Kumpulan terik matahari
menyusup ke rongga kepalaku. Langit negara Eropa dengan suhu yang mampu
mencengkramku, melintasi alam pikiranku dengan kenangan enam tahun lalu setelah
aku melihat dia. Seseorang memanggilku “Ana? Lihat apa, An?” yang belum aku
gubris. Tunggu, apa benar itu dia? Ia tampak lebih besar dan berotot, rambutnya
panjang dan sedikit messy, matanya
yang tajam dan lebar saat tak memakai kacamata. Melihat ke arahku. Wajahnya masih sama saat ia tak mampu melihat
aku secara jelas saat aku di depan sekolah dulu, memicingkan matanya dengan
kepala yang dimiringkan ia terlihat semakin tampan di bawah depan Burger King.
▄
“Aku cinta kamu, Ana!”
teriakan bocah aneh dari panggung itu sukses berat membuat otot rasa malu-ku
pecah. Aku keluar dari lapangan sekolah dengan mengajak sahabatku, Shinta. Rasa
sebal dan malu merajut tiap sudut muka-ku.
“Kamu kenapa sih, An?”
tanya Shinta sambil cengengesan.
“Diem kenapa Shin! Udah
tahu aku malu!”
Ia cengengesan setelah
aku digojloki anak-anak se-sekolah
karena sikap anak aneh tadi. Rio namanya, teman sekelas yang sudah dari
semester satu mengincarku. Menerimanya? Jangankan berbicara dengannya, setiap
kami rolling bangku dan ia
dibelakangku, aku selalu sekarat kehabisan oksigen karena ia terus membuatku
kesal.
Semua berawal dari
kelas satu SMK, saat olahraga. Seluruh murid kelas disuruh memutari komplek
sekolah yang lumayan panjang. Rio tampak kelelahan dan hampir tersandung
kakinya sendiri. Tapi aku melihat temannya, Giva, seseorang anak band yang
terkenal se-Surabaya. Mereka berdua lari berdampingan. Aku membawa tempat minum
Tupperware yang bisa dislempang. Aku mendekati mereka berdua, dengan niat
mencari perhatian ke Giva “Hai. Capek ngga?” tanyaku.
“Lumayan.” Giva
menjawab dengan cool sambil berlari.
“Nih minum.” Aku
menyerahkan tempat minum ku ke Giva.
“Wah kebetulan. Makasih
ya.” Ia mengambilnya dari tanganku
Ia tampak tak langsung
membuka dan meminumnya, melainkan ia menyerahkannya ke temannya, Rio.
“Iki boy, jare ngelak? Iki lho, ngombe teko Ana” – Ini, boy, katanya
haus? Ini lho, minum dari Ana. Katanya.
Duh kenapa yang minum
jadi Rio sih?! Pikirku. Rio langsung membuka botol itu dan menghabiskan airnya.
Rio berteriak “Makasih,
Ana. Udah cantik, baik lagi.” Ucapan itu membuat semua anak termasik Giva yang
berlari menertawaiku dan Rio. Aku sangat tak mau mengingat kejadian itu lagi.
Semenjak kejadian itu,
Rio terus menggombaliku di depan anak-anak dan tak berhentinya menuliskan ‘Aku
Cinta Ana’ di papan tulis besar di depan kelas. Sampai saat kejadian tadi, ia
naik diatas panggung setelah Band Giva perform untuk pensi memperingati
berakhirnya kelas satu SMK kami.
Saat waktu senggang dan
pensi berakhir, aku menghampirinya, membuka mataku lebar-lebar didepannya
karena sikap tidak masuk akal yang ia lakukan tadi di depan panggung sekolah.
Dia hanya memangku gitar dan membuat
petikan demi petikan, ia santai dengan melihatku mampir ke bangkunya. “Rio!
Bisa berhenti bikin aku malu ngga?!” bentakku.
Rio menghentikan
memetik gitarnya, ia melihat kearahku. “Lho aku kan pengen dapetin kamu sih,
An. Masa ngga boleh? Daripada se-sekolah sepi ngga ada yang teriak ciye-ciye?”
jawabnya cengengesan dan kembali memetik senar-senar gitarnya.
“Tapi ya jangan gitu
dong, Io. Yang malu itu lho aku! Kamu itu siapaku sih? Aku lho, ngga suka sama
kamu!”
Muka Rio berubah dari
cengengesan menjadi tegang “Iya An, aku memang ngga pantes kok dapetin kamu.
Maaf ya.” Ucap Rio dengan nada gemulai. Aku sedikit merasa bersalah ketika
melihatnya memetik gitarnya tanpa memasukkan kuncinya.
“Tapi kan itu cuma
bercanda, An? Syukur-syukur deh kalau dapet. Hahaha..” ia kembali mengubah raut
mukanya menjadi cengengesan.
“DUHHH! NGGA TAU AH!”
teriakku di depannya.
Aku jengkel, rasa
amarahku memuncak hingga sepersekian milimeter di otak. Itu karena Rio. Hingga
aku meluapkan semuanya ke Shinta, sahabatku yang beda kelas, dia adalah
sahabatku sejak SMP. Aku pun menceritakan semua rasa malu ku ke Shinta, tetapi
ia hanya tertawa melihat ceritaku tentang kelakuan aneh Rio.
“Hahaha.. bagus dong,
An. Itu tandanya dia minta perhatian balik ke kamu.” Ia menggosok-gosok
rambutku yang panjang.
“Kamu kok malah ketawa
sih? Aku, kan, pengennya di perhatiin Giva!” teriakku ke muka Shinta.
“Dih ngarep. Hahaha..
Iya, ngerti kok aku, An. Tapi Rio juga ngga kalah gantengnya kan sama Giva?” ia
malah menggodaku lagi
“Dih jauuuhhh!” aku
menyangkalnya.
Setelah menikmati
beberapa pekan stay di rumah, kami resmi
naik ke kelas 2 SMK. Di mana anak-anak mulai nakal, karena sudah bukan menjadi
junior lagi. Di kelas 2, aku mendapatkan wali kelas yang terkenal killer di
sekolah. Pak Hasyim, dengan badan yang tinggi dan rambut botaknya, ia menyuruh
seluruh kelasku memperkenalkan diri kepadanya. Setelah semua sudah
memperkenalkan diri kepadanya, ia mulai membuat rules.
“Saya minta, semua anak
di kelas ini berteman. Oleh sebab itu, jangan membeda-bedakan mana laki dan
mana perempuan. Laki dan perempuan harus duduk bersebelahan.” Teriaknya dengan
suara yang 5 oktav.
Kelas kami pun mulai
pindah bangku, yang ku lihat pertama adalah Giva. Sayang, ia sudah di booking
sama Via, seorang model tinggi yang setiap ke sekolah tampil elegan. Semua
murid saling bergerak, aku hanya duduk di bangku-ku dan menunggu siapa rekan
bangku cowo-ku. Aduh, Rio. Ia menaruh tas ransel nya di bangku. “Ngga dapet
tempat selain ini, janji ngga ganggu kok.” Ia bilang dengan singkat. Syukurlah
kalau begitu.
Hari-hari berjalan
seperti biasa, entah apa roh yang menyambet Rio sampai ia tidak menggodaku lagi
selama kelas 2 ini. Sampai dengan semester 5, ujian akhir semester sudah
menunggu. Saat ujian Fisika, aku menamatkan Rio yang serius menghitung angka
demi angka. Satu setengah jam, dan aku baru menggarap lima dari dua puluh lima
soal. Rio dengan polosnya keluar bangku dan membawa kertasnya. “Rio! Udah
selesai? Tungguin.” Bisikku.
Rio kembali ke bangku,
aku melihat kertas ulangannya. Dua puluh lima soal, Rio sudah menggarap semua
dengan rumus yang rapih. Rio membalikkan kertas ulangannya kepadaku. Dengan
cepat aku menyalin semuanya. Hanya lima belas menit, aku sudah selesai semua.
Aku mengumpulkannya dan keluar kelas. Rio yang keluar dari pintu kelas, ku
panggil dengan nada selembut mungkin.
“Rio?” dengan jalan
menuju arahnya.
“Ya, An?” ia menoleh,
dengan lehernya yang terlihat berotot.
“Ngga papa. Makasih
udah bantuin. Hehe..” aku menepuk lengannya, merasa berhutang kepadanya.
Tangannya juga terlihat berotot, jemariku merasakan lekukan demi lekukan di
lengannya.
“Sama-sama, aku emang
suka itung-itungan kok hahaha..” ia tersenyum memalingkan wajahnya, berjalan
menuju kantin. Benar juga kata Shinta, Rio lumayan ganteng juga, dengan rambut
yang sedikit panjang dan dadanya yang bidang.
Aku memanggilnya lagi,
“Rio!!”
“Apa lagi Anaaa?!” ia
menjawab dengan sedikit jengkel.
“Umm.. Sabtu, habis
renang nonton yuk?”
“Boleh, atur aja.” Ia tersenyum
kembali.
Akhirnya hari Sabtu.
Seluruh kelas dua SMK libur karena ujian tes olahraga renang. Semua murid
perempuan tes terlebih dahulu, saat giliranku, aku melakukannya dengan mudah.
Ah, hanya 100 meter. Dan akhirnya semua murid perempuan selesai. Saatnya
giliran murid laki-laki, kelasku mendapat giliran pertama, kuperhatikan satu
demi satu teman sekelasku, mataku mendapatkan seseorang berbadan yang setengah
telanjang dan sangat berotot, itu Rio? Tidak salah, dadanya membelah bidang,
perutnya yang membentuk enam persegi tak henti-hentinya ku pandangi, inchi demi
inchi lekukan punggungnya sangat seksi. Harus kuakui, untuk urusan badan, Giva
tak ada apa-apanya dibanding Rio. Terus menerus kupandangi saat dia meluncur
untuk menepati ujian 100 meter itu.
Suara Shinta
membuyarkan lamunanku “An! Nafas dong!” aku memalingkan wajah ku ke wajah
Shinta, nafas beratku yang terhentak hentak dengan menggenggam tangan Shinta.
“Apa? Apa? Lihat apa?!”
tanyanya penasaran.
“Rio, Shin! Rio!”
jawabku sambil bergemetar.
“Iya kenapa?!”
“Ngga lihat? Hot abis!”
bisikku di telinganya
“Tuh kan, An, aku
bilang apa. Dia bikin kamu kelepekan.. makan omongan sendiri.. Hahaha!”
candanya.
Pandaganku terus
terpaku di Rio saat meniriskan badannya, harus kuakui, aku menyesal pernah
menganggap ia Invicible. Aku pun menyudahi memandanginya. Lagipula, aku bisa
bertemu dengannya nanti saat kita pergi. Setelah keluar dari kamar mandi
wanita, aku melihatnya didepan pintu keluar memakain kemeja hitam dan jeans.
Apa yang Rio tunggu? Pikirku. Aku menghampirinya dan menyapanya. “Hai, Io.”
Sapaku.
“Hai, udah siap?” ia
bertanya sambil tersenyum.
“S..S..Siap. Di mana?”
tanyaku balik.
“Terserah, TP? Yuk.”
Aku menggenggam tangannya dan menariknya, ia menggenggam lebih erat tanganku.
Ia mengendarai motor bebek, ia memuatku di belakang.
Tiba kami di Tunjungan
Plaza, menuju XXI, untuk kencan pertama,
film superhero memang cocok untuk menemani sepasang sejoli yang masih saling
mencoba memahami. Film The Incredible Hulk, menceritakan Dr. Bruce Banner yang
diperankan oleh Edward Norton yang berusaha menjauhi kekasihnya yang diperankan
oleh Liv Tyler karena ia tak mau kekasihnya tersakiti karena perubahannya yang
menjadi mahluk besar akibat sinar gamma.
Setelah film selesai
aku mengajaknya untuk membeli kopi di cafe XXI,
“Keburu-buru ngga?” tanyaku “Ngopi yuk, gantian deh aku yang bayarin.
Hahaha..”
“Boleh. Mumpung besok
Minggu.” Ujarnya dengan cepat.
Kami duduk di bangku
kosong di depan, ia memesan Frappucino es, sama sepertiku.
“Hai, Io.” Panggilku.
“Ya, An?” jawabnya. Ia
bermain dengan tempat tisu meja makan.
"Kalau boleh jujur,
langsung aja ya, aku itu sukaaa banget sama kamu yang sekarang.” Ia tersedah
kecil “Eh kamu ngga apa?”
“Wow, aku juga suka
kamu. Ahaha.. Iya, terus?” jawabnya cool.
“Ngga godain aku yang
kaya dulu, sekarang kamu juga dandanannya lebih rapih, kacamatamu ngga segede
dulu kaya pertama masuk, dan badan mu sekarang seksi banget, kamu nge-gym ya?
Hahaha.” Pujaku. Aku mungkin adalah wanita, tapi aku tak mau hanya karena aku
sebagai wanita aku tak berani mengutarakan isi hati. Tak lama, aku menyambung “Jadi,
Io, entah kenapa rasa ini semakin mengakar, dan kau ngga bisa bohong. Aku tiba-tiba
jadi sayang kamu.” tanyaku.
Rio menatap ku kosong,
aku menunggu suara yang dilepaskan dari pitasuaranya, memperhatikan bibirnya
yang melingkup untuk mengatakan sesuatu “Ehm.. iya kok, kalau boleh jujur, aku
tanya ke Shinta buat dapetin kamu. Haha.. ngga nyangka aja sekarang malah jalan
sama kamu.” Ia berkata.
“Shinta? Ya ampun dia
yang nyampein semua? Hahaha.. Kalau gitu...”
“Tapi, maaf An.”
potongnya. “Rasanya ngga fair kalau aku ngedapetin kamu itu susah, tapi kamu
ngedapetin aku bisa gampang.”
“Iya, Io. Maaf
sebelumnya, aku bukan Betty Ross yang bisa terima kamu pas kamu masih jadi
‘aneh’. Aku cuma cewe egois yang...”
“Psst..” ia menggenggam
tanganku. “Aku ngga pernah nyalahin kamu. Sekolah kita masih panjang, aku ngga
mau di tengah-tengah kita kandas. Lebih baik kita cukup segini aja. Kita juga
harus ujian praktek, kan.” Ujarnya.
Kenapa ngga di coba
dulu, Io? Bagian manaku yang perlu aku ubah untuk bisa pas jadi bagian dari
kamu?! Seakan kalimat itu ingin kulontarkan dengan keras di wajahnya. Aku
adalah pemilih yang buruk, aku selalu menginginkan kesempurnaan, tapi malah
dibuat lenyap oleh kesempurnaan.
Ruangan yang ber-AC
seakan tak mempan mendinginkanku, dahi dan leherku berkeringat, hati dan otak
seakan saling menghajar. Aku terus menerus diam tak berpatah kata, namun aku
harus bisa membuktikan bahwa aku adalah sesosok wanita yang dewasa. Aku terus
menahan air mataku. Mungkin seperti sudah rumusnya bahwa manusia itu seperti
magnet, ketika magnet A mendambakan sisi lain dari magnet B, magnet B menolak.
Tapi ketika magnet B menginginkan sisi lain magnet A, magnet A menolak.
Sampai lah kami di
rumahku, aku turun dari motor bebeknya, ia pun turun mengikutiku, ia melepas
helmnya. Aku segera ke depan pintu pagar ku agar ia tak tahu bahwa aku tidak
bisa membendung air mataku. “Lucyana.” Panggilnya.
Kuhentikan langkah ku,
kuambil nafas panjang dan menghembuskannya, tubuhku berbalik ke arahnya. Ia menghampiriku,
aku menjawabnya “Iya, Mario?” sambil tersenyum.
“Maaf” katanya “Aku
sudah menghabiskan perasaanku ke kamu sebelum kamu peduli aku” Aku tak bisa
menjawab ocehannya, aku terus memandang wajahnya dari dekat, tatap matanya
membunuh mataku dengan perlahan, wajahnya terus mendekat ke wajahku, mataku
terpejam dengan sendirinya. Kurasakan gesekan antara dua sisi daging tebal membungkam
bibirku. Lambat laun aku merasakan bibirku semakin melembab. Tangan Rio
mencengkram pinggulku dan mendekatkan ke arahnya. Kami saling mendekatkan dada
kami. Terus menerus hingga ke leher. Pelukannya memberi rasa nyaman. Aku menikmati
malam yang kian sunyi di antara sensasi gerakan lidah Rio di bibirku. Aku tak
mau melepasnya, ia berikan aku surga dunia yang manis. Aku tak mau ini
berakhir.
Perlahan, nadi ku terus
memuncak hingga beberapa bit-rate, ia melepaskan bibirnya. Aku tak akan pernah
melupakan ini. “Gutennait, Lucy.” Ia berkata. Ia pergi ke tempat motornya di
sanding, lalu pergi meninggalkan rumahku.
Hari demi hari aku
menikmati saat-saat di sekolah bersamanya. Aku habiskan waktuku di sekolah
hampir tak lepas melihat wajahnya. Saat ia makan ke kantin bersamaku, saat kami
bekerja sama dalam mengerjakan ujian, saat aku kerumahnya untuk mengerjakan
tugas bersama. Aku tak akan pernah melupakan saat itu. Kami terus menempel
hingga teman-teman mengira bahwa kamu adalah sepasang kekasih. Tapi, hubugan
yang seperti ini justru akan bertahan lama, bukan. Di dalam doa ku aku selalu
menyebut namanya. Ya Tuhan, jika ia meninggalkanku, jika ia tak mencintaiku,
hukum dia untuk mencintaiku selamanya.
Sampai setibanya masa
dimana kami sudah lulus sekolah. Seusai salat subuh, handphone Nokia E71 ku
bergetar, menatap tab atas, yang bertuliskan message dari Mario Bramantio.
‘Dear Lucyana
Anggraeni, sudah mutusin ambil kuliah jurusan apa? Di Jakarta macet banget, mau
ke Trisakti aja harus nunggu lama. See ya later.’
Delete Message
Confirm
Aku melanjutkan tidur
di hari libur sambil menunggu panggilan dari Universitas Sepuluh November
Surabaya. Jahat? Tidak, aku tidak jahat, aku hanya berpikir bahwa ketika kamu
tidak menginginkan seseorang itu, maka jangan membuatnya jatuh ke hatimu.
▄
Rio kembali menatap
handphonenya. “Ana?! Lucyaaanaaa~” goda saudara sepupuku, Dea di sampingku. “Kok
bengong? Itu cowoku, mau aku kenalin?”
“Ngga usah De, anakku
udah nunggu. Kasihan, liburan ke sini ngga makan. Ahaha.” Aku mengambil pesanan
Burger King ku. “duluan ya De” aku mencium pipinya. “muah muah”
Kuletakkan mulutku di
samping telinganya dan berbisik “Ganteng juga cowomu. Hihihi.” Dan ia tersenyum
Aku berjalan
meninggalkannya, menuju mobil suamiku. Suamiku, Giva dan anakku menunggu di
dalam mobil. Aku memberikan Burger pesanan mereka, VW tahun 2013 Giva meluncur
menuju hotel di mana kami tinggal. Dan kadang-kadang aku berfikir, kasihan Dea,
ia memakan bekas roti gigitanku. Hahaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar