Sabtu, 30 Mei 2015

CERPEN: We’re Not Your Enemy



“Hei..” sapaku, aku mencoba tersenyum kepadanya

Detak jantungnya cepat, tubuhnya seakan tak merasakan dingin ruangan ini, “Oh hai, mau lewat ya? Maaf..” ia berpura-pura biasa melihatku
                                             
Dengan ramah aku menjawab “Ohh, engga, kamu dari kemarin perhatiin aku terus, aku jadi takut sama kamu. Hahaha..”

Air keringat yang sangat kecil mengalir di ubun-ubunnya, badannya bergemetar hebat “Oh, hehe, aku cuma pengin bisa belajar musik.” Tegasnya malu

“Bohong, kamu berkeringat.” Aku berkata

“Hehe.. iya, aku pengin lihat kamu main. Aku suka kalau denger dentingan pianomu.” Katanya, ia berkata jujur.

“Gitu dong jujur. Yuk masuk yuk.” Aku membuka pintu kelas setinggi 2,5 meter itu, kugandeng tangannya. Bisa kurasakan pori-pori tangannya yang terbuka lebar dan perutnya yang tiba-tiba menciut.

Aku duduk tepat di sebelahnya sambil bermain piano, jari-jariku memainkan anak piano itu, menjadikannya nada indah, “mau aku ajarin?” tanyaku. Jelas, ia bahkan tak bisa bermain ini.

Kugenggam tangannya, menaruhnya di atas piano itu, “kita mulai dari nada rendah, Do”
Satu jam aku menggenggam tangannya yang belepotan dengan keringat dingin. Aku tak canggung untuk mengajari bocah ingusan yang detak jantungnya berdebar tak karuan ini. Ia adalah lelaki pertama yang dengan detak jantung tercepat yang pernah kutemui. Ditambah, ia berkata jujur tentang dirinya sendiri.
Sampai ia bisa kulepaskan dan bermain piano sendiri dengan mengikuti nada yang sudah terpampang di depan.
“Oh iya aku Nina.” Aku mengasih tangannku.

“Cahaya.” Ia menggenggam tanganku, tangan yang polos. Tangan yang masih mulus, bahkan ia belum pernah pergi jauh dengan tangan yang tak berdosa ini.
Ia terus memandangiku sampai-sampai nada yang ia mainkan salah kaprah selagi aku menutup mataku, nafasnya ia ambil dengan sangat dalam serta bertubi-tubi, ia menyorot wajahku, entah apa yang ada di pikirannya tetapi aku sangatlah nyaman disaksikan oleh lelaki yang jakung dan ramah kepada orang lain.

“Apa kamu lihat-lihat aku? Hahaha” kubuka mataku dan menatapnya langsung secara tiba-tiba.

“Daritadi kamu nutup mata kamu, sejelek itu emang aku?” katanya.

“Hahaha.. engga, Cah. Aku lebih bisa melihat dengan mata tertutup, aku lebih bisa melihat duniaku dengan jelas.” Kami diam sejenak “maaf kalau bahasaku ketinggian hahaha..”

“Oh, engga kok. Aku paham.” Selagi ia memainkan piano itu.

“Okay.”

Ia melanjutkan bermain piano. Beberapa nada yang salah kubenahkan agar sempurna.

“Kamu ngga seperti yang lain, ya.”

“Maksudnya?” aliran darah di otaknya terhenti beberapa saat, menandakan ia bingung.

“Kamu ternyata anaknya pinter, ramah, baik.”

Beberapa partikel oksigen di dalam tubuhnya seakan hilang ditelan dirinya sendiri, perutnya semakin mengkerut tanda malu. Dadanya bahkan tak merasakan ada udara yang masuk melalui rongganya. Sampai-sampai ia tak bisa mengungkapkan dan mengatakan apapun. “Terus kenapa kamu sekolah di sini, Cah?” lanjutku bertanya.

“Karena IQku 73. Kamu sendiri ngapain sekolah di sini, Nina?” tanyanya.

“Hmmm..”


Pertanyaannya membuatku untuk mengarang bualan ceritaku sendiri ke Cahaya, sedangkan aku, aku mengingat panjang lebar dari masa kecilku umur 7 tahun.
Keluarga kami, Bunda, dan Kakak perempuanku akan mengunjungi Ayah yang bekerja di Papua. Pesawat Mandala yang kami tumpangi berjumlah 73 penumpang, dari awal mula, pesawat sangatlah meragukan, dari gagal lepas landas, sampai terlambat sampai di tujuan dikarenakan cuaca Papua memang memang tak bersahabat, hujan lebat yang hebat membuat pesawat bergemetar kuat, sang algojo penerbang pesawat mencoba mendaratkan pesawatnya di bandara terdekat yaitu Bandara Pattimura, tak sesuai rencana, pesawat itu tergelincir lalu menggeser ke bukit, seluruh penumpang pesawat berteriak sendiri ketika pesawat akan meluncur bebas ke bawah. Aku hanya bisa menutup mataku dan berdoa untuk yang terbaik.

Pesawat kami menghantam tanah, seluruh kursi pesawat itu terpental menyebar tak karuan. Bangun dari alam sadarku, hal yang aku lihat pertama adalah malam pekat yang diterangi oleh cahaya bongkahan pesawat yang terbakar, kulihat Ibu dan kak Emily, mereka tergeletak tak meninggalkan nafas. Semua orang yang di sini tertidur pulas kembali ke Tuhan.
Tapi, sepasang suami istri masih menyadarkan diri, sang perempuan tinggi serupa model, wajahnya cantik jelita, yang laki tak seberapa tinggi namun cukup berotot. Ketika aku masih melihat tubuhku sendiri dalam belaian sabuk pengaman pesawat itu. Sepasang suami istri itu bangkit lalu mencari anak bayinya, sang istri menghampiri tubuhku yang tak ada nyawaku itu.
“Rizal, anak ini masih ada nafasnya.” Katanya, ia memanggil suaminya untuk datang.

“Coba tekan dadanya, Fir.” Kata si suami

Sang istri melepas sabuk pengamanku, menekankan dadaku keras, “cari yang lain yang masih hidup, Zal.” Katanya. Ia terus mencoba, hingga aku tertarik ke tubuhku sendiri. Kulihat ruang gelap yang berisi suara terseduh-seduh diriku sendiri. Aku sadar, tapi bahkan aku tak bisa melihat setitik cahaya pun.
Aku ketakutan “Siapa..siapa kamu?” tanyaku

“Aku Safira. Kita bakal ngga kenapa-kenapa kalau kamu tenang. Okay?”

“Aku ngga bisa lihat kamu! Aku harus nemuin Ibu!”

“Ngga ada harapan. Ayo kita pergi dari sini. Rizal! Gendong dia.” Ia memerintahkan suaminya.

Dari kejauhan seseorang berteriak “Cari yang berharga. Bunuh yang masih hidup.”

“S..s..iapa itu?!” tanyaku bergemetar “kenapa dia mau bunuh kita?!”

“Penduduk setempat. Mereka dikenal setengah gila. Cepat atau lambat kita harus beranjak dari sini.” Kata Rizal.

Ngeri, ini malam yang berusaha membuatku untuk mengatakan ketakutanku yang sebesar-besarnya. Ia mengangkat tubuhku dan membawanya lari. Aku terlalu lelah, aku tertidur di pundaknya.




Terbangun dengan rasa nyeri di leher. Suara ocehan burung, suara batuk orang tua di seberang jalan dan anak kecil yang tertawa lepas bermain bola memenjarakan kepanikan sesaat. “dia bangun” kata perempuan bertubuh jenjang itu tadi. Suara-suara itu sangatlah mengganggu. TV dengan suara bising tak jelas lengkap mengiungi ramai suasana. TV yang terdengar adalah berita pagi tentang jatuhnya pesawat mandala di Papua yang menyebabkan 70 orang meninggal dunia.

Tak sempat menangis karena kejadian semalam, aku merasa tersiksa “Matikan TV-nya!” kataku, sambil menutupi daun telingaku yang mendapat terlalu banyak suara.

“Ada apa sama TV-nya, Valenina?” Rizal menanyaiku

“Matikaaan..” wajahku meringis, tak tahan mendengar suara yang begitu berising dari seluruh ujung sisi suang.

“Iya, iya..” Fira mematikan TV-nya.

“Di mana ini? Aku mau pulang!” aku gugup karena berada di tempat asing dengan mata yang tak bisa melihat.

“Ini di rumahku, Valen. kami turut berduka atas keluargamu, kami juga baru kehilangan adik.” Kata Fira. Ia menggenggam pundakku. “Kamu pingsan karena shock selama 2 hari 2 malam. Kalau kamu ingin pulang, aku bakal mulangin kamu. Tapi ngga sekarang, ya.” Tak kuhiraukan ocehannya, telingaku terlalu panas parah disuarai oleh hal-hal di seluruh ruangan ini.

Well, 1 jam terakhir rasa ini mulai bisa kukendalikan. Aku bisa mendengar sesuatu dengan lebih baik, walaupun mataku tak bisa melihat. Rasanya masih tak bisa percaya aku harus kehilangan indra pengelihatanku saat umurku baru 7 tahun.

Dari kecil di kelaurgaku aku terkenal tak bisa mengeluarkan air mata, bahkan orang-orang menamaiku monster kecil karena tak punya rasa emosi negatif. Aku masih tak bisa percaya, keluargaku satu-satunya yang tersisa hanyalah Ayah yang tak tahu di mana ia bekerja. Tapi bagaimanapun, aku harus percaya kepada kedua orang ini, karena mereka yang menyelamatkanku dari kecelakaan itu dan merawatku selama 2 hari aku koma.

“Kamu harus makan, Val” Fira bilang. Ia terdengar membawa sepiring makanan yang ia bawa dari belakang kamar. Ia menyuapiku dengan sabarnya. Beberapa suapan, ia membuka obrolan antara kami berdua “Jadi tujuan kamu ke Papua mau ngapain, Val?” ia bertanya.

“Mau ngunjungi Ayah saya, Bu Fira.” Jawabku

“Kamu umur berapa, sayang?”

“September nanti 8 tahun. Bu Fira tahu namaku dari siapa?”

“Aku lihat kartu nama di tas pinggang kamu. Maaf kalau lancang. Jangan panggil Bu, saya hanya beda 10 tahun dari kamu. Panggil Fira saja bisa?” Ia perlahan menyuapiku nasi dan ayam goreng, sungguh perhatian sebagai orang asing.

“18 tahun sudah menikah?” tanyaku dengan mulutku yang penuh nasi.

“Menikah? Maksudmu Rizal? Hahaha.. dia kakak saya, Val. Rizal bekerja untuk kami, sekarang ia ditempatkan di sini. Orang tua kami meninggalkan kami sejak Arin lahir. Sekarang bahkan Arin pun sudah pergi di kejadian pesawat itu. Kami baru pindah dari Semarang, entahlah, keberuntungan masih berpihak pada kami.”

“Tuhan yang menyelamatkan kita, kak Fira.”

“Maaf tapi aku tak mengenal Tuhan, Valen.”

Sempat shock ketika ia bilang sedemikian, tapi, tanya mengapa bukanlah hal yang logis “Tidak mengenal bukan berarti tak menganggap Dia tidak ada, kan, kak.”

“Tentu. Dia adalah anak kecil yang membeliku dari toko mainan lalu membuangku. Dia yang menciptakanku lalu membiarkanku kesepian. Dia yang menciptakanku seperti kura-kura tanpa cangkang.”

Terdiam. Tentu aku tak bisa menilai seseorang atas kepercayaannya masing-masing. Selama ia berbuat baik, apa yang harus disalahkan? Karena setiap orang adalah pahlawan sekaligus penjahat pada dirinya sendiri. Kualihkan pembicaraan canggung kami itu “Sekarang di mana kak Rizal?”

“Masih cari orang buat jaga kamu selama kami kerja.” Ia menyuapkan sendok terakhir suapannya “Kamu anak baik Val, kami akan carikan Ayah kamu secepatnya.”

Mencoba keluar dari zona nyaman, kulangkahkan kakiku keluar ruangan yang ber-AC ini. Sedikit menabrak-nabrak, tapi aku harus terbiasa dengan ini. Sedih memang, menyadari bahwa aku sudah selamat dari kecelakaan mengerikan itu yang membuat mataku seperti ini. Bagaimana aku bisa mendapatkan kebahagiaanku?

Ini rumah yang besar, pengelihatanku beralih ke indra pendengaran. Tepakan langkah kakiku terdengar dari gemaan ruangan yang dari jauh. Meja besi yang menyanggah TV bergetar seiring langkahku menada. Senar-senar piano di pojok ruangan aku bisa merasakan getarannya saat angin meniup. Aku bahkan bisa mendengarkan listrik yang mengaliri lampu di atas. Entah apa sudah merasukiku, aku bisa melihat lebih baik dengan pendengaranku.

Tangan yang tak bisa kulihat sudah terletak di anak-anak piano, aku mulai memainkannya. Perlahan aku bisa memainkannya tanpa melihat satupun anak piano itu. Sang meja bernada mulai menyanyikan rangkaian irama yang dibuat oleh tanganku.  Pergelangan tanganku terasa sedikit nyeri jika menyentuh anak piano lain. Kurasakan, ada lubang kecil yang menyebabkan dagingku nyeri ketika menyentuh sesuatu.

Empat ketukan kaki berturut-turut datang dari arah luar. Jika kak Fira di dapur, dengan siapa kak Rizal datang? Krek, pintu terbuka. Kak Rizal dan orang asing itu masih bercakap entah tentang apa. Kalimat terakhir Rizal yang diucapkan ke orang itu adalah “Saya titip dia.”

Sang orang yang entah siapa namanya itu terdengar merogoh kantungnya, mengeluarkan semacam campuran kaca dan metal, melemparkannya ke arahku. Reflek, aku tahu persis bagaimana benda itu terbang ke arahku, menangkapnya tepat mendarat ke tanganku. Itu kacamata, apa tujuannya memberiku kaca mata?
Dengan aksen asing, orang itu berkata “Akhirnya ada juga anak sepertimu, girl.”

“Siapa kamu?” tanyaku

“Saya yang harusnya berkata seperti itu, siapa namamu, anak cantik?” suaranya seperti orang tua, bergelombang, dalam, tak menekan.

“Nina.” Kuletakkan kacamata berkaca besar itu di atas piano.

“Pakai kacamatanya, Nina. Ayo kia keluar.”

Pada saat kecil, Ibu pernah mengajarkanku jangan pernah takut dengan orang. Karena ketakutanmu adalah sasaran empuk untuk mereka. Namanya Dinar, ia juga buta sepertiku, ia berumur 67 tahun, lahir di Rusia dan besar di Indonesia. Tak buruk, orang tua itu membelikanku burger dari restoran cepat saji. Ia juga memberiku semacam papan bergerigi.

“Apa ini, kek?” Tanyaku. kuangkat papan yang sikunya tajam itu.

“Kek? Kamu harus benar-benar diajari sopan santun, Nina.” Nadanya tersinggung “Itu huruf braille, ucapkan selamat tinggal sama buku tulis orang normal.” lanjutnya

“Cara pakainya?”

“Ada enam lubang di masing masing kotak, yang timbul menunjukan huruf itu, sesuai urutan. Bisa kamu rasakan huruf pertama?”

Kurasakan papan itu dari atas “Huruf A, yang timbul ada empat, dua di atas, satu di tengah kiri dan sisanya di bawah kanan.

“Itu huruf Z, dasar kecoa. Kamu memegangnya terbalik.” Ia mendorong pelan kepalaku. “Pelajari itu di rumah, kita akan belajar caranya menjadi orang buta.”

“Anda mau membantu saya?” tanyaku, ia menggandengku duduk di bangku restauran cepat saji di pojok.

“Saya tidak bisa membantumu, Nina. Tapi saya bisa melatihmu.” Ia memakan burgernya yang baru dibelinya 5 menit lalu “katakan kepadaku, bagaimana dan apa yang kamu rasakan saat ini..”

“Saya akhir-akhir ini bisa mendengarkan dan merasakan hal..”

“Hal? Seperti apa?”

“Aku bisa merasakan hal aneh itu seperti nyamuk mengepakkan sayapnya 1000x setiap detik, anjing menggonggong dari jarak 100 meter dan air yang mengalir jauh dari bawah tanah ini.”

“Dan kamu tahu itu apa, Nina? Itu adalah pemberian, orang sepertimu ada 1 di antara 1.000.000 orang yang beranjak di bumi ini. Bisa kamu rasakan burger itu, Nin? Coba jelaskan ke saya”

“Burger ini enak, terbuat dari roti, dipanggang dan diberi saus.”

“Yang kumaksud lebih spesifik, gunakan pemberian itu untuk merasakan, siapa yang ngga tau kalau burger ini enak? Semua orang suka, tapi burger ini melalui proses yang sangat lama, tepung import burger ini sudah menempuh jarak ratusan kilometer, daging ini hanyalah 30% daging asli.” Ia tetap mengunyah burgernya

“Bagaimana anda bisa merasakan semua itu?” kuhirup aroma burger yang masih hangat dan fresh di tanganku.

“Indra orang seperti kita diciptakan untuk bisa merasakan hal-hal kecil yang tak bisa dirasakan oleh orang normal. Kita harus memanfaatkan semua itu, sayang. Tanpa menoleh, bisa kah kamu ceritakan tentang  perempuan yang ada di belakangmu itu?”

Dari jarak 7 meter, wanita itu terdengar membersihkan tenggorokannya yang kering, perutnya keruncungan, kelaparan, ia memakan paket nasi di tray yang baru ia bawa dari kasir, lalu kudeskripsikan dia ke Dinar “Darahnya mengalir lambat kedinginan, gerak kedipan matanya lebih cepat dari orang-orang normal, nafasnya seakan terbakar, tak bisa dalam. Siapa dia?”

“Dia adalah malaikat dengan sayapnya yang rusak, Nina. Dia lelah menjalani malam yang panjang, menjual cintanya ke lelaki asing lalu berteriak. Ia memulainya sejak berumur 17. Ia menjalaninya untuk bertahan hidup dan untuk menyewa tempat tinggal. Pagi di luar sana terlalu dingin untuknya. Saya rasa kamu bisa tahu persis siapa dia.”

“Pekerja s..”

“Sssstt..” Dinar memotong pembicaraanku “Simpan saja itu dalam pikiranmu. Saya akan bertanya yang lain. Ngga buruk, kamu berhasil mendapat perhatianku untuk melatihmu. Sekarang, bisa kah kamu rasakan lelaki yang berdiri di kasir?” lanjutnya bertanya.

“Geraknya sedikit lambat dari orang normal. Tubuhnya hampir tak bisa merasakan detak jantungnya sendiri. Sel-sel kecil di tubuhnya cepat sekali meletus. Dia kelelahan?”

“Lebih buruk, Nina. Dia kesepian. Ia bekerja dari malam sampai pagi, tapi tak ada satupun yang ia temui saat pulang ke rumah. Anak kecil yang mengantri?”

Merasuki kefokusan, kupejamkan mataku yang bahkan sudah terpejam. Bulu kuduknya berdiri menahan sakit, otot punggungnya yang dieratkan menunjukan ia kesakitan bekas pecutan seseorang. Terlalu lama ia berdiri di situ. Ia adalah budak yang disuruh mengantre di depan kasir. Tak salah, badannya bergemetar siap tersiksa.
Mataku terbuka mengingat kelam hidupnya anak itu.

“Kenapa kaget gitu, Nin?” Dinar bertanya dengan santainya

“Anak itu...”

“Aku tahu, terlalu menyiksa untuk diri sendiri jika menceritakan tentang anak itu.” Ia menyaut omongan yang bahkan belum aku selesaikan

“Anda tidak ingin membebaskannya? Membantunya?”


“Membantunya? Kamu punya bakat bercanda, Nina. Ada 10.000 anak seperti dia di Indonesia, dan kamu minta saya membantu anak yang satu ini? Buka hatimu Nina, apa kamu mengira bahwa saya adlah utusan dewa?”

Tak berkata dan berbahasa sejenak, sepertinya orang ini diciptakan untuk men-skakmat setiap kalimat yang aku ucapkan. Aku hanya ingin bertanya, “Jadi, Pak Dinar, apa tujuan Rizal memintamu untuk melatihku?”

Ia membersihkan tenggorokannya “Seharusnya pertanyaanmu adalah ‘apa tujuan anda meminta Rizal membawakan saya untuk anda’, sayang. Entahlah, mungkin kamu beruntung bertemu kepadaku.

“Saya minta jawaban, bukan bualan.”

“Jawaban saya adalah saya butuh orang sepertimu untuk bertarung disampingku, Nina.”

“Bertarung? Anda stress? Saya hanyalah anak perempuan yang dari kecil tidak diajari orang tua untuk melakukan kekerasan, Pak.” Jawabku kesal, meninggikan nadaku.

“Pertama, Nina, Ibumu tak ada di sini. Yang kedua, aku bahkan belum melatihmu. Yang ketiga, jika kamu memang siap, angkat bokongmu dari sini dan ikut saya sekarang.”

“Tapi melukai orang bukanlah dilarang?”

“Dilarang hanya ketika ketahuan. Nina, Nina. Akar masalah negeri ini adalah mempunyai warga negara yang berpikiran sepertimu. Dari skala 1 sampai 10, saya bisa tebak sifat kemanusiaan kamu adalah 8, kamu akan mati ketika itu menginjak angka 10. Cepat atau lambat kamu akan tahu untuk apa saya mengajarkan ini.”

“Berhenti berbicara kepada saya seperti berbicara kepada anak kecil.” Nadaku menggerutu, memicingkan mata yang selamanya menutup ini tepat ke arahnya “..dan cepat ajari saya.”


“Jadi diajarin apa sama om Dinar, Nin?” tanya kak Fira, sepertinya ia sedang senang hari ini. Ini bulan ke 7 aku tinggal di sini.

“Tenang di saat tegang. Memang ngga mudah, kak, tapi butuh kejelihan khusus.” Jawabku.
Kehidupan harus berjalan. Selama 7 bulan ini Kak Fira adalah orang yang selalu ada selama aku butuh seseorang yang mengurusiku, ia dan kak Rizal sudah menyekolahkanku layaknya siswa normal anak SD kelas 3. Walaupun aku harus menyentuh buku dan merasakan tinta-tinta yang sedikit timbul untuk bisa membaca buku. Dinar benar-benar bisa mengajariku dan mengubahku menjadi benar-benar buta tapi bisa melihat.
Kak Rizal dan Kak Fira pun sudah mencoba membantu mencarikan Ayah di daerah utara. Entah di mana ayah dan apa yang dikerjakan ayah selama ini, tapi aku rasanya benar-benar tak butuh sesosoknya yang tak selalu ada di saat aku berantakan.

“Oh iya, Nin, kamu yakin ngga mau aku anterin ke gereja? Lagian sudah sore loh.”

“Santai, kak. Lagian aku juga udah bisa ke mana-mana sendiri kan.”

Kak Fira tegang mendengarkanku untuk nekat ke gereja jam 3 sore ini.

“Kak Fira..” panggilku

“Iya, sayang?” ia menjawab

“Aku sudah berbulan-bulan tinggal sama Kak Fira, dan aku belum tahu wajahmu.”

“Aku cuma perempuan biasa, Nina. Tapi kalau kamu mau berimajinasi, kamu boleh pegang wajahku.”Ia memejamkan matanya, mendekatkan wajahnya kepadaku.

Kumulai memegang dari dahinya oleh ke-tiga jariku. Dahinya yang lembut, matanya dalam, hidung yang panjang, serta dihiasi mulut yang tertatap simetris. Aku bisa persis merasakan bagamana bentuk mukanya, walaupun sekali aku pernah melihatnya.

“Cantik sekali. Kak Fira model?”

“Makasih. Hahaha.. penginnya jadi model, Nin. Tapi mana ada model yang pakai kacamata?

“Aku pengin kalau udah besar punya wajah seperti Kak Fira.”

“Kamu juga sudah cantik, Nina.”




Gereja sangatlah sepi. Orang-orang di sini adalah komedi yang belum tanak di masak, mereka masih mengingat bangunan ini hanyalah 4 sisi tembok dan 1 atap yang berdiri tanpa arti.
Seseorang dengan aura yang hangat datang di sore yang tak secerah wajahku. Ia meletakkan jaket nilon di gantungan pintu, ia duduk di kursi paling depan tepat di garis tempat dudukku. Ia menguap panjang. Pastour ini sudah menempuh belasan kilometer untuk sampai ke sini.
“Hari yang berat, Nona Kecil.” Ia menyampingkan kepala hendak ingin mengajakku memuka percakapan.

“Lumayan berat untuk Nona semuda diriku, Bapa.” Jawabku

“Ini belum cukup libur untuk ke gereja, kan, Nona? Kau menginginkan sesuatu? Maksudku secangkir teh, atau kopi?” ia menanyakan kalimatnya bertubi-tubi

“Tidak Bapa. Mungin lain hari.”

“Siapa namamu, Nona?” ia melepas topi koboinya yang ia kenakan.

“Nina. Valenina Khalisa, jika anda ingin mendaftarkan saya di buku tamu gereja ini. Saya baru di kota ini. Atau mungkin di daerah ini.”

“Khalisa?”

“Apa ada yang salah dengan nama saya, Bapa?”

“Tidak Nina, hanya saya pernah mendengar nama itu. Tak asing.”



“Oh iya? Mungkin nama saya pasaran. Di mana Bapa mendengar nama itu?”

“Saya punya sahabat dari kecil, Nina. Eka namanya. Kami selalu berbagi rasa suka dan duka kami bersama.”

“Terus dia jadi istri anda?”

“Satu hal yang harus kamu ketahui, Nina. Jika saya menikah, saya tidak akan menangani gereja ini. Tidak, dia menjadi istri seseorang. Tapi sebelumnya, ia pernah jatuh cinta kepada teman saya. Teman SMA saya, waktu saya belum mengenal dunia, ketika mereka berdua menjalin hubungan, mereka sangat suka untuk berkhayal, salah satu khayalannya adalah menikah dan mempunyai anak. Sampai pada khayalan tertinggi mereka, mereka berencana menamai anaknya Khalisa.”
Otakku ada bergerumul semut-semut semu di dalamnya, seketika merinding mendengar ceritanya. Jelas ia tak bohong, suhu badannya dan bola matanya tak berubah.
“Mungkin hanya kebetulan, Nina. Khalisa memang nama yang cantik.” Ia mencoba menghiburku.

“Siapa nama teman anda, Bapa?” tanyaku bernada tenang

Ia merenggangkan ubun-ubunnya, ia mencoba mengingat nama teman lawasnya itu. “Kalau tidak salah, ia namanya Edward.” Katanya, ia benar-benar tak berbohong mengenai yang satu ini.

Kau tahu, aku merasakan terkaman macan yang sangat kuat mengenai kepalaku sekarang ini juga. Perasaan bingung dan merinding seketika menyelimuti sesaknya dada ini. Mengapa? Karena itu adalah nama Ayah kandungku yang terakhir kulihat 24 bulan lalu.
Aku hanya tak ingin terlihat gugup di depan Bapa ini. “Menarik, apa Bapa tahu di mana dia sekarang?”

“Entah, Nina, sudah lama sekali.”

Aku melanjutkan duduk dan terdiam di bangku gereja tua ini. Yang aku lakukan hanyalah berdoa dan menunggu jawaban dari semua misteri ini.


“Sekarang Nina, coba hantam aku sekuat tenagamu.” Dinar bilang, ia duduk di peti telur di depan rumahnya. “kita lihat apa yang sudah kamu dapat dari 8 bulan merasakan gelapnya hidup.”

“Menghantam anda? Maksud anda meminta saya untuk melukai anda?”

“Diam dan lakukan dengan tanganmu, bukan mulutmu.”


Berhasil membuatku kesal, orang ini harus diberi pelajaran. Berlari ke arahnya sambil mengepal tanganku, sekuat tenaga aku berteriak dan mengayunkannya tepat ke wajahnya.

Tak mungkin, ia menangkap tanganku duluan. Jariku diperekas kuat, tanganku di putar sampai badanku ikut terputar. Ia mendorong tubuhku hingga jatuh ke ubin. Nyeri rasanya.

“Pelajaran pertama yang harus kamu ketahui, Nina.. saat menyerang sese..”

Aku bangkit dengan cepat sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, datang ke arahnya dengan rasa amarah dan mendorongku sekuat tenaga.
Lagi-lagi, tangannya beralih duluan ke udara, mengantam rahang kananku sampai kepalaku tersapu kesamping.

“sampai di mana tadi?” lanjutnya berbicara “Oh iya, saat menyerang seseorang, sebaiknya kamu harus menutup mulutmu. Dan jangan bawa rasa amarah, menyerang seseorang bukanlah seperti apa yang terlihat di TV-TV itu.”

“Anda..” nafasku kuambil besar-besar “anda melukai saya, anda melukai anak perempuan yang.. usianya jauh di bawah anda.”

“Berhenti meminta belas kasih kepada seseorang, kamu ngga akan dapat sepersen pun.”

“Di mana.. di mana rasa kemanusiaan anda?”

“Rasa kemanusiaan? Humanity is a fucking fairytale, Nina. Everyone didn’t deserve that.”

Aku terteduh, kesakitan dan menggeram. Semalaman kemarin aku hanya berlatih bersama Dinar sampai jam 3 pagi, tidurpun tak sempat, aku harus lanjut ke sekolah, pulang sekolah Dinar menjemputku lagi dan ini yang aku dapatkan. Pulang ke rumah dan menemui Kak Fira pun tidak sempat. Dari sini indra perasaku jatuh melesat, tak bisa total merasakan apa yang harusnya bisa kurasakan.

“Om Dinar memang gitu, Nin. Dia ngga suka kalau ada orang yang terlihat lemah di matanya.” Kak Fira mengelapi lukaku dengan air hangat.

“Sungguh tega..”

“Kamu mau berhenti aja atau gimana, Nin? It’s okay kalau kamu sudah lelah, atau... atau mungkin kamu bisa pulang ke Semarang, kalau kamu mau.”

“Di Semarang cuma Bunda dan Kak Emily yang aku punya dan mereka pun sekarang sudah ngga ada, aku harus mencari Ayah di sini. Bagaimanapun caranya. Supaya dia tahu kalau aku sudah bahagia aku hidup dengan Kak Fira dan Kak Rizal.”

“Jangan gitu, Nin. Gimana pun itu Ayah kamu, kamu ngga bakalan ngga ada kalau dia ngga ada. Atau mungkin kamu bisa berhenti latihan sama orang tua itu.”

“Ngga kak, aku masih penasaran latihan sama orang ini, walaupun agak keras.” Aku meraung kesakitan ketika towel Kak Nina menyentuk rahangku “aku akhir-akhir ini kehilangan indra perasaku. Entah gimana kok bisa gini.”

Kak Fira menatap kosong wajahku, sepertinya ada yang mau diomongkan. “Mau ngomong apa, Kak?” Tanyaku.

“Jujur Nina, selama 7 bulan ini kami selalu menyuntikkan cairan ke dalam darahmu.”

“Cairan? Carian apa, kak?”

“Itu yang ngebuat kamu bisa merasakan dan membuka indra perasamu. Namanya FFF-05. Kalau kamu ingin tahu, itu yang nemuin orang Jerman, pada saat Nazi beroperasi di dunia permedisan. Sudah seminggu ini aku ngga inject obat itu ke kamu. Ternyata obatnya belum berfungsi permanen” Jelasnya sedikit bergemetar.

“Apa itu Nazi, kak? Apa Kak Fira masih punya lagi obatnya?” tanyaku lagi secara bertubi-tubi.

“Kamu bakal diajarin di sekolah. Tunggu aja, biar surprise. Ada, Nin. Sebenernya obat itu bisa diminum langsung, tapi rasanya seperti air rebusan tikus.”

“Kasih aku sekarang obat itu, Kak.”


Tepat dua tahun lalu kejadian pesawat mengerikan itu. Tepat satu tahun pula aku sudah tak menemukan Ayahku. Resmi sudah aku memutuskan berhenti mencari Ayah. Sudah terlalu nyaman bersama Kak Fira dan Kak Rizal.
Latihanku bersama Dinar juga berjalan keras, aku terbiasa melakukannya tanpa mengenal rasa nyeri setiap hari. Tak pernah seharipun mengeluh, seseorang bilang mengeluh hanya menambah masalahmu. Seseorang itu adalah Kak Fira. Aku juga sudah bisa mendeteksi jika seseorang berbohong melalui darah yang dialirkannya.
Tanpa menginject FFF-05 itu aku sudah bisa merasakan hal disekitarku. Intinya, tubuhku sudah imun.
Pagi hari di Ambon, saatnya memulai sesuatu yang baru sebelum dijejali oleh hal gila. Liburan kenaikan kelas 4 membuatku dihajar lebih oleh Dinar. Aku mulai bisa membaca gerakan lawan, aku mulai membaca panas manusia yang terbentuk menjadi suatu sosok.

Plak, untuk pertama kalinya ayunan tanganku bisa mengenai wajah Dinar. Ia mulai berdiri, pria setinggi 6 kaki sudah mengeratkan bahunya erat-erat, tubuhnya sudah agak hangat, ia mulai memfokuskan pada suatu hal. Aku.

“Coba sekali lagi yang seperti itu, Nina.” Kata Dinar.
Mengeratkan kuda-kudaku, pada saat yang tepat aku melepaskan tenagaku sepenuhnya ke arahnya, tangannya masih bisa menangkis, kugunakan tangan kiriku, kaki kananku, lalu melakukan backflip dan kaki kiriku tepat mengenai dadanya. Aku mendarat di depannya sempurna.

“10 tahun sudah seperti ini. Saya bangga samu kamu, Nina. Kamu belajar cepat.” Ia memujiku

“Thanks Old man. Ini juga berkat anda.”

“Jadi kamu sudah ngga mencari ayahmu Nina?”

“Sudah setahun kejadian itu. Bahkan dia enggan mencari saya.”

“Jadi apa ada sekarang orang yang sekarang kamu cintai?”

“Ada. 2 orang. Kak Rizal dan Kak Fira.”

“Tinggalkan mereka Nina, mereka orang yang berbahaya.”

“Apa? Meninggalkan? Maksud anda meninggalkan seseorang yang sudah menyekolahkanku dan memberiku makan selama 2 tahun? Hell, no. Aku masih belum bisa mencari uang sendiri.”

“Kamu bisa tinggal bersama saya, Nina. Mereka orang berbahaya. Menurutmu kenapa ia menyuruh saya untuk melatihmu? Jelas untuk menjadikanmu orang seperti mereka.”

“Orang seperti mereka?”

“Saya akan menanyaimu satu hal. Selama 2 tahun bersamamu. Apa kamu tahu apa pekerjaan mereka?”

“Mereka kerja di tambang ikan seseorang?”

“Hahaha. Sejak kapan Papua itu ada tambang ikan?” Ia tertawa mengejek “They both are bounty hunter. Mereka pembunuh bayaran, Nina.”

Aku terpaku di ubin dan bersila. Dinar tak berbohong, tiba-tiba darahku terjadi tsunami, ia menenggelamkanku dalam pekatnya kebingungan. Tapi...
“Dari mana anda tahu semua itu?”

“Saya adalah orang yang mencarikan mereka target Nin. Sudah 5 tahun aku bekerja dengan mereka. Menurutmu siapa yang mengajarkan mereka martial arts? Saya adalah orang yang menyesal pernah mengajari mereka melakukan itu semua, Nina. Jangan membuatku menjadi orang yang tiga kali menyesal karena telah melatihmu.” Tegasnya, ia tak terdengar bercanda. Kalimat dari bibir tua itu memberi tahuku tentang ‘mereka yang sesungguhnya
“atau..” lanjutnya “kamu bisa coba menyantap wajah Fira dengan tanganmu itu. Ia mempunyai reflek yang hebat.”


Siang hari yang panas sehabis pulang sekolah, aku masuk di kamar Kak Fira, ia sedang membaca buku. Tubuhnya menghadap jendela, apa yang ia pikirkan? Gerakan skeptis di setiap ia membuka lembaran buku demi buku itu... Kuhampiri gadis setinggi 170 sentimeter tersebut, lalu menyentuh pundaknya dan menyapanya
“Kak Fira..”


Ia menyentuh tanganku yang berada di pundaknya itu lalu menjawab “Iya sayang” sambil melanjutkan membaca bukunya

“Kalau aku tanya, apa Kak Fira marah?”

“Ngga sayang, mau tanya apa?” paru-parunya menyiut, nafasnya sedikit melengking ketika aku mulai memperlihatkan kecurigaanku

“Kak Fira selama ini kerjanya apa?”

“Aku kan kuliah” jawabnya cepat, detak jantungnya melecut secepat kilat “memang kenapa, Nina?”

“Ohh” aku tenang sejenak, ia melanjutkan membaca bukunya. Tanpa alasan, aku ayunkan tanganku datar tepat di pipinya. Menampar orang yang merawatku selama 2 tahun ini.

“Nina?! Sakit, tahu! Untuk apa itu?!”  nadanya tinggi, tapi ia tak marah, ia mengedipkan matanya cepat. Tak bukan dan tak lain, ia berbohong.

“Maaf, kak.” Aku tersenyum, seakan tak terjadi apa-apa. “Cuma bercanda, maaf kalau berlebihan.” Bohongku.

Kulangkahkan kakiku keluar. Sebelum keluar dari pintu kamar Fira, ada bau botol parfum kecil yang terbuat dari kaca di toalet Fira. Ini bau parfum yang ia kenakan setiap habis mandi. Entah apa yang ada di pikiranku, aku langsung menyambar botol parfum itu, menghadapkan badanku ke Fira, melemparnya tepat ke arahnya.
Fira bereaksi, kepalanya ia fokuskan ke samping, tangannya sudah siap untuk menepis botol itu. Piar! Botol itu pecah menatap tembok karena ditepis Fira.

Lantas aku naik ke springbed Fira, lari ke arahnya, tanganku mengepal siap menghantamnya ketika melompat di udara. Fira terlihat santai, dengan cepat ia menghindariku, lantas aku jatuh menatap tembok, tubuhku tergampar lemas karena kakiku tergelincir.
Tak berucap, Fira memegang bajuku, melemparkan seluruh tubuhku yang hanya 35 kilogram ke toalet di dekat pintu kamar Fira. Tergeletak, tubuhku terakan tertindas traktor, ia menghapiriku untuk sekian kalinya ia tak berucap, menggenggam leherku dan tangan kanan yang mengepal, ia sudah siap menghantamku, menyantap kuat sebelah kepalaku keras.


Tetesan air dari pipa yang bocor senada dengan alunan detik jarum jam membawaku terjaga di pekatnya malam. Aku terbangun di ruangan berlantai semen, kurasakan sekitar hanyalah ada kasur bambu berbantalkan rotan, jendela tanpa kaca, dan pagar besi yang terkunci oleh gembok kuat. Ini semacam penjara tanpa ada yang menjaga. Satu-satunya petunjuk ada ujung lorong ruagnan ini. Pintu itu di atas tangga yang rapuh, tapi yang pertama aku lakukan harus keluar dari pintu besi ini, ya Tuhan bagaimana bisa?

Pertanyaanku satu-satunya adalah, apa Kak Fira tega melakukan ini? Ia yang sudah menyekolahkanku selama 2 tahun? Apa yang dikatakan Dinar benar? Seiring berjalannya waktu, hal yang aku ingin ketahui seakan menjadi misterinya sendiri.

Kurasakan hangat sinar bulan purnama yang terpancar dari ratusan ribu kilometer, merasuk ke rungan yang hanya terisi kasur dan meja kecil. Pusing, hampir tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa menunggu sang mentari terbit. Tapi tak boleh diam, ada yang bisa dilakukan.

Aku melakukan handstand, sit up, dan push up masing masing 12x3. Kebiasaan rutin bersama dinar, tak boleh terlewat. Tak ada angin besar, tiba-tiba tetesan air dari langit jatuh di genteng dekat jendela. Ahh, hujan, selalu ada harapan di dalam trilyaran tetes air hujan, tapi bukankah aneh di bulan Juli yang seharusnya panas terjadi hujan?

Tenggorokan yang kering akibat sedikit latihan tadi mengingatkanku bahwa air hujan aman untuk di minum, tak banyak pikir, tubuhku yang hanya 1,5 meter menaiki kasur rotan itu dan menjadikan tanganku sebagai gelas. Segar, aku bersyukur masih bisa merasakan air dalam keadaan seperti ini. Tiba-tiba hujan berhenti menderaskan dirinya, aku sudah puas mendapatkan beeberapa tegukan darinya. Selalu ada hari esok, aku harus tidur untuk berharap.

Sinar pagi yang cerah, aku bisa merasakan hangatnya mentari pagi, perutku keruncungan. Apa benar ini tahanan? Mereka menggembokku tapi tak memberiku makan. Kurasakan daun asam di luar jendela memantul, seakan ada yang menhinggapinya. Ohh, hanya seekor capung berukuran 10 cm.

Hey, capung? Aku pernah membaca artikel, suatu suku yang entah di mana letaknya menjadikan serangga hijau itu sebagai santapannya. Apa benar itu layak untuk di makan? persetan, aku sudah mulai kelaparan.
Perlahan aku naik ke meja di samping kasurku itu, reflek capung tak secepat lalat atau nyamuk. Mengeluarkan tanganku perlahan dan.. hap! Ia masih bergerak di dekapan tanganku. Seriously, memakannya hidup-hidup? Ah, aku kelaparan, kulahap seluruh badan capung itu, rasanya? Seperti rumput busuk yang sudah terinjak kaki babi, aneh. Tak tanggap, kakiku tergelincir dari meja kayu kecil itu. Aw, dosa apa aku ya Tuhan?

Meja itu jatuh dari tempatnya berasal, meninggalkan jejak kaki meja yang tak dihinggapi debu. Aku baru sadar, tapakan bawah meja itu membelah persegi, itu sangat bisa di buka, aku tak sadar karena kaki meja itu meredamkan getaran yang menghambat pengelihatan pendengaranku. Apa itu?

Itu semacam tutup selokan yang dicor, itu sangat bisa dipindahkan, tapi apa isinya? Aku sedikit berusaha ketika membukanya karena jarak untuk membukanya sangatlah sempit untuk jariku. Setelah kubuka, ternyata isinya hanyalah bekas aliran air dari luar. Ah, hanya ini.

Tapi aku sedikit curiga, untuk apa mereka membuat selokan di dalam sel? Mereka pasti menaruh sesuatu di dekat sini. Kurabah seluruhnya yang berada di dalam situ, di atas bagian selokan itu ada yang mengganjal. Semacam kertas yang sengaja di tempelkan di situ, lantas kuambil perlahan, karena masih tertempel semacam cairan lengket. Kertas itu sudah sedikit kusut, tapi ada tulisan jika kurabah, lantas aku membacanya dari bagian yang timbul karena tekanan alat tulis, kertas itu bertulisan

Siapapun yang menemukan tulisan ini, selamat, kamu beruntung tinggal di sel bekas saya. Dan secara otomatis kamu sudah di terima di Edward Niara’s tbh, saya adalah anak angkat almarhum Edward, kunci pintu sel ini berada di dalam bambu kasur sisi kepala itu. Sekali lagi saya ucapkan selamat dan semoga beruntung

Tertanda, Shafira Delima

Edward.. Niara..? Almarhum..? Ayahku sudah meninggal? Jadi Kak Fira anak Ayah? Tapi apa hubungannya dengan semua ini? Kepalaku seakan sudah penuh dengan ribuan pertanyaan yang harus kutanyakan. Aku membawa surat itu ke kantongku, bambunya? Ah aku harus bergegas, kasur itu sangatlah enteng, kuangkat dan kulemparkan ke tembok, bambu bagian kepala sudah patah, dan.. yap benar, lagi-lagi aku tak bisa merasakan ada suatu benda dari bambu yang sudha di potong dan disambung kembali itu.

Kubuka kunci gembok..tash! Gembok itu terbuka. Aku membawa gembok itu untuk berjaga-jaga. Setelah lari ke ujung lorong tak memakai alas kaki, kunaiki anak tangga. Pada saat anak tangga ke 7, anak tangga yang sudah rapuh itu retak, aku tergelincir dari atas dan meretakkan anak tangga yang lain. Aw, sungguh hari yang indah.

Meja kecilnya! Aku ingat, aku mengambilnya, naik ke atas dan memanjat ujung tangga yang sudah lapuk. I made it, aku sudah di ujung, lalu? Telingaku kuarahkan ke pintu, terdengar ada aliran darah dan hembusan nafas. Seseorang, siapa dia?



Pintu yang terbuat dari kayu itu terkunci dari dalam, kunci masih menyantol, tak segan aku membukanya. Benar ruangan itu kosong, hanya ada pintu besar dan satu orang di situ yang sedang mengangkat semacam tiang, ia bertubuh kecil sepertiku, dan masih pertanyaan yang sama di otakku, siapa dia? Tapi detak jantungnya terdengar normal bergerigi, ia tak ada niat apapun selain ketakutan.
“Hei, Nina!” ia menyapaku sebelum aku sempat menanyakan siapa dirinya.
“Tolong aku” lanjut anak itu “tekan tuas yang satunya, pintu ini cuma terbuka kalau tuas diangkat dari dua sisi.
Tanpa sungkan, kuarahkan tubuhku melaju ke tiang itu, ia mengasihi aba-aba “angkat dalam hitungan 3. 1..2...3!” kami mengangkatnya ke atas. Pintu itu terbuka, genius bastard.

“Noval” ia menjabat tanganku yang diam selagi menunggu pintu itu terbuka penuh. “Kamu udah pasti Nina.” Katanya bahkan aku belum memperkenalkan diriku
Seseorang yang tak asing berdiri di depan pintu yang sudah terbuka penuh. “Kak Rizal?!” aku berteriak kencang dengan nada bertanya. Ruangan itu setengah segi 6 yang didindingi oleh kaca besar.

Rizal membuka mulutnya “Selamat.. kalia” aku lari ke arahnya, mengepal tanganku, mencoba menerkamnya “Nina!” panggil Noval dengan nada yang melarang. Rizal menangkap tangan kananku, memeluntirnya hingga badanku terhadap ke belakang, duh! Lagi-lagi kalah ukuran!

“Arrrggghhh..” keluhku

“Aku bukan musuhmu, Nina. Kami bukan musuhmu.” Kata Rizal. Ia mengendurkan pluntiran tanganku. Masih kata Rizal, “Kalian sudah resmi masuk ke Edward’s Tbh.”

“Edward to be honest?” celetuk Noval. Rizal melepas tanganku, yang tiba-tiba keram karena ideku sendiri.

“Hahaha..” Rizal duduk di bangku satu-satunya di ruangan itu “Tbh adalah the bounty hunter. Kalian akan di latih dari awal untuk menjadi penegak hukum yang tahan sogok. Kalian tahu hukum di Indonesia sangat ringkih. Hampir sebelas tahun agensi ini didirikan oleh Ayah Nina, atau hampir seumur Nina, bukan begitu Nina?” ia menolehkan wajahnya kepadaku, aku masih cemberut memalingkan wajahku ke hal yang lain.

“Saya sudah lihat semua yang lakukan semalaman di dalam sana. Dari kalian bertahan bertahan hidup melalui hujan buatan itu, sampai kamu, Noval, ide merangkai bom dengan cara mengubah bentuk saklar dengan sedemikian rupa itu sangat gila. Untung kami tanggap.”

Noval meringis kegirangan.

Lihat? Bagaimana bisa? Tak ada satupun kamera di situ, aku rasa. “Lihat, Kak Rizal?” tanyaku penasaran “Lihat melalui apa?”

“Satu hal yang kamu harus tahu, Nina, yang punya kelebihan itu bukan hanya kamu. Saya pun bisa melihat dengan mata telanjang dari jarak 1000 meter walaupun ada hal yang menutupi itu. Ayo turun ke bawah.” Rizal mengajak kami untuk turun dari ruangan semacam gazebo di sisi yang lainnya.

Ruangan itu berbentuk layaknya studio yang kedap suara. Cukup ramai, sekitar ada 12 orang di situ. Yang paling menonjol dari mereka adalah, ada yang memegang kamera video, senapan jarak jauh berkaliber 12.7 mm .50 yang ditaruh di tripod, dan... Kak Fira. Ia mengenakan suit seperti layaknya wanita yang melamar pekerjaan.

“Kami mengumpulkan orang-orang seperti kita untuk melakukan pekerjaan, kami memberinya FFF-05 untuk membuat kelebihan itu menjadi nyata.” jelas Kak Rizal.

“Apa semua memiliki kelebihan yang sama?” tanyaku.

“Beberapa ada yang sama, tapi semua memiliki kelebihan masing-masing. Misalnya pelatihmu, Dinar, dan kamu, kelebihan itu namanya adalah Tiflos, kelebihan yang cukup langka di antara semuanya, yang bisa mendengar dan merasakan hal di sekeliling, kami akan melatihmu untuk mengembangkannya. Ada juga Orasi sepertiku, sama dengan Shandy yang membawa winchester. Dan yang paling banyak adalah Anagnosi seperti Fira, ia bisa membaca pikiran seseorang yang dia inginkan.”

Seseorang berdetak jantung yang lumayan deras datang ke ruangan samping, ia duduk di bangku yang berada di ruangan depan yang dilapisi kaca, Fira dan kameramen masuk ke ruangan itu, Fira masuk diam-diam, dan ia juga duduk di samping orang yang suhu tubuhnya panas itu. Ruangan itu mulai terasa hangat karena sinar dari sorot lampu kamera.

“Ayahmu adalah seseorang yang sukses mengubah arah hidup kami, Nin.” Lanjut Kak Rizal bicara “Beliau mengangkat dan merawat kami seperti anaknya sendiri. Sebenarnya beliau sudah meninggal ketika terbang ke Semarang ingin menemuimu 3 tahun lalu, ia terkena magh yang hebat di dalam pesawat. Kami sengaja menutupinya agar kamu kuat untuk kami latih. Fira kami tunjuk sebagai leader yang menggantikan sosok Ayahmu. Setahun kemudian kami membuntutimu dari Semarang, kami juga tak menyangka bahwa pesawat akan kecelakaan, untungnya kami berhasil selamat dan untungnya lagi, kamu juga berhasil selamat. Dan kamu member termuda yang pernah masuk ke Tbh, 11 tahun. Mengalahkan Fira yang menjadi member sama seperti Noval, pada umur 15 tahun.

Jika Ayah yang menemukan semua ini, apa Ayah juga memiliki kelebihan? Pikirku. “Hey, Kak.” Aku memanggil Kak Rizal

“Iya, Nina?” ia menjawab.

“Apa Ayah juga memiliki pemberian itu?”

“Tentu Nina. Beliau satu-satunya yang punya kelebihan itu, mellontikosa. Ia bisa membaca 1000 langkah manusia ke depan. Ia bisa tahu persis apa yang terjadi dan apa yang sedang terjadi. Tapi sayangnya ia tak bisa memperkirakan kematiannya.”

Dari ruangan sebelah yang dilapisi kaca, Kak Fira mulai berbicara ke orang yang tak berambut itu, “gunakan pemberianmu itu, Nina. Dengarkan apa yang dibicarakan Fira dengan orang itu” kata Kak Rizal. Akan aku fokuskan pendengaranku kepadanya
“...berapa persen orang sel yang memakai barang andaitu?” tanya Fira

“Ya hampir semuanya lah, 80% mungkin. Karena kebutuhan sel juga banyak, mbak.” Jawab orang beraksen sunda itu, ia semakin bergemetar hebat jantunya.

“Berarti sipir juga tahu dong? “

“Tahu, itu hal umum.”

“Secanggih apa anda bisa mengatur pengedaran narkoba di dalam sel?”

“Cukup canggih, kami pakai satelit sendiri untuk berjaga-jaga bahwa halnya ada yang ingin merobohkan kami. Indonesia sangat mudah di masuki barang seperti itu, karena biaya hidup yang murah, dan hukuman yang ringan, maka Indonesia menjadi target utama se Asia.”

“Soal hukuman, nih. Kenapa sih hukuman sangat ringan? Padahal itu pelanggaran berlapis, loh.”

“Soalnya saya kenal sang hakim, klien saya juga banyak yang hakim, kami saling monitoring lah soal semuanya, kami saling jaga, kami saling care. Ada juga klien saya yang polisi dan pengacara, kami kerja sama.”

“Lantas untuk apa anda menghabiskan semua uang panas itu?”

“Kami lakukan untuk pesta seks, membeli barang untuk kami sendiri, bersama teman-teman biasanya di hotel bintang 3.”

“Kira-kira nih, berapa banyak jumlah tabungan di rekening anda?”

“Banyak, mbak. Rekening saya kan ada puluhan, semua kartu ATM ada di dompet saya, namanya sudah berbeda-beda. Masing-masing berisi ratusan juta.”

“Terakhir nih, ada ngga sih niatan untuk berhenti dari dunia hitam ini?”

“Ngga ada. Sama sekali, karena untungnya juga sangat besar. Mungkin mbak sendiri akan tergiur dengan uang yang saya hasilkan sekarang.”

“Masa?”

“Iya.”

“Yakin kamu?” nada Kak Fira bercanda, ia tersenyum.

“Iyah.. percaya sama saya” nada bercanda Kak Fira berhasil membuat detak jantung orang ini kembali normal. “Saya bisa atur semua jika anda..” suara orang itu semakin habis karena aku memfokuskan pada sang pembawa winchester ia mulai menarik setengah pelatuk senapan kelas tentara Inggris yang dibawanya itu

“Awas!” teriakku, mataku tersentak lebar seperti layaknya mata orang normal. Seakan tak menghiraukanku, Sniper itu meletuskan pelurunya, peluru melesat ratusan ribu kilometer per jam. Tepat menuju kepala pria gendut yang duduk bersama Fira itu.
Orang itu badannya terpental dari kursi yang didudukinya, cairan kental menyiprat ke seluruh tubuh Kak Fira. Detak jantungnya mulai menciut dan hilang selama 8 detik.

“Loh?” Noval heran “Kok kamu tanggap duluan, Nin?”

“Itu adalah orang kepolisian yang punya profesi lain menjadi pengedar narkoba, Noval.” Kata Rizal. “Itulah tugas yang diberikan Ayah Nina kepada kami. Ini baru hal yang paling mudah, kalian akan lihat yang 10x lebih hebat daripada ini.”

“Penegak hukum?!” aku berteriak “Ini main hakim sendiri!”

Kak Fira melepas kacamatanya, membersihkannya dari cairan kental yang dicipratkan dari kepala pria itu, ia menoleh ke arahku. Dari kejauhan, ia berkata “Sudah waktunya, Nina.”






Inspired by ‘Netflix’s Daredevil
Photo took from Google
And some conversation took from Metro’s TV documment

Tidak ada komentar:

Posting Komentar