Jumat, 25 Juli 2014

CERPEN: Melepas

“Lusa udah siap belum, Jaz? Udah hafal ijab qabulnya emang? Hahahah!” goda Nisa sambil meminum jus-nya.

“Lah? Ya siap dong. Emang mau kamu yang ngucapin ijab qabul? Sekarang aku gantian tanya..”

“Apah?” jawab Nita sambil menatap dengan nakal.

“Emang kamu udah siap hamil?”

“Tergantung, kalau yang hamilin kamu ya mau.. Hahaha!!”

Gaya tertawa Nisa mengingatkanku pada seseorang yang jauh disana, Alina namanya, dia adalah anak perantau dari Padang, yang menikah dengan warga negara Jepang. Awalnya kami kenal saat kami masih duduk di bangku sekolah menengah akhir, saat masa orientasi siswa, dia tampak paling tinggi di antara anak-anak yang lainnya. 



Aku lagi bengong karena tak satu-pun anak laki-laki mengajakku bermain. Sekolahku adalah salah satu sekolah di ibu kota yang SD, SMP, SMA dijadikan satu, jadi aku tak punya teman bermain, karena rata-rata mereka bermain sama teman-teman dari angkatan masing-masing. Dikelas aku hanya menggambar anime dan grafiti untuk mengisi waktu kosong.

“Kamu gambar Lucy fairytail atau gambar aku sih?” tiba-tiba suara itu terdengar dari belakang bangku aku duduk.

“Eh?! Hehehe...” aku tertawa canggung, ternyata itu anak cewek yang selalu tidak pernah keluar ketika istirahat. Dari kejauhan dia tampak cantik, begitu aku lihat langsung dari dekat...
Tambah cantik.

“Suka anime?” tanyaku..

“Suka, dari aku kecil Ayah suka beliin aku Conan tiap minggu.” Jawabnya sambil tertawa halus.

“Eh kita udah tiga hari MOS, belum kenal, namamu siapa? Aku Alina.. Alina Yoshino.” Lanjutnya, sambil menerbitkan tangannya ke depan ku.

“Aku.. namaku.. Zerdian, panggil aja Ze.” Aku sahut tangannya untuk berkenalan

“Okay.. Aja Ze.” Sambil membungkukkan kepalanya 90 derajat.

“Hahah.. ngga pakai aja juga. Kamu.. orang... Jep..”

“Bukan!” bantahnya “Aku orang Indonesia asli, lahirku aja yang di Jepang. Jadi ceritanya...”


Mulai saat itu kami mulai cocok, dia pindahkan tasnya ke bangkuku dan duduk bersamaku. Kami bercerita panjang lebar soal kehidupan masing-masing. Sampai saat bel pulang, kami sengaja berjalan lambat. Agar obrolan kami cepat selesai sebelum tiba di tempat jemputan. Aku yang orangnya suka canggung ketika berhadapan langsung dengan cewek, entah kenapa ini beda. Dia bagaikan sahabat cowok, untukku. Mungkin kita sama-sama kesepian, ternyata aku mendapat makna dari kesepian itu sendiri, orang yang sama-sama kesepian memiliki koneksi yang kuat saat mereka bertemu.

Hari-hari berjalan seperti biasa, kami selalu kerjasama saat ulangan, kami istirahat selalu bersama, sesekali juga sering bertengkar, karena aku yang sibuk dengan anak cowok yang sudah ku kenal. Kami seaakan tak peduli sekolah, kami habiskan  waktu bersama saat sekolah. Seluruh siswa kelas memanggilku Jaz, karena Alina yang menjadikan namaku Aja Ze.

Sampai suatu saat ada pelajaran seni rupa, kami diwajibkan mewarnai menggunakan kuas, aku selalu tertarik saat pelajaran seni, aku bisa meluapkan apa yang tak bisa aku katakan dalam bentuk gambar. Aku melukis dengan rapih dan khusyuk.
 Tiba-tiba Alina, minta tolong aku, “Eh Jaz, aku gambarin tangan dong.. Kalau aku gambar tangan jelek.”
Pas kami bertukar tempat duduk, Alina menyenggol cat air yang tutupnya sudah terbuka. “Pyok”
“Loooh, Jaz!!” teriaknya.
Gambar gedungku yang hampir jadi berubah menjadi biru setengah. Aku hanya diam.

“Jaz?! Sorryyy..” Alina sambil memasang wajah cemas.

“Hmmm.. ngga apa kok.” Jawabku bohong sambil tersenyum, aku mulai gambar lagi, ternyata bel sudah habis. Aku hanya tidak bisa marah ke Alina, karena koneksi kami yang kuat membuatku memaafkan segala kesalahannya, begitupun juga dia. Kami diam-diaman sampai istirahat.

“Jaz..” panggilnya, dengan nada bersalah.

“Hmmm?”

“. . . . . yaudah deh kalau marah. Emang aku salah.”

Aku diam sejenak... “Hahah.. ngga papa kali lin, santai aja. Gambarku ilang, aku masih  bisa bikin lagi. Lah kalau aku marah, terus kamu ilang dari aku, mau cari dimana temen kaya kamu?”

“Ehehehe.. eheh.. eh.. Jaz...” sambil meneteskan air mata.

Hari-hari berjalan seperti biasa, sampai kami naik kelas 2. Kami sama-sama memutuskan mengambil IPS, aku ambil IPS karena aku sangat lemah fisika, rumus dan hafalan membuatku gila. Dia ambil IPS karena dia suka bahasa. Aneh, bukannya kelas IPA juga ada bahasa? Pikirku.
Lucunya, dari 4 kelas IPS, kami sama-sama masuk kelas yang sama. Tentu kami duduk sebangku lagi. Kelas ini ada murid baru, Erik namanya, dia anak SMA Negeri ternama, dia dari Tangerang, dia pindah ke Jakarta karena Ayahnya kerja disini.
Erik punya badan yang macho abis, badannya sebesar dan se-padat karung beras. Brewoknya bagaikan Kun Aguero, pemain bola terkenal. Tapi sayang, dia membawa tas bergambarkan Minion Despicable Me. Wali kelas menyuruhnya memilih bangku bebas, karena semua bangku sudah terisi dua-dua, Erik memilih pojok nomer dua, bangkuku dan Alina.

“Sorry, ganggu ngga?” Tanya Erik ke arahku.

“Ngga, sama sekali.” Sambil aku senyum. “Lin, ge.. ser.”

Alina geser ke pojok, aku pun ikut geser. Erik sangat memakan tempat.

“Bro.. gue Ze.” Sambil mengepakkan tanganku.

“Erik.” Dengan senyum ramah dan menyaut tanganku. Remasannya sangat kuat.

“Yang disini Alina, salam kenal.” Alina menyebrangkan tangannya lewat dadaku.

“Hai. Erik.” Dan menjabat tangan Alina. Alina tampak meringis kesakitan ketika dijabat Erik.
“Kalian berdua... Couple?”

“Bukan!” kami berdua teriak.

Erik bercerita tentang kehidupannya. Saat dia SMP, dia pernah terkena kasus narkoba. Dia adalah korban dari semua itu. Ayahnya bekerja di perusahaan listrik negara. Yang tiap dua tahun sekali selalu di pindah kota. Dia juga kesepian, karena tampang yang mirip preman Dufan, anak laki-laki pun juga takut sama dia, padahal kalau sudah kenal, Erik adalah orang yang sangat ramah. Dia juga cerita, mungkin dia ngga akan kenal dengan aku lama, karena fisiknya yang lemah dikarenakan punya penyakit ginjal. Aku bilang, umur orang ngga bakal ada yang tahu, selama kamu hidup, ya nikmati aja apa yang ada disekitarmu. Erik adalah bocah yang ngga seberapa pintar, tapi dia punya semangat. Semangat.. satu-satunya alasan untuk kamu mengalahkan semua orang yang ber-skill. Hingga kami naik ke kelas tiga.

Kelas tiga, adalah dimana saat anak sekolah mulai nakal, apalagi ayah sudah membelikanku motor. Jadi, kami sering pergi bertiga, ngga mahal-mahal, paling pergi ke monas, untuk sekedar melepas diri dari tugas sekolah. Diwaktu senggang, kita pergi ke puncak, membawa mobil Erik, dan Erik yang nyetir. Dibawah malam kita tiduran, menikmati bintang yang mulai meredup dan Alina bertanya..

“Jaz, kalau kamu udah lulus.. mau kemana?”

“Hoaahh.. paling balik ke Surabaya, kuliah, kerja, nikah, punya anak. Mati deh.” Jawabku singkat.

“Hahaha, mesti kalau sama aku ngga pernah serius. Kamu, rik?”

“Paling gue ngikutin jejak ayah gue, jadi engineer. Dari kecil disuapin mesin mulu. Hahah... Elo sendiri kemana, Lin?” jawab Erik.

“Aku.. sama deh kaya Jaz kayanya, kuliah dulu.. cita-cita kan harus di gapai. Heheh..”

“Jaz.. Lin.. Kalian kan udah setahun jadi temen yang ada buat gue. Gue boleh minta satu permintaan ngga?”

“Apa, rik?” Jawab kami bareng.

“Ginjal gue, kan semakin parah. Kayanya udah mulai tahap kedua sih, dokter bilang. Misal.. misal nih ya, kalau gue ngga ada pas lo berdua lagi di sekolah, lo mau ngga kabur, dari sekolah, terus berdoa di rumah gue?”

“Apapun deh buat elo, rik. Tapi ya jangan meninggal dulu lah, kulkas gue kalau rusak, mau dibenerin siapa?” jawabku.

“Hahaha.. sialan lo. Tapi Jaz, Lin, kalau mungkin dunia udah ngga ngijinin gue tinggal di badannya lagi, lo mau kan anggep gue sebagai orang yang pernah ada di hidup lo berdua?”

“Iya rik” Jawab Alina “Kita bakal anggep kamu ada, walau ragamu ngga ada. Tapi, kita kan bukan Kristiani, gimana caranya kita bisa doa di tempat kamu?”

“Yang berdoa kan udah ada, lo tinggal sampaiin gimana caranya lo pernah kenal gue, gimana gue, dan elo siapa gue, pas di depan peti gue. Simple kan? Ayolah, gue pengin dateng ke acara pemakaman gue sendiri, mungkin jadi hantu.”

Sejak saat itu, kami bertiga seperti meja berkaki tiga. Walaupun salah satu dari kita ‘Pincang’ yang lain selalu bisa memperbaikinya dengan menyeimbangkan sisi yang lain.
Memasuki semester kedua, Erik sudah mulai jarang masuk, karena kontrol ginjal, dan cuci darah. Walaupun Erik tidak masuk sehari, rasanya kami kehilangannya selamanya. Aku sering menjenguk ke rumah sakit, tapi masih kontrol dan tidak boleh masuk ke Lab.

Esoknya, handphone Alina berdering. Dia membuka segera walau sedang pelajaran. Sengaja aku mendekatkan kepala ku di dekat handphonenya. Sang pengirim sms anonim, atau nomernya belum dinamai di handphone Alina, sms itu berisikan bahwa Alina disuruh ke rumah sakit oleh Ayahnya Erik.

Setelah setengah jam, istirahat kelas, Alina dan aku langsung menuju parkir mobil, aku menyuruh Alina melepas sepatunya dan naik ke pundakku, aku mengangkatnya dan loncat lewat pagar belakang, aku dengan mudah lompat melewati tembok sebelah, dan menuju parkiran motor, aku ke rumah sakit naik motor bersama Alina.


Sampai disana, kami langsung lari ke tempat UGD Erik. Melihat Erik yang mendapatkan selang dari hidungnya. Tak berkata, Alina hanya meneteskan air mata. Pria berkumis datang dari belakang..

“Alina? Jaz?” panggilnya.

“I.. Iya? Ayahnya Erik?” Jawab Alina gugup.

“Hmmm.. pertama saya mengucapkan terimakasih, kamu berdua sudah jadi teman Erik. Erik cerita banyak tentang kalian berdua, maaf jika saya belum bisa menemui kalian. Kata dokter Erik sudah ngga ada harapan, Erik hanya ingin kalian maju dan berdoa saat pemakaman.”

“Kami, berdua, juga minta maaf, kalau belum bisa kasih Erik yang terbaik, om.” Balasku.

“kami akan melakukan apapun yang diinginkan Erik.” Lanjut Alina

Kami berdua pulang, aku mengantar Alina, dan aku pulang ke rumah sendiri untuk istirahat. Jam 1 dini hari, aku terbangun karena PING!!! Alina yang begitu banyak, aku scroll ke atas, chat Alina menuliskan sekitar setengah jam yang lalu, dia memberitahu ku Erik sudah tiada, aku tahu Alina butuh pundah untuk bersandar, dia sudah pernah ditnggal Ibunya, satu-satunya orang yang paling dia sayang, dan sekarang dia kehilangan sahabat dekat yang baru kita kenal setahun.



“Mungkin ini bukan pilihan, walaupun ini mengejutkan. Cepat atau lambat, kita semua mempunyai kesempat untuk meninggalkan dunia ini. Tidak perlu takut. Pada akhirnya semua apa yang telah dilakukan, kemudian terlupakan. Itu sudah menjadi rumus Tuhan untuk menceritakan dunia ini. Dan jika ada seseorang yang mencintaimu dan mengingatmu, maka itu sudah menjadi kehendak Tuhan, menunjukan seberapa beruntungnya dirimu. Terimakasih.” Tutup Alina di pidato pemakaman Erik, disertai derasnya air mata yang mengalir di pipinya. Alina kembali duduk dan menanyaiku.

“Ngga mau nyampein apa-apa?”

"Ngga.” Jawabku tanpa emosi.

“Belum sembuh dari ditinggal Ibu, sekarang udah ditinggal Temen deket.”

“Dalam hal menyakiti, seseorang yang paling dalam menancapkan pedangnya adalah yang paling dekat denganmu. Disengaja atau ngga, itu bakal terjadi.”

“Iya, Erik sama Ibu contohnya.”

Erik dan aku memang tidak sedarah, tapi koneksi kami membuat kita se-dekat nadi. Aku mulai belajar suatu hal, semua orang akan ditinggalkan seseorang. Entah itu karena kesalahanmu atau bukan, tapi itu memang rencana Tuhan dari awal.

Kami pun telah lulus SMA, kami liburan bersama teman sekelas ke Yogyakarta, menghabiskan masa terakhir SMA, di hadapan sunset pantai Parangtritis, kami membuka janji dan rahasia kami.

“Jadi, Jaz.. Kalau kita beda kampus, kamu di Surabaya, kamu janji ngga bakal masih inget aku?”


“Janji dong...” jawabku, “Lin..”

“Ya?” jawabnya sambil tersenyum

“Sadar ngga sih, kalau kita ini cewek-cowok?”

“Maksudmu, Jaz?” tiba-tiba wajahnya berubah penasaran

“Iya, 3 tahun kita temenan, dan bakal gini-gini aja.”

“Jadi.. intinya.. kamu.. mau..”

“Iya Lin.. jadi, rasa ini baru muncul. Aneh ya, hehe..”

“Hahaha.. Jaz, sama kok, aku juga. Cuma bedanya, aku sudah ada sejak lama.”

“Kenapa ngga bilang dari dulu?”

“Aku kan cewek.. aku ngga pernah bisa ngungkapin.”

“. . . . . jadi.. Lin, gimana?”

Dia mengambil tanganku yang lagi menggenggam pasir pantai, dan menggenggamnya. “Iya Jaz, ayo kita mulai dari awal.” Bibirnya memekarkan senyuman.
Tanpa segan-segan aku menahan pundaknya dan mengenggam tubuhnya, seakan tak peduli ada orang lain. Cinta pertama memang indah, seakan jiwa ini mengecil, dan jiwa yang lain masuk ke tubuh.

Pengumuman perguruan tinggi negeri, Alina masuk perguruan tinggi yang dia ingingkan, Sastra Inggris. Sedangkan aku... aku diterima di tempat Alina juga, Budaya dan Ekonomi. Aku tahu kami beda kelas, tapi kita masih menetap disini. Aku menjemput dia seperti saat kami waktu SMA, kampus kami Cuma berbeda 2 blok dari belakang.
Suatu ketika, aku jemput dia, dia memberikan amplop kecil kepadaku..

“Apa ini, Lin?” sambil mengintip isi amplopnya.

“Buka aja dulu, Jaz.”

Aku buka amplop itu. Ternyata kertas kecil bertuliskan huruf kanji yang tak satupun aku mengerti.
“Becanda Lin? Mana ngerti aku artinya..”

“Huh.. Surat pemecatan.”

“Maksudnya?” tanyaku.

“Perusahaan Ayah, bangkrut, yang di Indonesia. Semua karyawan Cuma dikasih 2 opsi; mau pindah ke Jepang, atau cabut kontrak. Ayah, pilih yang.. pertama.” Dengan nada pasrah “Aku ikut Ayah, Jaz.”

“Kapan berangkat?”

“Minggu depan.”

Remuk. Meledak. Buyar semua konsentrasi dan akalku. Ngga adil, seakan dunia ini sengaja memisahkan penghuninya.

“Naik ke motor.”

“Mau kemana, Jaz? Aku kemarin udah ngundurin diri dari kampus.”

“Lin..”

“Iya, iya.. aku ambil tas dulu.”

Seharian aku habiskan bersama Alina, dari nonton bioskop, makan, duduk-duduk di taman, foto-foto berdua ditempat yang ramai, sampai senja tiba, aku ingin mengabadikan ini dalam hidup. Aku membuat memori ini untuk kami. Hari-hari terakhir, saat mata kita tak pernah kedip, dan berharap waktu beku untuk  selamanya, jadi kami bisa memeluk satu sama lain.

Ternyata khayal, waktu seakan begitu cepat. Sampai di depan rumah Alina, aku masih belum percaya kalau dia mau pergi, aku memegang kepalanya hingga mata kami berdekatan, dan berbisik.
“Kamu penjahat, Lin. Kamu luapin perasaan ditinggal seseorang ke aku. Tapi ngga apa-apa, aku masih beruntung bisa kenal kamu. Tapi inget, Lin, aku ngga pernah rela kamu pergi.” Bisikku, hingga air mataku yang sudah tak tertahan, dan jatuh.

Alina menutup mata, mendekatkan bibirnya ke bibirku, dan mengecupnya. Kemudain berbisik, “Jiwaku yang akan selalu sama kamu, Jaz.”

“Aku pingin sebelum kamu berangkat, kita makan malem dulu, di restoran tempat kita biasa makan. Aku mau kasih kenangan buat kamu”

“Apapun, Jaz.”

Tepat sebelum hari keberangkatan Alina, aku tunggu dia di restoran. Aku sengaja meninggalkan handphone karena aku tak mau diganggu siapapun. Aku suah membawa anting emas, untuk kuberikan kepada Alina. Aku tunggu satu jam Alina belum datang. Dua jam, aku mulai cemas. Tiga jam, aku menyerah, aku pulang kerumah, dan mengecek handphone. Ada 9 missed call, dan 1 sms tertuliskan,

“Zerdian, dear. Sebelumnya sorry banget, tapi tiba-tiba jadwal pesawat dimajukan. Aku kali ini aja, ngga bisa nepatin ajakamu. Maaf ya.”

Masa lalu ku cukup kelam, ditinggal dua orang dengan tidak disengaja. Kadang-kadang saat aku lagi melamun, Alina dan Erik suka mampir sebentar di benak. Aku benar-benar belajar banyak tentang dua orang itu. Aku mengerti apa arti ‘Melepas’, bukan karena kamu tidak layak memiliki, melainkan karena kamu harus tahu mengapa kamu pernah memiliki.

7 tahun setelah itu, aku lulus kuliah dan kerja di perusahaan minyak negara. Aku tidak pernah berubah, masih suka kesepian dan menyendiri. Tapi, bukankah Tuhan sudah mentakdirkanku seperti itu?

Aku masih kontak dengan Alina, lewat surel dan video call. Dia bekerja di kedutaan Indonesia di Jepang, dia sudah bisa 4 bahasa. Kami bagaikan dua ikan dalam akuarium yang dibatasi oleh kaca, bisa melihat, tapi tidak pernah bertemu.

Tiba-tiba seseorang mengetuk pintuku, dan bertanya. “Ngga istirahat, Jaz?”
Tampak mukanya yang tidak pernah lelah bekerja, dia mirip seperti Alina, berkacamata, rambut panjang, tinggi semampai. Dia juga baik, asyik, mau diajak susah, mirip seperti Alina. Boleh, menentukan, kamu suka siapa, atau kamu ingin menikahi siapa, tapi satu yang perlu diingat; jodoh ditangan Tuhan.


“Jaz? Kok bengong? Istirahat duluan ya..” dan Annisa menutup pintu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar