“Lusa udah siap belum, Jaz? Udah hafal ijab qabulnya
emang? Hahahah!” goda Nisa sambil meminum jus-nya.
“Lah? Ya siap dong. Emang mau kamu yang ngucapin
ijab qabul? Sekarang aku gantian tanya..”
“Apah?” jawab Nita sambil menatap dengan nakal.
“Emang kamu udah siap hamil?”
“Tergantung, kalau yang hamilin kamu ya mau..
Hahaha!!”
Gaya tertawa Nisa mengingatkanku pada seseorang yang
jauh disana, Alina namanya, dia adalah anak perantau dari Padang, yang menikah
dengan warga negara Jepang. Awalnya kami kenal saat kami masih duduk di bangku
sekolah menengah akhir, saat masa orientasi siswa, dia tampak paling tinggi di
antara anak-anak yang lainnya.
▄
Aku lagi bengong karena tak satu-pun anak
laki-laki mengajakku bermain. Sekolahku adalah salah satu sekolah di ibu kota
yang SD, SMP, SMA dijadikan satu, jadi aku tak punya teman bermain, karena
rata-rata mereka bermain sama teman-teman dari angkatan masing-masing. Dikelas
aku hanya menggambar anime dan grafiti untuk mengisi waktu kosong.
“Kamu gambar Lucy fairytail atau gambar aku sih?”
tiba-tiba suara itu terdengar dari belakang bangku aku duduk.
“Eh?! Hehehe...” aku tertawa canggung, ternyata itu
anak cewek yang selalu tidak pernah keluar ketika istirahat. Dari kejauhan dia
tampak cantik, begitu aku lihat langsung dari dekat...
Tambah cantik.
“Suka anime?” tanyaku..
“Suka, dari aku kecil Ayah suka beliin aku Conan
tiap minggu.” Jawabnya sambil tertawa halus.
“Eh kita udah tiga hari MOS, belum kenal, namamu
siapa? Aku Alina.. Alina Yoshino.” Lanjutnya, sambil menerbitkan tangannya ke
depan ku.
“Aku.. namaku.. Zerdian, panggil aja Ze.” Aku sahut
tangannya untuk berkenalan
“Okay.. Aja Ze.” Sambil membungkukkan kepalanya 90
derajat.
“Hahah.. ngga pakai aja juga. Kamu.. orang... Jep..”
“Bukan!” bantahnya “Aku orang Indonesia asli,
lahirku aja yang di Jepang. Jadi ceritanya...”
Mulai saat itu kami mulai cocok, dia pindahkan
tasnya ke bangkuku dan duduk bersamaku. Kami bercerita panjang lebar soal
kehidupan masing-masing. Sampai saat bel pulang, kami sengaja berjalan lambat.
Agar obrolan kami cepat selesai sebelum tiba di tempat jemputan. Aku yang
orangnya suka canggung ketika berhadapan langsung dengan cewek, entah kenapa
ini beda. Dia bagaikan sahabat cowok, untukku. Mungkin kita sama-sama kesepian,
ternyata aku mendapat makna dari kesepian itu sendiri, orang yang sama-sama
kesepian memiliki koneksi yang kuat saat mereka bertemu.
Hari-hari berjalan seperti biasa, kami selalu
kerjasama saat ulangan, kami istirahat selalu bersama, sesekali juga sering
bertengkar, karena aku yang sibuk dengan anak cowok yang sudah ku kenal. Kami
seaakan tak peduli sekolah, kami habiskan
waktu bersama saat sekolah. Seluruh siswa kelas memanggilku Jaz, karena
Alina yang menjadikan namaku Aja Ze.
Sampai suatu saat ada pelajaran seni rupa, kami
diwajibkan mewarnai menggunakan kuas, aku selalu tertarik saat pelajaran seni,
aku bisa meluapkan apa yang tak bisa aku katakan dalam bentuk gambar. Aku melukis
dengan rapih dan khusyuk.
Tiba-tiba Alina, minta tolong aku, “Eh Jaz, aku
gambarin tangan dong.. Kalau aku gambar tangan jelek.”
Pas kami bertukar tempat duduk, Alina menyenggol cat
air yang tutupnya sudah terbuka. “Pyok”
“Loooh, Jaz!!” teriaknya.
Gambar gedungku yang hampir jadi berubah menjadi
biru setengah. Aku hanya diam.
“Jaz?! Sorryyy..” Alina sambil memasang wajah cemas.
“Hmmm.. ngga apa kok.” Jawabku bohong sambil
tersenyum, aku mulai gambar lagi, ternyata bel sudah habis. Aku hanya tidak
bisa marah ke Alina, karena koneksi kami yang kuat membuatku memaafkan segala
kesalahannya, begitupun juga dia. Kami diam-diaman sampai istirahat.
“Jaz..” panggilnya, dengan nada bersalah.
“Hmmm?”
“. . . . . yaudah deh kalau marah. Emang aku salah.”
Aku diam sejenak... “Hahah.. ngga papa kali lin,
santai aja. Gambarku ilang, aku masih
bisa bikin lagi. Lah kalau aku marah, terus kamu ilang dari aku, mau
cari dimana temen kaya kamu?”
“Ehehehe.. eheh.. eh.. Jaz...” sambil meneteskan air
mata.
Hari-hari berjalan seperti biasa, sampai kami naik
kelas 2. Kami sama-sama memutuskan mengambil IPS, aku ambil IPS karena aku
sangat lemah fisika, rumus dan hafalan membuatku gila. Dia ambil IPS karena dia
suka bahasa. Aneh, bukannya kelas IPA juga ada bahasa? Pikirku.
Lucunya, dari 4 kelas IPS, kami sama-sama masuk
kelas yang sama. Tentu kami duduk sebangku lagi. Kelas ini ada murid baru, Erik
namanya, dia anak SMA Negeri ternama, dia dari Tangerang, dia pindah ke Jakarta
karena Ayahnya kerja disini.
Erik punya badan yang macho abis, badannya sebesar
dan se-padat karung beras. Brewoknya bagaikan Kun Aguero, pemain bola terkenal.
Tapi sayang, dia membawa tas bergambarkan Minion Despicable Me. Wali kelas
menyuruhnya memilih bangku bebas, karena semua bangku sudah terisi dua-dua,
Erik memilih pojok nomer dua, bangkuku dan Alina.
“Sorry, ganggu ngga?” Tanya Erik ke arahku.
“Ngga, sama sekali.” Sambil aku senyum. “Lin, ge..
ser.”
Alina geser ke pojok, aku pun ikut geser. Erik
sangat memakan tempat.
“Bro.. gue Ze.” Sambil mengepakkan tanganku.
“Erik.” Dengan senyum ramah dan menyaut tanganku.
Remasannya sangat kuat.
“Yang disini Alina, salam kenal.” Alina
menyebrangkan tangannya lewat dadaku.
“Hai. Erik.” Dan menjabat tangan Alina. Alina tampak
meringis kesakitan ketika dijabat Erik.
“Kalian berdua... Couple?”
“Bukan!” kami berdua teriak.
Erik bercerita tentang kehidupannya. Saat dia SMP,
dia pernah terkena kasus narkoba. Dia adalah korban dari semua itu. Ayahnya
bekerja di perusahaan listrik negara. Yang tiap dua tahun sekali selalu di
pindah kota. Dia juga kesepian, karena tampang yang mirip preman Dufan, anak
laki-laki pun juga takut sama dia, padahal kalau sudah kenal, Erik adalah orang
yang sangat ramah. Dia juga cerita, mungkin dia ngga akan kenal dengan aku
lama, karena fisiknya yang lemah dikarenakan punya penyakit ginjal. Aku bilang,
umur orang ngga bakal ada yang tahu, selama kamu hidup, ya nikmati aja apa yang
ada disekitarmu. Erik adalah bocah yang ngga seberapa pintar, tapi dia punya
semangat. Semangat.. satu-satunya alasan untuk kamu mengalahkan semua orang
yang ber-skill. Hingga kami naik ke kelas tiga.
Kelas tiga, adalah dimana saat anak sekolah mulai
nakal, apalagi ayah sudah membelikanku motor. Jadi, kami sering pergi bertiga,
ngga mahal-mahal, paling pergi ke monas, untuk sekedar melepas diri dari tugas
sekolah. Diwaktu senggang, kita pergi ke puncak, membawa mobil Erik, dan Erik
yang nyetir. Dibawah malam kita tiduran, menikmati bintang yang mulai meredup
dan Alina bertanya..
“Jaz, kalau kamu udah lulus.. mau kemana?”
“Hoaahh.. paling balik ke Surabaya, kuliah, kerja,
nikah, punya anak. Mati deh.” Jawabku singkat.
“Hahaha, mesti kalau sama aku ngga pernah serius.
Kamu, rik?”
“Paling gue ngikutin jejak ayah gue, jadi engineer.
Dari kecil disuapin mesin mulu. Hahah... Elo sendiri kemana, Lin?” jawab Erik.
“Aku.. sama deh kaya Jaz kayanya, kuliah dulu..
cita-cita kan harus di gapai. Heheh..”
“Jaz.. Lin.. Kalian kan udah setahun jadi temen yang
ada buat gue. Gue boleh minta satu permintaan ngga?”
“Apa, rik?” Jawab kami bareng.
“Ginjal gue, kan semakin parah. Kayanya udah mulai
tahap kedua sih, dokter bilang. Misal.. misal nih ya, kalau gue ngga ada pas lo
berdua lagi di sekolah, lo mau ngga kabur, dari sekolah, terus berdoa di rumah
gue?”
“Apapun deh buat elo, rik. Tapi ya jangan meninggal
dulu lah, kulkas gue kalau rusak, mau dibenerin siapa?” jawabku.
“Hahaha.. sialan lo. Tapi Jaz, Lin, kalau mungkin
dunia udah ngga ngijinin gue tinggal di badannya lagi, lo mau kan anggep gue
sebagai orang yang pernah ada di hidup lo berdua?”
“Iya rik” Jawab Alina “Kita bakal anggep kamu ada,
walau ragamu ngga ada. Tapi, kita kan bukan Kristiani, gimana caranya kita bisa
doa di tempat kamu?”
“Yang berdoa kan udah ada, lo tinggal sampaiin
gimana caranya lo pernah kenal gue, gimana gue, dan elo siapa gue, pas di depan
peti gue. Simple kan? Ayolah, gue pengin dateng ke acara pemakaman gue sendiri, mungkin jadi hantu.”
Sejak saat itu, kami bertiga seperti meja berkaki
tiga. Walaupun salah satu dari kita ‘Pincang’ yang lain selalu bisa
memperbaikinya dengan menyeimbangkan sisi yang lain.
Memasuki semester kedua, Erik sudah mulai jarang
masuk, karena kontrol ginjal, dan cuci darah. Walaupun Erik tidak masuk sehari,
rasanya kami kehilangannya selamanya. Aku sering menjenguk ke rumah sakit, tapi
masih kontrol dan tidak boleh masuk ke Lab.
Esoknya, handphone Alina berdering. Dia membuka
segera walau sedang pelajaran. Sengaja aku mendekatkan kepala ku di dekat
handphonenya. Sang pengirim sms anonim, atau nomernya belum dinamai di handphone
Alina, sms itu berisikan bahwa Alina disuruh ke rumah sakit oleh Ayahnya Erik.
Setelah setengah jam, istirahat kelas, Alina dan aku
langsung menuju parkir mobil, aku menyuruh Alina melepas sepatunya dan naik ke
pundakku, aku mengangkatnya dan loncat lewat pagar belakang, aku dengan mudah
lompat melewati tembok sebelah, dan menuju parkiran motor, aku ke rumah sakit
naik motor bersama Alina.
Sampai disana, kami langsung lari ke tempat UGD
Erik. Melihat Erik yang mendapatkan selang dari hidungnya. Tak berkata, Alina
hanya meneteskan air mata. Pria berkumis datang dari belakang..
“Alina? Jaz?” panggilnya.
“I.. Iya? Ayahnya Erik?” Jawab Alina gugup.
“Hmmm.. pertama saya mengucapkan terimakasih, kamu
berdua sudah jadi teman Erik. Erik cerita banyak tentang kalian berdua, maaf
jika saya belum bisa menemui kalian. Kata dokter Erik sudah ngga ada harapan,
Erik hanya ingin kalian maju dan berdoa saat pemakaman.”
“Kami, berdua, juga minta maaf, kalau belum bisa
kasih Erik yang terbaik, om.” Balasku.
“kami akan melakukan apapun yang diinginkan Erik.”
Lanjut Alina
Kami berdua pulang, aku mengantar Alina, dan aku
pulang ke rumah sendiri untuk istirahat. Jam 1 dini hari, aku terbangun karena
PING!!! Alina yang begitu banyak, aku scroll ke atas, chat Alina menuliskan
sekitar setengah jam yang lalu, dia memberitahu ku Erik sudah tiada, aku tahu
Alina butuh pundah untuk bersandar, dia sudah pernah ditnggal Ibunya,
satu-satunya orang yang paling dia sayang, dan sekarang dia kehilangan sahabat
dekat yang baru kita kenal setahun.
▄
“Mungkin ini bukan pilihan, walaupun ini
mengejutkan. Cepat atau lambat, kita semua mempunyai kesempat untuk meninggalkan
dunia ini. Tidak perlu takut. Pada akhirnya semua apa yang telah dilakukan,
kemudian terlupakan. Itu sudah menjadi rumus Tuhan untuk menceritakan dunia
ini. Dan jika ada seseorang yang mencintaimu dan mengingatmu, maka itu sudah
menjadi kehendak Tuhan, menunjukan seberapa beruntungnya dirimu. Terimakasih.”
Tutup Alina di pidato pemakaman Erik, disertai derasnya air mata yang mengalir
di pipinya. Alina kembali duduk dan menanyaiku.
“Ngga mau nyampein apa-apa?”
"Ngga.” Jawabku tanpa emosi.
“Belum sembuh dari ditinggal Ibu, sekarang udah
ditinggal Temen deket.”
“Dalam hal menyakiti, seseorang yang paling dalam
menancapkan pedangnya adalah yang paling dekat denganmu. Disengaja atau ngga,
itu bakal terjadi.”
“Iya, Erik sama Ibu contohnya.”
Erik dan aku memang tidak sedarah, tapi koneksi kami
membuat kita se-dekat nadi. Aku mulai belajar suatu hal, semua orang akan
ditinggalkan seseorang. Entah itu karena kesalahanmu atau bukan, tapi itu
memang rencana Tuhan dari awal.
Kami pun telah lulus SMA, kami liburan bersama teman
sekelas ke Yogyakarta, menghabiskan masa terakhir SMA, di hadapan sunset pantai
Parangtritis, kami membuka janji dan rahasia kami.
“Jadi, Jaz.. Kalau kita beda kampus, kamu di
Surabaya, kamu janji ngga bakal masih inget aku?”
“Janji dong...” jawabku, “Lin..”
“Ya?” jawabnya sambil tersenyum
“Sadar ngga sih, kalau kita ini cewek-cowok?”
“Maksudmu, Jaz?” tiba-tiba wajahnya berubah
penasaran
“Iya, 3 tahun kita temenan, dan bakal gini-gini
aja.”
“Jadi.. intinya.. kamu.. mau..”
“Iya Lin.. jadi, rasa ini baru muncul. Aneh ya,
hehe..”
“Hahaha.. Jaz, sama kok, aku juga. Cuma bedanya, aku
sudah ada sejak lama.”
“Kenapa ngga bilang dari dulu?”
“Aku kan cewek.. aku ngga pernah bisa ngungkapin.”
“. . . . . jadi.. Lin, gimana?”
Dia mengambil tanganku yang lagi menggenggam pasir pantai,
dan menggenggamnya. “Iya Jaz, ayo kita mulai dari awal.” Bibirnya memekarkan
senyuman.
Tanpa segan-segan aku menahan pundaknya dan
mengenggam tubuhnya, seakan tak peduli ada orang lain. Cinta pertama memang
indah, seakan jiwa ini mengecil, dan jiwa yang lain masuk ke tubuh.
Pengumuman perguruan tinggi negeri, Alina masuk
perguruan tinggi yang dia ingingkan, Sastra Inggris. Sedangkan aku... aku
diterima di tempat Alina juga, Budaya dan Ekonomi. Aku tahu kami beda kelas,
tapi kita masih menetap disini. Aku menjemput dia seperti saat kami waktu SMA,
kampus kami Cuma berbeda 2 blok dari belakang.
Suatu ketika, aku jemput dia, dia memberikan amplop
kecil kepadaku..
“Apa ini, Lin?” sambil mengintip isi amplopnya.
“Buka aja dulu, Jaz.”
Aku buka amplop itu. Ternyata kertas kecil
bertuliskan huruf kanji yang tak satupun aku mengerti.
“Becanda Lin? Mana ngerti aku artinya..”
“Huh.. Surat pemecatan.”
“Maksudnya?” tanyaku.
“Perusahaan Ayah, bangkrut, yang di Indonesia. Semua
karyawan Cuma dikasih 2 opsi; mau pindah ke Jepang, atau cabut kontrak. Ayah,
pilih yang.. pertama.” Dengan nada pasrah “Aku ikut Ayah, Jaz.”
“Kapan berangkat?”
“Minggu depan.”
Remuk. Meledak. Buyar semua konsentrasi dan akalku. Ngga
adil, seakan dunia ini sengaja memisahkan penghuninya.
“Naik ke motor.”
“Mau kemana, Jaz? Aku kemarin udah ngundurin diri
dari kampus.”
“Lin..”
“Iya, iya.. aku ambil tas dulu.”
Seharian aku habiskan bersama Alina, dari nonton
bioskop, makan, duduk-duduk di taman, foto-foto berdua ditempat yang ramai,
sampai senja tiba, aku ingin mengabadikan ini dalam hidup. Aku membuat memori
ini untuk kami. Hari-hari terakhir, saat mata kita tak pernah kedip, dan
berharap waktu beku untuk selamanya, jadi
kami bisa memeluk satu sama lain.
Ternyata khayal, waktu seakan begitu cepat. Sampai di
depan rumah Alina, aku masih belum percaya kalau dia mau pergi, aku memegang
kepalanya hingga mata kami berdekatan, dan berbisik.
“Kamu penjahat, Lin. Kamu luapin perasaan ditinggal
seseorang ke aku. Tapi ngga apa-apa, aku masih beruntung bisa kenal kamu. Tapi
inget, Lin, aku ngga pernah rela kamu pergi.” Bisikku, hingga air mataku yang
sudah tak tertahan, dan jatuh.
Alina menutup mata, mendekatkan bibirnya ke bibirku,
dan mengecupnya. Kemudain berbisik, “Jiwaku yang akan selalu sama kamu, Jaz.”
“Aku pingin sebelum kamu berangkat, kita makan malem
dulu, di restoran tempat kita biasa makan. Aku mau kasih kenangan buat kamu”
“Apapun, Jaz.”
Tepat sebelum hari keberangkatan Alina, aku tunggu
dia di restoran. Aku sengaja meninggalkan handphone karena aku tak mau diganggu
siapapun. Aku suah membawa anting emas, untuk kuberikan kepada Alina. Aku tunggu
satu jam Alina belum datang. Dua jam, aku mulai cemas. Tiga jam, aku menyerah,
aku pulang kerumah, dan mengecek handphone. Ada 9 missed call, dan 1 sms
tertuliskan,
“Zerdian, dear. Sebelumnya sorry banget, tapi
tiba-tiba jadwal pesawat dimajukan. Aku kali ini aja, ngga bisa nepatin
ajakamu. Maaf ya.”
Masa lalu ku cukup kelam, ditinggal dua orang dengan
tidak disengaja. Kadang-kadang saat aku lagi melamun, Alina dan Erik suka
mampir sebentar di benak. Aku benar-benar belajar banyak tentang dua orang itu.
Aku mengerti apa arti ‘Melepas’, bukan karena kamu tidak layak memiliki,
melainkan karena kamu harus tahu mengapa kamu pernah memiliki.
7 tahun setelah itu, aku lulus kuliah dan kerja di
perusahaan minyak negara. Aku tidak pernah berubah, masih suka kesepian dan
menyendiri. Tapi, bukankah Tuhan sudah mentakdirkanku seperti itu?
Aku masih kontak dengan Alina, lewat surel dan video
call. Dia bekerja di kedutaan Indonesia di Jepang, dia sudah bisa 4 bahasa. Kami
bagaikan dua ikan dalam akuarium yang dibatasi oleh kaca, bisa melihat, tapi
tidak pernah bertemu.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintuku, dan bertanya. “Ngga
istirahat, Jaz?”
Tampak mukanya yang tidak pernah lelah bekerja, dia
mirip seperti Alina, berkacamata, rambut panjang, tinggi semampai. Dia juga
baik, asyik, mau diajak susah, mirip seperti Alina. Boleh, menentukan, kamu
suka siapa, atau kamu ingin menikahi siapa, tapi satu yang perlu diingat; jodoh
ditangan Tuhan.
“Jaz? Kok bengong? Istirahat duluan ya..” dan Annisa menutup pintu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar