Semalam nampaknya begitu melelahkan, aku
terbangun pukul delapan dengan wangi dan baju rapi. Tapi badanku nampak linu
semua setelah bekerja. Oh iya namaku Lina, hari ini terasa aneh, hari ini tak
berjalan seperti biasanya. Aku lihat mobil suamiku, ternyata dia sudah
berangkat kerja. Biasanya suamiku
membangunkanku untuk solat subuh sebelum berangkat kerja, baru hari ini aku ditinggal
tanpa dipamiti. Anakku Erik juga tidak ada di rumah, padahal sepedanya masih di
garasi. Mungkin dia diantar Papanya naik mobil. Aku harus bersiap, pukul
sepuluh bis menuju kantorku segera berangkat.
Di terminal ramai, bis menuju kantorku segera
berangkat. Aku berlari mengejar bis yang mau berangkat, dan ketika kaki kananku
sudah menginjak dek bis, bisnya langsung jalan. Aku kaget, hampir terpleset.
Aku segera mencari tempat duduk yang kosong. Tapi nampaknya hanya tinggal satu
yang kosong, aku duduk di situ dan bersama seorang pria tua yang sedang melihat
ke jendela. Aku juga lupa tidak membawa handphone dan jam tangan, dan kulihat
bapak itu memakai jam tangan. Aku coba bertanya kepadanya “Permisi pak,
sekarang jam berapa ya?” bapak tersebut tidak menoleh, aku panggil lagi
“Pak?...Pak?!” tidak menoleh juga. Aku pikir dia tuna rungu, aku mencoba
melihat sendiri jam itu. Oh ternyata masih jam sembilan.
Ketika hampir sampai, bis tersebut berhenti,
nampaknya ada masalah. Ternyata di pinggir jalan ada mobil Van yang terjungkir,
aku kaget, Van itu bertuliskan nama Industri kantorku. Aku coba tenang. Kupikir
tidak ada apa-apa. Penumpang bis nampak turun satu persatu, bapak disampingku
juga tampak berdiri dan mau turun, aku mengalihkan kakiku agak mepet ke bangku.
Bapak itu tanpa bilang permisi langsung nyelonong keluar. Nampaknya ia bisu
tuli sungguhan. Pedagang mulai naik dan menawari kacang, kuaci, dan permen.
Mereka menawarkan dagangannya ke penumpang satu-satu. Aku haus, nampaknya air
mineral bisa meredakannya. Aku merogoh dompetku, ternyata aku juga tidak
membawa dompet. Aku panik, bagaimana aku membayar bis? Aku coba tenang lagi.
Pedagang itu datang, dia tidak menawari aku dagangannya, ternyata dia langsung
lewat. Aku heran, apa dia tidak melihatku? Bis hampir sampai kantorku,
segerombolan anak muda turun dan memberikan uang ke kernet yang berada di
depan. Aku masuk ke gerombolan itu, dan ikut turun bersama mereka. Tanpa
terlihat, aku sudah berhasil turun dari bis. Syukurlah.
Aku jalan kaki menuju kantorku. Sampai kantor terlihat
sepi. Aku melihat dua karyawan engineering bercakap.
“Lah ini boleh pulang dong?”
“Ya terserah elu.”
“Ngapain sih diliburin?”
“Itu, kapten jurnalis pak Edy sama tiga karyawannya
tadi malem kecelakaan pas cari berita. Gue denger ada yang meninggal noh.”
“Innalilahi. Siape?”
“Itu jurnalis, gue lupa namanya.”
“Oh yang itu...”
Ini semua membingungkan. Sejak kapan pak Edy mencari
berita tanpa aku? Aku kan Jurnalis andalah pak Edy? Jangan-jangan Van yang
terbalik itu mobil pak Edy? Kasian juga tapi dia kecelakaan. Aku harus
menjenguk dia.“Di rumah sakit deket lampu merah itu bro. Di situ dah katanya.”
Aku dengar kedua engineer tadi. Aku jalan kaki menuju sana.
Sampai rumah sakit, aku langsung menuju UGD, aku
melihat dari kaca pak Edy yang lagi infus. Dia nampak tidak sadar tapi detak
jantungnya masih menunjukkan kalau dia hidup. Aku lihat supir ku Dani dan
kameramenku Leo, mereka berjejer sama seperti pak Edy. Syukur lah mereka masih
selamat. Tapi siapa yang meninggal? Aku membuka pintu UGD tersebut, selagi
tidak ada penjaga yang melihat. Aku membuka tirai yang tertutup. Disitu ada
kasur yang ditutupi selimut, dan nampaknya ada isinya. Aku kira ini salah satu
karyawan yang meninggal. Aku buka selimutnya perlahan. Astaghfirullah, aku
terjerit pelan. Sebab aku melihat muka wanita penuh darah. Hidungnya nampak
hancur. Mukanya tidak jelas karena ternodai darah dan rambut. Aku menutup
kembali selimutnya. Dan aku mencoba mencari tahu namanya, aku tarik tangannya
yang terluka sebam. Aku melihat gelangnya ku tarik kertas yang terlinting, dan
aku membaca... Elina Natasya. Loh? Itu kan namaku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar