Sabtu, 31 Agustus 2013

CERPEN: 3V Yang Terpisah

Setiap terjebak macet di depan rumah sakit Bakti Kasih, aku tiba-tiba diserang memori kejam. Kisah ini terjadi sekitar dua tahun lalu, saat aku belum kehilangan segala-galanya.

Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ayah adalah pengusaha kaya raya yang sukses sampai luar negeri. Ibu ku adalah sosok perempuan yang baik yang pernah ku kenal. Kakak ku, huh. Aku selalu benci dengan kakak ku Vanessa, sikapnya yang manja, rewelnya yang selalu menggangguku, aku benci dengan dia.

Suatu hari, Ayah mengalami kecelakaan maut bersama Ibu ku saat mereka liburan ke Bali bersama Vanessa. Mobil Ayah terbalik dan masuk sungai, hancur tak ber-rupa. Ayah meninggal saat dibawa ke rumah sakit dengan ibu. Anehnya, hanya Vanessa yang selamat saat mobil di evakuasi. Kadang aku berfikir, kenapa tidak Vanessa yang meninggal saat kecelakaan itu, kenapa harus Ayah dan Ibu?

Satu-satunya teman ngobrol ku hanya Gabriel, aku rasa hanya dia yang benar-benar mengerti aku selama hidupku. Sedangkan Vanessa, dia hanya bisa membentakku. Aku selalu lelah, aku selalu murung setelah kejadian itu. Rasanya aku ingin melupakan kejadian pahit yang datang tanpa keinginanku itu.

Beberapa hari kemudian, Gabriel mengajak aku ke klub malam. Katanya, cara paling manjur melupakan masalah adalah meminum minuman keras. Awalnya aku tak percaya, tapi aku selalu penasaran, dan aku pun mencoba mengikuti Gabriel. Aku kabur dari rumah dengan sepengetahuan Vanessa, pergi ke klub malam. Melayang, bebas, yang kurasa. Gabriel benar, dia membuatku melupakan masalahku untuk sejenak.

Pulang dari klub, aku berpisah dengan Gabriel, aku mengantarkan pulang ke rumahnya, dan aku akan pulang ke rumah. Setengah perjalanan, sirine polisi terdengar nyaring, tampak mobil polisi mengejarku dan mendekap mobil ku dari depan, aku kira aku hanya melakukan kesalahan, lampu depan ku yang kurang terang? Tidak, melanggar lampu merah? Tidak. Lalu apa? Polisi dengan badan kekar itu mendatangiku dan mengucapkan selamat malam, ia berkata bahwa tas ku perlu diperiksa. Setelah kuberikan tas ku, ia mendapatkan sebuah plastik dengan isi bubuk putih. Ia bilang itu ekstasi. Tunggu, ekstasi? Aku bukan pemakai ekstasi. Bagaimana bisa itu ada di tas ku?

Malam-malam pun aku digiring ke kantor polisi terdekat, aku mencoba menghubungi Gabriel, tidak aktif. Aku hubungi Ryan kekasihku, nomor diluar servis area. Tidak ada pilihan lain, aku menghubungi Vanessa, aktif! Tapi ini tengah malam, ia pasti sedang tidur. Aku diperiksa 6 jam oleh polisi. Hari sudah pagi, aku tertidur di ruang periksa, kulihat ada 7 panggilan gagal dari Vanessa. Akhirnya kucoba hubungi dia kembali, terangkat! Aku suruh dia membawa uang dan ke kantor polisi untuk menemaniku.

Beberapa jam kemudian, ia datang, ia datang dengan mobil sedan merah, mobil pertama Ayah ku. Ia tampak tak ber-mimik. Longdress hitam tanpa lengan dengan syal. Ia mirip seperti Ibu ku, lalu ia berurusan dengan polisi, aku menunggu di ruang periksa menyimak percakapan kecil antara Vanessa dengan polisi. Inti dari percakapan itu adalah Vanessa memohon agar aku dibebaskan, dihapuskan cacatan kriminal di buku jurnal kepolisian, dengan syarat wajib lapor. Polisi juga menahan denda Vanessa sebagai uang penutup mulut. Vanessa jalan ke arah ruang periksa dan membuka separuh pintu kaca, wajahnya yang judes menyelimuti dirinya dan  dia berbicara dengan nada datar “Vinda, ayo pulang.” Lalu ia pergi menuju ke mobil.

Di mobil, seperti biasa, ia tetap memakai raut wajah yang judes. Aku mencoba mencairkan suasana dengan menanyai dia “Apa kabar kak?”, tapi dia acuh tak menggubris dan terus menyetir. Lampu merah didepan menyetop laju mobil, tiba-tiba Vanessa tampak batuk. Aku pikir itu batuk biasa. Semakin keras dan semakin keras batuk itu, tiba-tiba Vanessa memuntahkan darah di pangkuannya. Aku tercekik kaget, dia pingsan di setir mobil. Aku bingung, berpikir cepat dan aku menggantikan Vanessa menyetir, ku buka sabuk pengaman dan kugeser Vanessa ke belakang, badannya nampak panas. Ku larikan mobil ke rumah sakit terdekat, menyalakan lampu hasard, dan merobos lampu merah.

Sampailah di rumah sakit Bakti Kasih, aku gendong Vanessa ke UGD. Untung saja Vanessa mempunyai badan yang lebih kecil dari aku. Aku menidurkan Vanessa di kasur pasien yang tersedia di depan pintu UGD. Meneriaki petugas dan memintanya untuk menangani.

Lagi-lagi aku bertemu dengan hal ‘menunggu’, iya aku menunggu di ruang tunggu penjenguk di depan UGD. Tidak lama, Dokter datang ke arahku, dia tahu bahwa aku yang membawa Vanessa ke UGD karena pagi itu hanya aku yang ada di sana. Dokter menyatakan bahwa Vanessa terkena kanker tenggorokan yang belum kronis, Vanessa masih bisa sembuh dengan cara kemo terapi, tapi harus ditangani secara cepat. Dia butuh rawat inap agar mendapat oksigen dari kerongkongan dan makanan yang higienis. Aku bersyukur dia masih ada harapan untuk hidup. Aku mengurus biaya admin rumah sakit, mengambil tas Vanessa di mobil dan mengambil uang yang ia bawa untuk biaya. Hari itu aku tidak berpikir mengambil mobil ku yang masih kutinggal di kantor polisi.

Keesokan harinya, aku membawa baju ganti untuk Vanessa, dan boneka Panda teman Vanessa tidur. Masuk rumah sakit, dan kulihat Vanessa tertidur pulas. Aku menaruh boneka Pandanya disebelahnya, aku menunggu ia sampai terbangun. Sudah satu jam, dan dia belum terbangun. Aku mencoba keluar dan duduk di taman belakang rumah sakit. Hawanya sangat sejuk, pepohonan yang ringin dan hijau. Aku rasa aku mau menghabiskan waktuku disini sambil membaca komik favoritku, Detective Conan.

Tak lama, perempuan seumuranku dengan baju pasien menghampiriku dan duduk disebelahku. Dia duduk sambil memejamkan mata. Tiba-tiba dia menanyaiku “Kamu suka baca Detective Conan?” aku menjawab dengan nada kaget, bahwa aku suka membaca Conan.

 Ku perhatikan, dari cara dia berbicara dan berbahasa tubuh mirip sepertiku, rambutnya pun pendek bergelombang sama denganku, jam tangan yang ia pakai pun juga dipakai di tangan sebelah kanan. Aku seperti melihat diriku sendiri.

“Ohhh... sama dong, aku juga suka Komik itu.” Kata dia sambil tertawa kecil. Ia nampak sehat dan tidak sakit. Karena penasaran, aku bertanya kepada dia sakit apa yang dia alami, ia menjawab bahwa dirinya telah di vonis kanker sum-sum tulang, tapi Dokter bilang masih ada harapan hidup dengan cara operasi, tapi dengan badan yang lumpuh dan mati rasa. Operasinya pun dilakukan malam ini. Ia meminta doa dariku agar operasinya berhasil.

“Aamiin, kamu pasti bisa. Tapi ngomong-ngomong, kita belum kenalan, namamu siapa? Namaku Vinda.” Ia menjawab namanya adalah Vanda, dia berumur 18 tahun sama sepertiku. Kembali menggali tentangku, Vanda bertanya kenapa aku disini. Aku jawab, aku sedang menunggu anggota keluargaku satu-satunya, yaitu kakak ku yang terkena kanker tenggorokan. Aku bercerita semua ke Vanda tentang Vanessa.

Ia nampak memperhatikan aku bercerita, aku jeda ceritaku dan membiarkan ia berpikir. Tak lama, ia bercerita tentang seseorang yang juga penderita Kanker tenggorokan di kamarnya, ia bilang bahwa seseorang yang di kamar inapnya itu seperti kakaknya sendiri, walau baru semalam bertemu. Dia berkata semua tentang orang itu, dia bercerita kepada Vanda bahwa dia mempunyai adik kandung yang sangat dia sayangi. Suatu hari Ayahnya meninggal, karena kecelakaan, dia diutus Ayahnya agar dia disuruh menjaga Adiknya dengan sedikit keras. Karena Adiknya mempunyai Ibu yang susah diatur dan menurun ke sifatnya.

 Aku berfikir, apa itu Vanessa? Tidak mungkin Vanessa bercerita tentang hal pribadinya ke orang lain. Aku sangat mengerti sifatnya. Dia juga menjelaskan kepada Vanda, adiknya pernah mendapat teman yang mau menusuk dia dari belakang. Temannya itu pernah berkencan dengan kekasih Adiknya saat dia jalan-jalan di Mall. Tidak hanya itu, temannya juga memasukkan sesuatu ke tas Adiknya tanpa sepengetahuan Adiknya. Temannya mengerti bahwa dia menemuinya melakukan itu, dan mengancam mau membunuh jika diberitahukan kepada Adiknya. Malam itu semakin larut, sehingga Vanda hampir tertidur ketika mendengar cerita. Ia mengatakan kepadaku, bahwa ini adalah hari terakhir di kamar ini, Vanda pamit ke dia dan mendoakan cepat sembuh sebelum Vanda tidur.

Penasaranku yang tak bisa diredam, membuatku bertanya kepada Vinda siapa nama temannya dengan nada keras dan penasaran, dia menjawab dengan sedikit lupa. Dia berkata Vasa.. Vassen.. Va.., dan aku reflek menyebutnya “Vanessa?!” dia meneriakkiku “Iya benar!”
Aku terdiam, mukaku bagai gambaran di pasir pantai yang terkikis ombak, hampa, dan beribu perasaan masuk sekaligus ke dalam diriku. Terkadang aku tak mengerti mengapa Tuhan menciptakan drama yang begitu rumit. Mungkin ini adalah skenario kecil Tuhan yang mengangkat aku sebagai peran utamanya. Aku seperti tidak memiliki cukup tenaga untuk tertawa dan tidak memiliki cukup air mata untuk menangis.

Suster bermata sipit mendatangi Vanda dan menyuruhnya untuk istirahat sebelum Operasi, dia mengucapkan sampai jumpa kepadaku, aku pun menanggapinya dengan wajah yang datar. Aku rasa aku harus pulang dan istirahat setelah dihantam kenyataan itu.

Besoknya, aku segera ke rumah sakit, dengan niat ingin memeluk Vanessa dan memberi tahu sebenarnya yang telah terjadi. Tapi dia tidak ada di kasur pasien, aku tanya suster yang memberi obat pasien lain, tapi ia tidak mengerti.

Setelah aku cari di taman dan teras kamar tidak ada, lalu aku pergi ke operator dan bertanya dimana pasien bernama Cristina Vanessa, operator mengatakan bahwa Vanessa baru saja masuk ke ruang operasi karena tumor di leher semakin berkembang, operator juga mengatakan bahwa pihak rumah sakit sudah menghubungiku, tetapi ia bilang ponselku tidak aktif. Aku lihat, ternyata masih mode pesawat, setelah dari kantor polisi dua hari lalu dengan maksud untuk menghemat baterai.

Dengan tatapan kosong aku berduka dalam hatiku, rasanya ini terjadi tanpa aku minta. Tuhan memang penulis skenario yang hebat.

Aku mencoba menenangkan diri dengan duduk di kursi, kuambil nafas dalam mencoba tenang. Tiba-tiba aku ingat Vanda yang menjalani operasi tadi malam, aku kembali ke operator dan tanya pasien yang menderita kanker sum-sum tulang, dia bilang ada empat orang yang menderita kanker tersebut, aku bilang yang baru ber-operasi tadi malam.

“Oh... Yang itu, maaf, kemarin tim medis gagal menangani penyakitnya dan dia menutup usia, orang tuanya juga datang dan nampak tak sedih, mungkin mereka sudah mengerti karena anaknya memiliki penyakit yang sudah lama.” Kata operator sambil bernada sedih.

Rencana Tuhan memang tiada yang tahu, ia renggut satu per satu orang yang berbuat baik kepadaku. Orang itu bagaikan bunga di taman, yang di petik duluan hanya yang bagus. Iya, aku percaya istilah itu. Sisa orang yang baik padaku hanya kakak ku, mungkin hanya dia yang terbaik untuk ku, aku mungkin selalu salah di mata dia, tapi aku yang salah kalau aku membenci dia.

Akan ku tunggu hasil operasi kakak ku, seberapa lama itu. Setelah operasi, aku ingin memeluknya dan mengatakan aku telah banyak salah kepadanya. Ku panjatkan doa kepada Tuhan semoga operasi itu berhasil.

Tiga jam berlalu, dokter operasi sudah keluar dari ruangan. Mukanya tampak kelelahan, dia memanggil “Cristina Vanessa?”, aku berdiri dan datang ke dia. Aku berkata bahwa aku adalah Adiknya, dokter itu meminta maaf, ia berkata bahwa kanker Vanessa semakin parah, dalam 24 jam kanker itu bisa berlipat 25 persen, dan ini sudah terlambat. Dalam kata lain, Vanessa sudah meninggal selama operasi berlangsung.

Sekarang aku sudah sebatang kara, tidak ada seorang pun yang menemani ku saat ini. Tiga hari setelah itu, aku masuk ke kamar Vanessa, merapikan kamarnya yang berantakan, sebelumnya aku tak pernah masuk ke kamar Vanessa karena ia selalu mengunci diri di kamar dan hanya keluar ketika makan. Bantal Vanessa ada yang aneh, nampak persegi timbul  dari luar. Aku membuka sarung bantal itu dan ternyata itu amplop yang lusut, nampak wangi, ku buka isi amplop itu dan menemukan tulisan yang di tulis oleh Vanessa yang bertuliskan

Mungkin jika ada orang yang menemukan ini, aku telah tiada. Aku sudah lama mengidap penyakit kanker dan aku tidak mau merepotkan satu orang pun yang aku sayang. Tolong sampaikan pesan untuk Vinda, bahwa aku selalu sayang dia.”


Semenjak itu aku mulai menghargai hal-hal kecil yang berada di sekitarku, aku melihat pengamen di sepanjang macet, aku melihat matahari sore yang mau tenggelam, dan bersyukur bahwa menghargai hal kecil bukanlah hal yang sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar