Sudah lama Ayah terbebani tugas yang berat selama
dua puluh tahun. Ayah adalah anggota tim Search And Rescue yang bermarkas di
Tangerang. Dimulai dari ia masih anggota regu, sampai ia menjadi kepala regu,
seperti saat ini. Buah tak jatuh dari pohonnya, aku lah buah itu. Setelah lulus
SMA, pada umur 17 tahun, aku mengikuti jejak Ayah sebagai tim SAR. Mengikuti
pelatihan selama enam bulan, hasilnya adalah aku menjadi anggota termuda yang
diarsiteki oleh Ayahku sendiri.
Minggu pagi yang cerah di Jakarta, di temani oleh
secangkir kopi dan melanjutkan menonton episode terakhir Doctor Who. Ayah
mengganti channel BBC tiba-tiba ke channel lokal. Channel itu ternyata breaking
news biasa. Melihat juduh headline berita tersebut, aku mendadak shock. Berita
itu tentang bencana alam, yaitu terjadi tsunami di Aceh pada pagi hari waktu
setempat. Ayah nampak melongo dengan remote TVnya, ia memandang ke arahku
“Pamit Ibu, kita ke gedung 628 sekarang.”
Perjalanan ke markas di gedung 628 dari rumah memakan
waktu satu jam. Setelah sampai di sana, puluhan anggota SAR dan kapten sudah di
tempat briefing. Pak Cahyo, sebagai penasihat tim, berbicara besok pagi kami
harus di sini dan berangkat menuju Aceh menggunakan helikopter. Aku berjanji,
tugas pertama tak akan ku sia-siakan.
Pagi hari setelah kemarin menimbulkan rasa cemas di
kepala, ini lebih dari sekedar pergantian hari. Sudah siap segalanya, aku dan
ayah sudah di helikopter. Memakan waktu 5 jam untuk sampai di Nanggro Aceh
Darussalam.
Setibanya di sini, kota ini bagaikan kain kotor yang
di cuci Tuhan. Hanya tersisa masjid dan semuanya rata dengan tanah. Menuju pos
pengungsian yang sudah banyak berkrumunan warga yang kehilangan rumah dan sanak
saudara. Kami membagikan makanan, obat-obatan, serta selimut. Aku sendiri turut
serta dalam membagikan itu semua, sambil menunggu pasokan yang lain datang.
Ayah sendiri memimpin pencarian jenazah yang terombang-ambing entah kemana.
Sore hari pun tiba. Selesai mem-panitiai semua
kebutuhan, tak tahan rasanya melihat banyak orang yang berduka. Di pohon besar
yang tumbang, kulihat anak perempuan berbaju sekolah SMP yang dari tadi duduk
di pohon itu. Ia tak beranjak sedikitpun dari tadi siang aku sampai di sini.
Kuhampiri anak itu, bocah itu memasang wajah kosong menatap lahan yang rata
dengan tanah, aku duduk di sampingnya.
“Sudah makan, dik?” tanyaku. Bocah itu hanya
menggelengkan kepalanya seolah-olah pikirannya berantakan, menandakan ia
menjawab ‘tidak’.
“Makan gih, nanti laper lho.” Lanjutku bicara. Ia
masih tak menggubris kalimatku. Bocah ini
egois sekali, dia pikir hanya dia yang kehilangan segalanya? Pikirku geram.
Beranjak berdiri, aku berniat mengambilkan dia
makan, 90 derajat setelah aku membalikkan badan, sesuatu yang dingin
menggenggam tanganku. Itu adalah tangan bocah tersebut.
“Di sini aja, kak.” Sambil menatap wajahku dengan
muka penuh dukanya. Akhirnya dia mengucapkan sepatah kata. Aku tersenyum
kepadanya, kembali duduk di pohon besar itu.
“Siapa namamu?” tanyaku kepadanya.
“Arry.” Jawabnya singkat.
“Sendirian daritadi? Ayah, Ibu ke mana?” tanyaku
lagi.
“Ngga tau.”
“Kamu baru SMP? Kamu umur berapa? Ikut aku makan
yuk, nanti sakit lho. Besok kita cari Ayah Ibu.” Ajakku.
“14 tahun.” Ia mengangguk kan kepalanya, ia berdiri
dan menggenggam tanganku.
Aku mengajaknya ke tempat peristirahatan tim, aku
mengasihi makan dan minumku. Ia makan dengan lahap. “Rez!” panggil seseorang di
belakangku, itu Ayah. “Bisa ngomong sebentar?” beliau berkata. Aku
menghampirinya ke luar tenda.
“Itu siapa?” tanya Ayah.
“Namanya Arry, dia baru—“
“Kok ngga di taruh di tenda pengungsian?” potong
Ayah.
“Dia ngga punya siapa-siapa, yah. Orang tuanya
hilang.”
“Terus menurutmu semua orang di pengungsian masih
punya saudara?” ia berkata dengan keras.
“Dia masih 14 tahun yah, tolonglah ngerti perasaan
anak kecil.”
“Rez, kita di sini bantu semua orang. Bukan cuma
bantu anak kecil yang kehilangan orang tuanya.”
“Tapi tugas Reza udah selesai, kan, yah? Aku juga
capek dari tadi ngatur korban terus. Ini di luar tugas Reza yah.”
Ayah diam sejenak, menatapku sinis “Jangan sampai
dia ganggu kerjamu, Rez.”
“Iya, yah.”
Jika cinta Tuhan adalah kilauan fajar, maka aku
yakin cahayanya sampai ke Arry. Walaupun tak terlihat bahagia, ia selalu pandai
untuk menyembunyikan apa yang dideritanya. Arry akhirnya paham semua ini, ia
paham bahwa sanak keluarga sudah meninggalkannya, dua hari kami mencari dan
menunggu di rumahnya yang sudah hancur, tak ketemu. Mungkin Tuhan menuliskan
sedikit tinta merah di hidup Arry. Sampai hari ke tiga aku di sini, Arry
bertanya kepadaku.
“Kamu punya saudara, kak?” katanya
“Ngga, Ar. Aku anak tunggal. Kamu?”
“Pasti enak jadi anak tunggal. Ngga ada yang
gangguin, main bisa bebas ke mana-mana.”
“Tapi kadang sepi juga bisa bunuh aku perlahan.”
“Maksudnya?”
“Ngga seperti apa yang kamu bayangin, Ar. Aku pengen
ngerti rasanya punya saudara. Sekali-kali pengen digodain, main bareng, jalan
bareng.”
“Aku bisa kalau cuma nemenin.”
“Masa? Emang kamu mau ikut ke Jawa?”
“Kalau itu untuk nyenengin orang yang udah nemenin
aku selama kejadian ini, aku siap jadi saudara tirimu.”
“Terus kampung halamanmu?”
“Kan sudah habis? Di sini juga ngga ada orang yang
aku kenal. Udah diambil sama Tuhan semua.”
Setelah berbincang dengan Ayah, beliau mengizinkanku
mengajak Arry sebagai anak angkat Ayah. Beliau memang punya watak yang kasar,
tapi itu hanya di depan. Dari dalam hatinya, mungkin ia bagai kembang api yang busung.
Kami pulang setelah tugas selesai, sepuluh hari
berada di Aceh, saat itu aku tak mengenal tahun baru dan hari libur, aku hanya
menjalankan tugas di sini. Helikopter tim tiba di bandara, dan kami menuju
rumah. Arry yang hanya ber-hartakan jepit rambut di kepalanya, ku suruh ia
mandi dan mengganti pakaiannya. Hal pertama yang ada di benakku adalah, aku
harus mencarikannya sekolah. Saat yang tepat, prtengahan semester membuat
beberapa sekolah SMP swasta mengadakan lomba. Bertanya ke panitia sekolah dan
bercerita apa yang terjadi kepada Arry, tentunya dengan sedikit ‘pelicin’, Arry
bisa sekolah minggu depan, pas dengan awal semester 2.
Arry sangatlah ramah, senang rasanya ia cepat akrab
dengan kami, mulai dari membantu Ibu memasak, menemani Ayah mencuci mobil,
hingga ngobrol panjang lebar denganku. Anaknya dewasa, asik, lucu, dan yang
paling membuatku betah ngobrol dengannya, ia memiliki wawasan luas. Hingga
suatu malam, ia tak bisa tidur, ia menemaniku menonton bola liga Inggris,
Middlesborough melawan Tottenham.
“Ngga tidur, Ar? Biasain tidur malem lho, biar ngga
bingung kalau pas masuk sekolah.” Celatuku, ketika ia duduk di sampingku
“Aku biasanya kalau tidur cuma 3 jam, kamu sendiri
lagian ngapain kak Reza nonton tim papan tengah?” balasnya.
“Hahaha.. dari pada ngga bisa tidur.”
Beberapa menit setelah kedua tim turun minum, ia
bertanya kembali.
“Nama aslimu siapa, kak Reza?” dengan muka setengah
mengantuk
“Reza Fiarzani. Kenapa tiba-tiba tanya? Kamu sendiri
masa cuma Arry?”
“Oh, udah dua minggu masa belum kenal. Ya ngga sih,
Renata Mirah.”
“Lah? Kok dipanggil Arry?” tanyaku menertawainya.
“Itu nama dari Ibu kandungku, namaku diubah pas aku
diadobsi sama seorang tentara, jadi Arryta Mirah.”
Diadopsi?
Kelam sekali hidup anak ini. Apa ini cara Tuhan menceritakan segalanya bahwa
hidupku itu jauh lebih indah? Jika iya, Dia membuat aku merasa bersalah ketika selama
ini aku kurang bersyukur karena apa yang aku punya,
pikirku. Lama aku menatap matanya dan memegang pundak Arry.
“Kamu bisa pakai Nama Renata kok.” Sebutku pelan.
“Rena itu nama terkutuk, nama itu yang sudah
merenggut semua orang tua yang aku cinta. Arry itu nama keberuntungan ketika
kamu selamatin aku.”
“Apapun nama yang kamu pakai, jadi orang yang baik
ya, Ar. Ngomong-ngomong tanggal lahirmu kapan?”
“Sudah lewat, 26 Desember.” Jawabnya dengan tawa.
“Pas kejadian dong?” ungkapku, pun merasa salah
mengungkit masalah bencana itu.
“Hahaha.. iya. Hadiahnya keren, aku bisa ketemu
kakak baru yang baik banget.”
Kudekap pundaknya, kuberikan sesuatu yang murah tapi
tak bisa ternilai oleh apapun, pelukan.
Setahun yang terasa cepat, 2005 hampir selesai, dan
Arry sekarang berada di kelas 3 SMP. Aku sudah duduk di bangku kuliah dengan
membiayai diriku sendiri di jurusan hubungan Internasional. Hidup ternyata
hanya soal mengolah keluhan menjadi nada. Jiwa Arry tak pernah roboh, ia selalu
larut kedalam doanya, tumbuh menjadi wanita yang cerdas dan kuat. Sebelum ulang
tahunnya, aku ingin merayakannya sebagai perayaan yang pertama.
Setelah aku pulang kuliah, kujemput ia di depan
sekolahnya. Tak kusangka Arry ternyata sudah besar. Ia terlihat tinggi di
antara teman perempuan lainnya, memakai jepit pink yang di pakai dari samping
memanggul poni depannya. Ia sudah masuk ke mobil.
“Sekolahmu lancar, Ar?” tanyaku basa basi.
“Alhamdulillah kak Reza, tugasnya bikin gila.”
Jawabnya bercanda.
“Hahah..Eh kamu suka bunga apa, Ar?
“Kenapa tiba-tiba tanya gitu, kak?” tanyanya curiga.
“Ngga apa, mau cariin kado buat minggu depan.”
“Ohh, haha.. aku suka bunga sakura.”
“Ha?” aku terkejut “Di mana aku belinya?”
“Justru itu kak, aku suka mereka karena mereka ngga
di jual, mereka cantik, mereka liar. Lagian mau kasih kado pakai tanya dulu.
Hayo bisa ngga kasih kado bunga sakura?” Candanya.
“Ya bisa lah, suatu hari aku bisa kasih kamu
langsung di Jepang. Kamu itu wanita pinter, ya.
Tapi ngga sepinter apa yang aku bayangin.” ejekku
“Ya tapi lebih pinter dari kamu, wek.” Ejeknya
balik.
Berjalan dengan semestinya, itulah hidup. Ada suka,
duka, canda, tawa. Di setiap sesuatu yang terjadi, pasti ada alasan. Aku dan
Arry semakin mengerti satu sama lain, walau kadang-kadang bercandanya
berlebihan. Arry pun masuk sekolah SMA negeri, SMA ku dulu, ia terdaftar
sebagai peraih nilai ujian nasional tertinggi nomer 3 di sekolahnya. Ia tumbuh
dengan postur tubuh tegap yang bagus. Tingginya menyerupai tinggiku, kisaran
170 sentimeter. Gaya rambut yang sudah berubah, cara berpakaian seperti anak
baru gede, dan yang jelas aksen
daerah sini yang sudah menonjol di cara berbicaranya. Bahkan aku hampir terlena, sebagai kakak.
Hidupku pun tak terlalu berjalan mulus, aku hampir
kena drop out karena menjalani tugas sebagai tim SAR pada saat ujian semester. Gempa
di Jogjakarta memanggilku untuk bertugas, bulan Mei yang sangat kelam, aku pun
meninggalkan semua yang aku lakukan di Jakarta. Berada di Jogja selama 2
minggu, kali ini tanpa Ayah. Beliau sudah memutuskan untuk melepasku sendiri. Di
dalam bertugas, aku punya sedikit doa, aku berharap menemukan ‘adik’ satu lagi
seperti Arry, ternyata Tuhan tak mengabulkan itu.
Rencana Tuhan itu indah, aku yakin itu. Aku
melunaskan semester pertama dengan nilai yang pas-pasan. Tak apa, hidup tak
melulu soal kesempurnaan, kan.
Beberapa waktu luang, Arry bertanya kepadaku pada
saat aku menggarap tugas akhirku.
“Kak?” ia memanggilku dari balik pintu kamarku yang
di buka.
“Ya Ar? Masuk aja.” Kupersilakan ia masuk.
“Gue ganggu ngga? Boleh tanya ngga?”
“Tanya aja, Ar.” Jawabku sambil fokus mengerjakan
tugas di Macbook-ku.
“Gue boleh pacaran ngga, kak?” tanyanya merasa
bersalah.
Kuhentikan mengetikku, menutup layar Macbook-ku,
melihat Arry di belakangnya. Menatap kosong wajahnya yang cemas menunggu
jawabanku, dan tertawa di depannya.
“Ihh.. kok ketawa sih!” mimiknya cemberut.
“Ya boleh lah, bego. Hahaha.. ngapain tanya, tapi
ya... jangan berlebihan.” Kuberinya masukan.
“Tadi masa seharian ada 3 cowo yang nembak gue kak,
bingung, yaudah tanya ke elo.”
YA
IYALAH LO CAKEP, KAMPRET. Kalimat yang hampir ku teriakkan di
wajahnya. “Yaudah Ar, pilih aja mana yang menurut lo baik. Jangan cuma ganteng,
kalau ganteng aja gue juga bisa.”
“Ih narsis, tapi semuanya baik kak Rez.”
“Ya awalnya emang gitu, sapi. Ulur waktu aja dulu,
mana yang serius, mana yang ngga.” Ujarku.
“Hmm..” ia murung.
Laju waktu begitu cepat, ia melebihi kecepatan
berpikir manusia. Kita hanyalah tokoh fiksi yang cepat dilupakan, aku berpikir
bahwa aku adalah aungan dari segala keretakan dunia ini. Hujan malam tahun baru
ini begitu larut, jauh dari pikiran bahwa aku pernah menemukan sesosok adik
yang masa depannya terjanjikan, tetapi ia sudah besar, ia mulai melupakan Ayah,
Ibu, aku dan rumah. Tapi itu normal, aku juga pernah seperti itu saat
seumurannya. Ku dengar pintu depan berbunyi ketukan keras bertubi-tubi,
kuturuni anak tangga, berteriak “sebentar!” selama menuju pintu. Ku-buka pintu
itu, Arry yang mengenakan mini-dress hitam basah kuyup dengan lebam di mukanya
dan mata yang begitu merah.
Melaju, ia merangkulku dengan erat. Aku belum mampu
tanya mengapa, yang kulakukan pertama adalah menyuruhnya mandi dan mengganti
pakaiannya. Ku-suri rambutnya,
menanyainya.
“Kenapa, Ar? Jangan di pendam.” Melihat nafasnya
yang masih terpusut-putus.
“Doni, kak. Huff.. Huff..” tersenga-senga dia.
“Kenapa? Sudah, sudah, jangan nangis.” Kucoba
redupkan emosinya.
“Pas di foreplay, huff.. huff.. Aku cuma ditraktir
minum sama temanku, huff.. huff.. Tiba, tiba, dia mergokin aku, nonjok temanku,
terus nonjok aku.. huff.. huff.. terus ngajak aku pulang, ninggalin aku di
depan Pancoran, aku kesini jalan.. huff..huff..”
Banci,
beraninya sama perempuan. Pikirku, besok aku akan menemuinya
di rumahnya, membalas semuanya. Melihat Arry yang masih menangis, aku masih tak
paham apa yang dilakukannya.
“Kamu sama teman-mu ngapain aja, Ar?”
“..huff.. huff.. Aku cuma dikiss di pipi. Huff..
huff.. tapi Doni marah banget.”
Arry, Arry, laki-laki mana yang ngga marah kalau
pacarnya sama cowo lain? Aku menahan ketawa, overall Arry memang salah, tapi
lebih banci kalau memukul seorang wanita.
Membalas Doni hanyalah bebal kalau kedua pihak sama-sama bersalah.
Ku-tunggu Arry sampai tidur di kamarnya, perlahan
aku keluar, meninggalkan kamar Arry dan melanjutkan mengerjakan tugas di
kamarku. Arry heartbreaker sekali ya,
setiap bulan ngenalin cowo baru ke Ibu, mungkin udah pantes Arry dapat ini.
Biar kapok lah, lagian dia habis ini kelas 3, fokus ujian dan lain-lain.
Kupikirkan itu dengan garapan tugas di Macbookku. Letupan kembang api di atas
langit ternyata tak mampu meramaikan suasana rumah.
Satu setengah tahun aku mengenal Jenie, mahasiswi
yang semester lalu mendapat IPK 3,7. Kami bertemu saat ia menumpahkan kopiku di
perpustakaan kampus. Ia menawan dengan kacamata, pertama aku melihatnya. Tak
menyangka aku menjadi sahabat seorang gadis ber-otak cemerlang. Ia punya rumah
di dekatku juga. Seperti biasa, aku mengantarkan Jen, setelah kami selesai
kuliah. Teleponku berdering, Arry menelpon meminta jemput di sekolahnya, apa
boleh buat, ia tak punya tumpangan karena
baru saja putus dengan Doni, kasihan, pikirku.
“Je, jemput adik gue dulu ya.. Ngga apa kan?”
tanyaku je Jenie.
“Ngga apa kok, sekalian gue kenalan.” Jawabnya
Sampai di sekolah Arry, ia masuk ke pintu tengah
mobil.
“Hai dek.” Sapa Jenie ke Arry.”
“Hai kak Jenie.” Balas Arry.
“Loh kok tau namaku?” tanya Jenie penasaran.
“Ya tau lah, kak, kak Reza punya fotonya kakak
banyak banget di laptopnya.”
Dengkul
kuda, pikirku. Dari mana Arry tau aku nyimpan foto Jenie?
“Heh! Boong!” sambil menyetir Kijang kapsul ku menuju rumah Jenie.
“Loh, kak Reza kan emang sahabat kakak, ya wajar
dong haha..” balas Jenie.
“Ngga kok, Je. Aku pas lihat foto lo di flashdisk
tugas yang lo kasih. Nyari foto kita yang bareng anak-anak kapan itu.” Kataku
mengalihkan maksud.
“Iya, iya, Rez. Santai aja.” Kata Jenie.
“Ya emang ngga apa sih, kak. Sayangnya aja kak Reza
ngga berani ngomong.” Ceplos Arry.
“Arry!!” bentakku.
“Eh maaf, kak Je.”
Jenie tertawa melihat kami berdua saling menentang.
Suasana mendadak canggung, tak satu katapun keluar dari mulutku sampai kami
sampai ke rumah Jenie.
“Makasih Rez, Arry makasih ya..” Jenie keluar dari
mobil menuju pintu gerbangnya.
Aku turun dari mobil menemui Jenie sebentar. Berniat
meminta maaf atas apa yang dikatakan oleh Arry. “Je, soal yang di mobil tadi –“
“Ngga apa Rez” potongnya “gue paham kok. Tunggu gue putus
sama Ardi ya.” Katanya sambil tersenyum. Ia masuk ke rumahnya “dadah Rez.”
Masuk ke mobil, Arry terlihat menahan tawa saat aku
masuk. “Puas?” tanyaku menyindirnya.
“Puas lah. Kapan lagi kak Reza dapet cewe? Ngenalin
ke Ibu aja ngga pernah. Hahaha!” ia melanjutkan tawa liciknya.
“Tapi dia udah punya cowo, Ar.”
“Terus kenapa, kak? Doni aja tau gue masih sama
Kinan. Masih aja diajak keluar.”
“Ar, kamu itu cantik, baik, nyenengin. Cowo mana
yang ngga pengin deket sama kamu? Tapi suka ngancurin hati.”
Marah ke Arry pun aku tak bisa, benar jgua katanya,
Jenie mana tahu kalau ia tak memberinya tahu? Soal kata Jenie di depan pintunya
tadi... membuatku cukup senang. Semoga ada doa yang terkabul di setiap kalimat
yang terucap.
Menanjak kelas 3, Arry dilirik oleh beberapa agensi
permodelan. Ia bisa membeli Nokia 6600 yang mewah dengan segala fitur. Senang
ia bisa menanggung bebannya sendiri. Sementara Ayah yang sudah menginjak kepala
5 sudah memutuskan untuk pensiun dini karena struk ringan yang dideritanya
semenjak ia berhenti beralkohol. Pertengahan bulan Oktober, Ayah stroke Ayah
menjadi semakin parah. Tak ada yang bisa disembuhkan, kata dokter, hanya bisa
memungkinkan menambah panjang batang lilin kehidupan Ayah. Awal November, Ayah
mulai keluar masuk rumah sakit. Jelang beberapa hari terakhir sebelum aku
sering membesuknya ke rumah sakit, Arry menelpon, ia mengatakan Ayah sudah
menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Di rumah sakit, seakan mataku adalah bendungan yang
siap melepaskan isinya ketika retak. Tak bisa menahan deras air mata yang
mengaliri setiap kulit pipiku. Satu-satunya orang yang memberiku suapan nasi
demi suapan nasi selama 20 tahun sudah taida, rasanya tidak percaya. Arry duduk
di sebelahku seolah ingin menenagnkanku. “Udah kak, jangan mengasihani yang
sudah pergi. Kasihani Ibu, yang masih ada.” Hiburnya
“Tapi cepet banget, huff.. Ayah cepet banget
ninggalnya.”
“Iya, ngerti. Udahlah aku ngerti rasanya, kok kak.”
“Lo ngga ngerti, Ar! Lo itu anak adopsi!” bentakku
meluapkan emosi.
“Kak..” Arya menundukkan kepala dan meneteskan air
mata.
Selesai memakamkan Ayah, di mobil aku tak beranjak.
Kekasihku Jenie masuk ke mobil, menemaniku, sementara segerombolan orang masih
berdoa di makam.
“Rez, ngga ikut doa?” tanya Jenie.
Aku hanya menggelengkan kepala.
“Udah Rez, beliau senang kalau anaknya bisa lebih
tegar karena ikhlas ditinggal Ayahnya.” Ia menggenggam tanganku.
Aku menghiraukan omongannya, aku melihat ke luar
jendela. Jenie mengurut lenganku, ia mendekatkan kepalanya, menciumku perlahan.
Aku tak membalas ciumannya.
Perlahan menghindar “Ngga sekarang, Je.”
Mungkin Tuhan hanya tertawa melihat aku menangis
karena aku tak siap dengan rencanaNya. Barangkali aku tidak cukup buta untuk
melihat apa yang aku punya, aku hanya sibuk menggali emas menggunakan berlian.
Beberapa hari setelah menyendiri, aku sadar aku
mengucapkan kalimat yang tak pantas tempo hari ke Arry. Adalah bodoh jika kamu
berucap ketika aku sedang marah.. Pulang kuliah aku pulang ke rumah, jam 1
biasanya Arry sudah pulang, tapi ini Arry jam 3 belum pulang. Jam 4 pintu rumah
terdengar menutup, itu pasti Arry.
“Dari mana, Ar?” tanyaku.
“Cek medikal, kak. Jawabnya
“Emang kamu sakit?”
“Walaupun engga, tapi penting kak. Kak Reza juga
harus.”
“Gini, Ar. Aku minta maaf banget udah ngucapin itu
ke kamu kapan hari.”
Ia tersenyum manis “Ngga apa kak, aku tau kok kamu
cinta banget sama Ayah.” Ia memelukku.
“Sewaktu kecil aku sakit. Yang paling nangis itu
Ayah. Rasanya enak banget diperhatiin sama beliau.” Ceritaku ke Arry.
“Kamu pernah dapet hari yang enak, kak.” Kata Arry
“Dan sekarang udah ngga lagi.”
“Itu namanya hidup. Kamu ngga bisa milih siapa yang
harus kamu cinta.”
“Sebagai permintaan maaf, aku traktir double beef
burger. Gimana?”
“Umm.. Ngga di maafin kalau ngga di traktir 2.
Gimana?”
“Siap!”
Di McDonald, kami berbincang banyak tentang
kehidupanku sebelum Arry datang. Aku suka bercerita. Rasanya seperti menuangkan
air ke gelas yang lain, jadi tak terlalu berat.
“Jadi, cita-cita lo sebenernya apa, Ar?” tanyaku.
“Jadi istri yang baik. Kenapa emang?” tanyanya
balik.
“Itu doang? Jadi istri yang melipatgandakan suami
maksud lo?”
“Enak aja. Gini-gini gue setia. Tergantung cowonya
bisa jaga gue apa ngga. Hmm.. gue juga pengin punya anjing. Beli yang kecil. Tapi
gue takut kalau dia udah besar.”
“Hahaha! Mintamu kecil terus? Halah, basi. Pernah emang
kepikiran jadi model?”
“Ngga pernah.”
“Ya emang lo ngga pernah mikir.” Ejekku.
“Enak aja. Gue pernah baca buku Ibu kandung gue
kak.”
“Terus?”
“Gue baca di situ, itu buku tentang Jepang. Bukunya
bagus banget. Nyeritain Jepang, pantai pas winter. Kita bisa ambil ikan dari
atas karena ikannya ngumpul di atas. Kata mereka salju itu pertanda kalau semua
masalah dijatuhin. Mereka punya beberapa obat herbal juga supaya bisa tetap
hangat pas winter.”
“Mulai sekarang, lo nabung deh Ar, gue juga. Kita ke
Jepang bareng.”
“Siap, kak.”
Akhir tahun aku ingin sesekali mengejutkan Arry. Aku
mengajaknya bersama Jenie ke pantai Karimun Jawa. Terletak di Jawa Tengah. Sesampainya
di sana, ia tampak tak terlalu terkejut. Entah kenapa, ekspresinya datar
sekali. Di saat aku dan Jenie bermain di pinggiran air, ia hanya melihat dari
jauh sawah. Entah apa yang ditakutinya. Beberapa saat setelah aku dan Jenie
selesai bermain, aku menyisakan beberapa waktu dengannya.
“Ar? Katanya pengin ke pantai?” tanyaku saat ia
bersender di mobil Trooper-ku
“Iya, kak. Tapi ngga beku.” Jawabnya tak masuk akal
“ngga tahu kenapa aku masih belum bisa seneng kalau lihat genungan air yang
banyak.”
Tak bisa berkata, aku memang salah. Jangan sesekali
bermain dengan trauma seseorang walaupun orang itu sudah sembuh.
Brain, beauty, behaviour, itulah Arry yang aku tahu.
Semua nilai ujian nasional Arry rata-rata 8,5. Ia memutuskan mengikuti jejakku,
hubungan internasional menjadi pilihan utamanya, sesuai rencana, ia masuk
melalui jalur undangan.
Hubungan asmara ku bersama Jenie lama-kelamaan
redup. Kami selalu sibuk dengan kesibukan sendiri. Aku bersama tugas-tugasku di
SAR, ia melakukan tugasnya sebagai ketua pecinta alam. Kita seolah bagai
matahari dan awan, memang kami bersama, tapi seolah kami sibuk mencari dunia
kami sendiri. Waktu yang berjalan begitu lambat menuntun kami sampai ujung
acara. Kami kandas di tengah jalan karena ego yang seakan tak mempriotaskan
kami. Cinta pertama yang berlangsung selama satu tahun lebih tinggalah
puing-puing kotoran di daun.
“Kak.” Panggil Arry pada saat aku membaca buku di
sofa.
“Ya Ar?” aku mengalihkan pandanganku dari buku.
“Baca buku terus? Ngga capek?”
“Otak butuh buku, kaya pedang butuh batu pengasah
Ar. Ada apa, sih?”
“Butuh temen ngga? Habis putus dari Jenie sedih
banget lo kayanya”
“Mau nemenin? Boleh.”
“Gue baru di putusin Vano juga kok, dia dapet yang
lebih sempurna dari gue.”
“Terus? Kok ngga sedih?”
“Yaudah sih, kaya cowo cuma dia aja. Gue masih punya
Deri, temen SMP dulu.”
“Kok cepet putus gitu kenapa sih Ar?”
“Karena ngga ada yang kaya lo, kak. Gue milih yang
kaya lo.”
“Alah gombal.”
“Hmm.. Oh iya, lo ngga pernah denger kan, Almarhum
Ayah pernah bilang apa ke gue, kak. Gue disruruh beliau untuk cari pasangan
yang mirip sama lo. Dan gue belum nemu. Lo memang cowo ter-spesial yang pernah
gue kenal, kak. Udah baik, kalau terlanjur cinta udah kebangetan, lo juga bisa
jadi pelindung keluarga.”
“Ish..., Ar, ati-ati kalau ngomong. Lo ngomong sama
kakak lo sendiri.”
“Gue kan anak adopsi, kak. Ngga ada hubungan darah
sama lo. Emang lo kakak gue, tapi bukan berarti kita sedarah.”
“Jadi inti-nya, Ar?”
“Gue butuh lo, kak. Bukan sebagai kakak, tapi sebagai
teman hidup. Sekarang kita jalani aja semua hidup kita dulu, kak. Biar Tuhan
yang nentuin gimana kita kedepannya. Lo boleh baik ke semua, tapi suatu hari lo
harus nakal sama gue, kak. Hahaha..”
Otak ku selalu terusik maksud dari Arry. Bagaimana
mungkin suatu hari aku bisa mendampingi hidupnya? Ada ruang dalam otakku bahwa
memilikinya adalah hal yang mungkin, 3 tahun aku terkagum oleh caranya
menghadapi dukanya. Jika suatu hari Tuhan tak mengizinkan kami bersama,
bolehkah aku hanya sekedar mengaguminya?
Lelah sudah kami hadapi bersama, kami menghadapi
beberapa keterjalan hidup yang selayaknya sebagai manusia, setelah terbebas
dari peguruan tinggi, aku meninggalkan tim SAR, menjalani hidup sebagai
karyawan bank swasta dengan salary yang menjanjikan.
Pun Arry, selalu mendapatkan IPK yang memuaskan
selama empat semester, tak heran. Pekerjaan sebagai model juga dijalaninya
dengan mulus tanpa hambatan. Ia memiliki hobi baru, mengoleksi hi-heels di
kamarnya, tertata rapih di bawah meja puluhan sepatu wanita. Begitu sempurna
hidupnya.
Jum’at sore setelah aku pulang kerja, saat menonton
acara televisi HBO, Game of Thrones, kami berbincang masalah Ibu yang ingin
mesin cuci baru, karena yang lama sudah tak layak pakai.
“Kak, lo ada duit ngga?” tanya Arry “Ibu pengin
mesin cuci baru, tapi gue belum ada job. Jadi gue bisanya bayar separuh, lo mau
ngga patungan, kak?
“Ada. Udah, simpen aja uang-mu. Katanya mau ke
Jepang?” kataku.
“Gampang lah, umur gue kan masih panjang. Atau gue
jual hi-heels gue ya?”
“Hahaha.. Siapa yang mau pakai hi-heel lo, yaudah
besok kita beli.”
Esok ketika di toko elektronik, kami memilih mesin
cuci yang nantinya akan kami beli. Kulihat dari tadi Arry selalu memegangi
dada, mungkin bingung memilih. Setelah melunasi semua, kami membawa pulang
mesin cuci itu.
Di mobil aku aku berkata
“Ibu seneng ngga ya?”
“Ya iya lah, dari anaknya.” Arry menjawab “Eh, kak.”
“Ya?”
“Soal kita yang beberapa tahun lalu kita omongin
itu, kamu siap ngga?”
“Kita? Mau ngelanjutin langsung? Kamu ngga terlalu muda
buat nikah?
“Ya ngga nikah sekarang, kak. Habis aku lulus
kuliah, kalau mau. Beda umur ngga masalah kan? aku mau cepet-cepet dekap kamu
sebelum diambil orang.”
“Tapi kamu lulus setahun lagi, kan, Ar? Jadi
sekarang maumu gimana?”
“Aku mau sekarang kita masing-masing janji kalau
kita bukan kakak-adik lagi.”
“Terus? Babu sama majikan gitu?”
“Ya ngga. Sekarang kita jadian. Mau ngga?”
“Yang bilang jadian kok kamu? Aku dong sebagai
laki.”
“Yaudah, ayo tembak aku sekarang.”
Aku menghembuskan nafas panjang. “Arryta Mirah. Cewe
paling pinter yang pernah aku kenal, dan punya gigi yang ngga rata.”
“Ih, abis ini gue pake behel.” Potongnya
“...yang udah aku deketin selama 7 tahun, aku kira
jadi adik, tapi malah ngajak nikah. Maukah kamu menerima kakakmu ini sebagai calon
pendamping hidupmu?”
“Mau banget!” teriaknya. Ia melepas sabuk
pengamannya, mendekati wajahku dan menciumku.
“Woy! Woy! Lagi nyetir woy!” sentakku.
“Besok beli cincin ya, kamu lamar aku di depan Ibu.”
Katanya.
“Emang Ibu ngizinin kita pacaran?”
“Kalau ngga gara-gara Ibu, mana berani aku ngajak
kakak tiri nikah. Hahaha!”
“Kamu setiap habis jadian sama cowo apa ya langsung
kamu cium gitu, Ar?”
“Ngga juga, kadang-kadang juga ada yang aku
tampar... bokongnya.”
Tak ku sangka ternyata cinta bisa sedekat ini,
selama tak pernah berhenti mencari cinta karena ada yang tak ku suka. Tapi aku kurang
jelih, aku malah mendapat seseorang yang lebih dari kucinta. Aku hanya mencari
yang tidak ada dan mengabaikkan yang ada. Ternyata Ibu dan Ayah sudah
merencanakan ini dari beberapa tahun lalu bersama Arry. Dalam beberapa hal, aku
tidak butuh orang yang mencintaiku, aku hanya butuh orang yang selalu ada
untukku dan menjadikan aku sebagai prioritas utamanya.
Memasuki bulan di mana Arry di wisuda. Ia
mendapatkan gelar mahasiswa terbaik di jurusannya. Wajah lebam bersama air mata
mengucur dari mata Arry. Aku dan ibu berdiri di sampingnya dan berfoto bersama.
Itu hari di saat keluarga kami bahagia. Rasa haru bersama kami semua.
Arry mendapat pekerjaan di hotel bintang lima
sebagai front office, ia juga belum menggantungkan karirnya sebagai model dress.
26 Desember 2011. Hari ulang tahun Arry sekaligus acara ucap ijab qabulku
bersama Arry. Pesta kami di rumah kami yang tidak terlalu meriah dan hanya
mengundang teman dan keluarga di hari Minggu sangatlah sakral. Rasa bahagia itu
lahir dari seseorang yang sudah lama aku kenal. Orang-orang datang sili
berganti, mengucapkan selamat kepada kami. Pesta selesai jam 3 sore, kami
membereskan semuanya dibantu beberapa orang yang tak asing adalah asisten rumah
tangga kami sehari-hari, Mbok Inah.
Untuk pertama kalinya aku tidur di kamar Arry
setelah 7 tahun. Kami lelah, lelah yang bahagia adalah maksudku, akhirnya kami
ditakdirkan oleh berbagi satu sama lain.
“Rez? Mau ngga sekarang?” tanya Arry genit sambil
menatapku yang berbaring di kasur.
“Besok aja deh Ar, capek banget.” Sambil membalas
ucapan selamat dari facebook-ku.
“Ah, ngga seru.” Katnya.
“Enak mah kamu tinggal diem, aku yang goyang.
Hahaha.. sini tidur sebelahku.”
Ia tidur di sebelahku, menatapku dari dekat,
tangannya menyimpul ke leherku.
“Maaf ngga kasih apa-apa di ulang tahunmu kali ini.”
Kataku.
“Aku ngga butuh kado dari kamu. Aku sudah punya
kadoku sendiri. Kamu.” Ia mengecup bibirku “Hey, Rez.”
“Ya, beb?”
“Hmm.. Judulnya Game of Thrones episode 1...”
“Winter is
coming. Iya. Tahun depan kita berangkat, aku janji. Kita udah terlalu
banyak nge-lewatin winter.”
“Ngga usah dipaksain, Rez... aku tidur dulu ya.”
“Goodnight, Khaleesi.”
Hari-hari setelah menjadi suami rasanya sangat
menyenangkan. Rasanya aku tahu aku bekerja untuk siapa, aku tahu aku berpakaian
rapih untuk siapa dan aku tahu aku bahagia untuk siapa. Bahagia rasanya. Di
dalam hidup aku punya sesuatu yang bersinar, itu bukan cahaya, itu bukan batu
permata, itu Arry.
Memasuki pertengajan Februari, aku dan Arry
berbelanja di supermarket, Arry yang cantik tampil dengan blousenya jalan di
belakangku, Arry terus memegangi dadanya. Ia semakin lamban di belakang,
melepaskan troli yang di bawanya, ia berlutut. Mendekatinya, melihat mukanya,
hidungnya keluar darah segar yang mengalir cepat. Aku menggendongnya, menelpon
rumah sakit terdekat untuk datang di supermarket tersebut, ambulan datang
setelah 5 menit. Aku masuk bersama Arry di ambulan itu.
Cemas, khawatir, bingung, jadi satu di malam itu. Bahagia
dan sedih, suka dan duka di dunia ini, mereka berduyun-duyun bergantian
berputar. Dari dalam diriku, darahku di pacu, organ-organ seakan menghabiskan
pelumasnya tapi tetap bekerja keras. Aku merasa seperti manusia paling bodoh
saat ini.
Tubuh Arry masuk UGD, menunggunya selama 30 menit.
Dokter keluar dengan muka pasrah.
“Ya, Pak. Ibu mengalami obsturctive pulmorani. Ia mengalami
pembengkakan pada paru-paru, yang mengakibatkan rasa sakit setiap bernafas. Sekali
lagi maaf, sebagai manusia, sebagai dokter, kami hanya menolong.” Katanya “kalau Ibu
sembuh, berarti Tuhan masih memberinya kesempatan. Kita hanya bisa menunggu,
kami izinkan Bapak menemuinya.”
Deg. Jantungku terasa berhenti sebentar, aku
bagaikan rusa yang melihat sorotan lampu mobil yang mendekat. “Permisi, Dok.” Izinku.
Aku masuk ke dalam gorden penutupnya. Melihat Arry
yang menatap kosong langit-langit rumah sakit, ECG meunjukan gambaran yang tak kunjung
menguat. Arry melihat ke arahku.
Melihatnya menderita, aku tak tahan aku mengucapkan
yang mungkin terakhir ia dengar.
“Maaf, ngga bisa bawa kamu ke Jepang.” Air mataku
menetes di bajunya. Aku memeluknya erat di kasur “Kamu cewe terhebat yang pernah
aku kenal.”
“Pssst... Diem.. A.. a.. ku.. su..dah.. ba..hagia.. Ka..mu
ha..rus ke.. Jepang. Ma..ka..sih.. untuk se..muanya.. asy..hadu.. alla.. ilaha..
ill..Allah.” bunyi nada nyaring dari ECG panjang, menandakan sang pengguna
sudah menghembuskan nafas terakhir.
Rasa tak percaya selalu ada di dalam benakku. Umur pernikahan
kami yang hanya sebiji jagung berakhir begitu tragis. Arry meninggalkan catatan
dengan tinta yang paling tebal ditulisnya di hidupku. Pernikahan 47 hari
menyiratkan percik-percik penyiksa pikiran. Langit seakan menunjukan dirinya
tak berubah warna. Cinta itu ilusi yang mahal untuk dilupakan.
Seminggu setelah kepergian Arry, aku berkeluh kesah
tentang hidupku ke sahabatku yang akan menikah, Hendro. Ia akan menikah tahun
depan. Setelah aku menyiratkan pedih di Hendro, suara bel berbunyi. Aku bukakan
pintu depan, melihat salah seorang pegawai dari pengiriman barang. Orang itu
membawa bingkisan besar. Aku menerimanya, menandatangani surat penerimaan. Aku membuka
kardus bolong yang berisi besi tersebut. Setelah kubuka ternyata itu anjing
beagle yang masih berumur sekitar 6 bulan. Anjing itu tampak meliahtiku dengan
tatapan bingungnya. Di kardus itu, ada sepucuk surat yang terlipat. Isinya
“Hai, kak Reza. Kalau kamu udah nerima surat ini,
berarti aku udah pergi ya. Maaf ngga bilang dulu, aku ngga mau ngerepotin. Aku udah
ngidap penyakit ini dari SMA. Aku seneng banget bisa jadi apa yang kamu
inginin. Tapi ngga papa, aku di sini juga ngga kalah bahagianya kaya di rumah
kok. Oh iya, anjing itu namanya Winter. Kamu inget kan aku pengin melihara
anjing tapi takut di gigit? Di jaga ya. Salam dari Arry, saudaramu, sahabatmu,
cintamu.”
Surat itu basah dengan air mataku.
-Credits-
Original Title By Game of Thrones S1E1
Storyline Inspired By Boyhood, The Flash "Barry & Iris"
Aceh's photo took in google
Arry's photo taken in Roruni Kenshin 'The Legend End'
Dog's photo taken in John Wick
Tidak ada komentar:
Posting Komentar