ia menggandeng sesosok
Pria berkulit putih nan gagah “kenalan dulu, baru deh..” perintah Tante Cika ke
Pria itu, ia kembali bicara “pssst, jangan sampai kelewatan batas ya. Hihihi.”
“Siap tante!” ujar Pria rupawan itu.
Pria itu mengunci pintu tebal yang baru di tutup
oleh Tante Cika, membuka jaket kulitnya, menuju ke arahku dengan perlahan. Ia
duduk di sebelahku. Aku hanya bisa terdiam dengan tatapan kosong ke bawah dan
berharap agar pekerjaan ini tak menyiksaku. Pria itu memejamkan matanya dan
mendekatkan wajahnya kearahku, mataku meratapi wajahnya, bergemetar luar biasa,
kucoba memejamkan mata. Pipi kananku terasa terdorong oleh bibir tipis pria
itu. Perlahan aku membuka mata dan menatap wajah tampannya.
“C..c..cuma itu?” aku bilang.
“Hahaha.. mau mu gimana?” Katanya.
Ini jelas tak masuk akal, ia membayar mahal dan
menyewa tubuhku hanya untuk ini? Pikirku.
“Aku ngga seperti yang kamu pikirin.” Imbuhnya “aku
ngelakuin semua ini hanya sebatas pengin cari temen. Mau kan nemenin?
“M..m..mau kok.” Jawabku bergemetar. Aku terus memperhatikan
alisnya yang tebal dan matanya yang tajam. Bagaimana mungkin Pria se-eksotis
ini tidak punya teman?
“Namamu siapa?” tanyanya.
“Jellie.”
“Jellie? Nama panjangnya?” tanyanya penasaran dengan
tawa ringan.
“Jellie. Jellie aja. K..kamu sendiri?”
“Aku Edwin.
Orang yang bisa selamatin kamu dari pekerjaan angker ini.” Jelasnya dan
menjabatkan tangannya ke arahku.
Ia melepas wig ku, ia membelah rambutku bagian kanan
yang menutupi wajah. Ia memiringkan kepalanya, tampak penasaran dengan bekas luka di wajah
bagian kananku. “Kamu punya gen yang cantik.” Ujarnya. “Boleh aku denger cerita
dibalik luka itu?”
“Ceritanya panjang.” Jawabku.
“Aku suka cerita panjang.”
Kuhembuskan nafas panjangku, dan aku memulai cerita
“Mungkin karma itu bener adanya. Saat itu Kakak-ku, Cerca, nganter ke
perpisahan SMA, rasanya malu banget punya kakak kaya gitu. Kakak punya penyakit
getah bening, penyakit itu bikin pundak beliau membesar seperti daging tumbuh. Teman-teman
se-kelasku lihat kakak ku, ngga tau kenapa aku merasa malu dan terus mencaci
beliau karena sudah buat aku malu.”
Ia tampak serius memperhatikan ocehanku “Sekarang di
mana beliau?” kata Edwin.
“Enam bulan lalu, pas aku pulang dari pemotretan,
aku..”
“Kamu model?” potongnya “Ohh, sorry. Okay lanjutin.”
“...minta jemput beliau karena waktu itu udah
terlalu malem, aku takut kalau sendiri. Setelah dijemput, dia ngebut kenceng
banget. And, somehow, di depan ada truk lewat. Rem depannya di tarik mendadak.
Sepeda motor tergelincir, ngga tahu kemana sepeda motor kami, tapi Kak Cerca
udah masuk ke bawah truk itu. Dan aku, terus diingetin kejadian itu setiap kali
aku lihat luka ini.”
“I’m sorry for
your sister.” Ungkapnya.
“He’s a man.
Dan aku egois banget, dia kerja cuma untuk makan kami. Sedangkan aku jadi model
buat kebutuhanku. Setelah luka ini, aku ngga bisa ikut model cover lagi.
Agensiku butuh banyak ekspresi untuk jadi model. Sedangkan aku, semenjak
kejadian itu, senyum aja susah.”
“Pelangi ngga dateng di saat ngga ada hujan, kan,
Je. Tuhan juga memperlakukan hukum itu ke hidup.” Katanya dengan tangan yang
mengacak-ngacak rambutku “Aku ngga banyak butuh ekspresi untuk pekerjaanku.
Mungkin kita harus tuker kerjaan, ya” candanya, ia memikirkan sesuatu “Eh tapi
ngga seru dong, kalau kamu yang ke lokalisasi buat beli aku terus cuma diajak
ngomong”
“Hahaha... sial.
”
“Awas kamu ketawa.”
“Kamu ngga banyak bicara, ya.” Kataku.
“Ya, begitulah.” Jawabnya.
“Okay.” Jawabku dengan senyuman “Kamu sudah banyak
dengar ceritaku. Aku emang banyak bicara, semua orang bilang gitu. Kamu ngga
bilang gitu juga?”
“Hmm.. ngga deh.”
Kami saling menatap tanpa mengucapkan sepatah
katapun hampir semenit.
“Malem ini keren banget ya. Baru pertama kali dapet
klien, dia ngga ngajak ngapa-ngapain. Pergi yuk dari sini, aku pengin ngajak
kamu.” Kataku.
“I’m your
first client?” tanyanya penasaran “so
you’re still..”
“Psst. Okay,
let’s go out there.”
Ia membayar Tante Cika, kami langsung pergi
meninggalkan lokalisasi tersebut. Ia mengendarai Volvo lawas miliknya, aku
melihat jas laboratorium berwarna putih di gantung di jok tengah. Dengan
penasaran aku bertanya.
“Jadi kamu dokter?” tanyaku.
“Ya begitulah. Tapi entahlah, hidupku itu seperti
piramida, semakin ke atas semakin sedikit orang yang mau nemenin aku.” Ia terus
fokus menyetir “Jadi mau ke mana kita? Resto?”
“Hmm terlalu mahal.” Jawabku.
“Taman bermain? Lapangan golf?“
“Pfft. Hahaha.. nyetir aja dulu.”
“Aku kira kamu banyak bicara.”
“Dan aku kira juga kamu ngga banyak bicara.”
“Jelas. Tapi di mobil ada orang yang baru aku kenal,
jadi ngga mungkin diem aja.”
Malam semakin pekat, Ed terus mengendarai mobilnya
dengan tuntunanku. Terus menuju malam yang semakin gulita, ditemani suara radio
yang semakin hilang sinyalnya karena kami menuju atas bungkin untuk melihat
bintang. Kami turun dari mobilnya dan membuka kap belakang mobil.
“Sejak kapan dokter bawaannya gitar?” tanyaku
sembari melihat gitar yang tersanding di belakang.
“Semenjak orang tuaku maksa aku jadi dokter.”
Jawabnya.
“Boleh aku mainin?” tanpa menunggu jawabannya, aku
mengambil gitar itu.
Tangan kiriku menggenggam kunci F, kemudian aku
mulai bernyanyi
“Look at the stars
Look how they shine for you
And everything you do
Yeah, they were all yellow
Look how they shine for you
And everything you do
Yeah, they were all yellow
I came along
I wrote a song for you
And all the things you do
And it was called 'Yellow'
I wrote a song for you
And all the things you do
And it was called 'Yellow'
So then I took my turn
Oh what a thing to have done
And it was all yellow”
Oh what a thing to have done
And it was all yellow”
Kuhentikan
nyanyianku, membiarkan sisa deringan senar gitar masih berdering
“Kok ngga
dilanjutin?” Ed berkata
“Habis ini
liriknya itu ‘your skin and bones, turn
into to something beautiful’ kamu mau di bilang cantik?”
“Hahaha.
Sini biar aku yang lanjutin.” Ia merebut gitar merahnya yang aku genggam
Tangannya
mantap menggenggam gitar itu kemudian mulai bernyanyi
“Your skin,
oh yeah, your skin and bones
Turn it to, to something beautiful
Do you know? You know I love you so
You know I love you so”
Turn it to, to something beautiful
Do you know? You know I love you so
You know I love you so”
“But you can’t.” Kataku
“I can’t what?!”
“You can’t love me, we just met.”
“Dude it’s just song.”
“Hahaha...” aku diam sejenak “Makasih Ed, ini malam pertama aku ngga
sendirian.”
“You’re not alone. Not anymore.” Ia memelukku perlahan.
Sampai rumahku tepat jam dua belas tengah malam, kami duduk di sofa ruang
tamu. Ia memintaku mengambilkan segelas air.
“Nginap sini aja, udah telat buat pulang kan?” tanyaku
“Ahaha.. ngga ah. Ngga enak sama adikmu.” Ia menyenderkan badannya.
Aku pun juga menyenderkan badan di sofa itu. Perlahan menyenderkan kepalaku
di bahunya, terasa nyaman sekali. Sungguh malam yang indah untuk dilalui, saat
demi saat, kurangkul lehernya dengan nyenyak. Perlahan sekali aku dibuat
terpikat oleh aroma parfum yang kuat. Ku-endus lehernya, dan beralih kakiku ke
atasnya. Menatap matanya dari jarak hanya beberapa inchi. Memejamkannya dan
terus menempelkan hidungku di hidungnya. Denyut nadi terasa begitu cepat.
Tiba-tiba ia menjauh.
“Mengingat kamu itu anak baik-baik, maaf aku ngga bisa.” Katanya
“Ngga apa, aku yang mau, kok.” Jawabku.
“Maaf sebesar-besarnya, Je.” Ia menggendong tubuhku, meletakkanku di sofa
panjang itu “besok-besok mau nemenin lagi, kan? Aku jemput, ya. Ini untuk hari
ini.” Ia memberi ku setumpuk tebal seratus ribu dari dompetnya. “See you,
Tiny.”
Setelah beberapa bulan tak menerima lembaran bernilai itu, akhirnya aku
bisa makan layak dengan ini. Yang membuatku terus befpikir adalah, apa salah
aku terus menggantungkan Ed untuk hidupku?
Lusa telah tiba, aku membeli sarapan untuk adikku satu-satunya sebelum ia
berangkat sekolah. Itu pagi pertama yang sangat normal. Aku selalu menyayangi
adikku semenjak Kak Cerca meninggalkan kami. Aku selalu mendekapnya dengan
bagian depan tubuhku yang lembut dan tak memperlihatkan bagian belakangku yang
sekeras karang, mengingat aku bekerja sebagai asisten rumah tangga harian yang
bayarannya bahkan tak cukup untuk mengenyangkan perut kami berdua selama ini.
Sore hari menunjukan pekatnya mendung di awan, Ed menjemputku dengan
mobilnya. Menawan dengan menggunakan Kemeja dan Jeans dan sepatu retro cokelat
ala 90an. Ed adalah dokter terkeren yang pernah ku-kenal.
“Hai Tiny.” Sapanya setelah aku masuk kemobilnya.
“Hai Dok. Mau ke mana hari ini?” tanyaku.
“Tergantung, ke mana Tiny minta. Eh boleh tanya ngga?”
“Hahaha... Jalan dulu aja deh. Boleh, kok.”
“Punya mantan ngga?”
Pupil mataku melebar, pertanyaan yang sangat enggan untuk ku jawab.
“Kalau ngga mau jawab ngga apa, kok. Jangan bete gitu lah.” Jelasnya.
“Ada, Ed. Sekarang dia jadi angkatan udara.” Jawabku dengan ramah
“Oh, yaudah sih.” Ia mengerti, aku enggan menjawab, ia langsung mengalihkan
pembicaraan “ Eh mau denger joke tentang angkatan udara ngga? Tapi jangan
ketawa.”
“Kalau sampai aku ngga ketawa sungguhan, aku gigit kamu, ya?”
“Beres. Ehm gini... Angkatan udara Indonesia itu maju lho.
“Kok bisa?” tanyaku penasaran.
“Pas Angkatan udara Indonesia ke Amerika, mereka pasti tergagap-gagap dan
bilang ‘Keren!’ karena pesawatnya Amerika keren. Tapi ngerti ngga apa yang
Angkatan udara Amerika pikirin kalau mereka datang ke Indonesia? Mereka pasti
bilang ‘Wih, keren. Pesawat jaman eyangku masih ada!’ ”
Tulang pipiku seakan tertarik tak bisa kembali karena ketawaku yang terlalu
berlebihan karena mendengar leluconnya. Hampir satu jam kami habiskan
berbincang tentang hidup kami di mobil. Ke mana pun arah pembicaraan kami, ia
selalu dapat me-respon omonganku dengan baik. Ia banyak memenangkan
perhatianku. Kami seakan adalah teman yang sudah lama mengenal.
Tiba kami di Restaurant daerah Jakarta Barat. Itu restoran yang cukup
lumrah bagi orang-orang yang mempunyai mobil semacam Porsche. Ternyata itu
reuni SMA Ed. Ia menempelkan sikunya ke siku-ku tanpa pernah ia sedikitpun
menyentuhku, ia begitu menghormatiku. Ed menyapa seseorang ber-rambut ikal setelah
sampai ke mejanya. Aku dikenalkan teman Ed itu, namanya Giva, dia asli orang
Surabaya, kami berbincang cukup lama selagi menunggu teman Ed lainnya yang
datang. Aku merasa sungkan dengan Ed, karena setiap Giva berbicara, ia selalu
menanyakan soal diriku. Sepulang dari
restaurant itu aku diantar ke rumah dan diberi lembaran bernilai atas tugasku
untuk menemainya malam ini.
Ia terus memintaku sampai hari-hari
berikutnya. Ia adalah sosok penyayang, hanya saja mungkin ia tak punya
seseorang untuk menunjukan sifat penyayangnya itu. Ia melakukan apapun untukku,
pergi keluar kota, hanya sekedar nonton di bioskop, belanja buku novel. Terkadang
ia jugamembawa Giva pergi bersama kami untuk meramaikan suasana. Dan aku rasa
Tuhan pun tidak sewenang-wenang kepada umatnya, ia menemukan kami di tempat
yang tak terduga.
Semakin lama, ini sungguh terasa aneh, aku tidak memandang ini sebagai
pekerjaan, aku memandang ini sebagai kebiasaan. Aku tidak merasa bekerja, aku
merasa menemani. Terkadang aku juga hanya ingin menemani dirinya tanpa
mengharapkan apapun. Aku rasa Ed sungguh memenangkanku, aku benci mengakuinya
tapi aku sangat mencintainya. Bukan cinta karena uangnya, melainkan apa yang
tidak bisa di beli dengan uang, yaitu moral, karakter, style, dan selera. Dia
memang ‘menyewa’ diriku, tapi ia tahu bagaimana bersikap dan memperlakukanku. Aku
telah banyak kehilangan orang yang aku sayangi, aku harap aku juga tidak jatuh
ke seseorang yang salah.
Sampai di mana sudah menginjak dua belas bulan kami mengenal dan memaklumi
satu sama lain, aku mengenal keluarganya dengan baik. Cinta mengajariku
mendefinisikan dua hal dalam hidup, yaitu harapan, sebagai hal yang tak pernah usai
untuk meneruskan hidup dan rumah, di mana aku merasa nyaman dan itu bisa aku
temukan dalam diri Ed. Sebagaimana rasa sayang itu tumbuh, yaitu dengan cara
kebiasaan.
“Ed, tahu ngga kenapa bulan itu ngikutin kita terus?” aku bertanya di dalam
mobil sembari ia mengajakku pergi.
“Ngga tau. Emang kenapa?” jawabnya
“Kamu kan dokter, masa ngga tau?” candaku
“Ohh, aku kira kamu mau gombalin aku. Hahaha. Ya karena dia terlalu tinggi,
jadi mustahil untuk ngga kelihatan.” Jelasnya
“Boleh tanya lagi?”
“Boleh, Jellie.”
“Waktu itu kenapa kamu pengin keluarin aku dari tempat itu, Ed?”
Ia diam sejenak dengan tatapan kosong ke jalan, menepikan mobilnya di
kesepian lalu ia berkata “Karena nge-lihat kamu di tempat seperti itu adalah
kekejian untuk aku.” Ia memalingkan pandagannya kearahku “Sebagai dokter.
Sebagai manusia.”
“Tapi kenapa harus aku?” aku bilang.
“Karena aku tau kamu ngga benar-benar mau ngelakuin pekerjaan itu. Mungkin
aku harus akui sekarang, aku tau kamu itu model majalah. Temanku kerja di
majalah itu, kamu cantik pakai dress putih untuk iklan sabun mandi. Itu yang
aku tanyain ke temanku SMA, dia bilang dia tau kamu,. Suatu ketika, kami udah
lama ngga ketemu. Terus dia tiba-tiba telpon aku. Dia bilang dia minta tolong.
Dia minta supaya aku take care kamu, sebagai sahabatnya dia. Dia tau aku punya
cukup uang dan dari SMA aku kesepian. Sampai akhirnya kita ketemu pada saat
itu.”
“Kamu bilang sahabatku, Ed?”
“Iya, Shinta.”
Jantungku memompa darah cepat ke otakku, mendengar nama Shinta aku tak
berpatah satu katapun. Shinta selama ini tahu keberadaan Ed? Aku tak bisa menjelaskan bagaimana aku harus
bereaksi ketika perasaan haru dan sedih menyergapku.
“Tapi aku kebablasan, Je.” Lanjutnya “Aku niatnya cuma bantuin kamu, tapi
malah semakin ke sini semakin suka kamu.”
Mataku semakin menatap kosong ke wajahnya, entah apa yang aku lihat saat
itu “Kamu suka aku, Ed?” jawabku dengan nada bisik.
“Mungkin dengan waktu yang kita habisin sama-sama kemarin, mungkin aku jadi
cinta kamu.” Imbuhnya.
“Hati-hati, Ed. Pas bicaramu seperti itu, kamu ngga seperti dokter.” kataku
“Itu juga masalahnya, Je. Setiap aku sama kamu, aku lupa siapa aku
sebenarnya.”
“Ed..” panggilku, kulepas sabuk pengamanku, aku mengarah kepadanya dan
mendekatinya. Perlahan ku kecup bibirnya dengan menutup mata. Aku melepaskan
kecupan itu setelah mataku terbuka “Sekarang kamu buat aku ngga bisa
ngebayangin berada di tempat lain kecuali di sampingmu.”
Keesokan hari, aku lari ke rumah Shinta. Aku masuk ke kamarnya, aku tak
lihat dia di sana. Aku ke dapur, aku melihat ia memasak makanan dan mulutnya
penuh dengan makanan. Ku putar badannya ke arahku, ku peluk dia erat-erat. Ia
tak bisa apa-apa dengan tangan yang masih ku rekatkan. “Makasih, Shin. Untuk
semuanya.” Aku mencium keningnya dengan lama.
Tiba di saat hari pernikahan kami. Tak kunjung ada, tiba-tiba datang untuk
menemanimu selamanya, seperti itu cinta bereaksi. Pelangi
tak datang di saat tidak ada hujan, aku sangat percaya ungkapan seseorang itu.
Aku melihat Ed yang ada di sebelahku untuk mengenakan jazz dan mengucapkan ijab
qabul. Rasanya tak percaya aku menikahinya setelah dua tahun aku mengenalnya pertama
kali sebagai sosok yang tak pernah menyakitiku selama dua tahun ini. Aku merasa
beruntung memilikinya. Ku lihat Giva yang tak henti-hentinya merekan kami
berdua dengan handycam miliknya. Di hari ini, di hari yang sangat bersyukur
ini, aku tak henti-hentinya menitiskan doa di tiap langkahku untuk ke depannya
agar lebih baik.
Seminggu setelah kami berlibur ke Bali, aku ingat di
hari pernikahanku dua minggu lalu, bahwa Giva merekam kami sampai akhir, aku
ingin menonton itu. Aku pergi ke rumah Giva dengan taksi, aku mengetuk pintu
rumahnya, ia terlihat kaget ketika ia membukakan pintu dan mengetahui kalau aku
ada di situ.
“Hai Giv, boleh masuk?” tanyaku
Dengan mengunyah makanan, ia membukakan pintu lebih
lebar, mempertandakan ia mengijinkanku masuk.
Ia mempersilakanku masuk rumahnya yang tidak terlalu
besar namun cukup rapih. Sementara ia mengganti pakaiannya, aku melihat koleksi
CDnya di rak Tvnya. CD itu bertuliskan “edwin&je” ketika ia balik dari
kamarnya, aku mengejutkannya dengan bertanya kepadanya
“Boleh aku putar ini di DVDmu, Giv?”
“Tapi, Je..”
tanpa menghiraukannya, aku memotong pembicaraannya.
“Boleh, ya Giv? Pleaseee banget.” Dengan memohon
mohon akhirnya aku menyetel DVD itu.
Video itu berdurasi 12 menit, menunjukan
pernikahanku mulai pertama, mulai dari aku keluar dari ruang rias, ketika aku
menangis saat Ed mengucapkan ijab qabul, ketika aku melemparkan bunga, ketika
aku dipakaikan cincin oleh Ed, hingga ketika tersenyum lebar saat bersalaman
dengan teman-temanku, semua video itu hanya memperlihatkan aku selama aku di
pernikahanku itu.
Kulihat Giva yang tampak diam sambil menutup mulut
dengan satu tangannya menahan tangan yang satunya. “Giv?” panggilku “Jadi ini
isi videonya Giv?”
“Sorry, Je.” Dengan muka bersalahnya.
“Ngga perlu minta maaf Giv. Kamu kenapa ngga pernah
bilang, Giv?” tanyaku.
“Sebenernya di restaurant itu, aku mau ajak kamu
pergi, karena aku tau kamu sosok yang pintar, dan Edwin bilang kamu cuma
temannya. Tapi aku lihat kamu sama Edwin akrab banget.”
“Giv..” panggilku coba menenangkan.
“Ngga apa kok Je, tahun depan aku nikah, kamu dateng
ya sama Edwin.” Ia mengucapkannya sambil tersenyum. “Je...” lanjutnya “aku cuma
mau bilang sekarang, mumpung bisa. Aku seneng punya waktu sama kamu, nonton,
pergi keluar kota sama kamu, walaupun kamu udah sama Edwin. Dan aku ngga bakal
lupa semua itu sampai entar aku ompong”
“Hahaha. Makasih Giv..” lama menatap mukanya, aku
mendekatinya, kupeluk dia dengan erat, ku cium bibir merahnya yang tampak
menawan itu dan merapihkan bajunya. Segera aku beranjak pulang ke rumahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar