Selasa, 29 April 2014

CERPEN: Dia Adalah Dia, Tak Pernah Jadi Yang Lain

Aku sudah mapan, sudah punya istri yang sangat baik dan cantik. Tapi aku tidak bisa lepas dari hobiku dari kecil, yaitu balap mobil. Aku sangat suka mobil rakitan yang di modif untuk balapan. Dulu aku selalu meluapkannya lewat game Need for Speed . Tapi sekarang aku bisa meluapkan hobiku itu menjadi nyata. Aku bisa merakit dan mengendarai mobilku sendiri. Tapi nampaknya aku mulai benci istriku karena dia tak menyetujui hobiku ini.

Walaupun aku sudah mapan, aku suka taruhan balapan ilegal di tempatku. Aku selalu menang, kemenanganku biasanya aku rayakan dengan pesta alkohol bersama teman-temanku, dan menyewa gadis sebagai pelengkap malam. Aku selalu melakukan itu setiap minggu, seakan aku elum menikah. Istriku selalu meninggalkan panggilan tak terjawab di ponselku. Masa bodoh istriku, yang penting sekarang aku senang.

Ternyata balapan tak selamanya menang, ada saatnya aku kalah. Tapi kali ini kalahku sudah berlebihan, dan nampaknya uang tabunganku mulai tipis karena selalu aku pakai untuk taruhan. Aku stres, tidak peduli yang lain, aku ke diskotik dan minum alkohol agar semuanya tenang. Malam ini nampaknya ada yang aneh, ada sesosok wanita yang terus memanggil namaku. “Bran! Bran!” kira-kira seperti itu teriakannya, aku mencoba menyadarkan diri, ternyata itu istriku dengan muka penuh dendam yang dibawa kepadaku. Setengah sadar, aku mendapat pukulan keras dari dia, dan dilempar gulungan kertas. Aku pun juga kepergok memangku seorang gadis di diskotik. Tak peduli, aku pun terlelap semalaman di diskotik 24 jam itu.

Paginya aku pulang dengan membawa gulungan kertas itu, ternyata itu tagihan kredit yang mencapai $5000, aku masuk pintu, dan dicegat istriku di depan teras.
 “Good, finally I can see your face.” katanya.
“Why? Why are you so rude?” Jawabku malas.
“So rude? You’re annoying! Got drunk by alcohol, slept with fucking bitch. What next? Have a..”
“PLAK!” tiba-tiba berhenti ocehannya setelah tamparanku ke mukanya. Aku masuk dan meninggalkan dia di teras menangis sendirian. Aku langsung melanjurkan tidur di libur musim dingin ini.

Malamnya, aku ingin balapan lagi, membuka garas dan memakai jaket.
“Mau ke mana kamu?” tanya istriku
“Its not your bussiness”
“Not my bussiness? You’re my husband! Kenapa sih kamu akhir-akhir ini?! Pulang malem terus, ngga ngurusin rumah, apa sih yang ngga kita punya di rumah.” Bentaknya.
“Denger ya, aku Cuma pengin ngeluapin hobiku! Ngga peduli kamu suka atau gak!”
Aku masuk ke mobil, dan mulai menyalakan mesin, aku pergi meninggalkan rumah.

Seperti biasa, aku taruhan. Kali ini taruhannya berbeda, jika aku menang, aku dapat uang. Jika aku kalah, musuhku mendapat istriku.
Balapan di mulai, aku memasukkan gigi 1, ku pacu mobil ku dengan kencang. Musuhku tertinggal jauh di belakang. Jalanan nampak di hias oleh salju tipis, aku terus menancap gas. Biasanya jalan sepi, tapi ini ada sepeda motor yang melintas. Tengah malam semua tak terlihat, aku hanya melihat lampu rem yang mulai terlihat besar, coba aku hindari. Ternyata aku salah, itu bukan sepeda motor, itu truk sampah yang lampu remnya mati sebelah. Naas nasibku, mobilku berhenti secara paksa oleh truk itu. Aku terlempar keluar jendela, tapi kaki ku masih terjepit dashboard. Aku tak bisa merasa apa-apa.

Pikiranku mulai lemah semenjak saat itu. Bahkan aku tidak mengingat namaku sendiri. Hanya dia nama seseorang yang aku ingat namanya. Tapi aku masih mengingat kejadian yang merubah aku seumur hidupku. Semua kejadian itu terjadi saat aku di promosikan jadi seketaris staff di kedutaan Indonesia di London.  Aku mendapat jaminan kesehatan karena aku bekerja untuk negara. Tapi ini jaminan kesehatan yang terakhir, karena kakiku yang harus diamputasi sebelah karena pendarahan dan tidak bisa bekerja disana lagi.

Selama di rumah sakit, aku selalu dirawat oleh seseorang yang hanya aku ingat namanya, Triarsha Yoanna. Cuma nama itu yang ada di pikiranku saat aku saat aku berbaring koma di rumah sakit. Aku merasa malu, sebagai suami. Dia bekerja di toko roti di stasiun, untuk membayar hutang-hutangku karena aku tidak punya apa-apa. Agak canggung ketika dia menyuapi aku makanan. Tapi aku mencoba meminta maaf.
“Sorry for everything, Arsha.”
“Pssst... don’t say anything, Bryan.”
“I just want to say that you’re the only onethat  I love. I.. I.. didn’t deserve this, Arsha. Even, I  didn’t deserve you. I just useless men who broke.”

“With me you’re not useless, you’re priceless, because I love you no matter what, and I will try to fix you”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar