Sebentar lagi aku akan meninggalkan Inggris, setahun
di sini rasanya cepat sekali. Tapi, tanah air Indonesia sudah menantiku, senang
rasanya sebentar lagi aku bisa pulang ke kampung halaman.
Tuntutan pekerjaan tidak mengijinkanku untuk bersenang-senang
di sini, hari-hari-ku aku habiskan di kantorku di kota London, Basinghall
Avenue, tepatnya di gedung Standard Chartered. Dengan gaji 56 euro per jam, aku
bisa menyewa apartemen kecil di belakang kantor.
Hari ini, kontrak bekerjaku di sini sudah habis,
tapi tiket pesawat masih menunjukkan minggu depan baru pesawatku akan tinggal
landas. Aku memutuskan untuk mengunjungi kota dari klub kesebelasan kesayanganku,
Liverpool. Ku selesaikan bill di apartmentku, aku mengemasi barangku yang
sekiranya aku butuhkan.
Mencari info tentang kereta yang akan menuju
Liverpool, aku menuju stasiun kecil di kota London, Maglift. Ternyata kereta
menuju Liverpool satu jam lagi, dengan cepat aku booking kereta itu. Kota
London dan Liverpool berjarak kurang lebih 290km, membutuhkan waktu sekitar
satu jam jika naik kereta cepat.
Sabtu sore ini, membeli kopi di mesin kopi tidaklah
buruk, sambil menunggu kereta datang. Dua blok dari tempat duduk, perempuan
setinggi kurang lebih 160 centimeter dan membawa tas ransel kecil tampak
kebingungan melihat tiket kereta, wanita itu seperti keturunan Arab dan
Inggris, hidung yang tajam dan pipi yang lesung dengan memakai syal Chelsea, membuat
ia tampak memukau. Ia mendekatiku –karena hanya ada aku– dan bertanya,
“Excuse me,
sir. Is this train stop that will go to Liverpool?” Tanyanya, dengan aksen
asli Inggris.
“Yes, I think
so. Do you wanna to go to Liverpool, too?” Balasku dengan senyum
“Oh yes,
thanks, sir. Umm.. may I sit here?” Ia menunjuk bangku panjang yang sedang
ku duduki.
“Sure.” .
Jawabku ramah.
Kami bagaikan rasa bersalah yang terlalu dini untuk
bertemu, dengan pilar rasa malu yang membatasi kami untuk melanjutkan
pembicaraan. Aku hanya memutar-mutar ampas kopi ku yang tersisa di gelas
styrofom, sedangkan dia hanya bermain
dengan kuku jemari tangannya dan rambut merah kehitamannya yang menutupi bagian
samping wajahnya.
Dua puluh menit, kereta datang dari arah timur
stasiun Maglift, aku bergegas berdiri, dan, wanita itu juga berdiri, aku masuk
duluan ke gerbang utama, ternyata kereta itu cukup penuh, mungkin karena
stasiun Maglift adalah pemberhentian sementara. Seat ku C3, dua seat dari
depan, aku menaruh tas ransel ku ke bagasi atas dan duduk. Wanita muda itu naik
dari gerbang, dan mengarah ke arahku, ia menaruh ranselnya di dada dan duduk di
sebelahku lagi, benar-benar sebuah kebetulan.
“Hi, sir, you
again.” Katanya dengan cengengesan.
“Ah, you stalk
me, right?” Candaku.
“Nope, sir.
Those ticket seller want us to sit together. Ahahaha!” Candanya balik
dengan tawa ringannya.
Kereta mulai menggelindingkan bannya. Tawa wanita
muda itu membuatku ingin untuk membuka obrolan lebih lebar dan panjang dengannya,
ternyata tawa dapat membuat orang asing bak gula pasir, cepat menyatu dan
larut.
“So,
you’re from London, right? What is your name?” Tanyaku
penasaran.
“I’m Dea, and
you, sir? Wait. How did you knew I was from London?” Balasnya.
“I’m Bram,
c’mon, you wear Chelsea’s scarf. Hey, I’m 25 years old, by the way, don’t call
me ‘sir’.”
“Oh, these
scarf.. just because people wear Chelsea’s stuff doesn’t mean they’re from
London, right. But yes, I’m from London. Bram? Like motorcycle? Bram.. bram..?
Wanita itu berbicara penuh canda, melepas syalnya dan meluruskannya
“Hahaha.. I
don’t think you’re so amusing. My full name is Bramantio, Mario Bramantio.”
“Bramantio?
That’s name looks familiar. Did you Indonesia descent? Or you’re from Indonesia?”
Ia bertanya begitu penasaran
“Yes, I’m from
Indonesia. Why you looks so curious?”
“Karena aku juga dari Indonesia, Bramantio.
Hahaha...” jawabnya cepat. Mataku tergelak kaget, percakapan kami menggunakan
bahasa Inggris terasa sia-sia.
“Serius?” tanyaku “maksudku, kamu sudah tau mukaku
asli Indonesia. Kenapa ngajak ngomong bahasa Inggris?”
Ia terpingkal-pingkal kecil dan menutupi wajahnya
dengan kedua telapak tangannya “Kebiasaan kali, Bram. Empat tahun di sini siapa
aja aku ajak bahasa Inggris. Eh ngomong-ngomong aneh kalau manggil cuma pakai
nama, aku panggil kamu kak aja ya.”
“Terserah lah. Ahaha.. empat tahun di sini kamu
kuliah De?”
“Iya, di Oxford, akhir bulan kemarin baru graduate. Aku masih pengin jalan-jalan
di sini. Kamu di sini juga kuliah, kak?” tanyanya dengan wajah yang masih
sumringah.
“Engga, aku baru selesai kontrak kerja di bank. Kamu
kapan rencana pulang? Ngga bosen apa di Inggris?”
“Bosen?” tiba-tiba wajahnya berubah menjadi muram
“Ngga semua orang bisa ke sini, kak. Boleh lah, kalau nikmati negeri orang.
Ceritain dong kak, kenapa kamu bisa ke sini?”
“Hmm.. sebenernya aku ditawarin di, California, Hong
Kong, Jepang juga sih, tapi..”
“Tunggu dulu.” Potongnya “Jepang? Kenapa milih
Inggris dari pada Jepang?”
“Kalau di Jepang ngga ketemu kamu dong?” godaku.
“Hahaha.. Alah gombal. Terus, terus?”
“Aku juga mikir-mikir sih, Jepang sumber daya
manusia kan jarang, apa-apa di sana mahal. Kalau di California, katanya di sana
sering badai. Hong Kong malah apaan, yang paling jelas ya Inggris, SDM ada, poundsterling
juga lumayan tinggi, kan. Cuacanya juga pas. Ya aku pilih Inggris lah. Lagian di Inggris, juga ada klub favoritku,
Liverpool. Aku juga pengin suatu hari, ya mungkin aja nikah sama orang sini,
memperbaiki keturunan. Hahaha..” Jelasku.
“Hahaha.. Eh? Tapi Jepang kan juga enak kak, di sana
bisa beli JAV.” Katanya.
“Hahaha!” tawaku tak sengaja. Aku berbisik “Eh, kamu
itu cewe, kok tau JAV. Udah ah, jangan di bahas.” Balasku.
“Ya tau lah, masa cewe ngga boleh tau. Ahaha.. Eh
Liverpool ya? Yang ngga pernah juara EPL itu?” ejeknya dengan nada bercanda.
“Dih, kok tiba-tiba nyela. Chelsea emang pernah
menang Champions sampai lima kali?”
“Eh tapi musim lalu Runner-up EPL, lho. Udah ah, kok
jadi bahas bola?”
“Kamu duluan” aku menggerutu “terus bahas apa dong?
Eh kamu dong ceritain kenapa bisa sampai ke Inggris?” tanyaku.
“Hmm.. it’s a
long story.”
“I’d love to
hear it.”
“Jadi.. Pertama, pas papa meninggal waktu itu aku
baru lulus SMP.”
“My biggest
condolences..” potongku.
Ia tersenyum “Thanks, kak. Pas itu, aku ikut mama ke
Singapore. Mama jadi TKI di sana. Terus.. well,
mama juga ngga pengin aku kaya dia, kata beliau. Beliau menyuruh aku
ngelanjutin SMA di Singapore, bukan sekolah sih, kaya lecture ber-sertifikat
gitu, dengan tabungannya selama di sana. Mama ikut majikan yang hartanya
melimpah ruah, and.. suatu ketika, majikan mama itu nikah, and you know what.. mereka ngga punya anak. Dan, 10 tahun di sana
mama udah capek untuk ngelanjutin kerja, mama pengin pulang ke Indonesia. And finally, aku dibiayai majikan mama
untuk kuliah, kebetulan mereka juga punya saudara di Inggris. Gitu..”
Aku mengambil nafas dalam-dalam “Kalau gitu aku
kurang bersyukur, ya, Dea.”
“Kenapa, kak?” jawabnya.
“Ngga semua orang bisa ke Inggris, dan ternyata juga
ada yang ke Inggris dengan jalan yang terjal.”
Bilik seat kami ber-oksigenkan kenangan Dea,
mendengarkan memori kelam orang asing adalah bahan bakar untuk menghidupkan
kesunyian. Dea boleh disebut pemeran baru dalam perjalananku, tapi suasana dan
kebersamaan lama-kelamaan akan mengakar dan mempersatukan kami kurang dari satu
jam. Aku mengalihkan topik pembicaraan.
Dea memanggil petugas kereta keliling. “Morning sir,
vodka please.” Ia menoleh ke arahku “kamu apa, kak? Aku yang bayar.” tanyanya.
“Umm.. water?”
Petugas kereta mengambil air dan vodka kaleng dari
lemari es berjalannya. “Here is the water, and vodka. It’ll be four pound.”
Dea menyerahkan uang kertas 5 pound, “keep that changes” katanya. Dea
langsung menunggak vodka kalengnya. Aku melihat jendela, ternyata kami sudah
sampai di Liverpool, aku melihat sungai menyeberangi antara rel kereta dan
jembatan layang.
“Sungai apa ya itu, De?” tanyaku.
“Mersey, kak. Ih masa ngga tau, katanya fans
Liverpool.” Candanya.
“Oh, jadi derbi Merseyside itu diambil dari nama
sungai ini.”
“Maybe.”
“Awas mabok lho” kataku sambil melihat Dea yang
terus menunggak vodkanya.
“Engga..” balasnya “kalau minumnya dua galon baru
mabok.”
Kereta pun sampai di stasiun Exchange, Liverpool.
Aku menunggu Dea keluar dari gerbang, mengemasi barangku dan turun. Melihat dea
yang masih menikmati vodkanya.
“Thanks, stranger,
udah nemenin satu jam di kereta. Mau lanjut ke Liverpool bagian mana?”
ceplosku.
“Stranger? You
still thought we’re still stranger? We’re connected.” katanya.
“Yup, err..
Dea. Okay, see you.”
“Yah.. masa pisah sih? Temenin Dea lah, kak. Kamu
mau ninggalin aku gitu aja? Kaya papaku.” serunya.
“Yup.. Err, okay kamu udah ngebuat aku merasa
bersalah .” Jelasku.
“Can I ask you
something? Are you a banker?” tanya Dea
“Sure. I mean,
I’ve told you before. Why?”
“Because
you leave me a loan. Aku kedinginan, kak.” Serunya manja
sambil merapatkan sweaternya rapat-rapat
“Ha ha.. nice
joke, kid. Aku tahu, kok.” Sambil ku menepuk pundak Dea.
“Kenapa bisa tahu?”
“Because we’re
connected. Okay, jalan aja ya.. Eh ngomong-ngomong ngga ada yang jealous?”
kataku
“Argh.. Ada tuh, Steven Gerrard.” Dea menunjuk
poster Liverpool di dinding stasiun. “Udah yuk.” Ia menggapai tanganku dan
menggandengku.
.
Aku patuh ke sesuatu yang tak bisa ku tebak. Aku terus
menggandengnya dengan seksama dan erat. Mengikuti kemanapun ia melangkah. Dalam
tubuhku tumbuh petunjuk Tuhan memberikanku teman. Entah apa yang di pikirkan
Dea, tetapi aku adalah orang yang mudah jatuh ke seseorang yang membuatku
merasa ditemani. Dea adalah kota besar di hidupku yang belum aku jelajahi
“Merasa aneh ngga sih kamu, De?” tanyaku.
“Aneh? Aneh kenapa, kak?”
“Baru kenal dua jam lalu, sekarang kita udah
gandengan.”
“Katamu we’re
connected? Hahaha.. Kita berdiri di negara bebas kali, kak. Yang baru kenal
semenit pun, juga bisa aja nikah. Hahaha..” candanya.
“Itu kan katamu..” kataku dengan muka bebek “Tahu Radiohead?” tanyaku.
“Yup, that’s
one of my favorite british band.” Ia menjawab dengan antusias
“Besok sore di Goodison Park.”
“What?!
Pasti udah habis tikernya.”
“On stage kali, nonton yuk. Aku bayarin deh.”
“Boleh, ngga apa kok, aku bayar sendiri. By the way, kita mau ke mana sekarang?"
Ia mengalihkan pandangan ke orang di dekat pintu
stasiun bertanya ke security “Excuse, sir.
Do you know the cheapest hotel around here?”
“About two
hundred meters to east” kata penjaga pintu yang gagah itu “may I help you to order taxi, madam?”
“No sir, I
prefer walking. Thanks, anyway.” Dea melemparkan senyuman manis dan membuat
petugas itu ikut tersenyum.
Kami berjalan kaki, menuju ke timur, sore hari
lumayan dingin di Inggris, berjalan satu kilometer pun tak menjadi masalah. Kami
berdua berfoto bersama, bercanda gurau, menikmati detik-detik terakhir aku di
Inggris bersama... orang yang baru dua jam aku kenal. Dan sampailah kami di
hotel itu. Kami melihat hotel di belakang restauran, Ibis Hotel. Hotel bintang
empat yang tidaklah cukup murah per malam jika di Indonesia.
“Cheapest
hotel he said?” tanyaku muram.
“Around here.
Ayolah. Jarang-jarang di sini.”
Menuju ruang resepsionis. Kami check-in di ruang
resepsionis “Good afternoon, madam, sir.
How can I help you?” kata resepsionis hotel itu
“Yes, I’d like
to make reservation, one room with double bed” Dea menjawab
“Oka..”
“Wait.. wait..”
aku memotong pembicaraan resepsionis, aku berbicara ke Dea “Kita se-kamar? Seriously?”
“Ngga apa. Aku ngga tidur.” Jawabnya, ia memalingkan
wajahnya ke resepsionis kembali “Yes?”
“Okay, can I
have your name? Your full name?” tanyanya
“Dea Oktaviani. O-K-T-A-V-I-A-N-I.”
“Allright,
Mrs. Ok-ta-vi-ani, one room with double bed tonight, It will be 595 pound.
Here’s the check-in card, your room is 2nd floor, ready for 5 minutes. Thank
you.” Ia menyerahkan kartu check-in ke Dea.
Kami menuju lantai 2 lewat tangga. Dea memasukkan
kartu ke slot pintu kamar. Kamar itu cukup megah, dengan TV LCD dan mini kulkas
di samping TV. Dea meletakkan barang di bawah dan membuka selambu jendela.
“Okay, kamu tidur di atas. Aku gampanglah, kalau ngantuk ya tidur di bawah.”
Katanya. “Aku nyari tempat makan dulu ya” Dea keluar. Aku tergeletak di kasur
empuk berukuran king size itu.
Rasa cemas ku ini kekal sekali, Dea adalah penyebab
kecemasan itu. Kecemasan adalah penyakit tak ber-obat. Bagaimana tidak cemas, seumur
hidupku aku baru ini sekamar dengan seorang wanita. Ditambah wanita ini baru ku
kenal hari ini. Siang di Liverpool mengakibatkan banyak pikiran, ribuan wajah
yang ku-kenal hanya satu yang membuatku gelisah saat ini. Bagaimana jika
tiba-tiba aku menikahi Dea? Pikiran ku mulai ke mana-mana. Kecemasan hanya
menjadi bebal dalam hidupku. Tapi sudahlah, saatnya beristirahat.
Pantulan-pantulan cahaya dari kaca-kaca yang
membiaskan awan sore bergema mengarungi mataku, membangunkanku dari tidur yang
lelap. Seseorang duduk di kursi dan bermain laptop. Ya Tuhan, itu Dea, ternyata
aku tak bermimpi.
“HAI KEBOOO!” teriak Dea yang masih menancapkan mata
di Macbook air nya. “Enak nya habis bangun tidur. Mandi sana. Ngga usah cari
makanan, aku udah booking dinner di resto sebelah.” Serunya.
Aku melihat jam, ternyata jam 4 sore. Aku tertidur 2
jam. Aku masih kebingungan bak orang sehabis pingsan.
“Bisa dansa ngga?” tanya Dea
Aku terpaku kebingungan, “Hah? Dansa?” tanyaku
“Yup. Dansa bebas, aku sih bisa balet. Resto yang
aku booking ngadain dance bersama couple. Jadi sebelum dinner, ada acara dansa
dulu. Mau ya, ya, ya.”
“Terserah deh, De. Aku mandi dulu ya.” Jawabku.
Setelah keluar dari kamar mandi, aku melihat Dea
yang dibaluti dress putih tak berlengan dan potongan di bawah lutut. Telinganya
di hiasi giwang lingkaran besar, lehernya di tandai dengan liontin emas. Ia
tampak elegan dengan tampilannya. Ia menunggu diluar sementara aku mengganti
baju dengan jas kemeja putih dan rompi.
Kami nemuju restoran di dekat hotel kami, Venon
Arms. Restauran itu dihiasi lampu-lampu bulat kecil di atas dinding-dinding
tingginya. Bertemakan kuning yang klasik dan meja-meja yang di pakaikan kain
kaca yang mengkilat. Pasangan-pasangan yang ber-malam minggu di sini tampak
gagah dan cantik. Kami tampak paling muda dan pendek di antara
pasangan-pasangan yang lain, karena gen kami yang Indonesia.
Kami duduk di meja paling belakang, waitress
menuangkan air ke dalam gelas kami. Tak lama, musik klasik jazz berbunyi. Suara
piano yang merdu dari titisan jari-jari professional. “Yok, udah siap?” Dea
bertanya, ia berdiri dan menggandengku ke tengah ruangan yang mejanya membentuk
letter U itu. Lampu dimatikan.
Anak piano-piano itu terus bernyanyi intro River Flow In You, sorotan lampu
menyinari kami dan pasangan-pasangan yang berdansa. Kami mulai berdansa. Di
mulai dari ia mendekati ku. Kami berpapasan dan tangan kanan kami saling
berpegang. Dea beputar ke arahku mendarat di dadaku, ia melompat, aku
menggendong Dea dari depan. Ia mengitari bawah tanganku yang menyongsong tangan
Dea. Ia mengangkat kakinya, aku mengambil kakinya yang diangkat dan merangkul
tubuh Dea, dan berputar. Dea dengan lincah menari-nari, aku pun mengerti
maksudnya dan kami bagaikan listrik, sinkron.
Empat setengah menit kami berdansa. Dea merangkul
leherku, berbisik “Hebat. Belajar dari mana?” aku tak sempat membalas. Launan
nada itu mulai melambat, tanda akan berhenti. Kami berdampingan, dan berbaring
di atas karpet merah itu berdua berhadapan.
Aplause dari penikmat dinner dan penonton dari luar
jendela restauran berdatangan. Kami kembali ke meja kami dengan nafas kami yang
tersenga-senga. Waitress mengantarkan makanan pembuka, sup jamur kental.
“Aku ngga nyangka kamu bisa ngerti maksudku” seru
Dea.
“Katanya we’re
connected. Gimana sih? Hahah..”
“Lah, masih di inget. Hahaha..”
Setelah pembuka, main course pun datang. Aku
menyantap lahap chicken maryland
pesanan Dea itu.
“Aku ke kamar mandi dulu ya” Ijin Dea
“Negara bebas.” Jawabku
Kuletakkan garpu pisauku di piring, aku sudah
selesai makan. Waitress mengemasi piringku dan Dea. Orang-orang satu persatu
mulai pergi, menipis. Kami berbincang sampai larut malam di restauran 24 jam
itu. Dua pasang mata yang mulai lelah saling terikat.
“Makasih untuk hari ini.” kataku kepadanya. Merasa
agak mabuk dari wine yang aku teguk. “Kamu wanita yang hebat”
“Kamu muji?” Dea tersenyum dan keluar dari bilik
bangkunya, ia duduk di sebelahku. Paha kami saling berkontak fisik. “kamu juga
pria kuat.”
Rayuan itu jelas tidak normal, tapi malam bersuhu 19
derajat celsius di Liverpool itu seakan berhenti. “Masih sadar? Yuk ke kamar.”
Ajaknya.
Aku bergejolak aneh, menyadari diriku bagaikan rusa
yang sudah di sergap harimau. Mata cokelat Dea berkilat mempesona. “Jadi”
bisiknya “Kamu ngga pernah sama wanita hebat, kan, Kak.”
Aku masih merasakan diriku ter-jerat bekapan wine. Ditambah
mata Dea, berupaya menyembunyikan luapan emosi; rasa malu, rasa gembira, dan
rasa takut “Aku ngga pernah sama wanita manapun sebenarnya.”
Dea tersenyum dan beringsut lebih dekat “Aku ngga
ngerti apa yang ada di pikiranmu. Tapi, biar aku jadi yang pertama.”
Ketakutan dan nadi ku berpacu kencang bersama,
memori masa laluku lenyap. Menguap bersama malam yang dingin di kepulauan
Britania Raya. Untuk pertama kalinya aku merasakan hasrat dan tak tertantang
oleh rasa malu, rasa ingin meluapkan apa yang aku rasakan.
Aku menginginkan wanita itu.
Sepuluh menit kemudian, kami berada di kamar hotel
berpelukan. Dea tak terburu-buru, sepasang bibir dan tangan Dea dengan sabar
menumbuhkan sensasi-sensasi yang belum pernah sama sekali kurasakan dari tidak
berpengalaman jiwaku.
Inilah pilihanku, Dea tak memaksanku.
Dalam pelukannya, aku pertamakalinya merasakan
segalanya tak ada yang rumit, ketika berbaring menatap sinar-sinar yang terpikat
oleh jendela malam, aku akan melakukan apa saja yang ingin Dea lakukan. Ini
adalah dosa terindah yang pernah kulakukan.
Pagi hari di kota Liverpool, hanya dengan selimut
aku menutupi tubuhku, melihat Dea yang tak menggunakan apapun bermain Macbook
di mejanya. “Hei baby..” kata Dea. Ayo mandi, kita cari sarapan.”
“I made a sin.”
Kataku. Astaga dia tidak tidur sungguhan.
Dea menghembuskan nafas panjang “Everybody made their own sin, darl.”
Balasnya. Aku mandi dan berpakaian rangkap baju, kemeja, sweater dan jazz.
Melihat suhu di iPhone ku yang sepuluh derajat celsius tampaknya aku tak
mungkin juga hanya ber-kaso dan celana pendek.
Kami berjalan sekitar satu kilometer ke Eton Place,
tempat bistro. Memilih tempat duduk di luar sedangkan Dea baru saja memesan
sarapan.
“Kamu cakep pakai jazz itu” Dea membuka pembicaraan
“Kalah aku sama kamu, kamu ngga pakai apa-apa aja
udah cakep.” Gurauku ke Dea.
“Bloodyhell
hahaha.. Umm, kamu ngga punya temen di sini, kak?”
“Last time I
have a friend he became a bullshit.”
“Segitunya..”
“Iya, temen ku di sini juga orang Indonesia. Sekitar
tujuh orang di tempatin di kantorku, I hate to say, lama kelamaan sikapya aneh.
Biasa, orang kaya baru, baru ke Inggris udah sombong.”
“Kamu bukannya juga baru ke Inggris?” Dea memotong
pembicaraanku. Sarapan diantarkan oleh waitress, scrambel egg dan kentang
goreng, dengan kopi susu kental. “thanks” kata Dea ke waitress itu.
“Aku sombong ngga?”
“Ya ngga sih... Kita sama, kak. Di saat aku lebih
suka sendiri, di saat orang-orang ngga ada buat aku, Tuhan nemuin aku sama
kamu. Semoga kesamaan kita ngga sampai situ.”
Semakin ke sini aku semakin bisa menumbuhkan rasa ke
Dea. Ternyata cinta itu artistik, tak mengenal sosok dan waktu. Dea ubah
seluruh rasa bertanyaku menjadi kemakluman. Seolah aku adalah kura-kura dengan
cangkang yang kuat tak terkalahkan yang ingin mengubah dunia, kemudian datang Dea
yang membalikkan cangkanku dengan mudahnya. Rasa khayal mendapatkan teman
sehidup begitu pudar dengan kehadiran Dea.
Selesai sarapan, kami menuju Goodison Park, sekitar
4 kilometer dari sini. Kami menyewa sepeda double sadel, sepeda itu berwarna
hitam mengkilap yang bisa menyala waktu malam hari. Dilengkapi sensor, setelah
satu jam di parkir, sepeda itu akan di tarik kembali oleh penyewa jasa.
Bersepeda 4 kilometer tidaklah se-pegal saat kami
berdansa 5 menit, tepat di depan Goodison Park telah banyak orang memakai syal
dan kaos Radiohead. Loket tiket baru saja di buka, kami membeli tiket di situ
juga, dengan antrian yang panjang tetapi rapi dan tak ricuh. Aku membayar tiket
masing-masing 45 pound. Itu tiket festival, duduk paling depan.
Kami membeli makanan kecil untuk di bawa ke konser
nantinya, Burger King di depan Goodison Park terlihat tak terlalu ramai, aku
menunggu Dea membeli makanan, sementara Dea menunggu pesanan, aku melihat ia
tampak berbincang dengan seseorang berkulit cokelat, Dea bersalaman dan tertawa
bersama wanita itu. Wanita itu melihat ke arahku. Aku pun tak jelas melihat
dia, kebetulan kacamata ku di tas dan tak bisa memandang sejauh itu. Selesai
menerima pesanan, Dea pun menghampiriku.
“Siapa?” tanyaku.
“Lucy, sepupu jauh ku.” Kata Dea
“Orang Indonesia? Ngga dikenalin ke aku?
“Iya.. Dia keburu-buru katanya. Yaudah, nunggu di dalem yuk.”
Jam menunjukan pukul 12. Konser dimulai sekitar 3
jam lagi. Dea menyenderkan kepalanya di pundakku, rambut panjang sebahunya yang
merah kehitaman mengurai di antara tangan-tanganku. Menunggu bersama Dea
rasanya terlalu cepat. Ia mengubah waktu menjadi oksigen, sesuatu yang aku
pikir itu cepat habis walaupun sebenarnya masih ada. Saling beberapa kalimat dan
kata yang sudah kami ucapkan, Dea memanggilku, “Bram.. maksudku, Kak.” Ia
memanggil.
“Ya, De?” ku arahkan wajahku ke tengah rambutnya
yang beraromakan stroberi itu. Aku tak bisa bohong, ini sangat terasa nyaman.
“Jadi pulang minggu ini? Pesawatmu ngga bisa di
cancel aja?” Tanyanya memelas.
“Ngga yakin sepertinya kalau ada yang buat nyaman di
Inggris.” Kataku.
“Aku kan” candanya “misalnya jadi, aku ikut ya. Aku
di sini udah ngga punya siapa-siapa selain orang yang aku kenal kemarin.”
“Aku kan” sahutku.
“Menurutmu.. Dengerin aku ngomong dulu ya. Ngga
ngerti kenapa aku takut kehilangan orang yang aku kenal dua hari lalu. Aku juga
ngga ngerti kenapa Tuhan mengijinkan kita bersama, kalau ngga untuk bersama.
Tolong ngerti aku, Bram. Aku cinta kamu. Aku tahu banget kita baru kenal.
Menurutku ngga ada salahnya kalau kita lebih saling mengenal dengan saling
bersama. Dan kadang, dunia ini adalah ruang yang saling terhubung, everything
is connected. Selalu ada yang berhubungan meskipun kamu tak mau berhubungan
dengan hal itu.”
“Ngga ngerti omonganmu, De, kamu ngomong kok puitis
banget. Tapi aku ngerti kok, aku juga ngerasain itu sama kamu. Kamu itu lucu,
baik, cantik. Dan walaupun, suatu hari nanti ketulusanku kamu pertanyakan, De,
jangan pernah nyesal ya kalau kita pernah bertemu. ”
“Halah sialan. Hahaha. Iya, Bram.”
Thom Yorke menaiki panggung tak ber kanopi itu,
memulai mengambil nafas untuk beraksi dengan berpenonton kerumunan orang-orang dengan
sifat histeris. Gabungan suara baritone dan bass melengkapi ramainya suasana
lagu radiohead itu. Mereka bernyanyi High
And Dry. Dea menggenggam tanganku erat dan melihat ke arahku. Aku tatap
mukanya yang bak lorong waktu, keindahan, ketakutan, dan kecintaan yang penuh.
Letihku di perjalanan ini lengkap bersama orang yang baru ku kenal. Dea adalah fragmen asing terindah di
hidupku. Aku ingin menyutradarai kami. Biarkan aku menyutradarai kami. Aku
adalah sutaradara kami. Dea.
Akhirnya, kami menikah dan bahagia di Indonesia.
Casino, RV Park, Laughlin, NV - Mapyro
BalasHapusFind the best 충청남도 출장샵 gaming and entertainment near Casino, RV Park, Laughlin, 밀양 출장안마 NV, USA. See map 이천 출장마사지 for more 광양 출장안마 information. 대구광역 출장샵