Minggu, 25 Agustus 2013

CERPEN: Hari terberatku

Ini mungkin malam yang paling gelap dan panjang buatku. Malam yang tanpa ucapan selamat tidur dari-mu. Pernah melihat botol plastik yang diremukkan? Mungkin itu seperti perasaanku saat ini.
Tidak, aku tidak melebih-lebihkan perasaanku. Aku berbicara sesuai apa yang aku rasakan. Mungkin yang bilang aku begitu, mereka belum kenal rasanya disakiti. Aku adalah pahlawan, aku memiliki akal seperti Einstein dan memiliki hati kuat seperti Superhero. Tapi itu sebelum aku disakiti.

Malam berlangsung seperti biasa, bedanya aku tidak memejamkan mata dan bermimpi seperti biasa. Masih kulihat televisi Ayah yang menyala tanpa suara. Oh, itu pertandingan sepak bola. Sepertinya pemain Manchester United melihat Ayah yang sedang tertidur pulas.

Bergegas aku ke kamar mandi dan mencoba rileks dengan menyiramkan air hangat dari shower. Diam seketika tidak berkata, kurasa air ini tidak hangat seperti biasanya. Kupakai kemeja putih dan mengambil sepeda dengan maksud mau berangkat kerja. Aku berusaha tidak memperdulikan Adik yang sedang mengejar bus sekolahnya.

Lesung pipit ku terasa terbebani, rasanya mengayuh sepeda lebih ringan daripada tersenyum. Mungkin aku lupa tidak sarapan. Aku berhenti di kedai kopi didepan makam Ibu untuk membeli sepotong roti dan teh. Seperti biasanya, penjualnya tua dan selalu senyum ketika melayani pembeli. Tunggu... bagaimana bisa orang itu selalu tersenyum? Ah sudahlah, itu tidak penting. Yang penting aku menghabiskan sarapanku dan pergi ke supermarket tempat aku berkerja sebelum jam 8.

Aku kembali menaiki sepedaku dan pergi, tidak lupa menoleh ke makam ibu ku dan meminta agar Ibu kembali untuk mengetahui bagaimana perasaanku hari ini. Ayolah, itu hal yang sia-sia. Aku menyeberangi lampu merah demi lampu merah, melewati blok demi blok. Dan melihat daun berguguran sepanjang perjalanan. Petugas kebersihan pun tampak kewalahan membersihkan daun itu. Tapi ada yang beda, aku berpikir ada yang beda... Oh bibirnya. Bibirnya masih bisa melengkung cembung ke bawah. Sial.. lagi-lagi aku melihat orang tersenyum.

Akhirnya sampai di supermarket. Aku menaruh sepeda di depan rumah kosong sebelah supermarket. Aku mulai masuk dan memakai rompi kasir. Membuka kunci pintu depan. Membalik tanda tutup menjadi buka. Menyalakan komputer kasir. Kenapa aku sendirian? Kenapa hanya aku yang menjaga kasir? Ternyata ini masih jam 7 kurang. Aku duduk dan membuka twitter dari telepon seluler ku. 18 mention? Oh teman-temanku yang mengucapkanku ulang tahun. Aku bahkan lupa kalau aku ulang tahun. Entahlah, hari ini aku adalah pelupa. Aku adalah pemurung semenjak kejadian kemarin.

Kubalas mention teman-temanku, dengan kata yang ceria, walau sebenarnya tidak. Aku senang tidak ada yang mengucapkan lewat media visual. Itu lah mengapa aku suka twitter, menulis tanpa memaksa baca. Berpendapat tanpa rasa salah. Dan bersuara tanpa perlu nada.

Sepertinya pengunjung pertama datang, ia adalah pekerja dari proyek rumah sebelah. Masih memakai helm kuning dengan muka lusuh. Baiklah kurasa nanti kubalas sisa mention dari temanku. Ia membeli air mineral dingin 3 botol. Lagi-lagi, dia nampak tersenyum ketika membayar ke kasir. Kali ini aku mencoba tanya mengapa ia bisa nampak ceria saat bekerja. Dia tersenyum dan menjawab se-akan-akan tak ada apa-apa. “Kenapa ya? Mungkin karena saya sudah menikah dan mengerti untuk apa saya berkerja.” Lalu ia pergi dengan muka yang masih terlihat tersenyum.

Rekan kerjaku, Kate datang dengan muka nampak tersenyum juga. Ia menyapaku dengan ramah, wajahnya nampak cantik dengan senyumnya. Bagaimana bisa? Ini kan belum akhir bulan. Baiklah, apa yang aku dapat kan hari ini? Melihat orang tersenyum dan berharap bisa melakukannya.

Pembeli pun bergantian datang. Kulihat ada wanita separuh baya yang membuka pintu. Ia membeli obat anti serangga ukuran kecil. Ia memilih kasir ku sebagai pembayarannya. Kumasukkan harga ke komputer, memberikan harga yang sesuai label, dan menerima uang darinya. Lalu ia pergi dengan barangnya tanpa mengucapkan terima kasih. Sampai portal kasir ia malah berkata “Aku kecewa, harga senyum semakin mahal.”

Kate nampaknya mendapatkan waktu istirahatnya. Ia nampak tidak makan dan malah mendekat ke arahku. Mendapatiku yang duduk di bangku kasir tanpa balutan senyum, bertanya “Ada apa denganmu?” Seperti biasa, aku selalu pintar dalam hal menyembunyikan perasaan. Aku menjawab “Tidak ada apa-apa. Kenapa kau tidak istirahat?” dan ia mencoba menanyakan mengapa aku tidak tersenyum. Ini aneh, aku baru kenal Kate 3 bulan semenjak aku bekerja disini dan Kate sudah tahu bagaimana perasaanku. Tidak hanya hari ini, seminggu setelah aku bekerja disini juga aku pernah ada masalah dengan pelanggan, lalu Kate mencoba menyelesaikannya sebagai senior disini.

Aku semakin percaya dengannya. Kuceritakan masalahku, kucoba menjelaskan mengapa aku murung hari ini. Ia nampak mendengarkan dan melihatku, pupilnya nampak membesar seperti dia mencoba menyerap ceritaku. Melihat ke arah jendela, lalu tersenyum, dan berkata “Pernah pergi ke pantai? Pernah melihat ombak yang sangat besar? Bayangkan itu masalah dari orang seluruh dunia. Seberapa besar masalahmu? Mungkin hanya setetes air dari ombak itu. Tidak usah kamu, aku juga pernah mengalami masalah yang besar. Kedua orang tuaku meninggalkanku saat masih kecil. Mereka mengalami kecelakaan mobil. Tapi hanya aku yang selamat karena aku duduk di belakang. Itu secuil dari masalah di dunia ini. Menangisinya adalah hal percuma, sebab itu sudah terjadi.”

Nampaknya Kate benar, Kate berbicara seolah-olah kita sudah bersahabat sejak lama. Mungkin benar kata pepatah, sahabat bukan yang datang pertama atau terakhir, tapi yang datang dan tak pernah pergi.
Waktu kerjaku sudah habis. Kupakai kardigan lengan panjangku dan segera mengambil sepeda untuk pergi dari tempat kerjaku. Aku terlalu sering membiarkan diriku tanpa hiburan. Aku ingin ke taman, mencari udara segar. Aku rasa percuma pulang ke rumah dan terkejut tidak satupun ada yang menungguku. Duduk disekitar taman dan membalas mention ucapan selamat ulang tahunku kurasa cukup untuk menenangkanku. Lagi-lagi aku melihat hal kecil di sekitarku. Sang Ibu yang duduk dengan Anaknya, dan sang Anak berkata “Ibu, kenapa Kau tiba-tiba membelikanku balon?” sang ibu menjawab “Karena kita perlu kejutan nak, ketika kamu jenuh. Mungkin kejutan akan membuatmu tersenyum.” Kejutan? Masa bodoh, siapa yang mau mengejutkanku.

Setengah perjalanan tiba-tiba ban sepedaku meledak, aku tergelincir, aku jatuh dan antingku lepas entah kemana. Tanganku sedikit lecet. Sepedaku... entahlah, tak berupa. Sudah dekat dengan rumah, aku harus membersihkan diri dan mengobati lukaku. Bagaimana besok ya? Aku tidak ada kendaraan untuk pergi bekerja. Aku masuk ke rumah dan melepas kardigan dan kemejaku. Kulihat ke kamar dan mendapatkan surat di depan pintu kamarku. Aku penasaran. Aku buka surat di amplop itu dan ternyata surat itu untukku isi surat itu adalah

Selamat ulang tahun Odessa, semoga kau senang dengan hadiahku. Tertanda, Ayah.”

Aku buka pintu kamarku dan kulihat sepeda biru yang sadel nya masih terbungkus plastik, aku terdiam, ku usap mataku dan ku cubit dagingku, kurasa aku bermimpi. Tidak, ini sepeda dari ayah. Baru kali ini aku terkejut, tanpa beban berat bibirku melengkung dengan sendirinya. Kejutan yang kecil ini berhasil membuat masalah kecilku terlupakan. Aku senang. Aku menunggu ayah sampai pulang kerja dan memeluknya, lalu mengucapkan terima kasih.


Ternyata benar, sedikit kejutan bisa mengubahku. Ayah yang cuek, tidak memperdulikanku, ternyata ia yang membuatku tersenyum. Bodohnya aku, aku selalu sibuk dengan orang yang tidak selalu ada buatku, tanpa sadar ada orang di sekitarku yang lebih peduli. Senang rasanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar