Senin, 30 Juni 2014

CERPEN: Sebuah Janji Yang Kembali

Di dalam hidup, memang tidak aneh jika setiap orang akan berubah. Termasuk istriku. Dia baru saja mencintaiku kembali. Mencintaiku kembali? Bagaimana bisa? Itu adalah pertanyaan yang selalu dilontarkan orang-orang ketika mendengar kisahku.

Siang itu aku di kampus negeri, untuk mengikuti tes seleksi masuk perguruan tinggi. Hujan yang rintik-rintik sudah membasahi trotoar. Aku cepat-cepat masuk ke fakultas teknik sipil, karena tes ku di situ dan waktu menunjukan pukul sepuluh, waktu ujian sudah hampir dimulai.

“Tok tok tok..” aku mengetuk ruangan tes ku. Aku membuka pintu dan cepat-cepat mencari nomer tes ku yang sudah tertempel di meja. Akhirnya ketemu, aku duduk tepat di meja paling belakang. Aku menaruh tas ku di depan, dan mengambil perlengkapan ujian. Ketika balik ke meja ku, aku baru sadar aku tidak duduk sendiri, di sebelahku ada cewek dengan kemeja pink.
“Permisi..” sapaku.

Dia menyambutku dengan diam, hanya senyum ramah yang dia berikan kepadaku. Ternyata ujian masih di mulai sepuluh menit lagi, selesai aku mengisi identitasku, aku tidak mau hal ini terlewat tanpa aku mengenal satu orang pun. Aku memberanikan untuk membuka percakapan duluan.

“Ambil universitas apa, kak?” tanyaku.

“Unair.” Jawabnya dengan suara yang lembut.

“Oooh.. sama. Jurusan?”

“Sastra Inggris. Kamu?”


“Loh loh? Kok sama? Aku juga sastra Inggris. Kamu dari sekolah mana, kak?”
“Sekolah swasta, aku malu kalau nyebutin. Hihi..”

Singkat cerita kami selesai tes dan pulang, aku keluar kelas duluan setelah mengucapkan terimakasih ke Cewek sebangkuku, karena sudah membantuku untuk menjawab sosiologi. Aku menunggu dijemput Ayah, aku telepon Ayah ternyata jalanan macet. Kemungkinan sampai sini agak lama. Aku hanya bisa menunggu di depan fakultas teknik sipil.

Aku mulai bosan, aku tengok ke kanan, ada tukang kebersihan, aku lihat ke depan, ada cewek dengan headset hitam duduk di halte bis... aku perhatikan lagi, itu ternyata cewek sebangku yang tes denganku tadi. Aku keluar kampus dan menyebrang jalan untuk menyapanya agar bisa lebih akrab. Tidak lupa aku beli softdrink kaleng di warung.

Sampai, aku menyapa duluan “Hai.. kak.” dia melepas headsetnya. 

“Hei.. kamu yang tadi sebangku bareng aku? Hihi.. jangan panggil kak, kita kan sama.”

“Iya, ngga enak masa panggil nama, namanyamu aja ngga tau hehe. Nungguin bis?” tanyaku.
“Iya lah masa nungguin kereta. Hihi.”

“Hahaha.. eh mau softdrink ngga? Aku bawa dua nih.” Sambil duduk di sebelahnya.

Kami pun berkenalan, Eva namanya. Secara fisik, dia memang kriteriaku, rambutnya panjang dan berponi, berkacamata, putih, dan tinggi. Kami saling bertukar nomor hape. Kami sering kencan, ke luar kota berdua, layaknya orang pacaran. Ya, kami memang pacaran. Kami saling mencintai dan berbagi pengalaman masa lalu. Setelah lulus dan kerja, kami memutuskan untuk menikah. Sekarang kami mempunyai satu anak. Kisah kami tidak berakhir sampai di sini.

Seiring jalannya waktu, mungkin aku jarang ada untuk dia, aku selalu sibuk dengan pekerjaanku, bodohnya, aku tidak selalu ada untuk keluarga, bahkan hari Minggu pun aku habiskan di luar kota untuk tugas. Sedangkan dia sering keluar bersama teman SMAnya selama tidak ada aku, dia mulai sering pulang malam dan diantar bos-nya. Hubungan kami tak semulus telenofela. Kadang kita bertengkar karena masalah finansial, kami bahkan sering melontarkan ancaman cerai.

Hingga suatu hari masalah kami benar-benar serius. Dia pulang pukul sebelas malam, anak kami sudah tidur pulas dan aku menemui dia masuk ke kamar dan menaruh tasnya di meja kerjaku.
“Dari mana aja kamu?” tanyaku.

“Meeting sama bos. Tadi jalanan juga macet”

“Ohh.. ngga nginep di rumah bos mu sekalian?”

“Apasih?! Aku itu kerja! Udahlah, aku mau ke kamar mandi.”

Aku penasaran, selama dia di kamar mandi, aku memeriksa tasnya. Ku bongkar semua isinya hingga aku menemukan struk pembayaran kamar hotel atas nama Evalia Kusuma. Emosiku mulai memuncak, setan dalam diriku sudah berubah menjadi iblis yang siap untuk membakar neraka.

Dia keluar dari kamar mandi

“Biadab!” bentakku.

“Apasih?! Kamu bilang apa barusan?!”

Aku dorongkan tanganku ke mukanya dengan struk kamar hotel tadi.

“Dapet dari mana? Kamu lancang ya geledah-geledah tas ku.”

“Lebih lancang mana sama nginep di hotel tanpa sepengetahuanku?”

“Aku itu meeting! Oke, aku jujur, di mana kamu kemarin, pas aku ulang tahun? Di mana, kamu pas anniversary kita?! Aku telepon handphone kamu tapi selalu sibuk! Aku tau kamu sibuk, tapi masa ngga ada waktu buat kita?!”

Di sini aku memang salah, salahku adalah ketika ulang tahun Eva, aku selalu sibuk bekerja bahkan tak ingat. Aku bagaikan rumah terbakar yang redup seketika setelah di guyur hujan. Aku diam seketika.

“Puas?” lanjutnya “Ngerti kalau kamu itu ngga pantes buat jadi suami sama ayah yang baik?! Aku pergi dari sini, jangan cari aku, aku bisa hidup tanpa kamu, aku ambil Rena besok, dia ikut sama aku.”

Besoknya, dia ke rumah dan menjemput Rena untuk sekolah, hari itu tepat saat aku memutuskan untuk tidak masuk bekerja. Rumah tangga yang aku sudah bangun begitu saja retak. Tapi, aku tak mau secepat itu berakhir aku masih bisa membenahi ini.

Siangnya, Eva mengantar Rena pulang, aku menemui Eva di teras, dan aku membuka permintaan maaf. Aku muncul seketika, melihat dia sedang menggandeng Rena.

“Rena, masuk dulu ya..” kata Eva.

Setelah Rena masuk, aku mulai mengucapkan, “Va, pertama, aku minta maaf. Aku..”

“Iya, ngga papa. Aku tau kamu Cuma capek.” Potongnya. “Tapi aku ngga bisa lanjutin ini. kita udah cukup.”

“Tapi aku boleh minta satu permintaan sama kamu?”

“Iya, sebutin aja.”

“Rena belum siap untuk menerima semua ini, bisa kita berpura-pura untuk menjadi selayaknya suami istri? Di depannya”

Kami pun sepakat untuk menjadi layaknya suami istri di depan Rena, aku coba untuk mengurangi pekerjaanku, aku habiskan waktuku untuk berpura-pura mencintai Eva di depan Rena. Kami saling berpelukan, kami bersama-sama mengantar Rena sekolah. Kami lakukan itu selama setahun ini. Meskipun beda rumah, kita selalu mengajak Rena liburan setiap libur.

Suatu hari, ketika hari minggu, kita mengantar Rena rekreasi bersama teman-teman SD-nya. Rena turun dari mobil, dan aku menunggu dia di mobil. Eva yang duduk di sebelahku, mencium bibirku perlahan.

“Loh, kan ngga ada Rena?” lontarku.

“Iya, aku tahu. Aku pengin berhenti berpura-pura dan aku pengin kita bakal gini terus selamanya. Aku mau lihat kamu di setiap pagi di saat aku bangun tidur. Bisa kita mulai dari awal? Bisa kita mengikat janji seperti dulu?”

Sejak saat itu, Eva mulai mencintaiku kembali. Aku senang dia bisa kembali menjadi Eva seperti yang dulu. Sejak saat itu juga, aku sadar, hubungan yang kuat adalah disaat kedua pihak bisa saling mengerti. Jika ada satu yang marah, yang lain harus mengerti, dan sebaliknya. Hubungan itu layaknya jungkat-jungkit, kamu perlu seseorang yang mau menemanimu ketika kamu dibawah, sehingga hidupmu akan seimbang.


Rencanaku untuk menyatukan kita kembali berhasil. Hari-hari kami dihabiskan untuk bersama, pertengkaran-pertengkaran kecil itu sudah biasa, yang jelas, aku sudah melihat Eva di setiap pagi. Aku melihat mata Eva yang biru ketika bangun pagi, dan berpikir, aku hanya perlu menikmati setiap detik bersama Eva dan Rena.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar