Ini adalah siang yang panas, di cafe bandara. Ahh..
bandara, tempat orang-orang melepas rindu dan air mata. Menunggu seseorang yang
akan aku pinang seumur hidup datang, kami akan berlibur ke negara Itali,
menghadiri pernikahan rekannya. Sambil menunggu, aku menikmati kopi moka-ku
yang tak teraduk rata di dekat jendela cafe itu. Aku selalu suka menikmati kopi
yang tidak diaduk, sangat menggambarkan hidup; pertama pahit dan semakin akhir
semakin manis. Mungkin kisah perjalananku seperti kopi itu, aku juga pernah
mengalami pahitnya dihianati.
▄
Kala itu aku masih perempuan polos yang baru pertama
kali memasuki dunia kerja. Aku bekerja hanya sebagai tuntutan belajar hidup,
tak perlu bekerja pun aku juga bisa hidup karena orang tuaku sudah cukup
berharta untuk menghidupi anak perempuan tunggalnya. Hari pertama bekerja di
perusahaan minyak negara sangatlah menyenangkan. Tepat jam empat sore, hujan
turun menghujam kantorku. Aku berangkat kerja dengan angkutan umum. Sial, aku
tidak bisa mengendarai mobil, jadi tak mungkin aku mampir ke parkiran dan
mengambil mobilku, sialnya lagi aku menunggu angkutan umum di seberang jalan
besar sambil menikmati air hujan yang menyerbu.
Basah kuyup kemeja casualku membuatku merasa seperti
perempuan tak ter-urus. Untungnya, mana ada perempuan tak terurus yang memakai
hi-heels tujuh senti? Seseorang dengan sepeda motor laki ber-cc 250 berhenti di
samping trotoar tempat aku berdiri. Dia memakai kemeja casual yang dilapisi
jaket. Ia membuka helm teropongnya dan berteriak dari pinggir jalan.
“Ngga aus ujan-ujanan? Ayo gue anterin!”
Sok kenal sekali cowok ini, kenapa juga aku harus
percaya dia? Bagaimana kalau dia jahat kepadaku?
“Kan ujannya bisa di minum! Ngga usah, aku nungguin
angkot!” Gengsiku mengalahkan logika, kemudian ia membalas
“Ngga bakal ada angkot, yuk gue anterin, percuma lo
ujan-ujanan tapi ngga sampe rumah!” setelah diam sejenak, dia mengimbuhi ”Gue
ngga jahat kok!”
Duh, waktu itu memang tak terlihat ada tanda-tanda
angkutan umum lewat, hanya ada lelaki berjaket kulit itu di situ, apa boleh baut,
aku melepas sepatuku dan menjinjingnya, naik ke jok belakang sepeda motor Ninja
merah yang basah. Ia memacu kencang motornya, dan berhenti di depan warung
kecil bertenda merah. Ia mengajakku masuk ke dalam dan duduk, ia memesan kopi
panas dua gelas. Untuk hal mencari perhatian, lelaki memang pandai.
Ketika membuka helmnya, ia terlihat eksotis, rambut
belah pinggir yang acak-acakan menghiasi matanya yang tajam dan dagunya yang
lancip.
“Lo anak baru kan?” tanyanya samar, aku fokus
melihatinya membuka jaket kulit yang press-body itu, dadanya cukup bidang untuk
pegawai negeri, otot lehernya yang mengkilat akibat air hujan membuatku darahku
melamban mengalir ke nadi.
“Woy!” bentakknya pelan.
“E.. Eh.. iya apa?” jawabku gugup dan menatap
mukanya. “I.. Iya aku anak baru. Kenalin, Annisa. Kamu?” tanganku ku jabatkan.
Zerdian namanya, sudah dua tahun bekerja di
perusahaan minyak negara. Kami memperkenalkan diri dan bercerita pengalaman
bekerja. Itu percakapan yang sangat terasa menembus sore buat kami untuk saling
memicingkan mata, sambil menikmati kopi yang hangat dan menunggu hujan reda.
Ah, sore hari, sedikit usia Tuhan yang dipinjamkan ke manusia agar tahu rasanya
abadi; dengan menikmati kopi panas disaat dinginnya hujan.
“Oh yayaya.. Lulusan akutansi. Pinter dong?”
candanya.
“Pinteran kamu kali, di budaya dan ekonomi. Eh,
hujannya mau reda nih, aku jalan aja deh, udah deket juga.” jawabku
“Lah, gue anterin aja... gratis, tenang aja..” dia
terus memaksa.
Aku diam sejenak menatapi langit yang mulai jarang
meneteskan air matanya “Entar ada yang cemburu...” candaku genit.
“Ngga ada, gue ngga punya cewe.”
Ih, macho-macho jomblo, pikirku, “Yaudah, deh.”
Sesampainya di rumah, aku dimintai nomor ponsel.
Sedikit ragu, aku mengasihkan nomor ku kepadanya. Malamnya, kami berdua
berbicara panjang lebar lewat pesan teks, ia mengaku tidak punya pasangan.
Sebenarnya, ia pernah punya, namun meninggalkannya ke Jepang. Aku juga pernah
memiliki kekasih, tapi itu sudah lama, dan tidak serius.
Sungguh? Maksudku, bagaimana mungkin pria macho bisa
kesepian? Ia juga mempunyai Ibu yang sakit serius, ia bekerja untuk menafkahi
Ibunya dan dirinya sendiri.
▄
Seseorang ber-Jazz hitam datang tepat di kafe dekat
bandara, pria dengan tinggi seratus tujuh puluh lima senti itu menggandengku
menuju penerbangan luar negeri. Pesawat lepas landas, perjalanan ke Itali
membutuhkan waktu sekitar sebelas jam, ia membaca buku karyal Gayley Forman, If
I Stay, dan menanyaiku
“Kenapa, Nis? Kok bengong?” tanyanya.
“Ngga pa-pa kok, Dra... eh, teman kamu Shifa itu
cantik ngga sih?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
“Lihat sendiri aja kalau sudah sampai, he-he.” Ia
kembali membaca bukunya.
Aku tersenyum dan melihat luar jendela pesawat yang sayapnya
merobek awan dan kembali memikirkan kenangan pahitku. Kenangan yang semakin
hari semakin menyerupai bahasa asing, namun anehnya tak ada satupun yang bisa
menerjemahkannya.
▄
Hari demi hari aku lewati di kantor itu, ada rekan yang
baik, ada juga yang menyebalkan, semua teraduk rata di kantor itu. Aku tak
pernah mempercayai rekan seolah mereka tak bisa jahat, pun aku tak pernah
meragukan orang tak dikenal seolah-olah mereka tak bisa baik, Zerdian
contohnya. Kita semakin dekat, karena Zerdian yang satu ruangan denganku. Kami
bertukar ilmu, baru kenal tiga bulan dan rasanya kami sudah mendarah daging. Ia
punya poin pandanganku, ia asyik dengan aksen Jawa Timur nya yang lucu. Ia
lebih suka dipanggil Jaz, katanya memanggilnya dengan nama aneh bisa membuat
orang menganggap bahwa kita sudah kenal dekat. Saat libur akhir pekan pun aku
kerap memikirkannya. Ternyata aku tahu, rindu itu tak punya siklus.
Saat istirahat, aku mengetuk pintu ruangan, mengajak
Zerdian yang sibuk mengerjakan tugas di komputer,
“Ngga istirahat Jaz?”
Ia nampak fokus menatap layar komputernya, mungkin
dia masih fokus dan bekerja.
“Jaz? Kok bengong? Istirahat duluan ya..” aku
meninggalkannya ke kantin.
Di kantin ia datang dengan membawa se-mangkuk bakso
“Kamu betah kan di kantor?” tanyanya.
“Betah sih, kenapa?” jawabku.
“Ada aku soalnya, ya?” candanya lagi
“Ih, narsis.”
“Hahaha.. eh, Nis.” Tanyanya dengan muka menegang.
“Ya, Jaz?”
“Boleh ngomong ngga?”
“Apaan?”
“Kamu kerja disini, kenal aku, kenal yang lain, apa
ngga suka salah satu karyawan gitu?”
Kenapa Zerdian tiba-tiba bertanya seperti itu? Tak
seperti biasanya, Zerdian juga pakai “Kamu” daripada “Lo”.
“Umm. Suka semua kok, ngga ada yang ngga suka.
Semuanya kan teman disini.” Jawabku.
“Bukan gitu maksudnya, Nisa... Disini ada yang terus
merhatiin kamu, lho.”
“Siapa?”
“Aku.”
“Oh ya?” tanyaku, kuanggapnya bercanda.
“Menurutmu aneh?”
“Ngga sih, kalau itu memang tulus.”
“Sebenernya ngga tulus, aku juga pengin sesuatu dari
kamu, yaitu kamu sendiri. Tapi aku tahu kok, sifat dasar pikiran adalah menolak
dan meragukan. Mungkin butuh waktu.”
Sejenak aku berpikir, mungkin aku sudah saatnya
membuka hati, aku tahu diri sudah berjalan jauh, tinggalkan jejak langkah. Tapi
aku ingin melangkah lebih jauh, yaitu meninggalkan jejak hati ke orang lain.
Jika aku menghindari, setidaknya aku perlu seseorang yang nantinya akan aku
temui lagi, maka sekarang adalah saatnya.
Aku menggenggam tangannya yang berada di atas meja,
dan berkata
“Aku ngerti kok, Jaz. Kita jalani dulu ya.” muka ku
tampak malu-malu menatap Zerdian. “tapi.. boleh aku tau kenapa kamu maunya cuma
sama aku?”
“Aku harap sampai kapanpun aku ngga ngerti kenapa
aku milih kamu, supaya aku selalu mudah mencintai kekuranganku.”
“Mulai sekarang izinin aku mulai sering-sering lihat
wajahmu, ya, Jaz. Supaya aku tahu, kalau jalan menuju pulang itu adalah kamu.”
Se-sederhana itu kami mengungkapkan cinta, kami
adalah sepasang trauma yang berusaha saling menyembuhkan; masih telanjang belajar
memahami dan menilai untuk menghakimi. Sepertinya aku adalah pelukis yang
buruk, aku tidak bisa jelas melukis diriku sendiri, tetapi bisa sangat jelas
aku melukis orang lain. Kita memelihara perasaan tak banyak tahu, karena justru
dengan itulah rasa diantara kami tumbuh.
Zerdian juga sudah mengenalkanku ke orang-tuanya
yang berada di kampung kecil di daerah depok. Wajah kedua orangtuanya sangatlah
ramah, senyumnya mudah mencairkan suasana denganku. Zerdian adalah pekerja
keras, dia bekerja bagai nelayan yang berotot, kemanapun angin membawanya ia
tidak mau berhenti.
Empat belas bulan sudah kami menjalin itu semua. Aku
terkadang suka merasa kesal dengannya, ia terlalu capek bekerja lapangan dan
kantoran, perhatiannya juga mulai luntur kepadaku. Ban serep tidak akan
kehilangan nilainya seperti ban meski tak jadi prioritas. Aku harap cinta Zerdian
seperti itu. Setidaknya Zerdian harus menghidupi satu kegilaan dalam dirinya
agar bisa tetap menjalani hidup normal; yaitu bekerja keras.
Suatu hari, saat awal bulan, ia mengajakku bersantap
malam, di suatu restauran seafood yang harganya rata-rata tidaklah murah.
“Ini kan restauran mahal Jaz?” tanya ku habis turun
dari sepeda motornya.
“Apa salahnya sekali-kali kesini bersama calon
istri?” gombalnya.
Di meja kecil saling berhadapan wajah, setelah
memesan santapan ia membuka percakapan, “Umur orang ngga ada yang tahu kan,
Nis.”
“Iya, say. Kenapa emang?” tanyaku pelan.
“Orang tuaku juga semakin tua, aku pengin mereka
bisa bahagia sebelum masanya habis. Rencana Tuhan selalu rahasia, tapi kalau
direncanakan dan dijalani mungkin Tuhan juga ngerti keinginan kita.”
Aku diam sejenak, mencoba memahami maksud dan inti
dari pembicaraan ini
“Aku pengin ngerencanain suatu hari orang lain
manggil kamu Ibu Zerdian.” Lanjutnya. Dia mengambil sesuatu berwarnah merah
bludru dari celana jeansnya “kalau kamu setuju sama rencanaku, kamu harus
terima ini.”
Ia membuka kotak merah itu, itu cincin emas
berukuran lingkaran kecil yang menyelip diantara gabus merah. Dia melamarku.
Dua puluh tujuh tahun aku menjadi seorang perawan, di usia itu juga seseorang
menginginkanku untuk menjadi teman hidupnya.
“Mungkin ini juga terlalu cepet, Nis, tapi orang tuaku maksa.” Lanjut Zerdian “Sudah
banyak hal baik yang aku lewatin dalam hidup, aku harus menebus, dan mastiin
perjalananku berakhir di kamu. By the way, aku sudah bayar seperempat dari
perencanaan ini. Aku bisa bangkrut dini kalau kamu nolak aku. Hahaha..”
candanya. Aku mengambil kotak yang berada di dekat makanan itu, mengambil emas
lingkaran dari tempatnya dan memakainya di jari manisku. Pas.
Keesokan siang, di kantor, aku berbincang dengan
sahabatku yang sudah aku kenal selama setahun lebih, Marina.
“Tebak Rin, apa yang beda dari aku.” Tanyaku.
Ia mengerutkan dahi “Hmm.. apa ya, lo lebih cantik?”
“Ye.. dari dulu kalau itu. Ahaha.. lihat dong
jariku.”
“Oh.. abis gajian. Lo beli cincin baru? Yakan?”
“Iiih.. bukan. Aku dilamar.”
Marina tampak tersedak keras dari minumannya “Serius
lo, Nis? Lo di lamar sama Jaz?”
“Iyaaa!” seruku pelan.
Mata Marina yang terbuka lebar tampak ingin
mengatakan sesuatu “Bukannya mau menghambat kisah lo, Nis. Gue benci bilangnya,
tapi lo ngga bisa nikahin orang yang baru lo temuin.” Dia bilang.
Aku tak paham maksud omongannya, ia nampak serius
“Tapi dia udah bayarin biaya wedding, Rin. Masa dia ngga serius?”
“Emang sih, lo lebih kenal dia. Tapi gue kenal dia
lebih lama, nis. Yaaa.. gue akuin, Jaz itu keren, macho, eksotis, tapi dia
bukan cowok yang cocok dijadiin suami. Dia pernah punya masalah sama atasan
kita Pak Hendra. Dia pernah minjem sepeda motornya, terus ilang. Ngga tau dah
ke mana. Katanya hilang pas mau bayar sewa truk. Terus setelah sehari, dia beli
handphone baru, aneh kan? Tapi ya, kaya lo ngga tau pak Hendra aja, lo timpukin
kepalanya pake batu juga dia tetep senyum sama elo.”
Tertampar dengan omongan Marina, aku masih membisu
dan tidak percaya. Marina selalu jujur kepadaku, aku tahu itu. Rasanya aku
ingin punya alat pendeteksi kebohongan dan memakaikannya ke Marina.
“Eh tapi..” lanjutnya “..itu kan udah dulu, setahun
sebelum lo masuk sini. Ya dia pasti udah berubah lah. Yaudah deh Nis, selamat
ya, gue ikut seneng.” hiburnya.
Mungkin waktu ini adalah jawaban atas semua
pertanyaan, itu sebabnya yang indah tak bertahan lama. Dua hari sebelum
pernikahanku, aku dan Jaz mengobrol panjang lebar di suatu kafe taman.
“Lusa udah siap belum, Jaz? Udah hafal ijab qabulnya
emang? Hahahah!” candaku.
“Lah? Ya siap dong. Emang mau kamu yang ngucapin
ijab qabul? Sekarang gantian aku yang tanya.”
“Apah?” jawabku genit.
“Emang kamu siap hamil?”
“Tergantung, kalau yang hamilin kamu ya mau..
Hahaha!” kami bercanda di atas meja kayu yang kusam. Sejenak kami diam setelah
bergurau, ia membuka mulut lagi,
“Nis, boleh ngomong sesuatu ngga?” tanyanya.
“Apa?”
“Aku benci bilangnya, aku kan udah bayar setengah
nikahan kita, dan kemarin tiba-tiba Ibu bilang beliau butuh dana buat obat,
ngga murah. Intinya, aku tinggal bayar uang gedung sama dekornya. Kamu ada
biaya ngga? Nanti kalau udah nikah, aku ganti.”
“Berapa Jaz?” tanyaku.
“Sekitar seratus lima puluhan, kalau ngga ada, aku
bisa pinjem temenku kok.”
Saat itu tak
ada rasa ragu sedikitpun yang menjamah pikiranku, aku menjawab “Ada kok Jaz.”
Sambil tersenyum “Kalau untuk masa depan, aku apa aja rela.”
Setelah pulang dari itu, aku tergeletak pegal di
kasurku. Angin malam mulai membelai tubuh, ia kelembutan yang meski perlahan
tak pernah ingkar janji. Pada malam yang telah mengelam, pikiran-pikiran mekar,
buah dari pikiran itu siap di petik. Darinya,
itu adalah sebuah pertanyaan, dan pertanyaan seseorang yang akan menikah
hanya satu “Apa dia jodoh yang tepat untukku?” tapi semoga keraguanku ini keliru.
▄
Sampai di stasiun kota Florence, Indra berbincang
dengan orang Itali. Entah apa yang dibicarakan, namun orang itu tampak
terbahak-bahak dengan rokoknya yang dijepit diantara bibirnya. Itulah mengapa
aku bisa melupakan Jaz, karena Indra mempunyai aset terbesar dalam dirinya;
yaitu berbuat baik kepadaku dan orang lain.
Sampai di rumah Shifa, teman Indra. Aku menaruh
barangku di kamar Shifa. Ia menyuruhku untuk menyesuaikan jam tidur, Shifa
adalah sosok wanita yang cantik, sopan, ber-etika dan lemah lembut, aneh
rasanya jika Indra dahulu hanya berteman dengannya.
▄
Jum’at yang sunyi di kantor, asing ketika tak ada
Jaz di kantor. Telepon genggamnya non-aktif, hari itu raga sangatlah bimbang,
aku harus menikahi orang yang bahkan tak ada di saat besok adalah hari
pernikahanku.
Saat jam istirahat aku menatap wajah marina yang
duduk sendirian di meja belakang. Aku ingin menemuinya.
“Rin? Sendirian aja?” sapa ku sambil menyusulnya
duduk di sebelahnya.
“Nis? Kok masih ngantor?” tanyanya dengan muka heran.
“Hah? Ya iyalah, kan besok nikahnya. Hahaha..”
“Emang udah beli pesawat buat ke Bali?”
“Bali? Lah ngapain gue ke sana?”
“Lu kan nikah di sana? Makanya gue ngga dateng, jauh
amat. Ahaha.. Jaz udah ke Bali duluan?
Jaz? Ke Bali? Untuk apa? Pikirku. Aku semakin
bingung dengan semua ini, Marina tak mungkin bohong ketika dia tak tertawa. Terangkat
kaki ku langsung, aku menuju ruangan Pak Hendra, atasanku yang sangat ramah.
Aku masuk ke kantornya, lelaki berusia empat puluh delapan tahun itu memegang
kacamatanya.
“Eh, Annisa.. Ada apa, Nis?” tanyanya.
“Pak, apa Zerdian izin Bapak hari ini dia ke mana?”
bimbang dengan nada bergetar karena nafas ku yang terputus-putus karena lari
dari lantai satu ke lantai tiga.
“Lho? Dia kan sudah di pindah di Bali, Annisa.
Memangnya kamu tidak diberi tahu?”
“B..B..Bali pak?”
Sambil melihat cincin di jari manisku, aku berpikir,
badai apa yang mampir di hidupku? Apa benar Jaz adalah orang yang diceritakan
Marina kemarin? Nampaknya aku tak pernah benar-benar mengenal sosok dari
Zerdian. Aku bagai di hipnotis, dengan nada yang lembut dan muka yang eksotis
Zerdian adalah seorang serigala. Nafas panjang memikul beban pikiran yang
semakin lama semakin berat, apa yang telah Tuhan tulis dan apa yang telah aku
ekspektasikan mungkin tak selamanya sinkron.
Malam yang seharusnya jadi malam pertama tampak
pekat dengan kopi hitam yang lebam, kafeinnya merasuk melalui otot-otot dan
memacu otak agar tenang. Bercengkrama dengan rokok dan kupejamkan mata, ya
Tuhan, tiga ratus undangan yang disebarkan ternyata sia-sia. Aku belajar dari
semua ini, ternyata untuk orang yang baruku kenal, sebaiknya jangan cepat
menaruh hati. Aku tidak menyesal karena kehilangan jumlah nominal rupiah yang
Jaz ambil, aku menyesal karena aku pernah mengenal seseorang yang ber-pura-pura
menggilaiku. Tapi, bagaimanapun, tetap tegar itu adalah seni terhebat untuk
meluapkan amarah. Malam yang panjang, tak ada sedikit pun hal yang bisa
meninabobokkan diriku setelah kejadian itu.
▄
Di pesta pernikahan Shifa, teman Indra, terdengar nada bertapak seiring detak sekon jam dari
heels tujuh centimeterku, menggandeng dengan erat tangan Indra yang memakai
jazz cokelat dan membawa curahan San Miguel. Dengan mata menyipit, aku
berbicara dengan nada yang sedikit ku-serakkan, “Jadi, kapan kita nyusul
mereka?” Indra tersenyum dan mencium
panjang pipiku.
Thanks to:
-@adimasnuel
-Perempuan muda cantik yang ada di kafe bandara Soekarno-Hatta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar